PENDAHAULUAN
Filsafat Hukum Islam adalah
merupakan bentuk cabang kajian keilmuan yang bernuansa baru bila di kaitkan
dengan hukum Islam dan metodologi dalam beristinbat hukum. Dengan kata lain,
filsafat hukum Islam berusaha untuk menemukan esensi kandungan hukum yang
terdapat dalam hukum Islam yang melalui metodologi (istinbat) untuk
menentukannya, karena filsafat hukum Islam tidak lain adalah metode berpikir kritis,
rasional dan metodis.
Hal ini sangat erat
kaitannya dengan pembahasan kajian ushul fiqh dan qawa’id fiqh yang merupakan
proses istinbat dalam menggali sebuah hukum melalui sumber-sumbernya, baik itu
berupa al-Qur’an atau al-Sunnah.
Usul al-Fiqh memiliki
kedudukan penting dalam struktur pengetahuan-ke-ilmuan tentang Islam, khususnya
yang berkaitan dengan hukum. Para ulama, baik secara eksplisit maupun implisit,
menjadikan penguasaan Usul al-Fiqh sebagai salah satu sharat bagi seorang
mujtahid. Sedangkan Qawâ’id
Fiqh sendiri merupakan dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Oleh karena keterkaitan
filsafat hukum Islam, ushul fiqh dan qawa’id fiqh, maka sangat diperlukan
sebuah kajian khusus yang membahas peranan masing-masing dalam menalar hukum
dalam Islam.
Dalam makalah ini
penulis berusaha untuk menemukan benang merah antara filsafat hukum Islam,
ushul fiqh dan qawa’id fiqh dalam menalar hukum Islam dengan cara merumuskan
sebagai berikut:
PEMBAHASAN
A.
FILSAFAT HUKUM ISLAM
1.
Kajian Definitif
Untuk
membantu mempermudah kita dalam menkaji filsafat hukum Islam, maka kita harus
mengetahu secara definitif tiga komponen yang menjadi kata dasar dari filsafat
hukum Islam. Tiga komponen tersebut adalah Filsafat, Hukum, dan Islam.
Filsafat
atau falsafah berasal dari perkataan Yunani philosophia yang berarti
cinta kebijaksanaan (philien = cinta, dan sophia = hikmah,
kebijaksanaan).[1]
Ada yang mengatakan bahwa falsafah itu berasal dari philos (keinginan)
dan sophia (hikmah, hikmah).[2]
Dan ada pula yng mengatakan berasal dari philos (mengutamakan,
lebih suka) dan sophia (hikmah, kebijaksanaan). Jadi kata filsafat
berarti cinta, ingin, mengutamakan dan lebih suka kepada hikmah atau
kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab
disebut failasuf.
Dalam
Al-Qur’an sendiri tidakditemukan kata filsafat atau al-falsafah, karena
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab asli. Sedangkan kata al-falsafah adalah
bahasa Arab bentukan setelah bangsa Arab mengenal kata filsafat dari bangsa
Yunani. Meskipun demikian, bukan berarti hakikat filsafat tidak ada dalam
Al-Qur’an, karena penyebutan filsafat dalam Al-Qur’an disebut dengan kata
hikmah, kata al-Hikmah disebut dalam 20 ayat. Kitab sebagai wahyu hanya
diberikan kepada utusan, namun hikmah tidak hanya kepada utusan, melainkan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.[3]
Siapa yang mendapatkan hikmah, maka berarti mendapatkan kebaikan.[4]
Dan itu hanya mungkin dipahami kalau manusia menggunakan akalnya.
Filsafat
adalah alam berpikir, karena berfilsafat itu sendiri adalah berpikir. Tetapi
tidak semua kegiatan berpikir dikatakan berfilsafat. Berpikir yang disebut
berfilsafat adalah berpikir dengan insaf, yaiu dengan teliti dan menurut suatu
aturan yang pasti. Harun Nasution mengatakan bahwa inisiatif filsafat adalah
berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat dengan
tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar
persoalan. Dengan demikian, tugas filosof adalah mengetahui sebab-sebab
sesuatu, menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental dan pokok, serta
bertanggung jawab, sehingga dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.[5]
Tujuan
filsafat adalah memberikan Weltanchauung (filsafah hidup). Weltanchauung
mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang
mengikuti kebenaran, mempunyai ketenagan pikiran, kepuasan, kemantapan hati,
kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan keinsafan. Setelah itu
mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya,
mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangan universal, dan
sebagainya.[6]
Hukum
berasal dari bahasa Arab (الحكم) yang secara
etimologi berarti “memustuskan, menetapkan dan menyelesaikan”. Kata hukum dan
kata lain yang berakar dari kata itu terdapat dalam 88 tempat di dalam
Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut.
Selanjutnya kata hukum juga sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam
memberikan arti secara definitif kepada kata “Hukum” terdapat rumusan yang
begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa
hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh Negara atau sekelompok masyarakat, berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Muslehuddin
mendefinisikan hukum sebagai “kumpulan peraturan, baik berupa hasil
pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang mana sebuah Negara atau
masyarakat mengaku terikat dengan sebagai anggota dan subjeknya”.[7]
Islam
(al-islām, الإسلام) memiliki arti
"penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya. Sebagai ajaran, Islam
adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Pengikut ajaran Islam
dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada
Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimah
bagi perempuan.
Dengan
lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia,[8]
menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam
mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi
dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad SAW
adalah Nabi dan Rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Kepercayaan
dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin ("dua
kalimat persaksian"), yaitu "Laa ilaha illallah, Muhammada al-Rasulullah"
- yang berarti "Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan
Allah". Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua
kalimat persaksian ini, berarti ia sudah dapat dianggap sebagai seorang Muslim
atau mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).
Kaum
muslim percaya bahwa Allah mewahyukan Al-Qur'an kepada Muhammad sebagai Khataman
Nabiyyin (Penutup Para Nabi) dan menganggap bahwa Al-Qur'an dan Sunnah
(setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber fundamental Islam.
Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai penggasas agama baru, melainkan
sebagai pembaharu dari keimanan monoteistik dari Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi
lainnya. Tradisi Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah
membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada Nabi-nabi ini dengan mengubah teks
atau memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.[9]
Umat
Islam juga meyakini Al-Qur'an sebagai kitab suci dan pedoman hidup mereka yang
disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril yang
sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya. Allah juga telah berjanji akan
menjaga keotentikan Al-Qur'an hingga akhir zaman dalam suatu ayat. Kitab lain
yang wajib diimani adalah kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum
Al-Qur'an, yaitu Zabur, Taurat, Injil dan suhuf para Nabi-nabi yang lain.
2.
Filsafat dan
Hikmah
Kata
falsafah dalam bahasa Arab diserap dari bahasa Yunani, sama halnya dengan kata
filsafat dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, padanan katanya menurut para
ahli adalah kata hikmah. Sehingga kebanyakan penulis Arab menempatkan kata
hikmah di tempat kata falsafah, menempatkan kata hakim di tempat kata filosof,
dan sebaliknya.
Nampaknya
hal ini amat bersesuaian dengan definisi hikmah yang diberikan al-Raghib, bahwa
hikmah yaitu memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.
Dari
pemahaman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata falsafah identik dengan
hikmah. Sehingga apabila disebut Filsafat Hukum Islam, maka terbersitlah dalam
pikiran akan Hikmah Hukum Islam. Para ahli Filsafat Islam menamakan kitab-kitab
sejarah para filosof dengan Akhbar al-Hukama’, seperti nama kitab yang
disusun oleh al-Qaftani, dan Tarikh Hukama’ al-Islam oleh al-Baihaqi.[10]
Namun
demikian, apa yang dimaksudkan dengan kata falsafah pada masa itu dengan kata
filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang telah mengalami penyempitan makna.
Kata falsafah pada masa dahulu memiliki arti demikian longgar, yaitu semua
hikmah yang bisa didapatkan dengan menggunakan akal dan ilmu. Sedangkan kata
filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang merupakan salah satu disiplin ilmu
yang telah mapan. Dalam arti yang terakhir inilah istilah filsafat dalam fase
Filsafat Hukum Islam dimaksudkan.
3.
Objek Kajian dan
Metode Filsafat Hukum Islam
Para ahli ushul fiqh sebagaimana ahli Filsafat Hukum
Islam membagi filsafat Hukum Islam kepada dua bagian. Yaitu Falsafat Tashri’
dan Falsafat Shari’ah.[11]
a.
Falsafar Tashri’:
filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya
dan memeliharanya. Filsafat ini membicarkan hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam. Filsafat tashri’ terbagi kepada:
dan memeliharanya. Filsafat ini membicarkan hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam. Filsafat tashri’ terbagi kepada:
1)
Da>’im Al-Ahka>m (dasar-dasar
hukum Islam)
2)
Maba>di’ Al-Ahka>m
(Prinsip-prinsip Hukum Islam)
3)
Ushu>l/Masha>dir Al-Ahka>m
(pokok-pokok/sumber-sumber Hukum Islam
4)
Maqa>shid Al-Ahka>m (tujuan-tujuan
Hukum Islam)
5)
Qawa>’id Al-Ahka>m (kaidah-kaidah
hukum Islam)
b.
Falsafat Shari’ah:
Filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti ibadah,
mu’amalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya.[12]
Filsafat ini bertugas menemukan rahasia dan hakikat Hukum Islam. Termasuk dalam
pembagian filsafat Shari’ah adalah:
1)
Asra>r Al-Ahka>m
(rahasia-rahasia hukum Islam)
2)
Khasa>’is Al-Ahka>m (keistimewaan
hukum Islam)
3)
Maha>sin/Maza>ya Al-Ahka>m
(keutamaan-keutamaan hukum Islam)
4)
Thawa>bi’ Al-Ahka>m (karakteristik
hukum Islam)
Dengan
rumusan lain, Filsafat Hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia,
dan tujuan hukum Islam, baik yang menyangkut materi maupun proses penetapannya,
atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum
Islam sehigga sesuai dengan maksud dan tujuan penetapannya di muka bumi. Yaitu
untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya. Dengan begitu Hukum Islam akan
benar-benar S{a>lihun
Likulli Zama>n Wa Maka>n.
Sebagaimana
watak filsafat, Filsafat Hukum Islam berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan
fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis, radikal,
universal, konprehensif, rasional, serta bertanggung jawab. Arti
pertanggungjawaban ini adalah adanya kesiapan untuk memberikan jawaban yang
objektif dan argumentatif terhadap segala pertanyaan, sangkalan dan kritikan
terhadap Hukum Islam.
Dengan
demikian, maka Filsafat Hukum Islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah.
Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik labih lanjut, sehingga ia dikatakan
sebagai seni kritik, dalam arti tidak pernah merasa puas dalam mencari, tidak
menggap suatu jabawan selesai, tetapi bersedia bahkan senang membuka kembali
perdebatan.
4. Peranannya
dalam Menalar Hukum Islam
Kajian-kajian yang dibahas dalam Filsafat Hukum Islam
selama ini secara pribadi amat menarik bagi penulis. Ia bukan hanya mampu
memberikan tambahan pengetahuan. Lebih dari itu, ia berhasil meluaskan
cakrawala berpikir bagi siapa saja yang bersedia menekuninya. Bukan dalam
wilayah Hukum Islam saja, namun juga bahasan-bahasan dalam Filsafat Hukum yang
selama ini dianggap berada di luar jangkauan Hukum Islam.
Peranan Filsafat Hukum Islam dalam menalar hukum Islam
dapat diterangkan sebagai berikut:
a.
Filsafat Hukum Islam
adalah Kajian Filsafat
Filsafat
Hukum Islam merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat. Sehingga
wajar, seluruh isi atau konten Filsafat Hukum Islam dibahas melalui pendekatan
filsafat yang amat identik dengan akal sebagai sarananya. Dengan demikian,
metode atau cara kerja Filsafat Hukum Islam adalah metode atau cara kerja akal.
Dan sesuai dengan karakter akal yang abadi dalam proses perkembangan, dengan
kata lain filsafat hukum Islam menganalisa segala proses pembentukan sebuah
hukum mulai pengambilan dari sumber hukum, proses pengolaan, dan pembagiannya
sehingga menjadi sebuah hukum independen, namun tidak hanya berhenti disitu,
melainkan terus berusaha untuk mengetahui segala yang terkandung dalam hukum
itu sendiri, baik tujuan dan fungsinya, demikian pula halnya dengan semua
kajian filsafat.
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam ini kita akan
diantarkan menuju kesadaran yang tinggi dalam menghayati makna perintah dan
larangan agama. Hal ini disebabkan, karena ia melihat perintah dan larangan itu
bukan dari segi halal dan haram, namun dari segi hikmah atau falsafah yang
terkandung dalam perintah dan larangan itu.
Tidak
salah lagi, kajian Filsafat Hukum Islam ini mampu menambah kemantapan seorang
muslim dalam menjalankan syariat agamanya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa kajian Filsafat Hukum Islam juga bisa mengantarkan seorang
muslim menuju keraguan abadi dalam menjalankan perintah dan larangan agama,
sebagaimana halnya semakin banyak kita saksikan dimana-mana.
Filsafat
sebagai “metode” telah banyak membantu kaum muslim meyakini ketepatan hukum Islam
dalam hal mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki. Namun filsafat sebagai
“hasil” telah banyak pula memakan korban, baik dari kalangan “intelektual”,
apalagi dari kalangan awam.
b.
Filsafat Hukum Islam
adalah Kajian Filsafat Hukum
Filsafat
Hukum Islam merupakan salah satu cabang Filsafat Hukum secara umum. Oleh karena
itu, kajian terhadap Filsafat Hukum Barat atau Timur sudah sewajarnya atau
seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum memasuki kajian Filsafat Hukum Islam.
Sehingga kita memiliki pengetahuan dasar akan kedudukan Filsafat Hukum Islam di
antara Filsafat Hukum pada umumnya.
Berdasarkan
fakta tersebut, sebenarnyalah memang Filsafat Hukum Islam sejak kemunculannya
diarahkan untuk menjembatani orang-orang yang telah memiliki pemahaman yang
matang tentang filsafat hukum secara umum baik para akademisi maupun para
praktisi menuju pengetahuan Hukum Islam, dengan tetap memahaminya sesuai
wawasan mereka semula.
Adapun
isi dari Filsafat Hukum adalah kajian-kajian yang telah dipelajari dan
dikembangkan oleh orang Islam sejak ribuan tahun yang lalu. Yaitu kajian-kajian
Usul al-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyah, Qawa’id Usuliyah, dan ilmu-ilmu metodologis
yang lain.
c.
Filsafat Hukum
Islam adalah Kajian Ke-Islaman
Filsafat
Hukum Islam merupakan salah satu ilmu ke-Islaman, di mana ilmu ke-Islaman ini
telah tumbuh dan berkembang sejak lebih dari empat belas abad yang lalu.
Sebagai kajian ke-Islaman, ia memiliki wilayah kajian yang amat luas, seluas
kajian hukum Islam itu sendiri. Ia bukan hanya membahas hukum dari sisi
lahiriah manusia, namun juga membahas hukum dari sisi lain manusia, yaitu sisi
batiniah (ruhiyah).
Selain
itu, orang yang mempelajari Filsafat Hukum Islam diharapkan bukan hanya
memahami rahasia-rahasia di balik perintah dan larangan hukum, namun juga mampu
menghayati rahasia-rahasia itu ketika mengamalkan perintah atau menghindari
larangan tersebut.[13]
5.
Tujuan Filsafat
Hukum Islam
Filsafat
Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah
serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan
ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi.
Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang
tinggi dalam melaksanakan hukum.[14]
Seorang
yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam,
akan semakin memahami di mana letak ketinggian dan keindahan ajaran Islam,
sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum
yaitu Allah SWT, kepada sesama manusia, kepada alam, dan kepada lingkungan di
mana ia hidup.
Dengan
demikian, tujuan mempelajari Filsafat Hukum Islam dapat dirinci sebagai
berikut:
Pertama:
Semakin memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan Hukum Islam
dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk manusia). Dimana hukum Islam
bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan unggul, namun juga lebih terhormat
dan beradab dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain.
Kedua:
Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa
“paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa
cinta, karena ia berasal dari Tuhan Maha Adil dan Pengasih. Ia taat kepada
hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan kepada
makhluk-Nya.
B.
USHUL FIQH
Usul
al-Fiqh memiliki kedudukan penting dalam struktur pengetahuan-keilmuan tentang Islam,
khususnya yang berkaitan dengan hukum. Para ulama, baik secara eksplisit maupun
implisit, menjadikan penguasaan Usul al-Fiqh sebagai salah satu sharat bagi
seorang mujtahid.
1. Pengertian Usul al-Fiqh
Berikut
ini dua pengertian Usul al-Fiqh yang masing-masing penulis kutip dari kitab
usul al-fiqh karya Imam al-Shaukani dan ‘Abd al-Karim Zaidan.
معرفة دلائل الفقه إجمالا ، وكيفية الاستفادة
منها ، وحال المستفيد
Kedua
pengertian Usul al-Fiqh yang disampaikan kedua pakar di atas telah menegaskan
hubungan yang amat kuat, bahkan tak terpisahkan, antara seorang mujtahid yang
hendak melakukan istinbat al-ahkam. Ia adalah peta yang siap
mengantarkan seorang pengelana menuju tempat tujuannya, atau memahami jalan
pikiran orang lain yang mengambil rute yang tidak sama dengannya.
2. Awal Keberadaan Usul al-Fiqh
Usul
al-Fiqh bersamaan munculnya dengan Fiqh, meskipun dalam penyusunannya Fiqh
dilakukan lebih dahulu dari Usul al-Fiqh. Sebenarnya keberadaan Fiqh harus
didahului oleh Usul al-Fiqh, karena Usul al-Fiqh itu adalah ketentuan atau
kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam
perumusannya, Usul al-Fiqh datang belakangan.[16]
3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
yang hendak dicapai dari ilmu Usul al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dail shara’ yang terinci agar sampai kepada
hukum-hukum shara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash shara’ dan
hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan
tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada
rumusan itu.
4. Pokok Bahasan
Beberapa
bahasan pokok dalam Usul al-Fiqh dapat dirangkum sebagai berikut:
- Sumber
hukum shara’
- Hukum-hukum
shara’ yang terkandung dalam dalil itu
- Kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum shara’ dari dalil
atau
sumber yang mengandungnya.[17]
5. Peranan Usul al-Fiqh dalam Menalar Hukum Islam
Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama kenamaan
dari Mesir, menjelaskan peranan Usul Fiqh dalam menalar hukum sebagai berikut:
يبين
المنهاج الذى يلتزمه الفقيه ، فهو القانون الذى يلتزمه الفقيه ليعتصم به من الخطأ
فى الاستنباط
Dalam pernyataan
singkat itu, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh Usul al-Fiqh, yaitu:[18]
- Sebagai
metode yang menjadi pegangan bagi seorang faqih yang hendak berijtihad.
- Sebagai
kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari kesalahan dalam
melakukan ijtihad (istinbat hukum).
Dalam
hal menalar hukum ini, Usul al-Fiqh bisa diibaratkan sebagai sebuah peta jalan
atau rute yang menuntun seorang pengembara mencapai tujuannya. Boleh jadi,
antara satu mujtahid dan mujtahid lain memiliki konten Usul al-Fiqh yang
berbeda-beda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam kerangka maslahah manusia sebagai makhluk
individu maupun sosial.
6. Usul al-Fiqh sebagai Metode Ijtihad
Sebagai
metode berijtihad, Usul al-Fiqh berperanan sebagai jalan yang menuntun seorang
mujtahid dalam melakukan istinbat. Atau sebagai penjelasan jalan yang telah
ditempuh oleh seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang datang sesudahnya
bisa memahami alasan mujtahid tersebut menempuh jalan tersebut.[19]
7. Usul al-Fiqh sebagai Kaidah
Sebagai
kaidah, Usul al-Fiqh memiliki peranan sebagai pengingat mujtahid dari kesalahan
yang mungkin akan dilakukannya. Atau korektor atas kesalahan yang telah
dilakukannya.
Tentu
saja fungsi atau peranan Usul al-Fiqh ini amat membantu mujtahid dalam
melaksanakan tugasnya. Bagaimana pun cerdasnya seorang mujtahid, ia adalah
seorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Nah, di sinilah
peranan Usul al-Fiqh amat dirasakan oleh mujtahid itu, yaitu menghindari atau
setidaknya meminimalisir kesalahan-kesalahan tersebut.[20]
C. QAWA’ID
FIQH
1.
Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama
mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi
(istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi,
baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id
al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya
dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu.[21]
Sedangkan arti fiqhiyah
diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai
penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan
makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat,
Hadist Nabi SAW menjelaskan:
“Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan
agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id
al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar
atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[22]
Para ulama berbeda
dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya
dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh,
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada
qiyas/analogi yang mengumpulkannya”[23]
Sedangkan
Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
Imam Tajjuddin
al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang
meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut
dengan kaidah tadi”[25]
Bahkan Ibnu Abidin
(w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab
al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu
adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”[26]
Sedangkan menurut
Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan
kaidah :
Dari
definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh
yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya
(bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih
yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang
timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
2.
Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
a.
Segi Fungsi
Dari segi
fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra
al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”[28]
kaidah ini
mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu
yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”[29]
Dengan demikian,
kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan
sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
b.
Segi Mustasnayat
Dari sumber pengecualian,
kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kaidah yang tidak memiliki
pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang
tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada tergugat”[30]
Kaidah fiqh lainnya
adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok
yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
c.
Segi Kualitas
Dari segi kualitas,
kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Ø Kaidah kunci
Kaidah kunci yang
dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan
kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan
(kejelekan) dan mendapatkan maslahat”[31]
Kaidah diatas
merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
Ø Kaidah Asasi
Adalah kaidah fiqh
yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah fiqh
tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”[32]
Ø Kaidah fiqh yang
diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang
diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
usmaniah[33]
3.
Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh adalah :
a.
Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh
dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
b.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
c.
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang
berbeda
d.
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh
yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.[34]
Menurut Imam Ali al-Nadawi
a.
Mempermudah
dalam menguasai materi hokum
b.
kaidah membantu
menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
c.
Mendidik orang
yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
d.
mempermudah
orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan
mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
e.
Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar.[35]
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian
karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
4.
Urgensi Qawaidul
Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan
penting dilihat dari dua sudut :
a.
Dari sudut
sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh,
ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
b.
Dari segi istinbath
al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan
atau kepastian hukumnya.[36]
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya
bertkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai
macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang
dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip
umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.[37]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka
perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi
sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan
berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas
Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya
menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya
banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.[38]
5.
Sistematika Qawaidul Fiqhiya
Pada umumnya
pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan
kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah
asasiah ada 5 macam, yaitu :
a.
Segala macam
tindakan tergantung pada tujuannya
b.
Kemudaratan itu
harus dihilangkan
c.
Kebiasaan itu
dapat menjadi hukum
d.
Yakin itu tidak
dapat dihilangkan dengan keraguan
Sebagian fuqaha’
menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah
ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah,
walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
PENUTUP
Dari berbagai macam penjelasan di
atas terkait dengan pembahasan filsafat hukum Islam, ushul fiqh dan kaidah fiqh
ditinjau dari segi peranan masing-masing dalam menalar hukum dalam Islam, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Peranan Filsafat
Hukum Islam terhadap hukum Islam adalah menganalisis hukum Islam secara
metodis, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai
alatnya”. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum Islam adalah “pemikiran secara
ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
2.
Peranan Ushul
Fiqh dalam menalar hukum Islam ialah dengan cara menunjukkan seorang mujtahid
untuk dapat sampai pada aktivitas penggalian hukum-hukum fiqh berlandaskan pada
sumber-sumbernya. Dengan kata lain, Ushul Fiqh merupakan alat yang dapat
dipergunakan seorang mujtahid untuk keperluan istinbath hukum.
3.
Kaidah fikih ialah dengan cara memudahkan
dalam pengklasifikasi hukum-hukum juz’i di level cabang. Hukum-hukum
juz'i yang mempunyai aspek persamaan satu sama lain ditarik menjadi suatu
kaedah fiqh tertentu. Kondisi seperti ini tidak menafikan adanya pengecualian
bagi hukum juz'i tertentu untuk tidak dimasukkan ke dalam kaedah fiqh tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyu>t}i, Jalaluddin Abd
al-Rahman, 1399 H/1979, al-Ashbah wa al-Nazhair fi> Qawa>’id wa Furu’
Fiqh al-Sya>fi’I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I.
Al-Subki, Al-Imam Tajjuddin Abd
al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi, Al-Asybah wa al-Nazhâir, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Islamiyah, tt. Juz I.
Abdul Wahab
Kholaf, 1978, Ilmu Usul al-Fiqh, al-Taba’ah al-Nashri Wa al-Tauzi.
Al-Nadwi>, Ali
Ahmad, 2000, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Beirut : Dâr al-Qâlam, cet. V.
Al-Ruki, Muhammad,
1998, Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, Beirut : Dâr al-Qâlamcet. I.
Asymuni, A.
Rahman, 1976, Qaidah-qaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang, cet. I.
Al-Jurjani, 1983, Kitab
al-Ta’rifat, tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Na>’im,
Abdullahi Ahmed, 1994, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta, LkiS, (terj), Towards
An Islamic Reformation: Islamic Law In History And Socity Today”.
Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul Fiqh, tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi.
Al-Shiddi>qi>, Hasbi, Muhammad,
1993, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Adnan Amal, Taufik, 1990, Islam Dan
Tantangan Modernitas, bandung, Mizan.
Asjmuni, A Rahman,
1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang.
Djamil,
Fathurrahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Ciputat, Logos Wacana Ilmu,
Cet III.
Hamidullah,
Mohammad, 2003, Fikih Islam dan Hukum Romawi, terj. Ali Muhammad dan
Rusjdi Ali Muhammad, Yogyakarta, Gema Media.
Ibnu
Mansur, 1968, Lisa>n Al-Ara>b, Mesir: Daar Al-Misriqiyah Li
A-Ta’lif Wa At-Tarjamah.
Ibnu Nuzaim, 1983,
Al-Asybah wa al-Nazhair, Damaskus: Dar al-Fikr.
K. Bartens, 1994, Sejarah Filsafat
Yunani, Yogyakarta, Kanisius, Cet II.
Lois
O. Kattsoff, 1992, Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono, Yogyakarta,
Tiara Wacana Yogya.
Muslehuddin,
Philosophi Of Islamic Law And The Orientalis, 1980, Lahore: Islamic
Publication.
Nasution, Harun, Filsafat Agama,
1987, Jakarta, Bulan Bintang.
Syarifuddin,
Amir, 1992, Pengertian Dan Sumber Hukum Islam, Jakarta, Departemen
Agama, Bumi Aksara.