PENDAHULUAN
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Akan
tetapi kondisinya berbeda dengan al-Qur’an, dimana hadis bersifat zanni al-wurud
sedangkan al-Qur’an bersifat qat’i al-wurud.
sehingga mengenai keotentikkan keberadaannya memerlukan adanya penelitian
tersendiri. Keadaan seperti ini diperparah dengan terjadinya fitnah di antara kaum muslimin, sehingga keberadaan
hadis Nabi saw tidak bisa serta merta dapat diterima, karena dimungkinkan
adanya penyelewengan-penyelewengan yang diatas namakan Nabi saw. Hal ini
menuntut adanya pengkajian yang mendalam tentang sampainya hadis kepada kita.
Karena hal inilah kemudian para ulama berusaha dengan sekuat tenaga untuk
meneliti kualitas suatu hadis dengan menentukan kriteria-kriteria ke-shahih-annya.
Setelah
melalui proses yang panjang akhirnya kemudian kriteria-kriteria hadis dapat
terperinci dengan sempurna. Dari situlah selanjutnya kemudian diketahui bahwa
diantara hadis ada yang Maqbul
(diterima) dan ada yang Mardud
(ditolak) bila ditinjau dari kualitasnya. Diantara yang mardud (ditolak) itu terdapat suatu hadis yang sebab di tolaknya
karena diketahui ada kedustaan di dalam perawinya, yang kemudian oleh para muhaddisin diistilahkan dengan al-Hadith
al Maudu’.
Keberadaan hadis maudu’
mutlak harus diketahui oleh pemerhati hadis bahkan oleh semua orang Islam,
karena hadis maudu’ merupakan yang
paling buruk diantara hadis-hadis dhaif
lainnya, yang oleh karenanya hukum pengamalannya tidak diperbolehkan. Posisi
hadis yang sangat urgen dalam Islam menuntut untuk dipilahnya antara hadis yang
sahih dengan yang maudu’. Hal ini
membutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai hadis maudhu’
itu sendiri. Oleh sebab itu disini penulis akan menjelaskan mengenai pengertian
hadis Maudu’, mulai pengertian
hadis maudhu’, bagian-bagian hadis maudhu’, tanda-tanda hadis maudhu’,
status hadis maudhu’, sejarah kemunculan hadis maudhu’, kriteria pembuat hadis palsu dan faktor yang maletar
belakanginya, hukum berdusta atas nabi saw dan periwayatan hadis maudhu’, golongan yang memalsukan hadis, karya-karya hadis maudhu’.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadis Maudhu’
Pengertian
hadis maudhu secara istilah diberikan
oleh para muhaddisin dengan redaksi
berbeda-beda, tetapi pada intinya menpunyai kesamaan dalam hal prinsip makna
yang mendasar.
Beberapa rumusan pengertian istilah hadis maudhu adalah sebagai berikut:
Secara
bahasa, kata maudhu’ berarti sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftara). Menurut istilah, hadis maudhu adalah pernyataan yang dibuat
oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW.[1]
Qadir
Hasan, mendifinisikan maudhu’ secara bahasa artinya: yang disusun, dusta
yang diada-adakan, yang diletakkan[2]. Maka,
hadis maudhu’ adalah satu hadis yang yang diada-adakan orang atas nama
Nabi saw., dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Hadis maudhu’ itu
dicipta oleh pendusta dan disandarkan kepada Nabi untuk memperdayai.
Sedangkan
menurut Sohari Sahrani, hadis maudhu
adalah hadis yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap Nabi
saw., dibuat secara sengaja atau tidak sengaja.[3] Dengan
kata lain, hadis maudhu’ dibuat dan dinisbahkan kepada Nabi, dengan disengaja
atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun[4].
B.
Bagian-bagian Hadis Maudhu’
Hadit maudhu’ atau hadis yang orang ada-adakan ini, terbagu empat
bagian:
1. Si rawi mengada-ngadakan sendiri yang tidak sama dengan perbuatan orang
lain.
2. Si rawi mgambil perkataan salaf[5],
hukama[6] dan
cerita-cerita Israiliyyat[7],
lalu disandarkan kepada Nabi saw.
3. Susunan rawi dengan tidak sengaja, tetapi karena ada waham.
4. Si rawi mengambil satu hadis yang lemah sanadnya lalu disusunnya dalam
satu sanad yang shahih.[8]
C.
Tanda-tanda Hadis Maudhu’
Banyak sekali tanda-tanda ke-maudhu-an hadis pada sanad. Pertama,
tanda-tanda yang diperoleh dari sanad. Kedua,
tanda-tanda yang diperoleh dari matan. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Tanda-tanda pada sanad
a. Perawi terkenal berdusta (seorang pendusta) dan hadisnya tidak
diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.
b. Pengakuan dari rawi bahwa ia telah memalsukan hadis.
c. Menurut sejarah tidak semasa dan mungkin bertemu dengan perawi di atasnya.
d. Keadaan perawi-perawi –perawi sendiri serta dorongan membuat hadis[9].
2. Tanda-tanda pada matan
a. Buruk susunannya dan lafadznya.
b. Rusak maknanya.
c. Menyalahi keterannngan al-Qu’an yang terang dan sunnah yang mutawatir dan
kaidah-kaidah kulliyah.
d. Menyalahi hakikat sejarah yang sudah terkenal pada masa Nabi Muhammad
saw.
e. Menerangkan suatu pahala yang
sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar
terhadap perbuatan yang kecil[10].
f. Hadis yang didustakan oleh keyakinan kita[11].
D.
Status Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat
dalam menentukan status hadis maudhu, apakah
merupakan bagian dari hadis atau bukan. Dalam hal ini, terdapat tiga pandangan. Pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadis maudhu merupakan bagian hadis dhaif.
Hanya saja, posisi ke-dhaifan-nya
berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak
nilainya. Imam Ibnu Shalah menegaskan bahwa hadis maudhu adalah hadis dhaif yang
paling jelek dan paling jahat.
Kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449
M) berpendapat bahwa hadis maudhu
bukan termasuk hadis Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan.
Hadis maudhu’ bukan suatu yang datang
atau berasal dari Nabi, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari Nabi[12].
Ketiga, diwakili oleh Ahmad ‘Umar Hasyim hadis maudhu’ tidak disebut hadis secara
mutlak tetapi berdasar anggapan dan kecendrungan pembuatnya, sedang hakikat dan
asalnya bukan hadis[13].
E.
Sejarah
Kemunculan dan Penyebaran Hadis Maudhu’
Masuknya
penganut agama lain ke Islam, sebagai hasil penyebaran dakwah ke pelosok dunia,
secara tidak langsung menjadi faktor awal dibuatnya hadis-hadis maudhu’.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka memeluk Islam karena
benar-benar ikhlas dan tertarik dengan kebenaran ajaran Islam. Namun terdapat
pula segolongan dari mereka yang menganut Islam hanya karena terpaksa mengalah
kepada kekuatan Islam pada masa itu dan mereka berkeyakinan bahwa mereka tidak
akan mendapatkan tempat dihati penguasa-penguasa mukmin kecuali dengan memeluk Islam. Golongan inilah yang kemudian senantiasa
menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan kaum muslimin. Kemudian mereka
menunggu peluang yang tepat untuk menghancurkan dan menimbulkan keraguan di
dalam hati orang banyak terhadap Islam. Peluang
tersebut terjadi pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (W.35H),
yang memang sangat toleran terhadap orang lain[14].
Imam
Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam apabila
mendengar sabda Nabi Saw mereka tidak akan menanyakan tentang sanadnya. Namun
setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar
hadis mereka selalu bertanya, dari manakah hadis itu diperoleh? Apabila
diperoleh dari orang-orang Ahl sunnah, hadis itu diterima sebagai
dalil. Dan apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadis itu ditolak.”
Diantara
orang yang memainkan peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang
Yahudi yang mengaku memeluk Islam. Dengan berdalih membela Sahabat Ali dan Ahl al-Bait, ia
berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk menabur fitnah. Ia menyampaikan
bahwa Ali yang lebih layak menjadi khalifah daripada Usman bahkan Abu Bakar dan
Umar. Kemudian ia mengemukakan hadis yang dibuat-buatnya: “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah
Ali.” Walaupun pada saat itu khalifah Usman menolak begitu juga shahabat Ali, bahkan
oleh khalifah Usman
ibnu Saba diusir dari Madinah karena ulahnya itu, tapi tetap saja ada orang
yang mau mempercayainya.[15]
Peristiwa itu adalah
awal dari kemunculan hadis maudhu’,
namun penyebarannya pada waktu itu belum gencar karena masih banyak sahabat
utama yang mengetahui dengan persis akan kepalsuan sebuah hadis. Dan
apa yang disampaikan nabi tentang ancaman membuat hadis palsu masih sangat kuat
menancap dalam hati mereka.
Saat
setelah terbunuhnya Khalifah Usman barulah kemudian karena kemunculan beberapa aliran politik dengan berbagai
kepentingannya hadis maudhu’ mengalami perkembangan
yang signifikan.
Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Tawus bahwa pernah suatu ketika dibawakan kepada Ibnu Abbas suatu
buku yang di dalamnya berisi keputusan-keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian
menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah
menjelaskan bagian yang tidak dihapus itu sekadar sehasta.
Imam al-Dzahabi dalam al-Tadhkiroh-nya juga meriwayatkan dari
Khuzaimah bin Nasr, ia berkata: “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga
Allah melaknati mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena
telah merusak hadis-hadis Rasulullah.” Menyadari hal ini, para
sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadis yang disebarkan oleh
seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya sekiranya ragu akan kesahihan
hadis itu.
Imam Muslim dengan
sanadnya meriwayatkan dari Mujahid (W.104H) sebuah kisah yang terjadi pada diri
Ibnu Abbas: “Busyair bin Kaab telah datang menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan
sebuah hadis dengan berkata “Rasulullah telah bersabda”, “Rasullulah telah
bersabda”. Namun Ibnu Abbas tidak menghiraukan hadis itu dan juga
tidak memandangnya. Lalu Busyair berkata kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas!
Aku heran mengapa engkau tidak mau mendengar hadis yang aku sebut. Aku
menceritakan perkara yang datang dari Rasulullah tetapi engkau tidak mau
mendengarnya. Ibnu Abbas lalu menjawab: “Kami dulu apabila mendengar seseorang
berkata “Rasulullah bersabda”, pandangan kami segera kepadanya dan
telinga-telinga kami kosentrasi mendengarnya. Tetapi setelah orang banyak mulai
melakukan yang baik dan yang buruk, kita tidak menerima hadis dari seseorang
melainkan kami mengetahuinya.”
Pada
masa Tabiin, periwayatan dan peyebaran hadis semakin meluas, begitu juga
pemalsuan atas nama Nabi saw., ataupun sahabat bermunculan dan tersebar
bersamanya. Hal itu terjadi karena perhatian para Khalifah Dinasti Umayyah pada
saat itu terfokus kepada adanya perpecahan politik, disamping sebenarnya ada
juga perhatian khalifah terhadap periwayatan-periwayatan hadis akan tetapi
kondisi perpecahan umat yang sangat berat, memecah kosentrasi kerhatian ini. Sedangkan
pada masa dinasti Abbasiyyah banyak terjadi juga pemalsuan atas nama Nabi akan
tetapi lebih banyak dilatar belakangi oleh rasa ingin dikenal dekat oleh
penguasa,
yaitu dengan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan khalifah dan mencaci
musuh-musuhnya, atau juga karena perpecahan aliran-aliran baik tentang teologi
maupun fiqh dengan tujuan pembelaan atas pendapat dari masing-masing kelompok
mereka[16].
Sebagai
contoh, pernah terjadi pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-hadis maudhu’
dibuat demi mengambil hati para khalifah. Diantaranya seperti yang terjadi pada
Harun al-Rasyid, di mana seorang lelaki yang bernama Abu al-Bakhtari (seorang qadhi) masuk menemuinya ketika ia sedang
menerbangkan burung merpati. Lalu ia berkata kepada Abu al-Bakhtari: “Adakah engkau menghafal sebuah hadis berkenaan
dengan burung ini? Lalu dia meriwayatkan satu hadis, katanya: “Bahwa Nabi saw.
selalu menerbangkan burung merpati.” Harun al-Rasyid menyadari kepalsuan hadis
tersebut lalu menghardiknya dan berkata: “Jika engkau bukan dari keturunan
Quraish, pasti aku akan mengusirmu.”
Tahap
penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada zaman tersebut masih
sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin
yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan mana yang lemah dan yang sahih. Ini
juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman Nabi SAW dan
disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran
serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan
mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadis.
Karena munculnya
hadis-hadis palsu inilah yang kemudian menjadikan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.101h) memerintahkan kepada
ulama-ulama di berbagai kota untuk mengumpulkan dan membukukan hadis. Dari
hasil usaha para ulama dalam menghafal dan menjaga hadis itulah kita bisa
membedakan antara hadis shahih
dari yang dhaif atau hadis yang maqbul dari yang mardud[17].
F.
Kriteria Pembuat
Hadis Palsu dan faktor yang melatar belakanginya.
Membahas mengenai
munculnya Hadis Maudhu’ tidak bisa
terlepas dari melihat bagaimana keadaan orang yang membuatnya, karena apapun
yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari sebab yang melatar belakanginya. Perlu
diketahui bahwasanya seseorang
yang produk hadisnya maudhu’ atau maqlub itu ada lima kriteria:
1.
Orang-orang yang terbenam
dalam kezuhudan yang kemudian mereka lupa akan hadis-hadis yang telah
dihafalnya. Hal itu bisa jadi karena kitabnya hilang, terbakar atau mereka
menimbunnya. Selanjutnya mereka meriwayatkan dengan hafalannya sehingga terjadi
kesalahan.
2. Orang-orang yang tidak
ahli dalam penukilan hadis sehingga banyak melakukan kesalahan
3. Orang-orang yang shiqot akan tetapi akal mereka telah ikhtilat karena faktor usia, sehingga
mereka melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis-hadisnya
4. Orang-orang yang di
liputi oleh kelalaian dan selamat. Diantaranya adalah orang yang meriwayatkan
hadis yang ia tidak mendapatkan dari gurunya, sedang dia menganggap bahwa hal
itu diperbolehkan.
5. Orang yang sengaja memalsukan Hadis. Golongan yang kelima ini ada tiga kelompok
yaitu:
1. Mereka yang
meriwayatkan suatu hadis yang salah tapi mereka tidak menyadari akan
kesalahannya, sedang setelah mereka mengetaui kesalahannya mereka tidak
berusaha membenarkannya.
2. Mereka yang meriwayatkan hadis dari para
pendusta, walaupun mereka tahu betul dengan setatus gurunya itu. Akan tetapi
dalam periwayatannya mereka men-tadlis
nama gurunya.
3. Mereka yang benar-benar dengan sengaja
mendustakan atas nama Nabi saw. tidak karena salah dalam periwayatannya ataupun
meriwayatkannya dari para pendusta.
Kesengajaan kelompok yang ketiga ini dalam memalsukan hadis tentu ada faktor-faktor yang mendorongnya. Berikut akan disebutkan beberapa diantara faktor-faktor yang melatar belakanginya:
Kesengajaan kelompok yang ketiga ini dalam memalsukan hadis tentu ada faktor-faktor yang mendorongnya. Berikut akan disebutkan beberapa diantara faktor-faktor yang melatar belakanginya:
a. Zindiq. Artinya orang-orang yang
bermaksud merusak shariat dan membuat ragu orang-orang awam terhadapnya serta
mempunyai tujuan untuk mempermainkan agama. Sebagai contoh:
ان الله لما اراد ان يخلق نفسه خلق الخيل وأجراها فعرقت فخلق نفسه منها.
Artinya:
sesungguhnya Allah ketika hendak menciptakan diri-Nya maka Ia menciptakan
seekor kuda kemudian menjalankannya hingga berkeringatlah kuda itu. Kemudian
Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu”[18].
b. Konflik politik. Perselisihan antara khawarij dan Shi’ah, Shi’ah dan ‘Usmaniyah, diantara keduanya, Umwiyyin dan ‘Abbasiyyin, dan antara khawarij dan Umawiyyin adalah merupakan diantara sebab terjadinya pemalsuan hadis. Hamad bin Salmah berkata “seorang Shaih mereka (ar-Rafidah) bercerita kepadaku: “ketika kita berkumpul dan menganggap sesuatu itu baik, maka kami akan membuat hadis” Masih bin al Jahm al Tabi’i berkata: “suatu saat salah seorang dari kita sesat (mengikuti hawa nafsunya) namun kemudian kembali ada jamaah, semoga Alloh menyelamatkan kamu sekalian dari mengikuti Ahlu Al-Hawa, sesungguhnya kami telah meriwayatkan kebatilan (hadis Maudu’), dan kami menganggap bahwa menyesatkan kalian adalah suatu kebaikan[19].
c. Fanatisme etnis dan
negara. Hadis-hadis
di buat untuk mengangkat satu kabilah atau merendahkannya.
Satu contoh hadis:
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالعربية واذا رضي انزل الوحي بالفارسية
“Sesungguhnya jika Allah swt murka maka Ia akan
menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan jika Ia ridla maka akan menurunkannya
dengan bahasa Persi.” Atau seperti hadis yang menerangkan tentang
keutamaan bangsa Arab dari pada bangsa Persi, termasuk diantaranya hadis yang
menerangkan keutamaan-keutamaan suatu kota atau sebaliknya. Para pembuat hadis
banyak melakukannya dalam masalah ini.[20]
d. Perselisihan ahli Kalam dan ahli Fiqh.
Ulama telah terbagi, ada yang ahli Sunah, Mu’tazilah, Jabariyah dan
Murji’ah. mereka berselisih tentang masalah kalam dan iman, apakah iman bisa
bertambah atau berkurang? Apakah iman itu ucapan atau perbuatan? dan tentang al-Qur’an
apakah termasuk makhluk?
Dalam permasalahan-permasalahan tersebut sebagian mereka
memperbolehkan membuat hadis untuk menguatkan pendapat mereka. Sebagai contoh:
كما لا ينفع مع الشرك شيئ كذالك لا يضر مع الايمان شي
Artinya:
apapun tidak akan bermanfaat dengan adanya kemushrikan, begitu juga tidak ada
yang membahayakan dengan adanya keimanan.
e. Menarik simpati masa. Diantara yang mempunyai maksud
seperti ini adalah tukang cerita, orang yang ingin terkenal dan mendapatkan
kekuasaan atau orang yang mencari keuntungan duniawi.
f. Memotifasi manusia untuk
senang melakukan kebaikan. Mereka yang bertujuan seperti ini adalah ahli
zuhud dan para sufi yang tidak mempunyai pengetahuan Agama yang dalam.
Mereka beranggapan bahwa membuat hadis dalam rangka Targhib dan Tarhib itu
diperbolehkan dan bahkan mereka beranggapan penduataan ini adalah kebaikan bagi
mereka dan tidak berbahaya bagi mereka.
g. Mengikuti kemauan raja
atau pemerintah. Salah seorang ada yang membuat suatu hadis dalam rangka pembenaran
terhadap apa yang dilakukan oleh raja[21].
G.
Hukum
Berdusta atas Nabi saw dan Periwayatan Hadis Maudhu’.
Para
ulama telah sepakat atas keharaman pembuatan hadis palsu secara mutlak. Berbeda
dengan kelompok al-Karamiyyah yang memperbolehkannya
dalam rangka al-Targhib wa al-Tarhib,
bukan dalam hal yang berhubungan dengan hukum. Pendapat mereka ini jelas
ditolak karena tidak berpijak pada pijakan yang kuat dan bertentangan dengan
dail Aqli maupun Naqli. Padahal Nabi saw telah bersabda:
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa
saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di dalam neraka.”
Jumhur
Ahli al-Sunah
telah sepakat bahwa berdusta itu termasuk dosa besar. Semua ahli hadis menolak
hadis yang dibawa oleh pendusta atas nama Nabi saw. Bahkan Abu Muhammad al-Juwaini tidak segan-segan menghukumi kafir
mereka yang telah membuat hadis Maudhu’.
Penulis sependapat denga al Juwaini, karena
bebohong saja sudah termasuk dosa besar, lalu bagaimana dengan berdusta atas
nama Nabi, padahal nabi telah bersabda:
عن المغيرة رضي الله عنه قال : سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( إن كذبا علي ليس ككذب على أحد من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار )
Artinya: al-Mughiroh berkata saya mendengar Nabi saw
bersabda : "Sungguh berdusta atas (nama)-ku tidak sama dengan berdusta
atas seseorang (selain aku), barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja
maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka"
Ayat
tersebut dengan jelas menyatakan bahwa tidak beriman orang yang mengada-adakan
kebohongan kepada Alloh. Mendustakan Rasulullah sama halnya dengan mendustakan
Allah. Dalam surat An-Najm
Allah berfirman:
Artinya:
“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Sepakat juga dengan al Juwaini seorang pengikut madhhab maliki yaitu Imam Nasirudin ibnu al-Munir dan juga ulama yang lain dari pengikit Imam Hambali begitu juga al Zahabi, tentang kesengajaan melakukan kedustaan dalam halal dan haram.
Perlu menjadi catatan bahwa tidak tergolong berdusta atas nama Nabi saw periwayatan dengan makna, karena para ulama memperbolehkan hal tersebut bagi orang-orng yang ahli dalam bahasa, paham betul tentang syariat dan maksud pensyariatannya serta waspada terhadap hal-hal yang dapat mempengaruhi berubahnya makna.
Seperti halnya para ulama sepakat akan diharamkannya memalsukan hadis, mereka juga sepakat tentang keharaman meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke-maudu’-annya. Mereka sama sekali tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis maudhu’ baik yang berkenaan dengan cerita, motifasi apalagi yang berkenaan dengan hukum. Nabi saw bersabda :
Sepakat juga dengan al Juwaini seorang pengikut madhhab maliki yaitu Imam Nasirudin ibnu al-Munir dan juga ulama yang lain dari pengikit Imam Hambali begitu juga al Zahabi, tentang kesengajaan melakukan kedustaan dalam halal dan haram.
Perlu menjadi catatan bahwa tidak tergolong berdusta atas nama Nabi saw periwayatan dengan makna, karena para ulama memperbolehkan hal tersebut bagi orang-orng yang ahli dalam bahasa, paham betul tentang syariat dan maksud pensyariatannya serta waspada terhadap hal-hal yang dapat mempengaruhi berubahnya makna.
Seperti halnya para ulama sepakat akan diharamkannya memalsukan hadis, mereka juga sepakat tentang keharaman meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke-maudu’-annya. Mereka sama sekali tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis maudhu’ baik yang berkenaan dengan cerita, motifasi apalagi yang berkenaan dengan hukum. Nabi saw bersabda :
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ
قال : قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي
ِحَدِيثاً وهو يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِين
Artinya : Dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang
mengucapkan suatu hadis dariku yang dia menduga bahwa itu dusta (palsu), maka
dia termasuk satu dari dua pendusta"[22].
H.
Golongan Yang Memalsukan Hadis
Ada sembilan golongan yang membuat hadis palsu:
a.
Zanadiqah
(orang-orang Zindiq)
b.
Penganut-penganut bid’ah
c.
Orang-orang yang pengaruhi fanatik kepartaian,
orang-orang yang ta’ashshub kepada
kebangsaan, kenegerian, dan keimaman.
d.
Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub madzhab.
e.
Para qushshash
(ahli riwayat/dongeng)
f.
Para ahli tasawuf zuhhad yang keliru.
g.
Orang-orang yang mencari penghargaan pembasar negeri.
h.
Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat
meriwayatkan hadis-hadis yang tidak diperoleh orang lain[23].
I.
Karya-Karya dalam Hadits Maudhu
1. Al-Maudlu'aat, karangan Ibnul-Jauzi - beliau paling awal menuliskan
ilmu ini.
2. Al-La'ali
Al-Mashnu'ah fil-Ahaadits Al-Maudluu'ah,
karya As-Suyuthi merupakan ringkasan kitab Ibnul-Jauzi dengan beberapa
tambahan.
3. Tanzihusy-Syar'iyyah
Al-Marfu'ah 'anil-Ahaadits Asy-Syani'ah Al-Maudluu'ah, karya Ibnu 'Iraq Al-Kittani yang merupakan ringkasan
dari kedua kitab tersebut di atas.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan:
1.
Hadis maudhu’
adalah hadis yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama nabi Muhammad saw atau
kepada orang sesudahnya baik sahabat ataupun Tabi’in.
2.
Hadis Maudhu’
mulai muncul pada akhir masa kekhalifahan Usam bin Affan.
3.
Bagian-bagian hadis maudhu’: si
rawi mengada-ngadakan sendiri, si rawi mgambil perkataan salaf, hukama dan
cerita-cerita israiliyyat, lalu
disandarkan kepada nabi.
4.
Tanda-tanda hadis maudhu’:
tanda-tanda pada sanad dan tanda-tanda pada matan.
5.
Status hadis maudhu’; pertama, berpendapat: hadis maudhu bagian
hadis dhaif. kedua, berpendapat:
hadis maudhu bukan termasuk hadis
nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan. ketiga, berpandangan: hadis maudhu’ tidak disebut hadis secara
mutlak tetapi berdasar anggapan dan kecendrungan pembuatnya, sedang hakikat dan
asalnya bukan hadis
6.
Hukum membuat hadis maudhu’
itu haram, dan bahkan ada sebagian ulama yang meng-kafir-kan orang yang sengaja membuat hadis palsu. Begitu juga di
haramkan meriwayatkannya kecuali disertai dengan menyertakan keterangan ke-maudhu’-annya.
7.
Periwayatan dengan makna
tidak dikategorikan pemalsuan atas Nabi saw karena sebagian ulama
membperbolehkannya.
8.
Golongan yang memalsukan hadis:
zanadiqah, penganut-penganut bid’ah, orang-orang yang
pengaruhi fanatik kepartaian, orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kenegerian, dan keimaman, orang-orang
yang dipengaruhi ta’ashshub madzhab,
para qushshash, para ahli tasawuf
zuhhad yang keliru.
9.
Karya-karya dalam hadits maudlu':
Al-Maudlu'aat, Al-La'ali Al-Mashnu'ah
fil-Ahaadits Al-Maudluu'ah, Tanzihusy-Syar'iyyah Al-Marfu'ah 'anil-Ahaadits
Asy-Syani'ah Al-Maudluu'ah, Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla'iifah wal-Maudluu'ah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku, Muhammad, Sejarah & Pengatar Ilmu Hadits.
Semarang: Pustaka Rizki Putar, 2011.
Hassan, Qadir Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro,
2007.
Idris, Study Hadis. Jakarta: kencana Prenada
Media, 2010.
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. Bogor: Galia Indonesia,
2010.
. Umar Hasyim, Ahmad, Qawaid Ushul al-Hadits, Beirut: Dar
al-‘Arabi, 1984.