Ragam Teori InterpretasiHadith


PENDAHULUAN
Hadith yang selama ini telah dipahami oleh banyak orang sebagai perbuatan dan pernyataan  nabi Muhammad SAW, merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Maka dari itu, hadith  dalam hal ini berfungsi sebagai penjelasan (bayan al-tafsil) dan penfasiran (bayan al-tafsir) dari ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an yang bersifat global tersebut.  Seandainya kita tidak mengambil hukum-hukum syariat kecuali apa yang terdapat dalam al-Qur’an, tentunya  kita akan kesulitan dalam mengetahui jumlah rakaat shalat, batasan-batasan zakat, pelaksanaan manasik haji, dan semua hukum yang terkait dengan ibadah dan muamalat. Allah berfirman,
وما انزلنا عليك الكتب إلا لتبين لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤمنون
“Dan tidaklah Kami menurunkan atasmu Al-Kitab kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka yang berselisih didalamnya dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman”(QS. An-Nahl : 64)
Hadith yang seharusnya berfungsi untuk memberikan solusi dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataannya, hadith-hadith Nabi tersebut malah menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, yang salah satu indikasinya adalah munculnya berbagai aliran-aliran dalam Islam. Aliran-aliran tersebut mempunyai keyakinan sesuai dengan madzhab masing-masing.
            Hal ini mungkin disebabkan adanya beragam corak atau metode dalam menafsirkan hadith-hadith Nabi tersebut. Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadith pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadith nabi. Dari sini, maka hadith pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
 PEMBAHASAN
A.    Interpretasi Hadith Secara Tekstual
Kata Interpretasi berarti tafsiran, pengertian, pemaknaan.[1] Sedangkan kata Tekstual berasal dari bahasa Inggris, yaitu Textual yang berarti kata sifat yang berkenaan dengan isi karangan.[2] Dalam kaitannya dengan hadith, maka tekstual disini dapat diartikan sebagai hadith yang dipahami secara tersurat atau sesuai dengan teks yang ada dalam hadith tersebut. Pemahaman dan penerapan hadith secara tekstual dilakukan bila hadith yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang periwayatannya (asbabul wurud), tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, bila asbabul nuzul dalam menafsirkan Al-Qur’an sangat dituntut, maka asbabul wurud bagi hadith lebih sangat dituntut lagi.
Pemakaian bahasa metaforis dalam hadith tidak hanya terbatas hadith yang bersifat informatif, tetapi juga pada hadith-hadith yang mengandung muatan hukum (hadith-hadith hukum). Di sini memahami suatu perkataan sebagai majaz (kiasan), kadang kala menjadi suatu keharusan, sebab jika tidak demikian seseorang dapat keliru dalam menyimpulkan sebuah tujuan yang dimaksudkan dalam hadith tersebut.
Dilihat dari bentuk matannya, hadis Nabi ada yang berupa jami’ al-Kalim (jamaknya : jawami’ al-kalim), yakni ungkapan yang singkat namun padat makna; tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyasi), dan lain-lain. Matan hadith yang berbentuk jami’ul kalim adakalanya juga berbentuk tamsil, dialog, ataupun lainnya.[3]
Contoh hadith Nabi tentang perang,
الحرب خدعة. [رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن جا بر ب عبدالله]
Artinya : “Perang itu siasat” (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain, dari Jabir ibn ‘Abdullah).[4]
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat dengan tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memakai siasat, sebab perang yang dilakukan tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada pihak lawan tanpa syarat. Jadi dengan hanya melihat dari teks hadith tersebut di atas, kita sudah pasti bisa menafsirkan dan memahaminya tanpa harus mencari makna yang tersimpan di luar teks.
B.     Hadith secara Kontekstual
Istilah “Kontekstual” berasal dari kata konteks yang mempunyai 2 arti, yaitu 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, kontekstual adalah hal-hal yang berhubungan dengan konteks.[5]
Jadi penafsiran hadith secara kontekstual menurut penulis adalah suatu cara atau metode ataupun sejenis pendekatan yang dilakukan  dalam memahami suatu hadith Nabi dengan menitikberatkan pada konteks atau situasi ketika hadith tersebut turun, konteks atau situasi ketika hadith itu turun bisa meliputi historis atau sejarahnya, bisa juga menggambarkan kondisi masyarakat ketika hadith itu muncul, atau bisa jadi karena factor pemakaian bahasa oleh Nabi SAW seperti yang telah disebutkan di atas. 
Hadits memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang ucapan itu sendiri. Dan bahasa metaforis ini tampaknya cukup efektif menghancurkan kesombongan masyarakat Jahiliah.
Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat diungkapkan sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya (bukan makna aslinya) karena adanya hubungan atau korelasi “علقة” diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut. Jagi pengalihan makna hakiki kepada majazi dilakukan karena adanya ‘Alaqah (korelasi) dan Qarinah (tanda-tanda) yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.[6]
Yusuf qardhawi juga menjelaskan bahwa majaz dapat diketahui dalam ucapan dengan adanya qarinah (maksud perkataan dengan menggunakan bandingan) yang memberi petunjuk terhadap ucapan itu. Qarinah itu bisa berupa ucapan atau aksi.[7]
Contoh hadith, Rasulullah pernah berkata kepada para istri-istrinya yang menjadi Ummahatul Mukminin: “Siapa yang paling cepat menghampiriku di antara kamu sekalian, adalah yang paling panjang tangannya di antara kamu”.
Ummahatul Mukminin itu mengartikan tangan yang panjang menurut pengertain yang nampak. Aisyah berkata, “ maka mereka pun salin memanjangkan tangannya, siapakah di antara mereka yang paling panjang tangannya.” Bahkan dalam sebagian  hadith disebutkan, bahwa mereka mengambil pipa untuk mengqiyaskan, tangan siapa yang paling panjang.
Padahal Rasulullah SAW tidak bermaksud seperti itu, tapi yang dimaksudkan disini adalah panjang tangannya dalam berbuat kebaikan dan mengeluarkan yang ma’ruf. Ini dibuktikan dengan apa yang terjadi. Ummahatul Mukminin yang lebih dahulu menemui beliau adalah Zainab binti Jahsy. Beliau adalah wanita yang aktif, berbuat dengan tangannya sendiri dan suka bersedekah. [8]
Dari contoh hadith di atas, kita bisa membandingkan antara pemahaman Ummahatul Mukminin dengan maksud Rasulullah dari hadith tersebut diatas. Mereka—para Ummahatul Mukminin—lebih cenderung menafsirkan hadith itu secara tekstual, sehingga penafsirannya hanya sebatas pada isi teksnya. Padahal sesungguhnya hadith itu mempunyai makna yang tersembunyi dan tersirat dalam teks hadith. Jadi kemampuan pemahaman hadith secara kontekstual disini sangatlah dibutuhkan agar supaya terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan suatu hadith sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman di tengah-tengah umat Islam. 
C.     Antara Interpretasi Tekstual dan Kontekstual
Dr. Yusuf Qardhawi memberikan memberikan petunjuk dalam memahami suatu hadith dengan baik dan benar. Untuk itu, diperlukan pengetahuan tentang latar belakang yang dapat memberikan keterangan terhadapnya dan memperbaiki semua kondisinya, agar makna hadis itu dapat terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak kacau atau tidak terarah.[9]
Contoh hadith yang bisa penulis kutip adalah hadith tentang himbauan melepaskan diri dari setiap muslim yang bermukim di tengah orang-orang musyrik.
انا برئ من كل مسلم يقيم بين اظهر المشرين لاتتراءى نارهما
Artinya :
“Aku melepaskan diri dari setiap muslim yang bermukin di tengah orang-orang musyrik yang rumahnya tidak dapat dibedakan” (HR. Imam Abu Dawud).[10]
Sebagian ulama ada yang memahami hadith ini dengan pengertian secara umum, bahwa haram hukumnya bermukim atau bertempat tinggal di tempat selain negeri kaum muslimin. Padahal kenyataannya, pada masa sekarang banyak faktor dan kebutuhan yang mendesak kita untuk hidup dan tinggal disana, baik karena bekerja, menuntut ilmu, dan berbagai motif lainnya yang mengharuskan kita berada disana.
Dalam kasus ini, Rasulullah SAW memberikan separo diat (denda membunuh orang) kepada ahli waris orang yang terbunuh karena mereka termasuk muslim (yang tinggal di negeri orang kafir). Hal ini ditetapkan mengingat mereka sendiri yang telah mencelakakan diri mereka sendiri, sehingga separo hak mereka digugurkan karena mereka bermukim di tengah-tengah kaum musyrikin yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah :
والذين امنوا ولهم يهاجروامالكم من ولايتهم من شئ حتى يهاخروا واناستنصروكم فالدين فعليكم النصر الا على قوم بينكم وبينهم ميثاق .
Artinya : “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfaal : 72)
Melalui ayat ini, Allah tidak mewajibkan seseorang melindungi orang-orang muslim selain kaum muhajirin hingga mereka hijrah, maka diwajibkan pertolongan dan perlindungan atas mereka dari ancaman orang-orang kafir.
Nabi Saw bersabda,
انا برئ من كل مسلم يقيم بين اظهر المشركين
Artinya : “ Aku melepaskan diri dari setiap muslim yang tinggal di antara kaum musyrikin.”
Maksud dari hadith tersebut adalah bahwa Rasulullah SAW melepaskan diri dari tanggung jawab keselamatannya bila dia terbunuh karena telah melibatkan dirinya dalam bahaya dengan bertempat tinggal di tengah-tengah musuh Islam. Namun apabila lingkungan yang disebutkan oleh teks hadith telah berubah dan tidak ada lagi kendala yang dikhawatirkan untuk menarik kemaslahatan atau menangkal kerusakan, maka hukum yang telah ditetapkan dalam teks hadith itu ikut lenyap. Atau dengan kata lain, hukum itu berputar menurut illat (kausalitanya) dalam hal keberadaan dan ketiadaannya.
Menurut Syuhudi Ismail, dilihat dari latar belakang terjadinya, hadith Nabi SAW dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yakni :[11]
1)      Hadith yang tidak mempunyai sebab secara khusus
Contoh hadith,
لا يزنى الزانى وهو مؤمن. ولايسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن. ولا يشرب الخمرحين يشربها وهو مؤمن. [رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن أبى هريرة]
Artinya : “Pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaan berzina; Pencuri tidak akan mencuri tatkala ia mencuri dalam keadaan beriman; dan peminum khamar tidak akan minum khamar tatkala ia minum dalam keadaan beriman”. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain, dari Abu Hurairah)
Hadith tersebut diucapkan oleh Nabi SAW tanpa sebab tertentu. Secara tekstual, hadit itu menjelaskan bahwa orang yang berzina, mencuri dan minum khamar tidak dalam keadaan beriman (bukan orang mukmin).
Ulama ilmu kalam berbeda pendapat tentang pengaruh perbuatan maksiat terhadap status mukmin seseorag. Sebagian golongan khawarij berpendapat bahwa pezina adalah dosa besar dan menyebabkan pelakunya kafir. Golongan Murjiah berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak menyebabkan seorang mukmin menjadi kafir, selama ia masih bertauhid kepada Allah dan Muhammad Adalah Rasulullah. Sedang menurut Mu’tazilah, orang yang berdosa besar telah keluar dari status mukmin, namun tidak menjadi kafir, orang tersebut dinyatakan sebagai fasik.
2)      Hadith yang mempunyai sebab-sebab secara khusus
Contoh hadith,
اذاجاء أحدكم الجمعة فليغتسل. [رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن عمر]
Artinya : “Apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan salat) Jum’at, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi”.(HR. al-Bukhari Muslim, dan lain-lain, dari Abdullah bin Umar).
Bila dilihat secara tekstual, maka kita akan memahaminya bahwa mandi pada hari Jum’at itu adalah wajib hukumnya. Namun hadith itu mempunyai sebab khusus. Pada saat itu ekanomi para sahabat Nabi umumnya masih dalam keadaan sulit. Mereka memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka banyak yang menjadi pekerja di kebun. Setelah mereka menyiram tanaman-tanaman, mereka banyak yang langsung pergi ke mesjid untuk menunaikan salat Jum’at. Pada suatu Jum’at cuaca sedang sangat panas, masjid masih sempit. Tatkala Nabi SAW berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol kasar dan jarang mandi itu menerpa hidung Nabi. Suasana dalam masjid terganggu oleh aroma tadi. Nabi lalu bersabda yang semakna dengan matan hadith tersebut diatas.
3)      Hadith yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang)
Contoh hadith Nabi SAW,
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة [رواه البخارى والترمذى والنسائ عن أبى بكره]
Artinya : “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita.”(HR. al-Bukhari, al-Turmudzi, dan al-Nasa’I,dari Abu Bakrah).
Jumhur ulama memahami hadth tersebut secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadith tersebut, pengangkatan seorang wanita menjadi kepala Negara, hakim pengadilan, dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka menyatakan bahwa wanita menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Dalam pemahaman hadith Nabi di atas, perlunya dilakukan pendekatan historis terhadap situasi atau keadaan yang sedang berkembang saat hadith tersebut disabdakan. Dalam sejarah diterangkan bahwa hadith itu diawali tersebut menggambarkan terjadinya suksesi kepemimpinan seorang wanita yang terjadi di Persia pada tahun 9 H.
Menurut tradisi yang berkembang sebelum itu, yang diangkat menjadi kepala Negara adalah seorang laki-laki. Namun yang terjadi saat itu bukan mengangkat seorang laki-laki sebagai kepala negara, melainkan seorang wanita, yakni Buawaran binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu (Kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, dan dua saudara laki-laki Buwaran mati terbunuh ketika terjadinya perebutan kekuasan. Maka oleh karenanya, Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (Kisra).
Pada saat itu, derajat kaum wanita berada dibawah kaum laki-laki. Wanita tidak dipercaya untuk mengurus kepentingan umum, apalagi masalah kepemerintahan. Jadi jangankan untuk memimpin umat, dirinya sendiri saja sama sekali tidak dihargai dan dihormati oleh warga negaranya sendiri. Padahal syarat mutlak seorang pemimpin adalah berwibawa di hadapan masyarakat yang dipimpinnya.
Pada masa sekarang, Islam telah menempatkan derajat kaum wanita pada tempat yang layak dan terhormat. Islam telah memberikan hak-hak dan peluang bagi kaum wanita sebagaimana mestinya. Salah satunya  hak mereka adalah kesempatan  untuk mendapatkan pendidikan seperti kaum pria.  Dalam keadaan yang demmikian, maka tidak ada alasan yang melarang bahkan kaum wanita untuk tampil di depan kaum lelaki. Karena sudah begitu banyak kaum wanita saat ini yang berwawasan luas bahkan melebihi kaum lelaki. Jadi dengan demikian, hadith diatas harus kita pahami secara kontekstual sebab kandungan petunjuknya hanya bersifat temporal saja.
D.    Pendekatan dalam Memahami Hadith
Pendekatan dalam memahami suatu hadith Nabi ada tiga, yaitu :[12]
1.      Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadith dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadith itu disampaikan oleh Nabi SAW. Pendekatan semacam ini sudah dirintis oleh para ulama hadith sejak dahulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbabul wurud, yaitu ilmu ilmu yang berbicara mengenai peristiwa –peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi SAW.
2.      Pendekatan Sosiologis 
Pendekatan ini merupakan usaha memahami hadith dari segi tingkah laku social. Misalnya hadith Nabi SAW yang melarang wanita bepergian jauh sendirian tanpa didampingi mahram. Yang dipersoalkan disini adalah mengapa Nabi SAW melarang hal yang demikian ?
3.      Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan ini adalah ingin mengurai tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.
Dari pendekatan-pendekatan diatas diharapkan seorang pembaca hadith dapat memahami hadith secara kontekstual, progresif, dan apresiasif terhadap perubahan masyarakat yang merupakan dampak dari perkembangan sains dan tekhnologi.
 KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas, dapatlah kita ketahui bahwa memahami suatu isi atau kandungan hadith, ternyata tidaklah cukup hanya menitikberatkan pada pemahaman secara tekstual dari hadith tersebut, melainkan dibutuhkan pula pemahaman secara kontekstual. Hal ini dimungkinkan untuk mendapatkan makna yang tersirat dari hadith Nabi SAW tersebut.
Melihat bahwa Nabi sangat memperhatikan situasi sosial budaya dan suasana psikologis sahabat yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadith nabi terus dikembangkan. Tetapi, ini hanya terhadap sebagian hadith-hadith Nabi yang dipahami secara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman. Sedangkan terhadap sebagian lain dapat dilakukan dengan pemahaman tekstual. Pemahaman hadith secara tekstual ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, seperti asbab al-wurud hadith, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadith tersebut.
Semua tafsiran yang muncul, baik terhadap teks al-Qur’an maupun hadith tidak berarti mengurangi derajat keluhuran kedua teks melainkan suatu keniscayaan belaka yang oleh al-Qur’an sendiri telah diisyaratkan perlunya penafsiran intertekstualitas. Dengan cara ini diharapkan bisa menjadi solusi dalam mengurangi perbedaan pendapat dan kesalahpahaman di kalangan umat Islam suatu hadith.
Usaha ini bisa kita lakukan dengan melakukan pendekatan-pendekatan dalam mengkaji hadith, yakni pendekatan historis-empiris, sosiologis, dan antropologis. Karena pada dasarnya, hukum-hukum yang terdapat di dalamnya bersifat fleksibel atau sesuai dengan waktu dan tempat (fi kulli maqam wa zaman).
DAFTAR PUSTAKA
Echols, Jhon M. & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka                        Utama, 2003
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Mustaqim, Abdul, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, Yogyakarta:Teras, 2009)
PPs,Islamica Jurnal Studi Keislaman,(Surabaya: t.p, t.t)
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Kita Bersikap Terhadap Sunnah ?, Solo:Pustaka Mantiq,   1994
---------------------, Studi Kritis As Sunah, (Bandung:Trigenda Karya, t.t 
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997

Postingan terkait: