Pendahuluan
Berbicara
tentang Al Quran, berarti membahas tentang suatu kitab yang suci nan sakral.
Al-Qur’a>n sebagai rahamat linnas wa rahmatal lil ‘alamiin,
menjadikan kitab suci ini sebagai landasan dan huda dalam
menapak jejak kehidupan di dunia ini.[1] Dalam
Al-Qur’a>n yang menjadi mukjizat Rasulullah Saw, didalamnya banyak
terkandung hikmah dan interpretasi yang luas, sehingga ketika membaca
Al-Qur’a>n maka kita akan mendapatkan makna-makna yang lain ketika kita
membacanya lagi. Inilah yang menjadikan Al Quran terasa nikmat ketika dibaca
dan terasa tenang dihati ketika mendengarnya, walaupun yang mendengarnya itu
seorang ‘Ajami yang tidak paham bahasa Al-Qur’a>n.
Dalam
bermua’malah dengan Al-Qur’a>n, terkadang kita mendapatkan ayat-ayat yang
sulit untuk dipahami maksudnya. kita memerlukan sebuah perangkat untuk memahami
kandungan Al-Qur’a>n, yang kita kenal dengan istilah tafsir.[2] Bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk
memahami Al-Qur’a>n. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna
atau maksud suatu ayat dalam Al-Qur’a>n, mereka langsung merujuk
kepada Rasulullah dan menanyakan hal tersebut.
Sebagai
umat Islam yang baik, tentunya kita tidak pernah luput dalam bersentuhan dengan
Al-Qur’a>n, setidaknya dengan senantiasa membacanya. Namun apakah cukup
hanya dengan membacanya saja? tentunya untuk meningkatkan kualitas kita dalam
bergaul dengan Al-Qur’a>n, dan untuk merasakan mukjizat Al-Qur’a>n lebih
dalam lagi, adalah disamping kita membacanya, kita juga membaca dan menelaah
tafsir-tafsir sebagai bayan atau yang menjelaskan dari
Al-Qur’a>n itu sendiri.
Salah
satu jalan yang harus ditempuh dalam bergelut dalam dunia tafsir, setidaknya
dengan mengetahui pengarang dan metodologi yang dipakai dalam menginterpretasi
Al- Qur’a>n. Pada makalah yang singkat ini, penulis mencoba memaparkan salah
satu mufassir terkenal, mufassir yang keilmuannya tidak ada yang menandingi
pada zamannya, dialah Fakhruddin Ar Razi.
PEMBAHASAN
1.
Nama penulis
lengkap dan nama singkat
Tafsir al-Kabir ditulis oleh Fakhruddin ar-Razi. Nama
lengkapnya Muhammad bin Umar bin Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri
At-Tabaristani Ar-Razi Fakhruddin dan sering dipanggil dengan nama singkat
ar-Razi.
2.
Nama
Kitab Tafsir
Tafsir al-Kabir juga dikenal sebagai Mafatih al-Ghayb, sebuah
buku tafsir klasik Islam, yang ditulis oleh teolog terkenal Islam Persia dan
filsuf Muhammad ibn Umar Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209).[3] Buku ini merupakan eksegesis dan
komentar pada Al-Qur’a>n, dengan jumlah 16 jilid. Hal
ini tidak biasa bagi karya-karya kontemporer untuk
menggunakannya sebagai referensi.
3.
Nama Kota
Penerbit
Kitab tafsir ini diterbitkan di Kota Beirut Lebanon.
Lebanon adalah sebuah negara di Timur Tengah, sepanjang Laut Tengah, dan berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, dan Israel di selatan.[4]
4.
Nama
Penerbit
Kitab tafsir ini diterbitkan oleh Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah Beirut-Lebanon, Raml-Al-Zarif, Bohtory Street Melkart Building 1st Floor.[5]
5.
Jumlah
Juz/Jilid, serta Jumlah halaman dalam setiap juz dan jilid.
Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya bahwa
tafsir al-Kabir merupakan kitab tafsir yang terbagi dalam 32 juz dan terdiri
dari enam belas jilid. dan setiap juz terdiri dari beberapa halaman, untuk
lebih rincinya penulis akan memaparkannya, setelah penulis mengecek kitab ini
di Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya adalah sebagai berikut: Juz 1 (293
halaman, menjadi 297 halaman jika dihitung bersama fahrusatnya), Juz 2 (259 halaman,
menjadi 265 dengan fahrusatnya), Juz 3 (221 halaman, menjadi
227 bersama fahrusatnya), juz 4 (192 halaman, menjadi 197
dengan fahrusatnya), juz 5 (187 halaman, menjadi 192 dengan
fahrusatnya), juz 6 (176 halaman, menjadi 180 dengan
fahrusatnya), juz 7 (191 halaman, menjadi 195 dengan
fahrusatnya), juz 8 (193 halaman, menjadi 200 halaman jika
dihitung bersama fahrusatnya), juz 9 (191 halaman, menjadi 201
dengan fahrusatnya), juz 10 (191 halaman, menjadi 198 dengan
fahrusatnya), juz 11 (187 halaman, menjadi 190 dengan
fahrusatnya), juz 12 (197 halaman, menjadi 205 dengan fahrusatnya), juz
13 (193 halaman, menjadi 199 dengan fahrusatnya), juz 14 (194
halaman, menjadi 199 dengan fahrusatnya), juz 15 (189 halaman,
menjadi 195 dengan fahrusatnya), juz 16 (189 halaman, menjadi
196 dengan fahrusatnya). Juz 17 (189 halaman, menjadi 195
halaman jika dihitung bersama fahrusatnya), Juz 18 (189
halaman, menjadi 195 dengan fahrusatnya), Juz 19 (188 halaman,
menjadi 193 bersama fahrusatnya), juz 20 (190 halaman, menjadi
195 dengan fahrusatnya), juz 21 (219 halaman, menjadi 227
dengan fahrusatnya), juz 22 (203 halaman, menjadi 209 dengan
fahrusatnya), juz 23 (208 halaman, menjadi 214 dengan
fahrusatnya), juz 24 (225 halaman, menjadi 233 halaman jika
dihitung bersama fahrusatnya), juz 25 (236 halaman, menjadi
245 dengan fahrusatnya), juz 26 (251 halaman, menjadi 259
dengan fahrusatnya), juz 27 (236 halaman, menjadi 242 dengan
fahrusatnya), juz 28 (269 halaman, menjadi 277 dengan
fahrusatnya), juz 29 (277 halaman, menjadi 290 dengan
fahrusatnya), juz 30 (250 halaman, menjadi 262 dengan
fahrusatnya), juz 31 (200 halaman, menjadi 211 dengan
fahrusatnya), juz 32 (182 halaman, menjadi 188 dengan
fahrusatnya).[6]
Sedangkan jumlah halaman pada setiap jilid ialah: Jilid
1 (218 halaman, menjadi 222 halaman jika dihitung bersama
fahrusatnya), Jilid 2 (192 halaman, menjadi 197 dengan
fahrusatnya), Jilid 3 (176 halaman, menjadi 180 bersama
fahrusatnya), jilid 4 (193 halaman, menjadi 200 dengan
fahrusatnya), jilid 5 (191 halaman, menjadi 198 dengan
fahrusatnya), jilid 6 (197 halaman, menjadi 205 dengan
fahrusatnya), jilid 7 (194 halaman, menjadi 199 dengan
fahrusatnya), jilid 8 (189 halaman, menjadi 196 halaman jika
dihitung bersama fahrusatnya), jilid 9 (189 halaman, menjadi
195 dengan fahrusatnya), jilid 10 (190 halaman, menjadi 195
dengan fahrusatnya), jilid 11 (203 halaman, menjadi 209 dengan
fahrusatnya), jilid 12 (225 halaman, menjadi 233 dengan
fahrusatnya), jilid 13 (251 halaman, menjadi 259 dengan
fahrusatnya), jilid 14 (269 halaman, menjadi 277 dengan
fahrusatnya), jilid 15 (250 halaman, menjadi 262 dengan
fahrusatnya), jilid 16 (182 halaman, menjadi 188 dengan
fahrusatnya).[7]
6.
Riwayat
hidup penulis, keahlian ilmu dan lain-lain.
Ar-Razi diambil dari nama Muhammad bin Umar bin
Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi Fakhruddin, terkenal
dengan Ibnu Al-Khatib Asy-Syafi’I Al-Faqih, beliau bermadzhabkan Syafi’i.
Dilahirkan di Ray pada tahun 543 H, dan wafat di Harah pada tahun 606 H.[8]
Imam Fakhruddin Ar-Razi tidak ada yang menyamai
keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya,
seorang filosof dan ia juga ahli bahasa, ia juga adalah seorang Imam tafsir dan
beliaupun sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak
orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian
dari keluasan ilmu beliau. Imam Fakhruddin dalam memberikan hikmah
pelajaran beliau menggunakan bahasa arab dan bahasa asing.
Ia juga seorang dokter pada zamannya. Imam Fakhruddin
telah menulis beberapa komentar terhadap buku-buku kedokteran. Pada usia 35
tahun, ia telah menerangkan bagian-bagian yang sulit dari al-qanun fi
al-tibb kepada seorang dokter terkemuka di Sarkhes, yaitu Abd
al-Rahman bin Abd al-Karim.
Imam Fakhruddin Ar-Razi wafat di Harrah pada tahun 606
H.[9] Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau
berselisih pendapat dengan kelompok Al karamiah tentang urusan aqidah, mereka
sampai mengkafirkan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu
muslihat, mereka meracuni Ar-Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap
Allah SWT.[10]
7.
Kitab-kitab
yang pernah dikarang
Imam Fakhruddin Ar-Razi menguasai berbagai bidang
keilmuan seperti al-Qur’a>n, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra
arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran.
Selain telah menghafal al-Qur’a>n dan banyak al-Hadith, Fakhruddin al-Razi
telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din,
karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri
dan al-Mustasfa karya al-Ghazali.
Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di
antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.
Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai
macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan
kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan nihayahnya
menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku. Dan
kini karangan-karangan beliau tersebar diseluruh Negara, diantaranya adalah :[11]
- At Tafsir Al Kabi>r atau yang kita kenal dengan Mafa>tihul
Gaib.
- Al arba’in fi ushuluddiin
- Ahkamul qiyaasi As syar’i
- Al mahsul fi ilmi usul fiqh
- Mukhtashar akhlak
- Al mantiqul kabiir
- Tafsir Al-Fatihah
- Tafsir Surah Al-Baqarah ala
Wajhi Aqli la Naqli
- Tafsir Mafatihul Ulum
- Nihayatul Uqul fi Dirayatil
Ushul
- Ta’sisut Taqdis
- Tahshilul Haq
- Al-Khamishin fi Ushuliddin
- Ishmatul Anbiya’
- Hudutsul Alaam
- Sarh Asmaulllah Al-Husna
- AL-Muhshil fi Ilmil Kalam
- Thariqah fil Kalam
- Az-Zubdah fi Ilmil Kalam
- AL-Mulakhash fil Falsafah
- Lubabul Isyaraat
- Mabahitusl Jidal
- Sarh Nahjul Balaghah
- Al-Muharrar fi Haqaiqin Nahwi
- Manaqib Imam Syafi’i
Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau
yang penulis tidak bisa sebutkan disini. Setidaknya kita bisa mengambil
contoh dari kehidupan Intelektual Imam Fakhruddin Ar-Razi yang mampu menulis
banyak karya. 6 karya dalam ilmu Tafsir, 20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya
dalam bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu Filsafat dan Kalam, 5 karya dalam
Logika, 2 dalam Matematika, 6 karya dalam ilmu Kedokteran, (48 karya dalam
MIPA) 9 karya dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam bidang sastra, dan masih
puluhan lagi karyanya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Masih
banyak juga karyanya yang masih dalam bentuk manuskrip dan belum dikaji.
8.
Analisis
Kritis Terhadap Tafsir al-Razi
Dalam tahapan ini, sebelum penulis mengemukakan
analisis penulis, terlebih dahulu penulis memaparkan analisi para ahli mengenai
isi dari tafsir al-Kabir yang sesungguhnya. “Menurut Kautsar, tafsir Mafatih
al-Ghaib karya al-Razi ini tergolong berbeda dengan mayoritas tafir klasik yang
membatasi keselamatan hanya bagi para pengikut Muhammad yang disebut
orang-orang muslim. Al-Razi tergolong mufassir yang mensyaratkan dua hal
sebagai dasar keselamatan di akhirat, yakni iman kepada Allah dan hari akhir
serta beramal saleh tanpa keharusan iman kepada Muhammad sebagai syarat
keselamatan. Pernyataan ini membawa Kautsar untuk berkesimpulan bahwa al-Razi
adalah mufassir yang pluralis, atau setidaknya inklusif.
Pembaruan Islam, sekalipun diorientasikan kepada
situasi dan perkembangan kontemporer, tetap tak bisa sama sekali dilepaskan
dari wawasan tradisi atau khazanan keilmuan Islam klasik. Melalui kajian atas
warisan intelektual Islam klasik, kita bisa mengetahui argumen-argumen dasar
yang biasanya dijadikan hujjah atau pegangan oleh lawan-lawan Islam liberal
dalam kaitannya dengan perdebatan dalam isu-isu kebebasan dan pembaruan Islam.
Setidaknya alasan inilah yang dikemukakan oleh Abd. Moqsith Ghazali ketika
ditanya tentang pentingnya melakukan kajian terhadap kitab-kitab turats Islam.
Bulan Ramadhan ini, seperti tahun sebelumnya, Jaringan
Islam Liberal (JIL) kembali menggelar tadarus mengaji kitab-kitab turats. Kalau
Ramadhan tahun lalu objek kajiannya adalah karya-karya dari tiga tokoh sufi
liberal, al-Bushtami, Suhrawardi al-Maqtul dan al-Hallaj, maka tahun ini
pilihan jatuh atas sejumlah karya dari pemikir sekaligus mufassir besar, Fakhr
al-Din al-Razi. Bedah pemikiran al-Razi ini dibagi atas tiga sesi, di mana
setiap sesi menghadirkan dua orang pembicara. Tulisan ini bermaksud melaporkan
sesi kedua bedah pemikiran al-Razi (Senin, 8 Agustus 2011) yang fokus atas
kitab tafsir Mafatih al-Ghaib yang kebetulan menghadirkan Abd. Moqsith Ghazali
(sarjana tafsir dan pemerhati liberalisme) dan Kautsar Azhari Noer (ahli
perbandingan agama). Sementara Moqsith fokus membedah tafsir al-Razi secara
umum, Kautsar intens atas penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat pluralisme.
Moqsith memulai presentasinya dengan membedah asal
usul nama tafsir Mafatih al-Ghaibn-ya al-Razi. Tafsir ini, Moqsith menjelaskan,
punya tiga nama sekaligus, Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Kabir, dan tafsir
al-Fakhr al-Razi. Simpang siurnya nama tafsir ini, menurut Moqsith, karena si
penulis tidak sempat menamakannya sendiri. Berbeda dengan al-Qurthubi, dan
Nawawi al-Bantani yang kebetulan sempat menyebut sendiri nama tafsirnya.
Al-Qurthubi menyebut sendiri tafsirnya dengan nama Jami’ al-Ahkam dan Nawawi
al-Bantani memberi nama tafsirnya Marah Labid. Kasus serupa ini juga
terjadi pada tafsir-tafsir lainnya, seperti tafsir Ibn Katsir misalnya.
Tafsir al-Razi yang terdiri dari 32 juz (edisi Dar
al-Fikr, Lebanon, 1981) ini disusun dengan sistematika mushafi atau biasa
dikenal dengan tafsir tahlili. Meminjam analisa Goldziher, Moqsith memaparkan
bahwa al-Razi tidak menulis semua tafsirnya ini, tapi terlanjur mangkat sebelum
sempat menyelesaikan tafsirnya hingga juz ke-30 al-Qur’an. Pekerjaan al-Razi
ini nantinya diteruskan oleh muridnya, seorang hakim dari Damaskus, Syamsuddin
Ibn Khalil al-Hawy. Namun begitu, tidak jelas, bagian mana yang merupakan
tulisan al-Razi dan mana yang hasil tafsir muridnya, tak bisa dibedakan. Tafsir
yang pernah diringkas oleh ulama bermazhab Maliki ini, menggunakan banyak
argumen yang biasanya dirujuk dari banyak pemikir, mulai dari argumen-argumen
mufassir pendahulunya seperti Mujahid dan al-Thabari hingga pandangan-pandangan
ulama Mu’tazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani hingga penulis tafsir
al-Kasysyaf, al-Zammakhsyari.
Walaupun begitu, demikian analisa Moqsith,
sejauh al-Razi mengutip pandangan orang-orang Mu’tazilah bukan untuk dirujuk,
tapi untuk disangkal dan dikuliti. Menurut Moqsith, al-Razi merupakan salah
satu mufassir sunni yang sangat berani. Ketika banyak ulama ramai-ramai
membatasi penafsiran dengan akal pikiran (ra’yu), al-Razi menerabas tabu ini
dan bahkan seolah tidak mengindahkan hadis yang mengatakan bahwa sesiapa
menafsir dengan akal pasti salah walaupun benar.
Tafsir al-Razi ini memang tergolong unik dan
menyimpang pada jamannya. Tafsir yang digolongkan oleh para ulama sebagai
tafsir falsafi ini –karena kecenderungan filosofisnya yang kental– mengupas
tiap ayat dalam al-Qur’a>n melalui banyak pendekatan, dari mulai teologi,
filsafat, hukum, sejarah, filologi dan bahkan sains. Terkait terakhir ini,
Zainun Kamal (Dekan Ushuluddin UIN Jakarta), pernah bilang bahwa tafsir al-Razi
tergolong karya pertama-tama yang menafsirkan ayat-ayat kauniyyah dalam
al-Qur’a>n. Atas “ketidakwajarannya” ini, tafsir al-Razi mendapat banyak
kritik dan menjadi kontroversi. Ada yang memojokkannya dengan mengatakan bahwa
tafsir al-Razi ini terlalu mubazir, karena membahas banyak hal yang tidak
diperlukan dalam ilmu tafsir, seperti pendapat dari Abu Hayyan misalnya. Ada
lagi yang dengan sinis mengatakan bahwa tafsir al-Razi ini “minimalis-hadis”,
karena terlalu kental rasio dan terlalu mengabaikan riwayat. Bahkan yang lebih
parah, sebagian ulama “merendahkan” tafsir al-Razi ini dengan mengatakan bahwa
di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri (fîhi kullu
syaiy’ illa al-tafsîr).
Dari analisa metode dan corak, Moqsith kemudian
bergeser menganalisa isi tafsir al-Razi. Moqsith mengakui bahwa pembahasan
tentang Kalam di tafsir al-Razi ini memang cukup canggih. Di antaranya, al-Razi
dengan cukup baik mampu menepis argumen-argumen rasional kelompok Mu’tazilah
dengan metode yang serupa. Namun begitu, Moqsith agak menyayangkan dan
mempertanyakan kenapa rasionalitas al-Razi ini mendadak tumpul ketika
berhadapan dengan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Moqsith memberi contoh
dengan tafsiran al-Razi atas ayat-ayat gender dan ayat yang berkaitan dengan
hubungan antar agama.
Ketika menafsirkan ayat ke-34 Surah al-Nisa tentang
kepemimpinan misalnya, al-Razi dengan terang-terangan membela patriarkhisme.
Menurut al-Razi, kepemimpinan tidak boleh tidak mesti dipegang oleh laki-laki
dengan alasan bahwa mereka memiliki sejumlah kelebihan yang tidak terdapat pada
diri kaum perempuan. Begitu juga dalam kasus poligami, al-Razi dengan cukup
bersemangat membuka kemungkinan laki-laki menikah lebih dari satu, bahkan lebih
dari empat. Terkait dengan ini, al-Razi berargumen bahwa kata “matsnâ”,
“tsulâstâ” dan “rubâ‘a” tidak berarti dua, tiga dan empat, tapi dua-dua,
tiga-tiga dan empat-empat. Dengan logika ini, al-Razi seolah ingin mengatakan
bahwa menurut al-Qur’an, laki-laki boleh menikahi hingga 18 wanita (agregat
dari 4+6+8). Namun begitu, ia kemudian membatasi menjadi sembilan dengan alasan
ittiba’ rasul yang mana beliau wafat dengan meninggalkan sembilan istri.
Jika demikian tafsiran al-Razi terkait dengan
ayat-ayat gender, maka tidak jauh berbeda ketika menafsirkan ayat-ayat yang
terkait dengan hubungan antar agama. Dalam hal ini, menurut Moqsith, al-Razi
terlalu banyak ber-apologi bahkan menyerang umat agama lain.
Menurut Moqsith, irrasionalitas al-Razi dalam
menghadapi ayat-ayat hukum disebabkan karena ketidakmampuannya keluar dari
paradigma berpikir al-Syafi’i. Seperti diketahui, terlepas dari kontroversinya,
al-Razi adalah salah satu tokoh mazhab Syafi’i yang begitu keras membela
argumen-argumen dan sendi bangunan mazhab ini. Bahkan ada desas-desus al-Razi
bekerja pada penguasa yang bermazhab Syafi’i dan dengan begitu ada tendensi
melakukan pembelaan atas dasar “pesanan” sang penguasa.
Bagi Moqsith, keliberalan tafsir al-Razi baru
kelihatan ketika dipandang dari segi metode penafsirannya yang sangat berani
mengandalkan nalar melampaui riwayat dan menerobos kejumudan para penafsir di
masanya. Namun begitu, keliberalannya tersebut langung hilang begitu ia
berhadapan dengan ayat-ayat hukum dan pluralisme. Dengan kata lain, Moqsith ingin
mengatakan, bahwa al Razi adalah penafsir yang liberal dalam hal teologi dan
filsafat, tapi illiberal (tidak liberal) dalam fikih atau hukum Islam.
Selesai Moqsith, Kautsar Azhari Noer mengupas tafiran
al-Razi atas ayat-ayat pluralisme. Dalam presentasinya ini, Kautsar membatasi
kajiannya hanya pada dua ayat saja, yakni Q.S. al-Baqarah ayat 62 dan 69.
Kautsar memulai dengan membincangkan isu nikah beda
agama. Dengan ini, Kautsar bermaksud ingin menghubungkan pandangan teologis
terkait dua ayat pluralisme di atas dengan kasus nikah beda agama. Bagi
Kautsar, kasus nikah beda agama termasuk dalam persoalan fikih kecil (al-fiqh
al-ashgar) yang pokoknya bermuara pada persoalan teologi (Kalam) antar umat
beragama atau fikih besar (al-fiqh al-akbar). Dengan kategori fikih besar-fikih
kecil ini, Kautsar ingin mengatakan bahwa seandainya seseorang memiliki
perspektif positif dalam fikih besar (teologi), dalam artian meyakini ada
keselamatan dalam agama-agama lain, maka ia cenderung tidak bermasalah ketika
berhadapan dengan kasus fikih kecil, dalam hal ini isu pernikahan beda agama.
Demikian pula sebaliknya.
Masalah sosiologis yang sering terjadi dalam kasus
nikah beda agama, menurut Kautsar, sejatinya berawal dari persoalan teologis
(akidah). Dengan begitu, masalah-masalah interaksi yang sering timbul pada
pasangan nikah beda agama, tidak akan menjadi serius seandainya tidak didasari
atas persoalan teologis atau fikih besar ini. Ini berarti, Kautsar bermaksud
menempatkan teologi sebagai basis penentuan hukum nikah beda agama. Demikian
ini, menurut Kautsar, terlihat misalnya pada dua kelompok muslim eksklusif dan
pluralis atau inklusif. Mereka yang menganut paradigma eksklusivisme, biasanya
menghukumi haram nikah beda agama. Sebaliknya, mereka yang berpandangan pluralis
atau sekurang-kurangnya inklusif memandang boleh hukum nikah beda agama.
Terkait dengan fikih besar (teologi) tentang adanya
unsur keselamatan dalam agama lain, menurut analisa Kautsar, al-Razi tergolong
mufassir yang mendukung adanya keselamatan dalam agama lain. Pertama-tama
Kautsar mengungkapkan bahwa al-Razi mendeskripsikan pelbagai pandangan ulama
terkait dengan frasa “alladzîna âmanû” (orang-orang yang beriman) yang terdapat
pada kedua ayat tentang pluralisme tersebut (al-Baqarah: 62 dan 69). Kautsar
membenarkan bahwa al-Razi tidak menyebutkan secara eksplisit pandangan mana
dari ulama-ulama itu yang ia dukung. Namun begitu, sejauh analisanya, Kautsar
mengatakan bahwa al-Razi tergolong mufassir yang mensyaratkan dua hal sebagai
dasar keselamatan di akhirat, yakni iman kepada Allah dan hari akhir serta
beramal saleh tanpa keharusan iman kepada Muhammad sebagai syarat keselamatan.
Pernyataan ini membawa Kautsar untuk berkesimpulan bahwa al-Razi adalah
mufassir yang pluralis, atau setidaknya inklusif. Ini berbeda dengan kesimpulan
Moqsith semula yang berpendapat bahwa al-Razi dalam tafsirnya cenderung keras
menyerang umat agama lain.
Menurut Kautsar, tafsir al-Razi ini tergolong berbeda
dengan mayoritas tafir klasik yang membatasi keselamatan hanya bagi para
pengikut Muhammad yang disebut orang-orang muslim. Kautsar agak menyayangkan
mengapa al-Razi tidak menyinggung sebab turunnya dua ayat ini yang menurutnya
justru bisa mendukung pandangan inklusivismenya atas umat agama lain ini. Bagi
Kautsar, jika riwayat-riwayat itu benar, adalah merupakan bukti bahwa Allah pun
menegur Rasul-Nya ketika berani menghakimi orang-orang yang beliau anggap sesat
atau kafir yang justru di mata Allah bisa jadi sebagai orang yang beriman,
beramal salih dan akan memperoleh keselamatan.
Keengganan al-Razi untuk mengutip riwayat-riwayat atau
asbab al-nuzul ayat bisa dimengerti mengingat pilihannya atas rasionalisme
dalam menafsirkan ayat mengatasi pendekatan riwayat-riwayat.
Kautsar mengakhiri presentasinya dengan menyimpulkan bahwa
tafsir-tafsir yang eksklusif memandang kelompok umat beragama lain biasanya
berawal dari gagasan pembatasan kebenaran yang bermuara pada persoalan
pembatalan atau penghapusan (naskh) terhadap agama-agama atau kitab-kitab suci
lain sebelum Nabi Muhammad. Melalui ini, Kautsar ingin menegaskan bahwa tidak
ada ayat yang secara tegas menyatakan pembatalan agama-agama, wahyu-wahyu, atau
kitab suci sebelum Islam. Bagi Kautsar, pembatalan itu sejatinya bukan dari al
Qur’an sendiri, tapi justru dari pandangan para mufassir. Nah, tafsir al-Razi
dengan inklusivitasnya ini menurut Kautsar termasuk yang relatif berhasil
membedakan diri dari tafsir lainnya dan karena itu bisa jadi rujukan bagi para
aktivis liberal dan pembela pluralisme di Indonesia.[12] Wallahu
a’lam bissawab.
Lepas dari polemik di atas, penulis menangkap bahwa
sang pengarang berusaha menangkap substansi atau ruh makna yang terkandung
dalam teks Al Quran.
Adapun maksud tafsir ini dan segala uraiannya, antara
lain:
Pertama; menjaga
dan membersihkan Al Quran beserta segala isinya dari
kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat
keyakinan terhadap Al Quran.
Kedua; pada
sisi lain, Ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah swt dengan dua hal.
Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta
“bukti terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila merenungi hal yang pertama
secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu Ar-Razi
merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
Ketiga; Ar-Razi
ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan
sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al Quran,
selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
9.
Mazhab
Penafsir dan Penafsirannya
Fakhruddin ar-Razi adalah
seorang mufassir yang bermadzhab Syafi’i-Ash’ariyah,[13] dalam penafsirannya Ar Razi sangat
serius dalam lingkup muktazilah. Dalam tafsirnya, terlebih dahulu beliau
memaparakan pendapat-pendapat muktazilah dan kemudian beliau membantah dengan
argumen yang kuat.
Salah
satu contoh yang dapat kami paparkan ialah;
﴿ﺍﻠﻣﺴﺄﻠﺔﺍﻠﺛﺎﻨﻴﺔ﴾ﻘﻭﻟﻪﺇﻥﺍﻟﺫﻴﻥﻛﻓﺭﻭﺍﺇﺨﺒﺎﺭﻋﻥﻛﻓﺭﻫﻡﺒﺻﻴﻐﺔﺍﻠﻤﺎﻀﻲﻭﺍﻻﺨﺒﺎﺭﻋﻥﺍﻠﺸﺊﺒﺻﻴﻐﺔﺍﻠﻤﺎﺿﻲﻳﻘﺗﺿﻲﻛﻭﻥﺍﻠﻤﺨﺑﺭ
ﻋﻨﻪﻤﺗﻘﺩﻤﺎﻋﻟﻰﺫﻠﻙﺍﻻﺨﺒﺎﺭﺇﺫﺍﻋﺭﻔﺕﻫﺫﺍﻔﻨﻗﻭﻝﺍﺤﺗﺟﺕﺍﻠﻤﻌﺗﺯﻟﺔ...[14]
Ibnu Hajar pernah mengatakan,” Bahwa Ar Razi dicela
karena banyak meriwayatkan syubhat secara tunai dan mengatasinya secara kredit”.
Namun hal ini tidak mengurangi kehebatan beliau sebagai seorang ulama yang
memperjuangkan agama islam.
10.
Corak Tafsir
Corak tafsir ini adalah tahlili, dan
yang dimaksud dengan tahlili ialah pengkajian ayat-ayat
al-Qur’a>n dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi
surat. Sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu,
pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di
istinbathkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan
relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, tafsir yang
memiliki corak tahlili akan merujuk pada sebab-sebab turunnya
ayat, hadith-hadith Rasulullah, dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.[15]
11.
Asas
Tafsir
Sedangkan asas tafsir yang digunakan oleh ar-Razi
dalam penafsirannya adalah tafsir bir Ra’yi wa falsafi, hal
tersebut dikarenakan tafsir ini menggunakan penalaran akal, dan dalam tafsir
ini juga menggunakan teori-teori filsafat. Penulis kashfu ad zunuun mengatakan,”
Didalam tafsir Ar Razi terdapat begitu banyak perkataan-perkataan mutakallimi>n dan
filosof. Ia keluar dari permasalahan kepermasalahan yang lain, sehinggga
membuat pembaca mengagumi tafsir beliau”.[16]
12.
Komentar
Pribadi
Muhammad ibn Umar Fakhr al-Din al-Razi adalah seorang teolog terkenal Islam Persia dan
filsuf (1149-1209) yang lahir di Ray pada tahun 543 H, dan wafat di Harah
pada tahun 606 H.
Ilmu-ilmu rasional sangat mendominasi pemikiran
seorang ar-Razi di dalam tafsirnya, sehingga beliau mencampuradukkan ke
dalamnya berbagai kajian, baik mengenai kedokteran, logika, filsafat dan
hikmah. Ini semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna yang dikandung
Al-Qur’a>n. spirit ayat-ayatnya, menggiring ayat tersebut kepada
persoalan-persoalan ilmu rasional dan terminology ilmiah, yang pada dasarnya
bukan untuk itu ayat-ayat tersebut diturunkan.
Oleh karena itu, kitab ini tidak memiliki jiwa tafsir
dan hidayah Islam. Sampai-sampai sebagian ulama’ berkata, bahwa di dalamnya
terdapat berbagai hal. Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bagian
terdahulu.
Namun dalam hal munasabah, Zahabi
menjelaskan, bahwa Ar-Razi sangat mementingkan munasabah antar
ayat dengan ayat lain, dan surah dengan surah yang lain, bahkan Ar Razi tidak
hanya menyebutkan satu munasabah saja, tapi menyebutkan banyak munasabah.
Demikianlah sekilas profil dan manhaj Imam Ar Razi
dalam tafsir al-kabi>r nya, tentunya makalah ini tidak bisa
mewakili kehebatan dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh beliau, oleh sebab itu
penulis berharap agar kita bisa membaca dan mengkaji lebih dalam tafsir
al-kabir ini, sehingga kita bisa rasakan akan keluasan dan ketinggian ilmu
beliau.
Daftar Pustaka
Agil Husin
Al-Munawar, Said, al-Qur’a>n Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Al-Qaththan,
Manna>’, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’a>n. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2009.
Ar-Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Kabir. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990.
As-Sa’di, Abdurrahman, Bacalah
al-Qur’a>n seolah-olah ia diturunkan kepadamu, Kaidah Membaca dan Memahami
Ayat-ayat Tuhan. Bandung: PT. Mizan Publika, 2008.
Az-Zahabi, Muhammad Husai, at-Tafsir Wal
Mufassiruun. Cairo: Darul Hadith, 2005.
Pusat Studi al-Qur’an, 2003.
Shihab,
Quraish, Membumikan al-Qur’a>n (Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat). Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.