A.
Pendahuluan
Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang di pandang baik adalah
perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang menganut agama yang
dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun berpendapat, perkawinan
‘monogami’ adalah perkawinan yang terbaik dan ideal, sehingga di kalangan
masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku, bilamana ada orang yang
berpoligami selalu dibicarakan orang, setidak-tidaknya para tetangganya akan
membicarakan hal itu. Lebih-lebih dikalangan
intelektual, bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi celaan dari teman-teman
di kalangan mereka.
Sejarah mencatat, poligami merupakan lembaga umat manusia yang telah mapan
semenjak masa kuno. Ia telah dilaksanakan pada masa Al-Kitab dan Talmud.
Poligami merupakan suatu lembaga yang diakui oleh hukum dan agama di seluruh
belahan dunia dan tidak memiliki kaitan yang dipandang jelek sebagaimana kini
kita temukan di beberapa negara Barat.[1]
Nabi Muhammad menyucikan lembaga yang menjadi pengagungan nafsu seksual
ini, dengan membatasi jumlah istri hingga empat dan memerintahkan kepada mereka
yang menjalani tanggung jawab berat itu agar menerapkan keadilan di antara
mereka.
Maka
dari itu penulis mencoba memaparkan apa itu poligami, sejarah,polemik poligami
dalam islam,dan hikmah dari poligami.
B.
Pengertian
Poligami
Poligami dalam bahasa arab adalah Ta’addu
Az-Zawaj yang berarti perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam
tanggungannya dua sampai empat orang istri [2]
dalam waktu yang sama.[3]
Poligami bukan merupakan yang
pertama diperkenalkan oleh Nabi Muhammad secara praktiknya, akan tetapi fir’aun
juga melakukan poligami dengan memiliki 8 istri dan 150 selir.
Secara historiografis
sangatlah menarik sebab mengangkat permasalahan ini secara seimbang. Pendekatan
historiografis ini mengungkapkan adanya dua aspek di dalam poligami Nabi
Muhammad yaitu, pertama aspek histori dan kedua faktor religius.
Faktor historis yang terdapat dalam
poligami Nabi Muhammad ialah pertama, tindakan tersebut dilakukan di dalam satu
ruang (sosio-kultural-relijgius) dan waktu, kedua, tindakan tersebut melibatkan
keutuhan Pribadi Nabi Muhammad. Sementara faktor relegius yang terdapat di dalam
poligami Nabi adalah suatu keyakinan dalam Nabi bahwa Allah akan menolong
dirinya dikala menghadapi kesusahan
Sejarah mencatat bahwa masa
kenabian Nabi Muhammad diketahui dimulai saat beliau menerima wahyu pertamanya
ketika berusia 40 tahun. Sebelum memulai masa kenabiannya, Nabi Muhammad
bekerja bersama pamannya sebagai seorang pedagang. Ia menjadi orang kepercayaan
Khadijah di dalam kegiatan perniagaan. Ia juga menjadi suami bagi Khadijah. Itu
semua terjadi pada masa Nabi Muhammad berada pada periode Makkah.
Di kota Madinah, Nabi Muhammad
tidak sekedar menjadi seorang Nabi dan suami Khadijah. Di tempat ini pula Nabi
menjadi pimpinan bagi kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ia juga menjadi
kepala bagi komunitas agama-politik di Madinah.
Dari Madinah, Nabi mengatur
kepemimpinannya baik secara diplomatik ataupun militer. Ia menjadi
administrator dan menjadi pemimpin militer. Ia tidak segan ikut bersama
pasukannya didalam sejumlah perang.[4]
Terkait dengan status dan posisi Nabi Muhammad, ada beberapa catatan
penting yang terjadi di dalam kehidupan Nabi Muhammad yang berhubungan dengan
aktifitas poligami Nabi Muhammad yaitu mengenai periode kesedihan yang ada
dalam kehidupan Nabi sangat penting untuk dicermati. Adapun alasannya adalah
salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang
mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu
tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi
dan sahabat pindah ke Madinah.[5]
C.
Sejarah
Singkat Poligami
Poligami sudah berlangsung sejak
jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia,
Yugoslavia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya
adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur
seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu, tidak
benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang
poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup
dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika,
India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau berpoligami hanya terdapat di
negeri-negeri Islam.
Agama Nasrani pada mulanya tidak
mengharamkan poligami, karena tidak ada satu ayatpun dalam injil yang secara
tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di Eropa melaksanakan
monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa yang kebanyakan
Kristen pada mulanya seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami,
kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan
nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian, peraturan tentang
monogami atau kawin dengan seorang isteri bukanlah peraturan dari agama Kristen
yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah
berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan
poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal
lembaran-lembaran dari kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan
poligami.[6]
Keberadaan poligami atau menikah
lebih dari seorang istri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru.
Poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala di antara berbagai
kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah
berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di
sebagian besar kawasan dunia selama itu, termasuk Indonesia .[7]
D.
Poligami
dalam Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Tradisi
poligami bukanlah tradisi yang sengaja direncanakan, tetapi tradisi itu
berkembang karena dikehendaki oleh waktu maupun tempat. Tradisi itu berkembang
dalam suatu iklim masyarakat yang masih dekat dengan kehidupan desa yang murni;
kalangan masyarakat yang diatur oleh sistem kekabilahan; tatkala anak-anak
dianggaap sebagai perhiasan hidup, melahirkan anak merupakan suatu kegembiraan
bagi seorang wanita. Dan banyaknya anak dan keluarga merupakan kebanggaan bagi
seorang pria.
Bagi
kita sekarang, mungkin saja poligami dipandang sebagai satu bentuk perbudakan
terhadap wanita yang bertujuan untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki.
Tetapi sebenarnya, poligami justru merupakan beban berat bagi laki-laki untuk
menyelamatkan wanita-wanita Arab dari tradisi yang lebih kejam; tradisi yang
membuat seorang suami hanya mengakui seorang istri, tapi dia membiarkan
wanita-wanita lain yang juga digaulinya terlantar dan terhina.[8]
Tidak
ada seorang pun Istri Nabi saw., ketika mereka memasuki kehidupan rumah
tangganya, mendambakan untuk menjadi satu-satunya permaisuri bagi Nabi saw.
kehidupan poligami tampak begitu alami sehingga kitapun mudah membayangkannya.
Kita bisa melihat bahwa Khaulah binti Hakim adalah wanita yang
mengusulkan kepada Nabi saw. agar beliau meminang A’ishah binti Abu Bakar dan Saudah
binti Zam’ah dalam waktu yang bersamaan.[9]
Sesungguhnya ummul mukminin Maimunah binti al-Harith sendirilah yang
merasa rela dinikahi oleh Nabi saw.[10]
Berbicara
poligami, tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh Nabi saw. Beliau berpoligami
untuk memberikan contoh aplikasi ayat-ayat yang bercerita tentang beristri
lebih dari satu. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak di antara kita yang
kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga maksud yang semula mulia
menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual belaka.[11]
E.
Makna
yang Terkandung di Balik Praktek Poligami Nabi SAW
a.
Nabi SAW. diutus oleh Allah untuk
menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam
b.
Nabi SAW. diutus untuk memberi contoh
dan keteladanan akhlak yang mulia kepada seluruh umat manusia
c.
Nabi SAW. diutus untuk melindungi dan
mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para budak dan kaum tertindas
lainnya
d.
Berbagai ayat yang diwahyukan kepada
Nabi perlu dicontohkan dan diteladankan secatra nyata, agar menjadi jelas
maknanya. Maka, kita melihat alasan-alasan di balik praktek poligami itu
sebenarnya adalah manifestasi aturan Allah di dalam al-Qur’an.[12]
Misalnya
QS. Al-Ahzab (33): 37. yang menegaskan bahwa mengawini bekas istri anak angkat itu
dihalalkan. Maka, salah satu istri Nabi adalah Zainab binti Jahshi. Beliau
mengawininya setelah Zainab bercerai dengan Zaid bin Harithah, salah seorang
budak yang diangkat Nabi sebagai anak angkatnya.
F. Poligami
dalam Islam
- Perspektif Fikih
Hukum asal dalam perkawinan menurut
Islam
adalah monogami yaitu cukup seorang laki-laki mempunyai seorang istri, karena
dengan perkawinannya akan mempunyai tujuan yaitu menciptakan suasana yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, yang keadaan tersebut sulit dilaksanakan
seandainya seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu.
Allah
SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri saja dengan syarat berlaku
adil kepada mereka yaitu adil dalam melayani istri, jika tidak bisa berlaku
adil maka cukup satu istri saja (monogami)[13]
hal ini berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa'
ayat 3:
Yang artinya "Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".[14]
As-Syarakhsi menyatakan kebolehan Poligami
dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani juga menyatakan lelaki
yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap Istri-istrinya. Begitu juga
As-Syafi'i mensyaratkan keadilan di antara para istri.[15]
Berkenaan dengan alasan-alasan
darurat yang membolehkan poligami menurut Abdur rahman setelah merangkum
pendapat fuqoha,[16]
setidaknya ada 6 keadaan:
a.
Istri
mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.
b.
Istri
terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan.
c.
Istri
sakit ingatan
d.
Istri
lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi sebagai istri
e.
Istri
memiliki sifat buruk
f.
Istri
pergi dari rumah
- Perspektif Hadith
Poligami adalah seorang laki-laki
beristri dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang, dalam
arti kalau melebihi dari empat berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan
oleh Allah
bagi kemaslahatan hidup suami istri.[17]
Dalam masalah ini, al-Mudhahhir
menjelaskan, Bahwa pernikahannya yang dilakukan oleh orang-orang kafir dihukumi
sah, sehingga apabila mereka masuk Islam, maka tidak diperintahkan untuk
melangsungkan akad nikah baru, kecuali dalam pernikahannya ada ketentuan yang
tidak sesuai dengan hukum islam, misalnya mengumpulkan beberapa wanita dalam
satu akad nikah. Dan Islam sendiri menegaskan seorang laki-laki boleh menikahi
wanita paling banyak empat. Dengan kata lain tidak lebih dari empat
perempuan.dan secara otomatis istri-istri yang selain empat tertalak sendiri.
Menurut Ibnu Al-Himam para Ulama Arba’ah dan jumhur muslimin sepakat
atas pendapat ini.[18]
Hadits ini juga satu pengertian
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Qais Al-Haris yaitu:
عن
قيس بن الحارث قال اسلمت وعندي ثنان نسوة فاتيت النبي صلعم فقلت ذلك له فقال اختر
منهن اربعا. رواه ابن ماجه.
Dari
Qais bin al-Harith,
beliau berkata: Aku masuk Islam dan saya mempunyai Istri delapan. Kemudian aku
datang menemui Rasul SAW. lalu aku jelaskan kepada Nabi tentang hal tersebut.
Lalu Nabi bersabda: Pilihlah dari mereka empat orang.[19]
Hadits ini menunjukkan terhadap
firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3, dengan
potongan ayat mathna
wa thulatha wa ruba’. Dalam
ayat tersebut menunjukkan taqyid (terbatas), bukan ta’mim (umum)
dengan jumlah terakhir empat tidak lebih. Sedangkan pengulangan penyebutan
jumlah, dengan meninjau masing-masing kaum laki-laki bukan meninjau pada satu
individu. Dan huruf wawu menggunakan makna aw (memilih) atau
berfaidah halalnya untuk semua hitungan tersebut bagi satu orang laki-laki.
Oleh karena itu, apabila ada haditsh dengan keterangan di atas, maka wajib
membawa pengertian ayat kepada hadith, Karena haditsh ini menunjukkan bahwa
jumlah lebih dari empat adalah tetapnya hukum haram.[20]
Dalam syari’at Islam, lebih disukai
bila seorang laki-laki hanya mempunyai seorang Istri, karena pernikahan yang
diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah,
wa rahmah. Oleh sebab itu, Islam memperingatkan suami untuk tidak
melakukan poligami, kecuali dia bisa berbuat adil. Sebagaiamana firaman Allah
yaitu:
….فانْ
خِفْتُمْ اَنْ لا تَعْدِلوا فَوَاحِدَةً…(النساء : 3).
Jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.
Seperti kita banyak
ketahui, bahwa perlakuan adil sangat sulit dilakukan suami, bahkan sampai taraf
mustahil dilaksanakan, dan biasanya seorang suami melakukan poligami lebih
condong kepada seorang istri, sehingga mengakibatkan merananya istri-istri yang
lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadith:
مَنْ كانَتْ لهُ اِمْرَأتَانِ فَمَالَ
اِلىَ اِحْدَاهُمَا دُوْنَ الاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
رواه احمد والاربعة, وسنده صحيح
Barang siapa seorang suami
mempunyai dua orang istri, kemudian dia cenderung kepada salah satunya, tetapi
tidak kepada yang lainnya, maka ia datang pada hari kiamat separuh badannya
menceng.[21]
- Perspektif Undang-undang No 1/1974
Dalam UUP menganut asas monogami
seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang Istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami,
namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami
dibenarkan.[22]
Klausal kebolehan poligami di dalam
UUP sebenarnya hanya pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan
alasan-alasan yang membolehkan tersebut.[23]
Dalam pasal 4 dinyatakan seorang
suami yang akan berIstri lebih dari seorang apabila:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan adanya bunyi pasal-pasal
yang membolehkan untuk berpoligami dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah
bahwa asas yang dianut oleh UUP sebenarnya bukan menganut asas monogami mutlak,
melainkan disebut monogami terbuka. Poligami ditempatkan pada status hukum
darurat, atau dalam keadaan yang luar biasa. Disamping itu lembaga poligami
tidak semata-mata kewenangan penuh suami, tetapi atas izin dari Hakim
(pengadilan).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
bagi seorang suami yang ingin melakukan Poligami seperti yang tercantum dalam
pasal 5 ayat 1 UUP diantaranya:
a.
Adanya
persetujuan dari istri
b.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka
c.
Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap Istri dan anak-anak mereka. [24]
G. Hikmah
Poligami
Semuanya itu tidak akan sempurna
tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya.
Karena itu ada pepatah:
الْعِزَّةُ لِلْكَا ثِرِ
Kemegahan
itu di pihak terbanyak.
Dan jalan untuk mendapatkan masa
yang banyak ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan.[25]
Berpoligami ini bukan wajib atau
sunnah, tetapi oleh Islam di bolehkan. Karena tuntutan pembangunan dan
pentingnya perbaikan tidak patut diabaikan oleh pembuat Undang-Undang dan di
kesampingkan.
1.
Merupakan
karunia Allah
dan Rahmat-Nya kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membataskan
sampai empat saja. Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama, lebih dari
seorang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka.
2.
Ada
pepatah yang mengatakan bahwa kebesaran terletak pada keluarga yang besar pula.
Dan jalan untuk mendapatkan jumlah yang besar, hanyalah dengan adanya
perkawinan yang relative masih muda dan disegi lain dilakukannya poligami.
3.
Negara
merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan
sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu haruslah ada
badan yang memperkatikan janda-janda para syuhada’ ini. Dan tak ada jalan yang
baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan mengawini mereka,
4.
Adakalanya
karena istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya,
padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan hidup bersuami istri, suami
ingin mempunyai anak-anak sehat lagi pintar dan seorang Istri yang dapat
mengurus keperluan-keperluan rumah tangganya.
5.
Dengan adanya sistem poligami dan melaksanakan
ketentuan poligami ini di dunia Islam, merupakan satu
karunia besar bagi kelestariannya, jauh dari perbuatan-perbuatan sosial yang
kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami. Dan
dengan adanya poligami maka:
a.
Jumlah
kejahatan dan pelacuran akan berkurang, jumlah kaum pelacur lebih sedikit dari
perempuan yang bersuami.
b.
Jumlah
anak-anak haram akan semakin berkurang.
c.
Suami/istri
atau laki/perempuan akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang
membahayakan. [26]
H.
Analisis
Islam memberikan keleluasaan bagi kaumnya untuk
mempunyai istri lebih dari satu, akan tetapi hanya terbatas empat orang istri,
tidak lebih. Hal itu bisa terjadi apabila suami bisa berlaku adil terhadap
semua istrinya, tanpa membedakan antara istri muda dan lainnya.
Dalam hal adil, bagi suami sangat sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, tidak sembarangan seorang laki-laki bisa mudah untuk beristri
lebih dari satu. Dalam hukum Islam, khususnya di Indonesia
memberikan persyaratan yang ketat terhadap orang laki-laki yang mau
berpoligami, itu karena sulitnya untuk berlaku adil di antara istri.
Pernikahan Nabi telah memberikan kepada para pengkritiknya sarana penting
untuk menyerangnya dan sebagian mereka telah jauh melampaui batas kejujuran dan
kesopanan. Namun demikian, banyak fakta yang menjadi teladan dari Nabi dalam
kehidupan berumahtangga yang baik. Memang, dalam berbicara pernikahan Nabi
Muhammad tidak akan lepas dari kontroversi yang ada di dalamnya.
Bagi
kita sekarang, mungkin saja poligami dipandang sebagai satu bentuk perbudakan
terhadap wanita yang bertujuan untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki.
Tetapi sebenarnya, poligami justru merupakan beban berat bagi laki-laki untuk
menyelamatkan wanita-wanita Arab dari tradisi yang lebih kejam; tradisi yang
membuat seorang suami hanya mengakui seorang istri, tapi dia membiarkan
wanita-wanita lain yang juga digaulinya terlantar dan terhina.
Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang di
pandang baik adalah perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang
menganut agama yang dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun
berpendapat, perkawinan ‘monogami’ adalah perkawinan yang terbaik dan ideal,
sehingga di kalangan masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku, bilamana
ada orang yang berpoligami selalu dibicarakan orang, setidak-tidaknya para
tetangganya akan membicarakan hal itu. Lebih-lebih dikalangan intelektual,
bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi celaan dari teman-teman di kalangan
mereka.
Poligami yang dilakukan oleh Nabi banyak dijadikan teladan bagi umat
muslim. Namun tidak sedikit apa yang dilakukan Nabi dalam beristri lebih dari
satu masih menjadi perdebatan di kalangan pemikir Muslim dan para orientalis. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak
di antara kita yang kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga
maksud yang semula mulia menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual
belaka seperti banyak yang di beritakan dalam midia masa.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat.
Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid
Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz-1, Beirut :
Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt.
Al-Ahwadhi, Imam. Tuhfatu
Al-Ahwadhi bi Syarah Jami’ Al-Turmudhi. Juz 4, Beirut :
Dar Al-Kutub, 1990.
Al Hamdani, H.S.A. Risalah
Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta :
Pustaka Amani, 2002.
Al-Muntaqi. Syarh Al-Muwatta’.
Juz-4, Beirut : Dar Al-Kutub, 1990.
Bintush-Shati’, Aishah. Istri-istri
Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita. Bandung :
Pustaka Hidayah, 2001.
Hisham,
Ibnu. As-Sirah Ibnu Hisham. Juz I.
As-Sirah Ibnu Hisham. Juz IV.
Masfuk, Zuhdi. Masail Fikhiyah.
Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1997.
Mustofa, Agus. Benarkah
al-Qur’an Menyuruh Berpoligami karena Alasan Syahwat?. Surabaya :
Padma Press, 2008.
Rahmat,
Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung :
Pustaka Setia, 1999.
Hukum Perkawinan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah.
Juz 6, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1990.
Siddiqi, Abdul Hamid. Sirah
Nabi Muhammad, Bandung: Marja, 2005.
Tutik, Titik Triwulan. dan Trianto.
Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta :
Prestasi Pustaka, 2007.
Tarigan, Amiur Nuruddin, Azhari
Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta :
Prenada Media, 2004.
Undang-undang
Perkawinan di In
[2] Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami,terj.Ahmad Sahal
Mahfudz (Jakarta: Global Cipta Publishing, 2003), 25.
[5] Muhammad
Jamaluddin, Huquq Zaujayni wa Adab al-Liqa’ Bainahuma (Kairo:
Maktabah al-Nur al-Muhammadi, tt), 7.
[7] Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), 55-56.
[8] Aishah Bintush-Shati’, Istri-istri Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh
Wanita (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2001), 29.
[11] Agus Mustofa, Benarkah al-Qur’an Menyuruh
Berpoligami karena Alasan Syahwat? (Surabaya :
Padma Press, 2008), 225.
[15] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta :
Prenada Media, 2004), 158.
[18] Imam Al-Ahwadhi, Tuhfatu
Al-Ahwadhi bi Syarah Jami’ Al-Turmudhi, Juz 4 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1990), 233.
[19] Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid
Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz-1 (Beirut :
Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), 628.
[25] H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, 40.