Polemik Tentang Poligami Rasullah Muhammad Saw


A.    Pendahuluan
Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang di pandang baik adalah perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang menganut agama yang dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun berpendapat, perkawinan ‘monogami’ adalah perkawinan yang terbaik dan ideal, sehingga di kalangan masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku, bilamana ada orang yang berpoligami selalu dibicarakan orang, setidak-tidaknya para tetangganya akan membicarakan hal itu. Lebih-lebih dikalangan intelektual, bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi celaan dari teman-teman di kalangan mereka.
Sejarah mencatat, poligami merupakan lembaga umat manusia yang telah mapan semenjak masa kuno. Ia telah dilaksanakan pada masa Al-Kitab dan Talmud. Poligami merupakan suatu lembaga yang diakui oleh hukum dan agama di seluruh belahan dunia dan tidak memiliki kaitan yang dipandang jelek sebagaimana kini kita temukan di beberapa negara Barat.[1]
Nabi Muhammad menyucikan lembaga yang menjadi pengagungan nafsu seksual ini, dengan membatasi jumlah istri hingga empat dan memerintahkan kepada mereka yang menjalani tanggung jawab berat itu agar menerapkan keadilan di antara mereka.
Maka dari itu penulis mencoba memaparkan apa itu poligami, sejarah,polemik poligami dalam islam,dan hikmah dari poligami.

B.     Pengertian Poligami
Poligami dalam bahasa arab adalah Ta’addu Az-Zawaj yang berarti perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang istri [2] dalam waktu yang sama.[3]  Poligami bukan merupakan yang pertama diperkenalkan oleh Nabi Muhammad secara praktiknya, akan tetapi fir’aun juga melakukan poligami dengan memiliki 8 istri dan 150 selir.
Secara historiografis sangatlah menarik sebab mengangkat permasalahan ini secara seimbang. Pendekatan historiografis ini mengungkapkan adanya dua aspek di dalam poligami Nabi Muhammad yaitu, pertama aspek histori dan kedua faktor religius.
Faktor historis yang terdapat dalam poligami Nabi Muhammad ialah pertama, tindakan tersebut dilakukan di dalam satu ruang (sosio-kultural-relijgius) dan waktu, kedua, tindakan tersebut melibatkan keutuhan Pribadi Nabi Muhammad. Sementara faktor relegius yang terdapat di dalam poligami Nabi adalah suatu keyakinan dalam Nabi bahwa Allah akan menolong dirinya dikala menghadapi kesusahan
Sejarah mencatat bahwa masa kenabian Nabi Muhammad diketahui dimulai saat beliau menerima wahyu pertamanya ketika berusia 40 tahun. Sebelum memulai masa kenabiannya, Nabi Muhammad bekerja bersama pamannya sebagai seorang pedagang. Ia menjadi orang kepercayaan Khadijah di dalam kegiatan perniagaan. Ia juga menjadi suami bagi Khadijah. Itu semua terjadi pada masa Nabi Muhammad berada pada periode Makkah.
Di kota Madinah, Nabi Muhammad tidak sekedar menjadi seorang Nabi dan suami Khadijah. Di tempat ini pula Nabi menjadi pimpinan bagi kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ia juga menjadi  kepala bagi komunitas agama-politik di Madinah.
Dari Madinah, Nabi mengatur kepemimpinannya baik secara diplomatik ataupun militer. Ia menjadi administrator dan menjadi pemimpin militer. Ia tidak segan ikut bersama pasukannya didalam sejumlah perang.[4] Terkait dengan status dan posisi Nabi Muhammad, ada beberapa catatan penting yang terjadi di dalam kehidupan Nabi Muhammad yang berhubungan dengan aktifitas poligami Nabi Muhammad yaitu mengenai periode kesedihan yang ada dalam kehidupan Nabi sangat penting untuk dicermati. Adapun alasannya adalah salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi dan sahabat pindah ke Madinah.[5]

C.    Sejarah Singkat Poligami
Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu, tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau berpoligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu ayatpun dalam injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di Eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa yang kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian, peraturan tentang monogami atau kawin dengan seorang isteri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.[6]
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang istri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama itu, termasuk Indonesia.[7]

D.    Poligami dalam Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Tradisi poligami bukanlah tradisi yang sengaja direncanakan, tetapi tradisi itu berkembang karena dikehendaki oleh waktu maupun tempat. Tradisi itu berkembang dalam suatu iklim masyarakat yang masih dekat dengan kehidupan desa yang murni; kalangan masyarakat yang diatur oleh sistem kekabilahan; tatkala anak-anak dianggaap sebagai perhiasan hidup, melahirkan anak merupakan suatu kegembiraan bagi seorang wanita. Dan banyaknya anak dan keluarga merupakan kebanggaan bagi seorang pria.
Bagi kita sekarang, mungkin saja poligami dipandang sebagai satu bentuk perbudakan terhadap wanita yang bertujuan untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Tetapi sebenarnya, poligami justru merupakan beban berat bagi laki-laki untuk menyelamatkan wanita-wanita Arab dari tradisi yang lebih kejam; tradisi yang membuat seorang suami hanya mengakui seorang istri, tapi dia membiarkan wanita-wanita lain yang juga digaulinya terlantar dan terhina.[8]
Tidak ada seorang pun Istri Nabi saw., ketika mereka memasuki kehidupan rumah tangganya, mendambakan untuk menjadi satu-satunya permaisuri bagi Nabi saw. kehidupan poligami tampak begitu alami sehingga kitapun mudah membayangkannya. Kita bisa melihat bahwa Khaulah binti Hakim adalah wanita yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar beliau meminang A’ishah binti Abu Bakar dan Saudah binti Zam’ah dalam waktu yang bersamaan.[9] Sesungguhnya ummul mukminin Maimunah binti al-Harith sendirilah yang merasa rela dinikahi oleh Nabi saw.[10]
Berbicara poligami, tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh Nabi saw. Beliau berpoligami untuk memberikan contoh aplikasi ayat-ayat yang bercerita tentang beristri lebih dari satu. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak di antara kita yang kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga maksud yang semula mulia menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual belaka.[11]

E.     Makna yang Terkandung di Balik Praktek Poligami Nabi SAW
a.       Nabi SAW. diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam
b.      Nabi SAW. diutus untuk memberi contoh dan keteladanan akhlak yang mulia kepada seluruh umat manusia
c.       Nabi SAW. diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para budak dan kaum tertindas lainnya
d.      Berbagai ayat yang diwahyukan kepada Nabi perlu dicontohkan dan diteladankan secatra nyata, agar menjadi jelas maknanya. Maka, kita melihat alasan-alasan di balik praktek poligami itu sebenarnya adalah manifestasi aturan Allah di dalam al-Qur’an.[12]
Misalnya QS. Al-Ahzab (33): 37. yang menegaskan bahwa mengawini bekas istri anak angkat itu dihalalkan. Maka, salah satu istri Nabi adalah Zainab binti Jahshi. Beliau mengawininya setelah Zainab bercerai dengan Zaid bin Harithah, salah seorang budak yang diangkat Nabi sebagai anak angkatnya.

F.     Poligami dalam Islam
  1. Perspektif Fikih
Hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami yaitu cukup seorang laki-laki mempunyai seorang istri, karena dengan perkawinannya akan mempunyai tujuan yaitu menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang keadaan tersebut sulit dilaksanakan seandainya seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu.
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri saja dengan syarat berlaku adil kepada mereka yaitu adil dalam melayani istri, jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami)[13] hal ini berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa' ayat 3:
Yang artinya "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".[14]

As-Syarakhsi menyatakan kebolehan Poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani juga menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap Istri-istrinya. Begitu juga As-Syafi'i mensyaratkan keadilan di antara para istri.[15]
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami menurut Abdur rahman setelah merangkum pendapat fuqoha,[16] setidaknya ada 6 keadaan:
a.       Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.
b.      Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan.
c.       Istri sakit ingatan
d.      Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi sebagai istri
e.       Istri memiliki sifat buruk
f.       Istri pergi dari rumah
  1. Perspektif Hadith
Poligami adalah seorang laki-laki beristri dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang, dalam arti kalau melebihi dari empat berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah bagi kemaslahatan hidup suami istri.[17]
Dalam masalah ini, al-Mudhahhir menjelaskan, Bahwa pernikahannya yang dilakukan oleh orang-orang kafir dihukumi sah, sehingga apabila mereka masuk Islam, maka tidak diperintahkan untuk melangsungkan akad nikah baru, kecuali dalam pernikahannya ada ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum islam, misalnya mengumpulkan beberapa wanita dalam satu akad nikah. Dan Islam sendiri menegaskan seorang laki-laki boleh menikahi wanita paling banyak empat. Dengan kata lain tidak lebih dari empat perempuan.dan secara otomatis istri-istri yang selain empat tertalak sendiri. Menurut Ibnu Al-Himam para Ulama Arba’ah dan jumhur muslimin sepakat atas pendapat ini.[18]
Hadits ini juga satu pengertian dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Qais Al-Haris yaitu:
عن قيس بن الحارث قال اسلمت وعندي ثنان نسوة فاتيت النبي صلعم فقلت ذلك له فقال اختر منهن اربعا. رواه ابن ماجه.
Dari Qais bin al-Harith, beliau berkata: Aku masuk Islam dan saya mempunyai Istri delapan. Kemudian aku datang menemui Rasul SAW. lalu aku jelaskan kepada Nabi tentang hal tersebut. Lalu Nabi bersabda: Pilihlah dari mereka empat orang.[19]

Hadits ini menunjukkan terhadap firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3, dengan potongan ayat mathna wa thulatha wa ruba’. Dalam ayat tersebut menunjukkan taqyid (terbatas), bukan ta’mim (umum) dengan jumlah terakhir empat tidak lebih. Sedangkan pengulangan penyebutan jumlah, dengan meninjau masing-masing kaum laki-laki bukan meninjau pada satu individu. Dan huruf wawu menggunakan makna aw (memilih) atau berfaidah halalnya untuk semua hitungan tersebut bagi satu orang laki-laki. Oleh karena itu, apabila ada haditsh dengan keterangan di atas, maka wajib membawa pengertian ayat kepada hadith, Karena haditsh ini menunjukkan bahwa jumlah lebih dari empat adalah tetapnya hukum haram.[20]
Dalam syari’at Islam, lebih disukai bila seorang laki-laki hanya mempunyai seorang Istri, karena pernikahan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Oleh sebab itu, Islam memperingatkan suami untuk tidak melakukan poligami, kecuali dia bisa berbuat adil. Sebagaiamana firaman Allah yaitu:
….فانْ خِفْتُمْ اَنْ لا تَعْدِلوا فَوَاحِدَةً…(النساء : 3).
Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.
Seperti kita banyak ketahui, bahwa perlakuan adil sangat sulit dilakukan suami, bahkan sampai taraf mustahil dilaksanakan, dan biasanya seorang suami melakukan poligami lebih condong kepada seorang istri, sehingga mengakibatkan merananya istri-istri yang lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadith:
مَنْ كانَتْ لهُ اِمْرَأتَانِ فَمَالَ اِلىَ اِحْدَاهُمَا دُوْنَ الاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ. رواه احمد والاربعة, وسنده صحيح
Barang siapa seorang suami mempunyai dua orang istri, kemudian dia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang lainnya, maka ia datang pada hari kiamat separuh badannya menceng.[21]

  1. Perspektif Undang-undang No 1/1974
Dalam UUP menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang Istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami, namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.[22]
Klausal kebolehan poligami di dalam UUP sebenarnya hanya pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.[23] Dalam pasal 4 dinyatakan seorang suami yang akan berIstri lebih dari seorang apabila:
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh UUP sebenarnya bukan menganut asas monogami mutlak, melainkan disebut monogami terbuka. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat, atau dalam keadaan yang luar biasa. Disamping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami, tetapi atas izin dari Hakim (pengadilan).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan Poligami seperti yang tercantum dalam pasal 5 ayat 1 UUP diantaranya:
a.       Adanya persetujuan dari istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap Istri dan anak-anak mereka. [24]

G.    Hikmah Poligami
Semuanya itu tidak akan sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya. Karena itu ada pepatah:
الْعِزَّةُ لِلْكَا ثِرِ
Kemegahan itu di pihak terbanyak.

Dan jalan untuk mendapatkan masa yang banyak ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan.[25]
Berpoligami ini bukan wajib atau sunnah, tetapi oleh Islam di bolehkan. Karena tuntutan pembangunan dan pentingnya perbaikan tidak patut diabaikan oleh pembuat Undang-Undang dan di kesampingkan.
1.      Merupakan karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membataskan sampai empat saja. Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama, lebih dari seorang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka.
2.      Ada pepatah yang mengatakan bahwa kebesaran terletak pada keluarga yang besar pula. Dan jalan untuk mendapatkan jumlah yang besar, hanyalah dengan adanya perkawinan yang relative masih muda dan disegi lain dilakukannya poligami.
3.      Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu haruslah ada badan yang memperkatikan janda-janda para syuhada’ ini. Dan tak ada jalan yang baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan mengawini mereka,
4.      Adakalanya karena istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya, padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan hidup bersuami istri, suami ingin mempunyai anak-anak sehat lagi pintar dan seorang Istri yang dapat mengurus keperluan-keperluan rumah tangganya.
5.       Dengan adanya sistem poligami dan melaksanakan ketentuan poligami ini di dunia Islam, merupakan satu karunia besar bagi kelestariannya, jauh dari perbuatan-perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami. Dan dengan adanya poligami maka:
a.       Jumlah kejahatan dan pelacuran akan berkurang, jumlah kaum pelacur lebih sedikit dari perempuan yang bersuami.
b.      Jumlah anak-anak haram akan semakin berkurang.
c.       Suami/istri atau laki/perempuan akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang membahayakan. [26]

H.    Analisis
Islam memberikan keleluasaan bagi kaumnya untuk mempunyai istri lebih dari satu, akan tetapi hanya terbatas empat orang istri, tidak lebih. Hal itu bisa terjadi apabila suami bisa berlaku adil terhadap semua istrinya, tanpa membedakan antara istri muda dan lainnya.
Dalam hal adil, bagi suami sangat sulit diwujudkan. Oleh karena itu, tidak sembarangan seorang laki-laki bisa mudah untuk beristri lebih dari satu. Dalam hukum Islam, khususnya di Indonesia memberikan persyaratan yang ketat terhadap orang laki-laki yang mau berpoligami, itu karena sulitnya untuk berlaku adil di antara istri.
Pernikahan Nabi telah memberikan kepada para pengkritiknya sarana penting untuk menyerangnya dan sebagian mereka telah jauh melampaui batas kejujuran dan kesopanan. Namun demikian, banyak fakta yang menjadi teladan dari Nabi dalam kehidupan berumahtangga yang baik. Memang, dalam berbicara pernikahan Nabi Muhammad tidak akan lepas dari kontroversi yang ada di dalamnya.
Bagi kita sekarang, mungkin saja poligami dipandang sebagai satu bentuk perbudakan terhadap wanita yang bertujuan untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Tetapi sebenarnya, poligami justru merupakan beban berat bagi laki-laki untuk menyelamatkan wanita-wanita Arab dari tradisi yang lebih kejam; tradisi yang membuat seorang suami hanya mengakui seorang istri, tapi dia membiarkan wanita-wanita lain yang juga digaulinya terlantar dan terhina.
 Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang di pandang baik adalah perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang menganut agama yang dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun berpendapat, perkawinan ‘monogami’ adalah perkawinan yang terbaik dan ideal, sehingga di kalangan masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku, bilamana ada orang yang berpoligami selalu dibicarakan orang, setidak-tidaknya para tetangganya akan membicarakan hal itu. Lebih-lebih dikalangan intelektual, bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi celaan dari teman-teman di kalangan mereka.
Poligami yang dilakukan oleh Nabi banyak dijadikan teladan bagi umat muslim. Namun tidak sedikit apa yang dilakukan Nabi dalam beristri lebih dari satu masih menjadi perdebatan di kalangan pemikir Muslim dan para orientalis. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak di antara kita yang kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga maksud yang semula mulia menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual belaka seperti banyak yang di beritakan dalam midia masa.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz-1, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt.
Al-Ahwadhi, Imam. Tuhfatu Al-Ahwadhi bi Syarah Jami’ Al-Turmudhi. Juz 4, Beirut: Dar Al-Kutub, 1990.
Al Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Al-Muntaqi. Syarh Al-Muwatta’. Juz-4, Beirut: Dar Al-Kutub, 1990.
Bintush-Shati’, Aishah. Istri-istri Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Hisham, Ibnu. As-Sirah Ibnu Hisham. Juz I.
           As-Sirah Ibnu Hisham. Juz IV.
Masfuk, Zuhdi. Masail Fikhiyah. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997.
Mustofa, Agus. Benarkah al-Qur’an Menyuruh Berpoligami karena Alasan Syahwat?. Surabaya: Padma Press, 2008.
Rahmat, Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
           Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Juz 6, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990.
Siddiqi, Abdul Hamid. Sirah Nabi Muhammad, Bandung: Marja, 2005.
Tutik, Titik Triwulan. dan Trianto. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Tarigan, Amiur Nuruddin, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Undang-undang Perkawinan di In


[1] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad (Bandung: Marja, 2005), 313.
[2] Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami,terj.Ahmad Sahal Mahfudz (Jakarta: Global Cipta Publishing, 2003), 25.
[3] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT SUN, 2004), 43.
[4] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat, 45.
[5] Muhammad Jamaluddin, Huquq Zaujayni wa Adab al-Liqa’ Bainahuma (Kairo: Maktabah al-Nur al-Muhammadi, tt), 7.
[6] H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 39-40.
[7] Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 55-56.
[8] Aishah Bintush-Shati’, Istri-istri Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 29.
[9] Ibnu Hisham, As-Sirah Ibnu Hisyam, Juz I, 352.
[10] Ibnu Hisham, As-Sirah Ibnu Hisyam, Juz IV, 296.
[11] Agus Mustofa, Benarkah al-Qur’an Menyuruh Berpoligami karena Alasan Syahwat? (Surabaya: Padma Press, 2008), 225.
[12] Ibid,.  226-227.
[13] Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 65.
[14] Al-Qur’an, (an-Nisa’): 3
[15] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 158.
[16] Ibid., 159.
[17] Slamet Abidin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 131.
[18] Imam Al-Ahwadhi, Tuhfatu Al-Ahwadhi bi Syarah Jami’ Al-Turmudhi, Juz 4 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1990), 233.
[19] Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz-1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), 628.
[20] Al-Muntaqi, Syarh Al-Muwatta’, Juz-4 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1990), 231.
[21] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 117.
[22] Zuhdi Masfuk, Masail Fikhiyah (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997), 12-13.
[23] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam, 159.
[24]  Undang-undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, tt), 6-7.
[25] H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, 40.
[26] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 6 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), 159-165.

Postingan terkait: