PENDAHULUAN
Hadith Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam
adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Kedudukan Hadith dalam hukum islam ialah merupakan sumber
kedua setelah Al-Qur’an, oleh karenanya sebagai seorang muslim/muslimah dituntut paling
tidak menguasai dan mempelajari Hadith sebagai peninggalan Rasulullah SAW yang
harus dijadikan pegangan untuk setiap orang islam dalam melangkah dan
mengerjakan kesehari-hariannya selain Al-Qur’an.
Ketika seseorang ingin mempelajari Hadith secara mendalam,
Maka disinilah peran ulumul Hadith atau ilmu-ilmu Hadith sangat diperlukan.
Karena dengan adanya ulumul Hadith seseorang dapat membedakan
tingkatan-tingkatan Hadith, serta dapat memilah kualitas Hadith sehingga kaum
muslimin tidak terjerumus dan terjebak dalam mengamalkan Hadith-Hadith dloif
(lemah) atau bahkan maudhu (palsu) yang tentunya dapat berakibat dalam
penyimpangan ibadah yang tidak bernilai disisi Allah SWT.
Namun, oleh karena masifnya perkembangan masyarakat
muslim di seluruh dunia, banyak pula istilah-istilah Hadith yang dikenal oleh masyarakat umum. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah
Hadith dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar
dan Athar. Meski pada dasarnya beberapa istilah tersebut merujuk pada hal yang
sama, namun istilah-istilah tersebut memiliki maksud yang berbeda. Baik dalam
segi epistemologis maupun aksiologis.
Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti hal-hal yang
berkaitan dengan istilah-istilah yang tersebut diatas. Meliputi; pengertian
Hadith, persamaan dan perbedaan dengan Sunnah, Khabar dan Athsar.
A. Pengertian Hadith, Sunnah, Khabar, dan
Athar
1.
Hadith
Kata "Hadith" atau al-Hadith
menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata
dari al-qadim (sesuatu yang lama).
Kata Hadith juga berarti al-Khabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.
Menurut jumhur ulama’, hadith adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, ataupun sifat.
Begitu juga sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik
berupa perkataan ataupun perbuatan. Maka dalam pengertian ini Hadith mencakup
marfu’, mauquf dan maqtu’.
Imam Toyyibi berkata: Hadith itu lebih umum, karena terdiri dari perkataan,
perbuatan, dan penetapan Rasulullah SAW beserta para sahabat dan tabi’in.[1]
Pendapat yang kedua, hadith adalah sesuatu yang disandarkan pada
Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan ataupun sifat. Maka
pada pengertian ini Hadith hanya diartikan pada marfu’ saja.
Pendapat yang ketiga, hadith adalah sesuatu yang disandarkan pada Rasul SAW, baik berupa ucapan
ataupun perbuatan.
Ibnu Al-Akfani berkata, Ilmu Hadith riwayah adalah ilmu yang mencakup perkataan dan perbuatan
Rasulullah SAW. Sekaligus memuat tentang periwayatannya, keakuratan dan
penulisan lafadz-lafadznya.
Sedangkan Imam Suyuti menyebutkan dalam bukunya tentang adanya pendapat
yang mengatakan bahwa tidak dinamakan Hadith selain yang marfu’ kecuali dengan
syarat taqyid (pembatasan).[2]
Contoh Hadith shoheh :Dari Abi Abdurrahman Abdillah bin Umar bin Khattab ra. berkata: Aku
telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Bangunan Islam itu atas lima
perkara Mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad
itu Utusan Allah, Mendirikan Shalat, Mengeluarkan Zakat, Mengerjakan Haji ke
Baitullah dan Puasa bulan Ramadhan." (Bukhari - Muslim)
2.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang
baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian
sunnah ditinjau dari sudut bahasa bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak
baik.[3]
Berkaitan dengan pengertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang
baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan
hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk,
maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya
hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah
muhadditsin (ahli-ahli Hadith) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW.,
dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah
praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah
konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk
waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi
juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.[4]
Menurut Ajjaj Al-Khathib, bila kata
Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud
dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang,
dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya.[5] Dengan demikian, apabila
dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang
dimaksudkannya adalah Al-Qur'an dan Hadith.
Pengertian Sunnah ditinjau dari
sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan
sama dengan Hadith, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi
syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah Hadith. Ulama ahli Hadith
merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira
maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang
dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata Hadith.
"Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang
diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang
paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima
dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul
SAW, tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan
penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan
untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum
diutus menjadi Rasul SAW, atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan
definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya
dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang
diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak
sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya" (H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di
atas, disebabkan karena ulama Hadith memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang
sempurna, yang dijadikan suri teladan
bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai
berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadith membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya
dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh,
memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang
wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7
yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau
kerjakanlah. Dan apa yang
dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah
"perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai
wajib atau fardlu.[6]
Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan, dan tidak dituntut apabila
ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah
menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan oleh Nabi secara
kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadith ialah ucapan-ucapan
Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak
ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Misalnya sunnah perkataan ialah:
"Segala
'amal itu dengan niat." (Riwayat Bukhari, Muslim dan
sekelian
ulama' hadith).
Sedankan sunnah perbuatan
ialah:
"Bersembahyanglah
kamu sebagaimana kamu melihat aku bersembahyang."
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
3. Pengertian al-Khabar
Selain istilah Hadith dan Sunnah,
terdapat istilah Khabar. Khabar menurut bahasa berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang.
Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar
sama artinya dengan Hadith.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang
dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah Hadith sama artinya dengan Khabar,
keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu'.[7] Ulama lain, mengatakan
bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang
datang dari Nabi SAW. disebut Hadith. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadith
lebih umum dari Khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun
muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap Hadith dapat dikatan Khabar, tetapi tidak
setiap Khabar dapat dikatakan Hadith.[8]
Menurut istilah sumber ahli Hadith;
baik berita
dari Nabi maupun berita dari sahabat, ataupun berita dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa Khabar
digunakan buat segala berita yang diterima dari yang selain
Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan Hadith
dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary
atau Khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadith lebih umum
dari Khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa Khabar lebih umum
dari pada Hadith, karena masuk ke
dalam perkataan Khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari
selainnya, sedangkan Hadith khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
saja.Misalnya khabar mauquf adalah khabar yang dikeluarkan Imam
al-Bukhari rahimahullah, tentang perkataan seorang rawi, bahwa ‘Ali ibn Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
حدثوا الناس بما يعرفون ،
أتريدون أن يكذب الله ورسوله
Artinya: “Ceritakanlah
kepada manusia sesuatu yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin Allah dan
Rasul-Nya didustakan?.
4. Pengertian al-Athar
Athar menurut bahasa adalah bekas dari sesuatu, atau sisa sesuatu,
dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Misalnya do'a yang dinukilkan dari Nabi
disebut: do'a ma'tsur. Mayoritas ulama mengartikan Athar sama dengan khabar dan
hadith. Seperti doa berikut ini: “Ya Alloh, cukupilah aku
dengan rizki-Mu yang halal (supaya aku terhindar) dari yang haram, perkayalah
aku dengan karunia-Mu (supaya aku tidak meminta) kepada selain-Mu.” (HR:
At-Tirmidzi).
Sedangkan menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama. Mayoritas ahli hadith mengatakan bahwa Athar sama dengan khabar, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan
menurut ulama Khurasan, bahwa Athar untuk yang Hadith mauquf dan khabar
untuk Hadith yang marfu’.[9]
Dari
keempat istilah yaitu Hadith, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadith
dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadith disebut juga
dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut
dengan hadith, khabar dan atsar. Maka Hadith Mutawatir dapat juga disebut
dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadith Shahih dapat
disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
B. Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Hadith
Nabi
As-Sunnah atau Hadith nabi adalah salah satu
sumber utama bagi umat islam sedunia, umat islam percaya bahwa diantara
fungsi Hadith adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
agar umat islam dapat memahaminya dengan baik dan dapat mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, karena didalam Hadith ialah sesuatu yang keluar dari
Rasul SAW dan dijamin kebenarannya. Meskipun dalam beberapa kasus Rasul juga
pernah ditegur oleh Allah Swt. Seperti yang terdapat pada surat Abasa, ayat 1-2
yang berbunyi:
عَبَسَ
وَتَوَلَّى أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى
Artinya:
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya.[10]
Rasul juga diperintahkan oleh
Allah untuk menyampaikan serta menguraikan wahyu Allah, dan hal ini tidak
menutup kemungkinan keluar dari ijtihad Rasul sendiri. Sebagaimana firman Allah
yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Artinya: Hai Rasul Allah ! sampaikan apa-apa yang
diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Dan kalau tidak kamu laksanakan apa yang
diperintahkan itu, berarti kamu tidak melaksanakan amanat risalahNya.[11]
Dan sesuai dengan firmanNya
yang berbunyi:
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Muhammad
Al-Qur’an, agar kamu supaya menjelaskan kepada umat manusia apa yang sudah
diturunkan kepada mereka.[12]
Pada masa sekarang ini umat islam dapat
secara mudah mempelajari Hadith-Hadith
Rasul, sekaligus memahaminya. Hal ini
tidaklah mungkin dapat dirasakan
tanpa adanya usaha dari para
sahabat dan tabi’in untuk membukukannya. Meskipun pada awalnya Rasul melarang para sahabatnya
untuk menulisnya, tujuannya ialah tidak lain agar segala sesuatu yang keluar
dari Rasul tidak tercampur dengan Al-Qur’an.
Proses perkembangan dan
pembukuan Hadith, penulis membagi menjadi dua fase:
1.
Perkembangan Hadith pada zaman Nabi sampai para sahabat.
Para ulama’ berbeda pendapat
tentang diperbolehkan dan tidaknya menulis sesuatu yang keluar dari Nabi.
Pendapat pertama mengatakan
tidak diperbolehkannya menulis Hadith, tetapi diperintahkan untuk langsung
menghafalnya. Diantara yang berpendapat seperti ini ialah: Umar, Ibnu Mas’ud,
Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abu Said Al-Khudlori. Mereka
berpendapat berdasarkan Hadith Rasul yang berbunyi:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: jangan kalian menulis apapun dariku
(Muhammad), dan barang siapa menulis sesuatu dari aku selain al-qur’an, maka
hapuslah.[13]
Pendapat kedua mengatakan
diperbolehkannya menulis Hadith Nabi. Diantara yang berpendapat seperti ini
ialah: Ali bin Abi Tholib, putranya Hasan, Anas, Abdullah bin Amr bin Ash dan
Jabir. Qodli Iad mengatakan bahwa mayoritas dari sahabat dan tabi’in memperbolehkan
untuk menulis Hadith Nabi.
Beberapa dalil untuk menguatkan
pendapat yang kedua:
a.
Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, berbunyi: [14]
اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ
b.
Hadith dari Abu Daud dan Hakim yang menceritakan bahwa Abdullah bin Amr
ingin menulis tentang segala sesuatu yang didengar dari Rasul, lalu
menghafalkannya. Tetapi orang Qurays melarangnya dan berbicara: wahai Abdullah
apakah kamu ingin menulis sesuatu yang kamu dengar dari Rasul, sedangkan dia
itu juga manusia yang dapat mengatakan sesuatu yang dia suka dan yang dia
benci? Kemudian Abdullah menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Lalu
Rasul bersabda:[15]
اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا
يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
c.
Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Huroiroh yang berbunyi:[16]
حَدَّثَنَا
عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو
قَالَ أَخْبَرَنِى وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَحَدٌ
أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّى ، إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ .
d.
Hadith yang diriwayatkan oleh Turmudli dari perkataan Abu Huroiroh:[17]
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَجْلِسُ إِلَى النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- فَيَسْمَعُ مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- الْحَدِيثَ
فَيُعْجِبُهُ وَلاَ يَحْفَظُهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أَسْمَعُ مِنْكَ الْحَدِيثَ
فَيُعْجِبُنِى وَلاَ أَحْفَظُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
اسْتَعِنْ بِيَمِينِكَ. وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ لِلْخَطّ
e.
Hadith yang disandarkan kepada Ar-Romahurmuzi dari Rofi’ bin Khodij:[18]
قال
: قلت : يا رسول الله إنا نسمع منك أشياء أفنكتبها ؟ قال : اكتبوا ذلك ولا حرج
f.
Hadith mauquf yang diriwayatkan oleh Hakim dari Anas:[19]
عن
أنس ، أنه كان يقول لبنيه : قيدوا العلم
بالكتاب
Pendapat ketiga mengatakan
diperbolehkannya menulis Hadith Nabi, lalu menghapusnya setelah dihafalkan,
kemudian membolehkan untuk mengumpulkan dan membukukannya, maka hilanglah
perbedaan pendapat.
Ibnu Solah mengatakan
seandainya Hadith tidak dibukukan, maka ia tidak akan dapat dipelajari pada
masa sekarang ini.[20]
Beberapa sanggahan dari
kelompok pendapat yang kedua terhadap pendapat yang pertama:
a.
Sesungguhnya larangan untuk menulis Hadith ialah terjadi pada permulaan
islam, karena kuatir akan terjadi campur aduk antara al-qur’an dan Hadith. Maka
tatkala jumlah orang islam menjadi banyak dan mereka mengenal al-qur’an
sekaligus dapat membedakannya dengan Hadith, maka hilanglah kekhawatiran
tersebut dan diperbolehkannya menulis Hadith.
b.
Sesungguhnya yang dilarang adalah menulis Hadith dan al-qur’an dalam satu
mushaf atau lembaran, karena ditakutkan akan tercampurnya Hadith degan
al-qur’an.
c.
Sesungguhnya larangan menulis Hadith adalah bagi orang-orang yang bagus
hafalannya dan dapat dipercaya, agar mereka tidak tergantung terhadap tulisan.
Sedangkan bagi orang yang hafalannya lemah, maka diperbolehkan untuk menulis Hadith,
karena takut hilang dan takut tercampur antara al-qur’an dengan Hadith.[21]
Dari pernyataan ini bahwa
pendapat kedualah yang paling kuat dan dapat diterima.
2. Pembukuan Hadith Pada Masa
Tabi’in.
Pada fase ini adalah masa pengumpulan Hadith dan
pembukuannya. Puncak fase ini adalah perintah Umar bin Abdul Azis kepada para bawahannya: “Pelajarilah Hadith Rasulullah, kemudian kumpulkanlah”.[22]
Dan suatu ketika Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada penduduk Madinah agar
mempelajari Hadith Rasul dan menuliskannya. Berikut petikan teksnya:[23]
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
إِلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ : أَنِ انْظُرُوا حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فَاكْتُبُوهُ ، فَإِنِّى قَدْ خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ
وَذَهَابَ أَهْلِهِ.
Karena perintah itu, maka
banyak para ulama’ berlomba-lomba mengumpulkan Hadith Nabi menjadi satu
kumpulan Hadith. Kemudian mereka mengirimkannya kepada Khalifah, lalu Khalifah
menyebarkannya ke berbagai kota.
Para sejarawan berbeda pendapat
tentang siapa yang pertamakali mengumpulkan Hadith nabi:
1.
Pendapat
pertama mengatakan ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Berdasarkan pengakuannya
bahwa dia diperintah Umar bin Abdul Azis untuk mengumpulkan Hadith Nabi.[24]
قال : سمعت
ابن شهاب يحدث سعد بن إبراهيم قال : أمرنا عمر بن عبد العزيز بجمع السنن فكتبناها دفترا دفترا، فبعث إلى كل أرض له
عليها سلطان دفترا
Disamping itu Muhammad
bin Syihab Az-Zuhri bangga mendapatkan
tugas yang mulia itu dan dia juga pernah mengatakan bahwa dialah orang yang
pertamakali membukukan Hadith Nabi.
وحق للزهري أن يفخر
بعمله قائلا : " لم يدون هذا العلم أحد قبلي"
2.
Pendapat
kedua mengatakan ialah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Karena dia
sebagai salah satu pekerja Umar bin Abdul Azis dan mendapat perintah untuk
menulis Hadith nabi.[25]
كَتَبَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ حَزْمٍ : أَنِ اكْتُبْ إِلَىَّ بِمَا ثَبَتَ عِنْدَكَ مِنَ الْحَدِيثِ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَبِحَدِيثِ عَمْرَةَ ، فَإِنِّى قَدْ خَشِيتُ
دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَهُ
3.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa adanya kemungkinan kedua-duanya, baik
Az-Zuhri ataupun Abu Bakar ialah orang yang pertamakali mengumpulkan dan
membukukan Hadith Nabi. Karena Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan
kedua-duanya untuk mengumpulkan dan membukukan Hadith Nabi.[26]
KESIMPULAN
Dari keempat istilah
yaitu Hadith, Sunnah, Khabar, dan Atsar,
menurut jumhur ulama, Hadith dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu
bahwa hadith disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya
sunnah, dapat disebut dengan hadith, khabar dan atsar. Maka Hadith Mutawatir
dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadith
Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Permulaan Islam Rasulullah SAW memang melarang para
Sahabatnya untuk menulis segala sesuatu yang keluar dari Rasul, baik itu yang
berupa perkataannya, perbuatannya, ketetapannya ataupun sifat-sifatnya, karena
ditakutkan akan terjadinya campur aduk antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Tetapi
keadaan menjadi berubah tatkala jumlah umat islam semakin banyak dan diantara
mereka banyak yang hafal Al-Qur’an, sekaligus dapat membedakan antara Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Maka pada masa akhir hidup Rasul, beliau sendiri yang
memerintahkan sahabatnya untuk menulis Hadith.
Dari
kenyataan seperti ini, maka hilanglah perbedaan pendapat tentang diperbolehkan
atau tidak diperbolehkannya menulis dan membukukan Hadith Nabi. Oleh sebab itu
umat islam sepakat bahwa penulisan dan pembukuan Hadith Nabi itu diperbolehkan
dan dibenarkan
DAFTAR
PUSTAKA
Ajjaj al-Khathib, Muhammad. Ushul
al-Hadith Ulumuhu wa Mushthalahuhu . Bairut: Dar al-Fikr, 1998.
Ali, Atabik, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: pondok
pesantren Krapyak, 2002.
Al-Muhith al-Fasil Baina Rawi Wa al-Wa’iy. Maktabah Syamilah
Almustadrok Lilhakim. Maktabah Syamilah
Al-Suyuti, Tadriburr Rawi Fi Syarhi Taqrib al-Nawawi. Maktabah
Syamilah.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadith, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998.
Bakar,
Muhammad Mahmud., Mausu’ah Ulum al-Hadith,Kementrian Agama Republik Arab
Mesir, 2009.
Chalil, Moenawar, Kembali Kepada al-Qur'an dan
as-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Fathul
Mughith. Maktabah Syamilah
Husnuddu'at, Sukarnawadi H., Meluruskan
Bid'ah, Surabaya: Dunia Ilmu,1996.
Ibnu Abdil Bar, Jami’ al-Bayan al-Ilm. Maktabah Syamilah
Ibnu Hajar, Fathul Bari.
Maktabah Syamilah
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadith
Nasbi, Jakarta: Bulan Bintang,1992.
Khusu’i,
Muhammad, Mausu’ah Ulum al-Hadith,
Kementrian Agama Republik Arab Mesir, 2009.
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History,
terj. Anar Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka,
1995
Sohih Bukhori. Maktabah Syamilah
Sohih Muslim. Maktabah Syamilah
Sunan Abu Daud. Maktabah Syamilah
Sunan al-Darami. Maktabah Syamilah
Sunan Tirmidzi. Maktabah Syamilah.
Zuhdi, Masjfuh, Pengantar Ilmu Hadith,
Surabaya: Bina