MAKALAH ALIRAN MU’TAZILAH

BAB I 

PENDAHULUAN 

A.Latar belakang 

            Sejarah telah mencatat bahwa perpecahan umat Islam sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan pandangan pada suatu persoalan subtansi agama. Ini telah dicontohkan adanya perpecahan pada umat Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, zaman khulafaurrosidin, bani Umayyah dan bani Abbasiyah. Perpecahan umat islam terus menerus terjadi mulai dari adanya munculnya aliran jabariyah qodariyah. Satu syi’ar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang tidak mengerti bagaimana islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak banyak para kaum muslim yang terpuruk dan terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini. (goldziher,2010:129) 

            Umat Islam semakin mengeneralisasi pada saat perbedaan pemikiran dan pandangan telah masuk dalam ranah teologi, dan hukum. Perpecahan umat Islam tidak berhenti pada ranah pemikiran namun juga telah masuk pada ranah action, bukan hanya perbedaaan pendapat namun juga berbeda aliran, dan diperparah lagi perbedaan itu berkahir dengan pertumpahan darah. Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran islam itu sendiri. 

            Dari rangkaian diatas maka penulis mencoba mengurai kembali sejarah penyebab perpecahan umat Islam dalam sudut pandang salah satu aliran yang fenomenal dalam sejarah pemikiran Islam agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap generasi selanjutnya. Adapun tulisan ini membahas tentang bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, siapa saja tokoh-tokoh dan pemikirannya dan bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah sebagai aliran teologi 

BAB II 

PEMBAHASAN 

            Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka. Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. 

            Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu‟tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. ( Nasution,1986: 36) 

            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. AsySyihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. 

            Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam beragama. Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ “ اِ” Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu‟tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak sempurna.(Nasution, 1986:47) 

            Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da‟mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,“ini kaum Mu‟tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu‟tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). (Rosihan, 2009:78) 

B. Tokoh –Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya 

1. Wasil bin Atha 

            Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma‟bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah),dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

2. Abu Huzail al-Allaf 

            Abu Huzail al-„Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu‟tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu‟tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini. Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya.

            Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah. (Rosihan, 2009:80) 

3. Al-Jubba’i 

            Al-Jubba‟I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy‟ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah „aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar‟iah). (Goldziher,2010:150) 

4. An-Nazzam 

            An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb atau gaya bahasa dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.( Rosihan, 2009:80) 

5. Al- jahiz 

            Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam. 

6. Mu’ammar bin Abbad 

            Mu‟ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat aljahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-„arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan. 

7. Bisyr al-Mu’tamir 

            Bisyr al-Mu‟tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu. 

8. Abu Musa al-Mudrar 

            Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala. 

9. Hisyam bin Amr al-Fuwati 

            Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.(Rosihan, 2009: 81) 

C. Ushul Al Khamsah 

            Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah ( lima landasan pokok ) yaitu Tauhid, Al –‘Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina Manzilatain, dan Al Amr bi Al Ma‟ruf wa Al Nahi an Al Munkar. 

1. At-Tauhid (ke-Esaan) 

            At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaranmu‟tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.Namun bagi mu‟tazilah ,tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu‟tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari founding father aliran ini, yakni Washil bin „Atho. Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah. 

            Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya Mu‟tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.(Sharif (ed). Aliranaliran Filsafat Islam. ( Cendekia2004:21). 

 Doktrin tauhid Mu‟tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu‟tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki rujukan yang yang sangat kuatdi dalam Al qur‟an yang berbunyi (artinya) : “ tidak ada satupun yang menyamainya. ( Q.S.Assyura : 9 ) (Rosihan:.82) 

2. Al – ‘Adl (keadilan Tuhan) 

            Ajaran dasar Mu‟tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang Mu‟tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.(Widjaya. 1986:103) 

Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain : 

a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu‟tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. 

b. Berbuat baik dan terbaik. Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahkan menurut Annazam, salah satu tokoh mu‟tazilah konsep ini berkaiatan dengan kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan. 

c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajban Tuhan karena alasan berikut ini : 

• Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka. 

• Al qur‟an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul. 

• Tujuan di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul. 

2. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman) 

            Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta‟at dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa. 

3. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat) 

            Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu‟tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut pandangan Mu‟tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum taubat, orang itu dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.( Widjaya. 1986:84)

4. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an AlMunkar (Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan) 

            Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu‟tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu‟tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. 

D. Perkembangan Aliran Mu’tazillah sebagai aliran teologi 

            Disisi lain secara umum, aliran Mu‟tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiyah (100 H - 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu‟tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu‟tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur‟an adalah makhluk”. Memang pada awalnya Mu‟tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu‟tazilah. Mu‟tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah –sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy‟ariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.(Madkour, 2009:46-47) 

            Golongan pertama, (disebut Mu‟tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu‟tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu‟tazilah yang tumbuh dikemudian hari.  

            Golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur‟jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur‟jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu‟tazilah II inilah yang dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. 

            Kaum Mu‟tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha diabad ke Sembilan untuk memaksa faham-faham mereka dengan kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu. Pemikiran rasionil Mu‟tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut. (Nasution, 1986:40) 

E. Kesimpulan 

            Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka. 

             Aliran mu‟tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua Kaum mu‟tazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah golongan pertama, (disebut Mu‟tazilah I) muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur‟jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum mu‟tazilah salah satunya Ahlul ‘Adl Wa atTauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok mu‟tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (AlAdlu), Janji dan ancaman (al-Wa‟du wal Wa‟idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan („amar ma‟ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu‟tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia islam. 

Daftar pustaka 

goldziher,Ignaz. Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)

Ibrahim,Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) 

Nasution,Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. (UI Press, 1986) 

Rozak,Abdul. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2009) 

Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004) 

Tain,Thahir. Ilmu Kalam. (Jakarta: Widjaya, 1986)

Postingan terkait: