MAKALAH ALIRAN ASY’ARIYAH

BAB I

PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang 

            Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan istilah ahl al Sunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat disebut sebagai ahlusSunnah wal Jama’ah. Kemunculan madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli Sunnah yang pertama. 

            Termasuk Ahli Sunnah wa Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap pemahaman golongan Mu'tazilah yang telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, satu per satu usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaranajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan untuk menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtadha, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Kelihatannya, murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut, di Thahart (suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko) terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil (Nasution, 1986: 62) 

            Abu al-Hasan al Asy’ari pernah menganut paham Mu’tazilah dan bahkan menjadi murid kesayangan Abu Ali al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Oleh karena itulah beliau mempunyai kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak kalah dengan gurunya. Namun kemudian beliau berbalik menjauhkan diri dari Mu’tazilah. Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran mu’tazilah pertama kali dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara seruannya antara lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah yang menyakini bahwa Alquran adalah makhluk.

BAB II 

PEMBAHASAN 

2.1 Sejarah dan Pemikiran Aliran Asy’ariyah 

            Al Asy’ari adalah nama sebuah suku bangsa (kabilah) Arab terkenal dikota Bashrah (Irak). Dari suku bangsa tersebut mulai bermunculan beberapa orang tokoh terkenal yang berpengaruh dalam sejarah peradaban umat Islam. Nama AlAsy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang terlahir dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M (Karya, 1996: 25). Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam kurun waktu lamanya ia memahami dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham pakar-pakar hadits dan fiqih. 

            Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk merenungkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara lantang dan menyatakan keputusannya keluar dari Mu’tazilah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya" (Ahmad, 2009: 177) 

            Al-Asy’ari menulis kurang lebih 90 kitab dalam berbagai pengalaman yang dibaca oleh banyak orang. dia tidak setuju dengan pendapat Aristoteles, golongan Jahamiyah dan golongan Murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan AlAsy’ari adalah ditujukan pada orang- orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan beberapa tokoh lainnya. 

Contoh perdebatan antara Imam Al-asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai: 

1. Abu al-Hasan Al-Asy’ari bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga jenis orang yang meninggal dengan keadaan yang berbeda, mukmin, kafir dan anak kecil. 

2. Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir akan masuk neraka dan anak kecil akan selamat dari neraka. 

3. Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu bisa? 

4. Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taqwa kepada Allah, sedangkan anak kecil belum beramal sama sekali seperti itu. 

5. Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku dihidupkan hingga dewasa, pasti aku akan taqwa seperti amalnya orang mukmin. 

6. Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya anak kecil itu sampai dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau menjadi dewasa. 

7. Al-Asy’ari: seandainya si kafir juga bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak juga menjaga keselamatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya (Nasution, 1986: 66-67). 

Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah ialah: 

1. Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah saw, sebanyak 3 kali. yakni pada malam dibulan Ramadhan. Dan dalam mimpinya itu Rasulullah saw menyuruhnya agar meninggalkan paham Mu’tazillah. 

 2. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsep pemahaman aliran Mu’tazilah dalam perdebatan yang telah terjadi ditulis di atas.  

3. Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazillah maka akan terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa berdampak pada mereka (Rozak, 2007: 43). 

            Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari cara pemakaian akal dan pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas hal-hal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan. Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut: 

1. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran tersebut.

2. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar. 

 3. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya (Subhani, 1997: 343). 

            Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut: “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim” (Rozak, 2007: 45)

            Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah Alqur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidahkaidah ilmu kalam. Oleh karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami Alqur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut : pertama, Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan; kedua, Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena, menurut Asy’ariyah, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’ (Nasution, 1975: 44-45).

            Namun demikian kedua konsekuensi akibat penggunaan ilmu kalam dalam penafsiran wahyu dan hadits tersebut agaknya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Dalam masalah penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al-Hasan sendiri menyarankan agar dalam penafsiran Alquran lebih merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan penafsiran yang mutawatir di kalangan shahabat. Dengan demikian klaim bahwa Asy’ariyah lebih mendahulukan akal dibandingkan naql pada saat keduanya bertentangan tidak sepenuhnya benar jika ditinjau dari pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari (Nida’, 1994, 9-10). 

            Demikian juga penolakan penggunaan hadits ahad dalam pembahasan aqidah, mungkin saja hal tersebut benar. Namun demikian dapat dibuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar jika pemikiran Asy’ariyah disandarkan kepada Abu al-Hasan al- Asy’ari. Dalam penetangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur. Dari fakta ini dapat dikatakan, Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya 6 syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran. Sementara kedua pembahasan tersebut, yaitu tentang syafaat rasulullah dan siksa kubur, merupakan permasalahan aqidah yang disandarkan kepada hadits ahad (Hourani, 1962: 108).

2.2 Tokoh-Tokoh dalam Aliran Asy'ariyah 

             Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan Utsmaniah dan di wilayah-wilayah yang lain. Ideologi ini juga disokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -Qafal, alJarjani dan lain-lain hingga sekarang (Adams, 1993: 52). 

            Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’ari adalah dengan mengemukakan hujah logis yang disertakan hujah teks Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw. Hujah- hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jama'ah untuk menghadapi hujah golongan Mu'tazilah yang pesat berkembang dan mendapat sokongan daripada pemerintah- pemerintah kerajaan Abbasiyah. Akhirnya, golongan Mu'tazilah bukan saja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan faham Asya’ irah (Hanafi, 2003: 37). 

            Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran faham ini seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin alTaib al Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad al-Juwaini, Abu Mazfir al-Asfaraini, Imam al-Haramain al-Juwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin al-Razi. 

            Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min Uslul Diniyati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiyah yang menyokong Mu'tazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku Al-Luma‘ Fi al- 7 Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid‘i beliau menbedahkan hujah logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin menbedahkan faham-faham yang timbul dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian faham-faham akidah. Buku Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam juga adalah risalah kecil bagi yang menolak hujah mereka yang mengharamkan ilmu Kalam. 

            Walaupun ada di antara sarjana-sarjana Islam terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang dibawa oleh Abu Hasan Asy’ari, namun ia tidak menafikan jasanya mempertahankan faham Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Faham beliau berjaya mematikan hujah-hujah Mu'tazilah yang bergeser jauh yaitu membicarakan Alquran sebagai kata-kata Allah yang kekal, isu melihat Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara yang berhubung dengan Qadha dan Qadar dan lain-lain dan menjadi golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di tengah-tengah kelahiran berbagai faham pada zamannya (Nasir, 1996: 58). 

            Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun 324 H dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebagian besar umat Islam hari ini dalam melanda tantangan-tantangan baru yang tidak ada pada zamannya. Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah kontemporer guna mempertahankan akidah yang sebenarnya. 

            Di sini penulis akan menguraikan 3 (tiga) orang tokoh aliran Asy'ariyah secara sederhana, antara lain: 

            Pertama, Al-Baqillani. Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran Mu’tazillah sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh. dan menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Di sinilah terjadi mu'jizat itu karena mu'jizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan. 

            Kedua, Al-Juwaini. Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi Islam. Empat hal yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat dilihat dengan alam yang dapat dilihat, yaitu: 

1. Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (alim).

2. Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui 

3. Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu” 

4. Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan. 

            Ketiga, Al-Ghazali. Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir Islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi Islam, Hukum Islam, dan lain sebagainya. Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah Bain al-Islam wa al-Zandaqah dan Al-Iqtishad. Menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal – soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilafiah yang sudah disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang (Aboebakar, 1989: 90). 

2.3 Pengaruh dan Penyebaran Aliran Asy’ariyah 

            Paham Asy’ariyah sangat erat sekali dalam tubuh umat Islam dan akidah tersebut terus menyebar di tengah kaum muslimin. Mereka tidak menyadari bahwa paham yang mereka anut adalah paham yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, paham yang baru ada setelah berakhirnya generasi utama umat ini: sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in. 

Jika kita telaah, berkembangnya paham Asy’ariyah di berbagai negeri disebabkan beberapa faktor, di antaranya:  

1. Anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal kita telah ketahui betapa banyak penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah akidah, sehingga para ulama menyatakan Asy’ariyah bukanlah Ahlus Sunnah. 

2. Di sejumlah negara, paham ini didukung oleh para penguasa. Di kawasan Asia, aliran Asy’ariyah dijadikan aliran resmi Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) yang didirikan oleh Mahmud Gaznawi. Berkat jasa Mahmud Gaznawi itulah, aliran ini menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga Indonesia. Aliran Asy’ariyah berkembang sangat pesat pada abad ke-11 M, tepatnya pada masa kekuasaan Aip Arsalan dan Dinasti Seljuk (abad 11-14 M). Menurut sejarah, sang khalifah dibantu oleh perdana menteri yang begitu setia mendukung aliran Asy’ariyah, yakni Nizam al- Mulk. Pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk. 

3. Paham Asy’ariyah juga tersebar seiring menyebarnya Shufiyah (sufi). 

4. Paham ini banyak dianut tokoh-tokoh di mazhab fikih. Sebagai contoh, al-Baqilani, adalah tokoh Asy’ariyah yang merupakan tokoh mazhab Maliki. 

5. Tersebarnya buku-buku Asy’ariyah, bahkan dijadikan kurikulum standar di lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan lainnya. 

6. Kedustaan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. 

7. Adanya sebagian orang yang masih memasukkan Asy’ariyah dalam kelompok Ahlus Sunnah. 

8. Difigurkannya sebagian tokoh Asy’ariyah. 

9. Menyebarnya kelompok dakwah yang membawa fikrah Asy’ariyah, seperti Jamaah Tabligh dan thariqat-thariqat (tarekat-tarekat) shufiyah. 

10. Banyak lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun lainnya memasukkan akidah Asy’ariyah dalam kurikulum mereka. 

            Bukti kuatnya pengaruh Asy’ariyah di masyarakat Indonesia yakni bahwa paham Asy’ariyah diajarkan sejak dini di surau, masjid, majelis taklim, TPA, dan 10 lainnya. Kita ingat dan mendengar bagaimana anak-anak kecil didikte untuk menghafal sifat dua puluh. Sifat dua puluh mulai diperkenalkan oleh seorang Asy’ari, yaitu as-Sanusi. Buku-buku berpaham Asy’ariyah dijadikan kurikulum baku di lembaga-lembaga pendidikan. Sebagai contoh: Diajarkannya sifat dua puluh di sekolah-sekolah. 

            Tokoh-tokoh Asy’ariyah menjadi figur banyak kaum muslimin, bahkan karya-karya mereka menjadi rujukan. Di antara tokoh-tokoh Asy’ariyah yang masyhur di negeri ini adalah al-Baqilani, Abu Hamid al-Ghazali, ar-Razi, as-Sanusi, Muhammad Nawawi al- Bantani, Said Hawa, al-Juwaini, dan Sirajudin Abas. Sebagian peneliti mengungkapkan bahwa al-Juwaini adalah penganut Asy’ariyah tulen. Sementara itu, sebagian yang lain meyakini bahwa ia pengikut Mu’tazilah. Kelompok pertama memberikan argumen bahwa al-Juwaini pernah belajar kepada Abu Qasim al-Isframi, seorang ahli teologi Asy’ariyah. Ia juga pernah berguru kepada tokoh Asy’ariyah yang lain, yakni al-Baqilani. Bukti lain keterkaitan al-Juwaini dengan aliran Asy’ariyah adalah ia pernah mengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. “Kesuksesan” al-Juwaini dalam mendidik murid-muridnya di Madrasah Nizamiyah itu diungkap secara terperinci dalam buku Al-Juwaini, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam karangan Tsuroya Kiswati (Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya). 

            Di pondok-pondok pesantren, diajarkan di sana kitab-kitab yang berpemikiran Asy’ariyah, misalnya: Aqidatul Awam yang diajarkan di pondok-pondok pesantren, mengajar sifat dua puluh yang merupakan prinsip Asy’ariyah, Tafsir Jalalain, terutama dalam hal sifat-sifat Allah, Ihya Ulumudin, Ummu Barahin, Kasyifah al-Haji, Qathr Ghaits, dan Masail al-Laits. 

            Banyaknya kelompok dakwah yang membawa paham Asy’ariyah, di antaranya: Jamaah Tabligh, mereka ini sebagaimana dikatakan asy-Syaikh al-Albani adalah shufiyah (sufi) abad ini, Ikhwanul Muslimin, kita telah tahu bahwa pergerakan ini didirikan di atas thariqat, karena Hasan al-Banna adalah pengikut tarekat dan banyak tokoh IM mendakwahkan paham Asy’ariyah, dan Tarekattarekat shufi (Hasibuan, 2017: 441)

BAB III 

PENUTUP 

3.1 Simpulan 

            Tahun 873 M atau bertepatan dengan 260 H, Abu Hasan Ali bin Ismail alAsy'ari lahir di Basra. Ia dididik dan dibesarkan di kalangan Mu'tazilah. Dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di kota Baghdad, Irak. Tahun 912 M al-Asy'ari memutuskan keluar dari Muktazilah, setelah bergumul dalam kelompok itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Mu'tazilah. Kelompok al-Asy'ari ini dikenal dengan Asy'ariyah. Tahun 935 M alAsy'ari wafat. Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-Jamaah dilanjutkan oleh murid-muridnya. Di antarannya adalah al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, dan al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asy'ariyah bernama Abdul Malik bin AbduHah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini al-Nisaburi, atau yang dikenal dengan Al-Juwaini. 

            Ia menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. Madrasah ini menjadikan teologi Islam aliran Asy’ariyah sebagai kurikulum resmi. Salah satu murid Al-Juwaini yang terkenal adalah Al-Ghazali. Tahun 1058 M lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang kemudian menjadi pembela aliran Asy'ariyah paling berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali juga pernah menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak saat itu aliran Asyariyah menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam, dari Andalusia hingga Indonesia. Tahun 1067 M Nizam alMulk, Perdana Menteri Dinasti Seljuk, mendirikan Madrasah Nizamiyah. Madrasah ini memiliki cabang di berbagai kota penting dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tahun 1427 M. lahir tokoh Asy'ariyah yang lain, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya pengaruh yang besar di Indonesia, terutama konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya. 

DAFTAR PUSTAKA 

Aceh, Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. (Ramadhani, Surakarta, 1989), h. 90. 

Adams, Charles C. Islam and Modernisme in Egypt. (Newyork: Rusell and Rusell, 1993), h. 52.

Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 177. 

Hanafi. Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), h. 37. 

Hasibuan, Hadi Rafitra. Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam Asy’ariyah,             2017), h. 441 

Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age. (London: Oxford University Press, 1962), h. 108.

Karya, Soekama. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Logos, Jakarta, 1996). h. 25. 

Nasir, Salihun A. Pengantar Ilmu Kalam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 58. 

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam. (Jakarta: Bulan             Bintang, 1975), h. 54-55. 

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986),             h. 62. 

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986),             h. 66-67. 

Nida’, Abu. Al Masih Ad-Dajjal dan Keimanan Terhadap Keluarnya di Akhir Zaman. (Majalah As-            sunnah No. 09/I/1415-1994), h. 9-10. 

Rozak, Abdul. Ilmu kalam. (Bandung: Pustaka setia, 2007), h. 43. 

Rozak, Abdul. Ilmu kalam. (Bandung: Pustaka setia, 2007), h. 45. 

Subhani, Ja'far. Al-Milal wan-Nihal; Studi Tematis Mazhab Kalam, (Jakarta: Penerbit Al-Hadi, 1997),             h. 343

Postingan terkait: