Telaah Pemikiran Syaikh Muhammad Syakir dalam kitab washoya
al-abaa’ lil abnaa’
PENDAHULUAN
Pendidikan akhlak dalam
kehidupan modern saat ini sangat diperlukan bagi manusia modern dalam
menghadapi perubahan zaman. Apalagi fenomena dunia pendidikan sekarang sering
diwarnai dengan tidak adanya keseimbangan antara aspek material dan spiritual,
selain itu tokoh-tokoh di Negara kita sering tidak mencontohkan uswah yang
hasanah. Padahal dapat diketahui melalui nasihat Syaikh Syakir berkata bahwa
akan lebih bahaya ilmu pengetahuan yang tidak dihiasi dengan akhlak yang mulia.
Pendidikan seringkali
ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan transfer of
knowledge dan arena indoktrinasi. Pendidikan hanya merupakan penyampaian
materi yang hampa dari nilai-nilai spiritual dan pengamalan yang berakibat pada
peserta didik dan output pendidikan itu sendiri,
Meskipun
kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan kebijakan kurikulum
berbasis karakter tetapi kiranya hal tersebut masih kurang maksimal. Pendidikan
disini perlu adanya pembiasaan, nasihat/ wasiat wasiat yang memberikan makna
yang berarti kepada setiap siswa. Di mana siswa di ajak berfikir melalui
karya-karya para ulama atau ahli ilmu sehingga dengan sendirinya dan penuh
kesadaran siswa akan melakukan perbuatan kebaikan tanpa adanya paksaan.
Melihat
pentingnya pendidikan akhlak tersebut. maka pada kesempatan ini penulis akan
memaparkan beberapa nilai pendidikan akhlak anatar guru dan siswa yang
terkandung dalam kitab Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’ karangan Syaikh Muhammad
Syakir.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syaikh Muhammad Syakir
Beliau lahir di Jurja, Mesir pada pertengahan Syawal
tahun 1282 H bertepatan pada tahun 1863 M. dan wafat pada tahun 1939 M. Ayahnya
bernama Ahmad bin Abdil Qadir bin Abdul Warits.[1]
Keluarga Syaikh Muhammad Syakir telah dikenal sebagai keluarga yang paling
mulia dan yang paling dermawan di kota Jurja.[2]
Beliau termasuk Min ba’dhil muhaddistin atau ahli hadis, memang bukan
karena periwayatannya terhadap hadis sebagaimana Imam Bukhori dan lainnya, tapi
karena bidang keilmuan yang digelutinya. Nama laqob beliau adalah Syaikh Muhammad
Syakir Al-Iskandariyah.
Beliau lahir dalam lingkungan Mazhab Hanafi, dalam
wasiatnya tentang hak-hak teman, beliau menjadikan Imam Hanafi sebagai contoh,
yakni saat Imam Hanafi ditanya tentang keberhasilannya memperoleh ilmu
pengetahuan, beliau menjawab “saya tidak pernah malas mengajarkan ilmu
pengetahuan pada orang lain dan terus berusaha menuntut ilmu.” selain itu,
memang sebagian warga Mesir adalah pengikut Mazhab Hanafi. Mazhab Maliki mendominasi
Mesir bagian atas, sedangkan Syiah mendominasi Mesir bagian bawah.[3]
Beliau dikenal sebagai seorang pembaharu Universitas
Al-Azhar. Yakni, beliau adalah mantan wakil rektor Universitas Al-Azhar.[4]
Karirnya dimulai dari menghafal Al-Qur'an dan belajar dasar-dasar studinya di
Jurja, Mesir, kemudian beliau rihlah (bepergian untuk menuntut ilmu) ke
universitas Al-Azhar dan beliau belajar dari guru-guru besar pada masa itu,
kemudian dia dipercayai untuk memberikan fatwa pada tahun 1307 H. Dan kemudian
beliau menduduki jabatan sebagai ketua Mahkamah mudiniyyah al-qulyubiyyah, dan
tinggal di sana selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi Qadhi (hakim)
untuk negeri Sudan pada tahun 1317 H.[5]
Dan dia adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini, dan orang yang pertama
yang menetapkan hukum-hukum hakim yang syar'i di Sudan.
Pada tahun 1322 H. beliau
ditunjuk sebagai guru bagi para ulama-ulama Iskandariyyah. Kemudian
beliau ditunjuk sebagai wakil bagi para guru Al-Azhar. Pada tahun 1913 M beliau
mendirikan Jam'iyyah Tasyni'iyyah dan menjadi anggota
organisasi tersebut, sebagai pilihannya dari sisi pemerintah Mesir, dan dengan itulah beliau meninggalkan
jabatannya, serta enggan untuk kembali kepada satu bagianpun dari
jabatan-jabatan tersebut, dan beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada
sesuatu yang memikat dirinya, bahkan beliau lebih mengutamakan untuk hidup
dalam keadaaan pikiran, amalan, hati dan ilmu yang bebas lepas.
Sedangkan mengenai karya
beliau, banyak literatur baik dalam ensiklopedi maupun situs internet yang
mengatakan Syaikh Muhammad Syakir sebagai penulis yang produktif. Karya ilmiah
tersebut berupa makalah dan tulisan singkat dari buah pemikiran beliau. Namun karya beliau yang berupa buku,
sebatas penelusuran penulis baru ditemukan kitab Washoya ini.
B. Gambaran Kitab Washoya
Al-Abaa’ lil Abnaa’
Kitab Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’ adalah Kitab yang
berisi wasiat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak. Dalam
mengungkapkan nasihat-nasihatnya tentang akhlak Syaikh Muhammad Syakir
menempatkan dirinya sebagai guru yang sedang menasehati muridnya. Dimana relasi
guru dan murid di sini diumpamakan sebagaimana orang tua dan anak kandung. Bisa
diumpamakan demikian karena orangtua kandung pasti mengharapkan kebaikan pada
anaknya, maka dari itu seorang guru yang baik adalah guru yang mengharapkan
kebaikan pada anak didiknya, menyayangi sebagaimana anak kandungnya sendiri,
salah satunya lewat mau’idhoh hasanah dan mendoakan kebaikan.
Kitab ini selesai dikarang oleh Syaikh Muhammad Syakir
pada bulan DzulQo’dah tahun 1326 H,[6]
1907 M. Kitab ini sangat familiar dalam kurikulum pendidikan non formal seperti
madarasah diniyah dan pesantren. Kitab Washoya mengemas pendidikan akhlak dalam
bentuk bab per bab sebanyak 20 bab, dengan disertai uraian konsep dari tema yang dibicarakan.
Layaknya dalam kitab-kitab kuning lainnya, pengarang
tidak mencantumkan biografi penulis, tahun terbit maupun hak cita penerbit, sebagaimana
layaknya buku-buku ilmiah lain. Mereka menyampaikan suatu karya lebih didorong
oleh keinginan untuk menyampaikan sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat,
mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang ditulis itu
dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan bagi masyarakat. Sehingga hak terbit suatu karya tidak
dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan.
C.
Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Washoya
Al-Abaa’ lil Abnaa’
Sebagai Kitab
yang berisi tentang wasiat-wasiat akhlak, Washoya Al-Abaa’lil Abnaa’ sudah
pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak
dalam Kitab ini dimulai dengan relasi guru dan murid yang diumpamakan
sebagaimana orangtua dan anak kandung. Guru adalah orang yang mengharapkan
kebaikan bagi muridnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang dipercaya,
berperan sebagai penasehat, pendidik, pembina rohani, dan suri tauladan. Namun
pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri
sendiri itu lebih utama.[7]
Untuk mensukseskan tugas-tugas guru tersebut, maka
dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa
kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru serta
mencontohnya. Syaikh Muhammad Syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan
nasehat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia akan melaksanakannya
ketika bersama teman-temanya.
Harapan baik seorang guru terhadap muridnya di sini
lebih ditekankan pada kebaikan akhlak. Beliau memberikan perhatiannya pada
betapa pentingnya akhlaqul karimah. Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap
orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan
berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang. Perumpamaan dari hal
ini adalah, jika ilmu pengetahuan tidak disertai dengan akhlak mulia, maka ilmu
pengetahuan itu lebih berbahaya daripada kebodohan. Karena orang bodoh medapatkan
dispensasi sebab kebodohannya, dan tidak demikian dengan orang alim.
Hadist pentingya menghiasi ilmu
pengetahuan dengan akhlaqul karimah, Rasulullah bersabda:
قَلَ
رَسُلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ اسْتَخْلَصَ هذَا الَّدِّيْنَ
لِنَفْسِهِ ,وَلَا يَصْلُحُ لِدِيْنِكُمْ اِلَّا السَّخَاءُ وَحُسْنُ الْخُلُقِ و
اَلَا فَزَيْنُوْادِيْنَكُمْ بِهِمَا.
“Sesungguhnya
Allah mensucikan agama ini (Islam) karena diri-nya. Tidak akan suci agamamu
kecuali dengan sifat dermawan dan baik budi pekerti. Hiasilah agamamu dengan
keduanya.” (HR. Ath-Thabrani dari Imran bin Hushain)
Selanjutnya nilai-nilai
pendidikan akhlak tersebut terangkum dalam beberapa wasiat akhlak, di antaranya
adalah:
Sebelum menyampaikan nasihat
untuk bertakwa, terlebih dahulu beliau menyampaikan bahwa Allah maha melihat
segala sesuatu dalam keadaan apapun,
bahkan apa yang ada dalam hati sekalipun. Karena segala kenikmatan yang diberikan
Allah pada kita, maka sebagai ungkapan rasa syukur kita adalah dengan bertakwa
kepada-Nya. yaitu menjalankan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya. Perintah
bertakwa diumpamakan ketika seorang ayah mengetahui anaknya melakukan hal-hal
yang dilarangnya, maka si anak menjadi takut akan diberi hukuman oleh ayahnya.
Selanjutnya, disampaikanlah
perintah untuk bertakwa. Sebagaimana beliau menyampaikan hal terkait takwa, yaitu:
“Hai anakku sayang, janganlah
kamu mengira kalau takwa kepada Allah adalah solat, puasa atau ibadah-ibadah
saja, tapi takwa itu meliputi segala hal.”
Yang dimaksud
bertakwa kepada Allah bukan hanya ibadah kepada Allah, namun juga hablun
minal alam (berbuat baik kepada makhluk Allah dan hubungan dengan sesama
manusia). Takwa itu memang berat, maka caranya adalah dengan melalui latihan
hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
2. Kewajiban
Terhadap Allah dan Rasulullah[9]
Bertakwa kepada Allah adalah bagian dari hak-hak Allah.
Dalam wasiat ini, alasan manusia bertakwa dan memenuhi hak-hak Allah tidaklah berbeda.
Namun pada term ini lebih luas diuraikan betapa Allah mempunyai hak-Nya yang
tidak terhitung dan harus kita penuhi. Kenikmatan yang diberikan Allah baik
lahir maupun batin sangat berlimpah, yang paling terlihat adalah awal kejadian
manusia yang hanya dari setetes air mani bisa menjadi makhluk yang paling
sempurna. Belajar dari ini, maka Syaikh Muhammad Syakir berpesan supaya kita
berkeyakinan bahwa kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan bagi kita, bukan
yang baik menurut kita. Jangan sampai kita terhalang mentaati-Nya karena ketaatan
kita pada makhluk. Di sinilah kemudian
letak perbedaan akal dan nafsu.
Termasuk nikmat Allah selanjutnya adalah diutusnya para
rasul, yakni untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia pada
sesuatu yang baik bagi kehidupan manusia. Dan Allah mensyariatkan manusia untuk
takwa pula kepada Rasul. Perintah Allah ini sudah dinash dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa’ Ayat 59, dan dalam beberapa Hadis bahwa taat kepada Rasul berarti taat
pula kepada Allah. Hal ini karena segala perintah dan larangannya berdasarkan
wahyu Allah. Rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.
“Hai anakku
sayang, jika kamu merasa berat dalam mengabdi kepada ayah dan ibumu,
sesungguhnya kewajiban kedua orang tuamu terhadap dirimu lebih berat dari itu
semua, yang kewajiban itu nanti akan dilipat gandakan atas dirimu. “Maka
janganlah kamu katakana pada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak
mereka, ucapkanlah pada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu
terhadap keduanya derta berdo’alah: “Wahai Rabbku, kasihanilah kedua orang
tuaku sebagaimana keduanya mengasihiniku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa:
23-24)
Seakan mengetahui psikologi seseorang jika lagi-lagi
dibebani kewajiban, Syaikh Muhammad Syakir lebih dulu mengungkapkan sebuah teguran
untuk jangan merasa berat untuk mengabdi kepada ayah dan ibu. Sebagai bahan
renungannya adalah pengorbanan dan keikhlasan kedua orang tua kita. keduanya
memperhatikan kesehatan, makanan, minuman dan kehidupan kita siang-malam hingga
dewasa, bahkan doa yang keduanya panjatkan adalah harapan yang tinggi, yakni
harapan yang jauh di atas doa untuk dirinya sendiri. Orang tuamu lebih
mengetahui sesuatu yang akan engkau hadapi dari pada dirimu sendiri. Mereka
lebih mengetahui sesuatu yang membawa sifat manfaat atau mudlarat atas dirimu.
Sungguh Allahlah yang menguasai dan memberi petunjuk, pertolongan serta
kemaslahatan (kebaikan) dirimu.
Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti
kepadanya. Jangan membuatnya murka, karena ridho Allah adalah ridho kedua orang
tua.
Sebagai konsekuensi logis dari hidup sosial, menjadi
pelajar berarti mempunyai teman belajar, mereka adalah sahabat-sahabat dan
teman pergaulan, maka seorang pelajar mempunyai kewajiban beradab terhadap sesama
temannya. Diantara kewajibannya yaitu tidak menyakiti dan tidak merusak
pergaulan yang sudah terjalin.
Secara spesifik Syaikh Muhammad Syakir menguraikan
adab-adab tersebut, yaitu: bila sedang duduk jangan menyempitkan tempat duduk temannya
atau berikanlah tempat duduk yang luas agar bisa duduk dengan leluasa, karena
mendesak tempat duduk teman bisa menimbulkan kemarahan dan akibat-akibat yang
lain. Menghormati temannya yang belum bisa dalam memahami pelajaran. Barang
kali dengan mendengarkan pemahaman ulang
kita akan mendapatkan faedah yang belum diketahui sebelumnya.
Jangan segan-segan memberikan bantuan jika dimintai
pertolongan, serta jangan menunjukkan bahwa memberi bantuan berarti telah
berjasa. Jika kehidupan sehari-hari kita bersama dengan teman atau di asrama
itu lebih utama salat berjamaah, maka jagalah ketentraman bersama, jangan mengagetkan
dengan berdiskusi ketika waktunya beristirahat, karena kita sama-sama
membutuhkan ketenangan, jika sudah waktunya terjaga maka bangunkanlah dengan
baik.
Sebagai dalilnya,
Rasulullah bersabda: “Orang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat satu
bangunan, saling menguatkan satu sama lain”.
Pesan beliau bagi orang yang menuntut ilmu adalah
menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan semangat serta tidak menyia-nyiakan
waktu. Sedangkan akhlak menuntut ilmu yaitu: pelajari materi sebelum pelajaran disampaikan,
jangan segan diskusi, memahami dengan tuntas, guru mempunyai hak menentukan
tempat duduk muridnya, bahkan saat tempat duduk kita direbut orang lain, maka
serahkanlah pada kebijakan guru. Jangan berdebat, diskusi dan memikirkan
tentang masalah pribadi saat pelajaran dimulai. Jangan bersuara keras melebihi
suara guru. Hiasan ilmu adalah tawadu’ dan sopan santun, maka murid yang tidak berlaku
hormat terhadap guru berarti berhak diberi peringatan dan dihukum. Maka carilah
keridhoan gurumu dan mintalah doa mereka agar ilmu bermanfaat dan terbuka
pikiran kita, karena tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang murid
selain kemarahan guru dan ulama. Doa yang harus diperbanyak seorang murid
adalah dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan dapat mengamalkannya.
Di atas sudah diterangkan bahwa seorang pelajar harus
belajar dengan sungguh-sungguh agar berhasil, tata cara belajar yang baik
adalah dengan menghindari belajar dengan menghafal kata-kata tanpa memahami
artinya, karena hakikat ilmu adalah apa yang kita pahami bukan sesuatu yang
kita hafalkan.
Beberapa hal yang perlu diketahui orang yang menuntut
ilmu adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan amanat, maka barang siapa menolong
kebatilan berarti telah menyia-nyiakan amanat. Dan bahayanya ilmu adalah lupa,
maka dari itu Syaikh Muhammad Syakir selalu berpesan untuk memperbanyak mengulang
dan mengkaji ilmu pengetahuan.
Beliau menganjurkan pentingnya berdiskusi saat
mengulang pelajaran jika menginginkan prestasi yang baik. Hal ini untuk
mengantisipasi perasaan cukup dalam memahami pelajaran, karena barang kali apa
yang kita pahami perlu dilengkapi oleh pemahaman teman yang lain. Diskusi
ilmiah sangat banyak manfaatnya, antara lain memperkuat pemahaman, memperlancar
pemahaman, memperindah pengungkapan, menambah keberanian dan kemajuan. Dan
dalam berdiskusi tersebut ada sopan santunnya, diantaranya: menghindari
perdebatan dengan cara yang tidak baik, menghormati anggota diskusi, jangan
takut dicela dalam hal-hal yang benar, jangan memotong pembicaraan, pahami
suatu permasalahan dengan baik terlebih dahulu sebelum menjawab atau membantah
dan jangan menyimpang dari topik diskusi.
Jujur yang dimaksud beliau adalah dalam segala hal,
bahkan terhadap diri sendiri, baik disaat serius maupun santai dan bergurau.
Jujur ini dimulai dari jujur berbicara, karena orang dapat dipercaya itu dari
hal yang terkecil, yakni jujur dalam
berbicara. Begitu juga berdusta, sekali orang berdusta, kemungkinan dia akan berdusta untuk selanjutnya, hingga
akhirnya menjadi kebiasaan.
Karena dusta adalah sifat tercela yang paling buruk,
maka jangan sampai
kita dikenal sebagai pendusta, sehingga tidak ada seorang pun yang mempercayai ucapan, meski apa yang kita katakan adalah
benar. Begitu juga Allah melaknati orang-orang
yang berdusta. Bila kamu melakukan suatu kesalahan
yang berhak mendapatkan hukuman, maka jangan sekali-kali mendustainya, apalagi melimpahkan kesalahan pada orang
lain, karena perbuatan yang demikian justru
menimbulkan dua hukuman, yaitu hukuman karena
berbuat kesalahan dan satu lagi hukuman karena berbohong. Walaupun dusta ini tidak diketahui manusia, namun tidak bisa luput
dari pengetahuan Allah. Dalam hal ini, Syaikh
Muhammad Syakir menuntut muridnya bersumpah
untuk selalu berbuat jujur.
8. Keutamaan Bersifat Amanah
Jadilah orang yang dipercaya, karena amanah adalah
perhiasan manusia, serta bagian dari akhlak Rasul Allah. Jangan sekali-kali
kamu menghianati seseorang dalam hal harga diri, harta kekayaan, dan lain
sebagainya. Demikian nasehat beliau tentang keutamaan amanah. Sebagai contohnya,
bila salah seorang teman mempercayakan suatu barang kepadamu, maka janganlah
menghianatinya, dan kembalikanlah amanat tersebut jika dia memintanya kembali.
Contoh lagi, bila kau dipercaya tentang suatu rahasia, maka janganlah kau
menghianati dan menceritakannya walaupun kepada teman yang paling dipercaya
ataupun seseorang yang dianggap mulia.
Kita harus menjaga diri untuk jangan sampai dikenal
sebagai penghianat walaupun bergurau, karena bisa jadi orang lain menganggap
itu adalah yang sebenarnya. Karena berkhianat itu bisa merendahkan nama baik dan
martabat seseorang. Bila ada kehilangan, mereka bisa menganggap penghianat yang
mengambilnya dan menuduh sebagai pencuri walau sebenarnya tidak mengambilnya.
Ada juga berkhianat terhadap diri sendiri, misalnya, menjawab pertanyaan guru
dengan diam-diam membaca buku terlebih dahulu, kemudian menjawabnya seolah-olah
mengetahui jawaban pertanyaan tersebut.
9. Keutamaan dalam Iffah
Iffah adalah menjauhkan diri dari segala hal yang tidak
halal dan tidak baik.[15]
Ini sesuai dengan yang dimaksud Syaikh Syakir yaitu
menjaga diri dari perkara haram. Iffah merupakan akhlak mulia. Maka berusahalah
menghiasi diri dengan sifat iffah sampai menjadi watak dan tertanam kuat dalam
hatimu. Maka sebagaimana sabda Nabi yaitu sesungguhnya setan menggoda manusia
seperti peredaran darah, setiap kali kamu tergoda suatu keinginan setan,
mohonlah perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan
nafsu. Sedangkan contoh sikap iffah adalah: tidak mungkin memasukkan makanan ke
dalam perutnya apabila telah kenyang, dan sikap qona’ah (puas meneriman pemberian
Allah).
KESIMPULAN
Secara isi materi,
pendidikan akhlak dalam kitab Washoya lebih mengarah pada pengembangan moral
dan mental anak baik kepada Allah sang pencipta, kepada manusia dan kepada
alam. Hal ini dapat di ketahui melalui bab-bab yang telah diuraikan, yang mana arah
perhatiannya lebih pada segi pembangunan karakter seorang peserta didik, antara
lain:
1. Bertakwa
kepada Allah
2. Kewajiban
Terhadap Allah dan Rasulullah
3. Kewajiban Kepada Orang
Tua
4. Hak dan Kewajiban
Terhadap Teman
5. Adab Menuntut Ilmu
6. Adab Belajar dan
Berdiskusi
7.
Keutamaan Berbuat Jujur
8.
Keutamaan Bersifat Amanah
9.
Keutamaan dalam Iffah
Materi di atas sebagai pemenuhan
kebutuhan bangsa Indonesia saat ini yang tidak hanya mengalami proses
pendangkalan nilai yang dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-
nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh
keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran
fungsi dan kedudukan nilai itu, hidup dan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan,
bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman.
Oleh karena itu melalui
keterbukaan pendidikan akhlak dalam kitab Washoya ini dapat mengarahkan peserta
didik pada pendidikan akhlak yang bervisi penegakan moral. Dan dengan
pelibatannya pada semua pihak, menjadikan Kitab ini dipandang bisa menjawab
problematika pendidikan akhlak kontekstual. Hal ini bisa dilihat dari lingkup
materi yang dikaji, kemasan bahasa maupun metode yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. “Biografi Syaikh Muhammad Syakir”,
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning. Pesantren dan
Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
Glasse, Cyrril. Penerjemah Gufron A. Mas’adi, Ensiklopedi
Islam Ringkas, Cet-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999.\
Munawir, A.W. Al-Munawir, Kamus
Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif. 2002.
Syakir, Muhammad. Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’, Semarang:
Toha Putra. t.t.