Islam dan kekuasaan :
Konteks kebijakan pendidikan di
indonesia
A.
Pendahuluan
Sistem pendidikan yang diberlakukan di sebuah negara meskipun
bermula dari aspirasi yang berkembang di masyarakat pada akhirnya harus
diputuskan oleh Pemerintah yang berkuasa saat itu sebagai konsensus nasional
yang mengikat seluruh insan pendidikan. Sehebat apapun gagasan pendidikan yang
dibangun oleh para tokoh pendidikan, pada akhirnya harus memperhitungkan aspek
legalitas agar diterima dengan baik oleh User-nya. Dan sudah menjadi
jamak, parameter yang dipakai User pendidikan hari ini adalah legalitas
sebuah institusi pendidikan yang ujungnya perlu pengakuan politik. Dengan
begitu, bisa dikatakan, pendidikan tidak terlepas dari politik[1], juga
dapat dikatakan, segala kebijakakan (nasional dan lokal) tentang pendidikan
pada dasarnya merupakan keputusan politik.[2]
Konsekuensi pendidikan yang mensyaratkan legitimasi politik
bahkan sudah berlangsung sejak zaman
awal munculnya konsep Negara. Terkait hal ini, Azyumardi Azra mengutip teorinya
Coleman, “As is the state, so is school” (“sebagaimana negara, seperti
itulah sekolah”). Juga terdapat teori yang dominan dalam demokrasi yang
mengasumsikan, pendidikan adalah sebuah korelasi, jika tidak sebuah
persyaratan, bagi tatanan demokrasi.[3] Tatanan
demokrasi di sini bisa dimaknai menjadi tujuan dibentuknya suatu Negara. Tentu
saja, Negara tersebut akan sangat mengerahkan segala sumber daya yang
dimilikinya untuk mewujudkan tatanan demokrasi, tanpa terkecuali pendidikan.
Dengan begitu sistem pendidikan di suatu negara akan diarahkan menuju
terwujudnya demokrasi melalui sistem kontrol terhadap gagasan-gagasan yang
ditelurkan para penggiat pendidikan. Gagasan-gagasan pendidikan mau tidak mau
juga harus mengintegrasikan konsep demokrasi yang kemudian dibakukan menjadi
seperangkat kurikulum dan standarisasi pendidikan yang diikat oleh produk hukum
yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Alasan selain demokrasi, sebuah Negara dengan memakai sistem
politik yang dimilikinya sudah sewajarnya menginginkan idiologinya dapat
diterima dengan baik kemudian dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Fakta
membuktikan, bukan hanya terbatas pada internal Negara, bahkan Barat sampai
menerobos “kemerdekaan” bangsa lain demi menguatkan superioritas idiologinya
dan sudah barang tentu demi menjamin keberlangsungan kepentingan dalam
negerinya. Fenomena seperti ini nampaknya yang hari ini dihadapi pendidikan
Islam di hampir semua Negeri Muslim.
Peristiwa 9 September 2011 (populer disebut 9/11) seakan menjadi puncak simbolisasi hegemoni barat itu. Tuduhan
kepada Islam sebagai biang kerok merembet kemana-mana, salah satu titik
perhatiannya tertuju kepada lembaga pendidikan Islam. Robert W. Hefner meyakinkan fakta itu dengan mengatakan, “Since the 9/11 attacks in the United States
and the October 2002 Bali bombings in Indonesia, Islamic schools in Southeast
Asia have been the focus of international attention.[4] Lebih spesifik, Faris A. Noor, dkk
menyebutkan, “In the Western popular imagination, madrasas came to be seen
as ‘incubators for violent extremism’ and ‘jihad factories’, imprisoning Muslim
youth in backwardness and indoctrinating them with a hatred for the West that
was considered to be the root cause of all that was said to be ‘wrong’ with
Islam. (Dalam imajinasi yang populer di Barat, keberadaan madrasah dilihat
sebagai 'inkubator untuk ekstremisme' dan 'pabrik jihad', memenjarakan kaum
muda Muslim dalam keterbelakangan dan mengindoktrinasi mereka dengan kebencian
bagi Barat dianggap sebagai akar penyebab semua yang dikatakan 'salah' dengan
Islam.[5]
Terlepas dari kehebohan di atas, sebenarnya geliat
modernisasi pendidikan Islam kini tengah berlangsung di Negara-negara Muslim
dan Barat sendiri. Hal ini patut diungkap bukan sekedar untuk menolak tuduhan
Barat, lebih dari itu, diperlukan ulasan yang memadai mengenai perkembangan
modernisasi pendidikan Islam di Negara-negara Muslim sebagai radar pembacaan
kita, apakah kebijakan politik sudah berperan dalam kebijakan pendidikan? Ahmad
Baso mengingatkan bahwa Era 1990-an menunjukkan bahwa apa yang disebut Islam
Universal itu mulai memetik hasil, ketika negara, yang memonopoli kuasa itu,
juga mulai memonopoli pengertian tentang Islam. Islam mulai diuntungkan oleh negara, hanya sebatas yang
dimaui negara.[6]
Pernyataan Ahmad Baso ini membimbing kita untuk menimbang apakah idialisme
Pendidikan Islam sudah dipenuhi oleh kebijakan politik, utamanya pada konteks
Indonesia. Tinjauan perbandingan pendidikan kepada berbagai determinasi akan
melahirkan ciri khas pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara bagi
masyarakatnya.
Dengan demikian, perbandingan pendidikan mengandung
pengertian sebagai usaha menganalisa dan mempelajari secara mendalam dua
hal/aspek dari sistem pelaksanaan pendidikan, untuk mencari kesamaan-kesamaan
yang ada dari/dalam kedua hal/aspek atau lebih tersebut.[7] Perkembangan modernisasi pendidikan Islam di
berbagai Negara, baik Negara Muslim maupun Barat akan digunakan sebagai
pembanding, hal apa saja yang sudah berjalan di Indonesia dan sebaliknya, hal
apa saja yang perlu dibenahi.
Untuk itu kajian ini berusaha mengggali: (1) kebijakan
pendidikan di negara-negara muslim; (2) kebijakan pendidikan Islam di Indonesia; (3) perbandingan kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia dan lainnya. Pendekatan yang dipakai adalah
deskriptif-komparatif yang setidaknya akan mengikuti prosedur: (1) perumusan
masalah (definisi); (2) peramalan (prediksi); (3) rekomendasi (preskripsi); (4)
pemantauan (deskripsi); dan (5) evalusi.[8]
B.
Pendidikan Islam dan Kekuasaan
: Perspektif Gagasan dan Politik
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan pendidikan Islam saat
ini merupakan kesinambungan dari gagasan dan pencapaian pendidikan yang
diciptakan pelaku sebelumnya. Pelaku pendidikan dan institusi yang dibangunnya
pada setiap masa tidak dapat dipisahkan dari lingkaran kekuasaan yang
menaunginya, dan menjalin hubungan timbal balik yang saling menguatkan. Senada dengan hal ini, Syafarudin menyatakan,
sekolah sebagai subsistem sosial melakukan transformasi budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. Sebagai lembaga atau unit institusi
sosial, maka sekolah secara historis telah memberikan kepercayaan, keyakinan,
nilai, pengetahuan, sains dan teknologi yang menjadi alat dalam proses
indoktrinasi politik atau sosialisasi sebagai fungsi esensial dalam sitiap
sistem politik.[9]
Gagasan pendidikan Islam dalam kaitannya dengan transformasi
budaya mempunyai akar dalam gagasan tentang “modernisme” pemikiran dan
institusi Islam secara keseluruhan. Untuk itu, pengembangan Pendidikan Islam
sebagai upaya perubahan dari bentuk lama ke bentuk baru, tidak akan lepas
dengan modernisasi. Modernisasi sendiri adalah suatu proses transformasi dari
suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Atau, modernisasi merupakan proses perubahan dari cara
tradisional ke cara baru yang lebih maju untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat.[10]
Dalam hal ini, modernisasi pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan
modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam yang menjadi prasyarat kebangkitan
umat Islam.[11]
Menengok kepada konteks global, Paulo Freire mencatat,
beberapa gereja telah meninggalkan perspektif tradisional dan mempunyai sikap
yang baru. Sejarah menunjukkan bahwa sikap yang baru ini mulai muncul, ketika
elemen-elemen modernisasi menggantikan struktur sosial yang bersifat
tradisional. Kelompok-kelompok masyarakat yang dulunya terlindas sejarah, kini
mulai bangkit kembali dan menyesuaikan diri dengan masa industrialisasi.
Masyarakat juga berubah. Tantangan baru sekarang harus dihadapi oleh kelompok
yang berkuasa, yang memerlukan penanganan yang juga berbeda.[12] Ini
sebagai tanda bahwa modernisasi sudah merambah dunia hingga saat ini.
Sebagai konsekuensi dari modernisasi, kebijakan
pendidikan harus dapat melayani kebutuhan institusi pendidikan agar terbangun
hubungan yang saling menguntungkan. Karakteristik kebijakan pendidikan setidaknya
dapat memenuhi kriteria: (1) Memiliki tujuan pendidikan; (2) Memiliki aspek
legal-formal; (3) Memiliki konsep operasional; (4) Dibuat oleh yang berwenang;
(5) Dapat dievaluasi; (6) Memiliki sistematika.[13] Dengan
demikian, kebijakan pendidikan dapat dikatakan telah menampung gagasan
pendidikan Islam apabila telah melayani gagasan pendidikan Islam yang memenuhi
aspek orientasi pendidikan dan legalitas kelembagaan.
C.
Kebijakan Pendidikan Islam di Berbagai Negara
Menengok ke babak awal perkembangan pendidikan Islam, kebijakan
pendidikan Islam secara formal mulai dapat dicatat sejak abad pertengahan. Pada
abad pertengahan, Kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu
pengetahuan. Al-Mansur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah dan
kesusteraan dari bahasa asing: India, Yunani lama, Bizantium, Persia dan Syria.
Para peminat ilmu dan kesusateraan. Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid (786-809
M) dan anaknya Al-Ma’mun (813-833), banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang
sudah mati dihidupkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada masa
al-Ma’mun terdapat perpustakaan bernama Bait al-Hikmah yang dipenuhi
beribu-ribu ilmu pengetahuan. Di samping itu, banyak berdiri akademi, sekolah
tinggi dan sekolah biasa, yang terpenting adalah perguruan Nizhamiyah,
didirikan Nizham al-Mulk, Wazir Sultan Seljuk, pada abad ke-5 H, dan perguruan
Mustanshiriyah, didirikan dua abad kemudian oleh Khalifah Mustanshir Billah.[14]
Beralih ke Mesir. Periode Fathimiah dimulai dengan Al-Mu’izz
dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-Aziz. Al-Mu’izz dan
‘Aziz (975-996 M) di Mesir dapat disejajarkan dengan Harun Al-Rasyid dan
Al-Ma’mun di Baghdad. Selama pemerintahan Mu’izz dan tiga pengganti pertamanya,
ilmu pengetahuan mengalami kemajuan besar. Di bidang agama, di Mesir diadakan
empat lembaga pendidikan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni.
Pada masa pemerintahan Al-Hakim (996-1021 M), didirikan Bait al-Hikmah, terinspirasi
dari lembaga yang sama yang didirikan al-Ma’mun di Baghdad. Selain mengoleksi buku-buku, lembaga ini
merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran agama terutama
Syi’ah.[15]
Perkembangan
selanjutnya, di Isfahan (Persia), Ketika Raja Safawi, Abbas I menjadikan
Isfahan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai
dengan penduduk. Kerajaan Safawi dikelilingi tembok yang terbuat dari tanah
dengan delapan buah pintu, di dalamnya banyak dijumpai bangunan istana,
sekolah, masjid, meara dan rumah dengan arsitektur yang indah.[16]
Kurikulum pendidikan abad pertengahan lebih menitik beratkan
pada pendidikan agama Islam, belum menampakkan ekspansi yang progressif ke arah
integrasi kurikulum non agama. Dalam catatan Hefner, sekitar
abad pertengahan dalam sejarah Islam (1000-1500 M), kurikulum madrasah menjelma
menjadi berbagai bentuk yang relatif sama. Pada madrasah-madrasah besar
diajarkan bacaan al-Qur’an (qira'ah), hadits, tata bahasa Arab (nahw),
interpretasi Alquran (tafsir), yurisprudensi (fiqh),
prinsip-prinsip agama (ushul ad-din ), sumber hukum (ushul al- fiqh),
dan teologi (kalam). Meskipun sudah ada standarisasi, untuk kurikulum sejarah
madrasah masih bervariasi tergantung kekhasan masing-masing daerah. Memang,
pada umumnya, madrasah adalah entitas non formal yang menjadi kebalikan dari
Universitas. Pendanaan madrasah berasal dari hibah (wakaf), yang secara resmi
diakui dalam hukum Islam.[17]
Terlepas dari
hal di atas, madrasah tetap menempati tempat terhormat sebagai capaian
pelembagaan pendidikan agama Islam di abad pertengahan. George Makdisi memperkuat
bukti bahwa madrasah telah mengambil tempat dalam modernisasi pendidikan Islam
pada abad pertengahan. Dalam pengantar bukunya, The Rise of Colleges of
Institutions of Learning in Islam and The West, George Makdisi menyatakan: “I
hope to show that the madrasah was of Islam’s ideal religeous science, law, and
of Islam’s ideal religeous orientation, traditionalism; and that law and
traditionalism combined to produce the scolastic method which was the peculiar
of middle ages.” ("Saya berharap
dapat menunjukkan bahwa madrasah adalah
pusat ilmu pengetahuan Islam yang ideal,
hukum, dan orientasi
Islam yang ideal, tradisionalisme; dan bahwa hukum dan tradisionalisme dikombinasikan untuk menghasilkan metode
scolastic yang khas abad pertengahan."[18]
Dibandingkan
dengan masa Abasiyah dan Umaiyyah, perkembangan madrasah sesudahnya sudah
menunjukkan kemajuan. Beberapa madrasah pada abad pertengahan, terutama yang di
Islam timur laut (dari Turki sampai India) mengembangkan kurikulum non agama
seperti mata pelajaran aritmatika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan puisi.
Dari abad kesebelas ke abad keempat belas, matematika, astronomi, dan farmasi
di Timur Tengah dan India Utara adalah
yang paling canggih di dunia, dan ada beberapa madrasah unggul dalam pengajaran
ini, karena disiplin itu masih dikenal sebagai "ilmu asing."[19]
Namun,
Hefner menyayangkan, penggunaan frase "ilmu asing" sebagai disiplin
pengetahuan menimbulkan kegentingan pada kurikulum madrasah. Pada detik ini,
kebanyakan madrasah di Timur Tengah semakin sedikit yang memberikan kurikulum
matematika, astronomi, atau farmasi dan bidang telah bermigrasi dari madrasah
ke rumah sakit dan diberikan secara privat di rumah-rumah pribadi ulama
karena dianggap ilmu-ilmu non-religius. Bahkan, di banyak wilayah Muslim yang
sudah maju kurikulum ini hilang dari peredaran. Dalam hal ini Hefner memberikan
komentar:
Di
sinilah letak salah satu ironi besar dari peradaban sejarah dunia klasik.
Selama keberadaan Eropa Barat pada Abad Pertengahan, perpustakaan dan madrasah
di Timur Tengah menyimpan karya filsafat Yunani dan ilmu alam mengalahkan
Kristen Eropa. Pada abad kedua belas dan abad ketiga belas, Muslim, Kristen,
dan sarjana Yahudi di Spanyol dan negeri-negeri Muslim lainnya menerjemahkan
banyak karya-karya ini ke dalam bahasa Latin. Karya-karya klasik itu
diterjemahkan kembali ke Eropa Barat memicu kebangkitan kembali minat dalam
ilmu alam dan filsafat humanistik. Meskipun sebelumnya karya-karya itu pernah
disimpan dan dipelajari oleh generasi Arab dan cendekiawan Muslim India,
karya-karya Yunani itu secara bertahap
terpinggirkan dari sebagian kurikulum madrasah. Memang, pada akhir Abad
Pertengahan Pendidikan di Timur Tengah secara keseluruhan mengalami kejumudan.
Hukum fikih telah menjadi raja pendidikan yang diagungkan di madrasah. Lebih
signifikan lagi, banyak para ahli hukum (fuqaha) yang berpendirian bahwa studi
filsafat dan ilmu-ilmu asing sebagai "tidak berguna dan menentang hukum
agama”. Hasilnya, filsafat dan ilmu alam sama sekali menghilang dari kehidupan
intelektual Muslim dan banyak lembaga pendidikan tinggi, tidak akan dihidupkan
kembali hingga munculnya transformasi pendidikan di era modern.[20]
Memang, dinamika
modernisasi madrasah belum bisa dikatakan sebagai konsensus seluruh komponen
umat Islam yang mengarah kepada satu bentuk ideal yang disepakati bersama
karena faktor perbedaan afiliasi idiologis. Menurut pengamatan Jamal Malik,
madrasah dan tradisi pendidikan Islam adalah perwujudan dari berbagai pola
resistensi. Di satu sisi, mereka muncul sebagai bentuk perlawanan lokal
terhadap Universalisasi dan homogenisasi gagasan modernitas sekuler sebagaimana
diatur oleh negara dari atas. Di sisi lain, mereka terkena tantangan
homogenisasi dan mengglobalnya gagasan Islam. Bentuk-bentuk resistensi memiliki
potensi untuk berkembang menjadi radikalisme, tapi pada aspek positifnya,
resistensi malah membawa madrasah untuk
menyesuaikan diri dengan realitas ekonomi-politik. Resistensi positif ini juga memberikan
alternatif kreatif yang mengakomodasi semua potensi internal madrasah.[21]
Ilustrasi pro-kontra modernisasi madrasah bisa diikuti dari
hasil penelitian Yoginder Sikand tentang perkembangan madrasah di Deoband India.
Beliau mengungkapkan, tidak setiap Deobandi adalah konservatif, dan
tidak semua dari mereka menentang perubahan Madaris tersebut. Qari
Muhammad
Tayyib, mantan pemimpin madrasah Deoband, tampaknya
agak lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dari pada penggantinya. Menanggapi konferensi yang disponsori pemerintah pada pengembangan pendidikan al-Qur’an di madrasah, ia berpendapat bahwa tidak ada yang bisa setuju untuk mengubah pembelajaran Qur'ân di Madaris tersebut. Namun, sejauh mata pelajaran atau buku-buku yang adalah 'hamba Al Qur'an' [Khadim-i Qur'ân], mereka dapat memodifikasinya sesuai dengan perubahan kondisi. Ia kemudian berpendapat bahwa cara memahami Al Qur'an bisa berubah seiring waktu. Di masa lalu, ketika filsafat Yunani atau tasawuf adalah dominan, Al Qur'an dipahami melalui lensa mereka. Namun, di era ilmiah ini Al Qur'an perlu dipelajari dari perspektif ilmiah untuk menghasilkan cara baru mengungkapkan kebenaran kekal dari teks suci. Ia berpendapat, ada ruang untuk
reformasi dalam silabus madrasah, tapi dia bersikeras bahwa itu wilayahnya 'Ulama' sendiri untuk memutuskan arah reformasi sebagai respon dari aspirasi para alumni Madrasah Darul Ulum yang telah mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di India.[22]
Tayyib, mantan pemimpin madrasah Deoband, tampaknya
agak lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dari pada penggantinya. Menanggapi konferensi yang disponsori pemerintah pada pengembangan pendidikan al-Qur’an di madrasah, ia berpendapat bahwa tidak ada yang bisa setuju untuk mengubah pembelajaran Qur'ân di Madaris tersebut. Namun, sejauh mata pelajaran atau buku-buku yang adalah 'hamba Al Qur'an' [Khadim-i Qur'ân], mereka dapat memodifikasinya sesuai dengan perubahan kondisi. Ia kemudian berpendapat bahwa cara memahami Al Qur'an bisa berubah seiring waktu. Di masa lalu, ketika filsafat Yunani atau tasawuf adalah dominan, Al Qur'an dipahami melalui lensa mereka. Namun, di era ilmiah ini Al Qur'an perlu dipelajari dari perspektif ilmiah untuk menghasilkan cara baru mengungkapkan kebenaran kekal dari teks suci. Ia berpendapat, ada ruang untuk
reformasi dalam silabus madrasah, tapi dia bersikeras bahwa itu wilayahnya 'Ulama' sendiri untuk memutuskan arah reformasi sebagai respon dari aspirasi para alumni Madrasah Darul Ulum yang telah mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di India.[22]
Paparan di atas menggambarkan
para penguasa abad pertengahan menunjukkan perhatiannya terhadap Pendidikan
Agama Islam dengan mendorong kodifikasi berbagai pengetahuan sekaligus
memfasilitasi berdirinya institusi pendidkan Islam. Hingga kini, yang dapat
diamati adalah pelembagaan Pendidikan Agama Islam dalam bentuk formal pada tingkat dasar lebih banyak
berakhir pada madrasah dengan segala variannya. Proses modernisasi pun
mengambil obyek madrasah, tanpa menafikan bahwa Negara-negara Muslim juga
sangat memperhatikan perkembangan Universitas sebagai puncak proses
intelektualitas.
Pergumulan gagasan ini jika dibandingkan dengan fakta
perkembagan madrasah di Negara-negara lain akan menemukan fakta lain,
pendidikan agama Islam telah mendapat legalitasnya, sebagaimana diungkap dari
hasil penelitian Siti Maunah berikut ini.[23]
Sejak tahun 1959 Pakistan di bawah kepemimpinan Presiden Moh.
Ayub Khan mewujudkan satu sistem Pendidikan nasional yang terpadu (intregated)
dan komprehensif, juga menggabungkan sistem/aliran yang telah berjalan
lama, tradisional/keagamaan dan modern/ilmiah. Pelajar lembaga pendidikan Islam
tradisional (maktab, madrasah, Darul Ulum) diberi bantuan keuangan. Pada tahun
1981 dibangun Universitas khusus wanita di Lahore dan Karachi di samping sudah
ada Universitas yang menyatukan dua sistem pendidikan, sekuler dan keagamaan.
Pendidikan agama diwajibkan untuk semua pelajar muslim, mulai sekolah rendah
sampai sekolah menengah pertama; sedangkan mulai kelas 9 sampai 12 (SMA dan Sekolah
Persiapan PT), studi keislaman merupakan pelajaran pilihan. Sedangkan di PT,
studi ke-Islaman diarahkan agar mahasiswa memahami Islam secara rasional. Di
samping itu, juga dibentuk Lembaga Riset Islam yang berusaha memadukan
nilai-nilai fundamental Islam dan sains modern.
Lain lagi dengan India. Republik Federasi India menetapkan
bahwa setiap negara bagian bertanggungjawab atas pendidikan. Karena
tanggungjawab kependidikan dipegang oleh banyak instansi, maka sumber keuangan
untuk pendidikan banyak pula, yang terbesar ialah biaya dari negara bagian
sendiri. Kewajiban belajar telah ditetapkan dalam konstitusi sejak 1947, yang
menetapkan bahwa negara mengusahakan pendidikan yang bebas dan diwajibkan bagi
semua anak sampai umur 14 tahun.
Turki menyisakan kisah lain. Pada tahun 1924 dikeluarkan UU
tentang penyatuan sistem pendidikan. Berdasarkan UU ini, seluruh sekolah
ditempatkan di bawah naungan Kementerian Pendidikan. Konsekuensinya,
madrasah-madrasah ditutup diganti dengan sekolah-sekolah yang membina para
calon Imam/Khatib. Perubahan lain, di Universitas Istanbul dibuka fakultas
Keagamaan/Ilahiyat. Secara berangsur-angsur pendidikan Agama Islam, bahasa Arab
dan bahasa Persia dihapus dari kurikulum sekolah. Tidak hanya itu, tulisan Arab
diganti tulisan latin. Selain itu, dilakukan beberapa penambahan kurikulum di
PT seperti Darul Funun yang berdiri tahun 1900. Sementara itu, di Mesir,
sistem pendidikan tradisional tetap dipertahankan di bawah pembinaan Al-Azhar,
karena pada umumnya ulama-ulama Al-Azhar menentang adanya sekolah-sekolah
modern. Kecuali, tentu saja Muhammad Abduh, yang telah memelopori modernisasi
pendidikan di Al-Azhar.
Modernisasi pendidikan Islam juga berlangsung di Saudi
Arabia. Pada akhir abad ke-19, subyek non religius diajarkan oleh pemerintahan
Ottoman di Hijaz melalui Kuttab yang awalnya mengkhususkan diri dalam
hafalan Al-Qur’an. Pengajaran aritmatika, bahasa asing dan membaca bahasa Arab
dimasukkan dalam kurikulum. Hingga saat ini sistem pendidikan di Saudi Arabia
memisahkan laki-laki dan perempuan. Secara umum, sistem pendidikan dibagi
menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) pendidikan umum untuk laki-laki, (2)
pendidikan umum umum untuk perempuan, dan (3) pendidikan Islam untuk laki-laki.
Pendidikan umum dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) pendidikan dasar, 6-12
tahun, (2) pendidikan menengah, 12-15 tahun, (3) pendidikan sekunder, 15-18
tahun, dan (4) pendidikan tinggi (universitas atau akademi). Ada juga lembaga
swasta khusus laki-laki yang mulai muncul tahun 1920-an. Mulai tahun 1951
program ekstensif sekolah didanai publik, sedangkan untuk pendidikan khusus
perempuan mulai didanai sejak 1961 atas prakarsa Pangeran Faisal dan istrinya,
Iffat. Semua buku dan pelayanan kesehatan untuk siswa disediakan gratis oleh
Pemerintah. Pendidikan Islam tradisional bagi laki-laki difokuskan untuk
membentuk calon-calon anggota dewan Ulama.
Pada perkembangan berikutnya, melampaui berbagai ragam
peristiwa sejarah, setelah revolusi Iran, banyak saintis Iran yang bermigrasi
ke Barat. Karena revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk barat, dan
mempromosikan sains yang berbasiskan Islam, sebagian berhenti bekerja dalam
sains dan beralih profesi, sebagian yang lagi malah menjadi “lebih kuat dan
bersemangat” dalam mengejar idialisme untuk menjadikan Iran sebagai negara yang
maju dalam sains dan teknologi. Pada masa sulit ini, muncul sekelompok ilmuan
yang membangkitkan kegiatan saintifik di Iran, di luar konteks politik.
Sedangkan di Sudan, UU Islam dan adat merupakan sumber utama perundangan. Di bidang
pendidikan, Sudan memiliki banyak Universitas yang mahasiswanya banyak berasal
dari Indonesia. Kebanyakan mahasiswa menanggung biaya sendiri. Adapun
pendidikan non formal, terdapat banyak majelis ilmu yang menggunakan sistem talaqqi
yang diasuh para masyayikh yang tersebar hampir di seluruh penjuru
Sudan.
Beralih ke kawaan Asia Tenggara. Sistem pendidikan di
Malaysia adalah berdasarkan sistem pendidikan Inggris, yang ditanggung oleh
Kerajaan, baik sekolah ngeri maupun swasta. Sistem pendidikan dipusatkan
terutama bagi sekolah rendah dan sekolah menengah. Kerajaan negeri tidak
berkuasa dalam kurikulum dan aspek lain pada pendidikan sekolah rendah dan
sekolah menengah, sebaliknya ditentukan oleh Kementerian. Kurikulum pendidikan
yang ditetapkan Kementerian Pelajaran Malaysia relatif stabil. Kurikulum yang
digunakan di Sekolah Rendah Malaysia disebut dengan Kurikulum Baru Sekolah
Rendah (KBSR). Menurut data Kementerian Pelajaran Malaysia, KBSR mulai
diujicobakan tahun 1982 di 302 sekolah rendah. Sejak tahun 1988, pelaksanaan
KBSR sepenuhnya dicapai dan hingga tahun 2007 ini masih dipergunakan. Untuk
buku teks, revisi terakhir dilakukan tahun 2005, di mana mata pelajaran Sains
dan Matematika menggunakan bahasa Inggris. Mengenai Sekolah Agama Islam di
Malasia, setelah menempuh wajib belajar sebelas tahun, lulusan sekolah Islam
tidak bisa diterima di Universitas di Malaysia, tapi kebanyakan mereka
melanjutkan pendidikan di Pakistan atau Mesir.
Kerajaan Brunei Darussalam memperoleh kemerdekaan dari
Inggris pada tanggal 1 Januari 1984, dipimpin seorang Sultan sekaligus memegang jabatan Perdana Menteri.
Tentang pendidikan, pemerintah menetapkan tiga bidang utama dalam pendidikan,
yaitu: (1) sistem dwi bahasa di semua sekolah, (2) konsep Melayu Islam beraja
(MIB) dalam kurikulum sekolah, dan (3) peningkatan serta perkembangan sumber
daya manusia termasuk pendidikan vokasional (kejuruan) dan teknik. Brunei
Darussalam, sebagaimana negara-negara “Commonwealth” lainnya memasang
target di bidang pendidikan, yaitu meningkatakan kualitas lulusan sekolah
tinggi. Sejak 2003 kerajaan Brunei Darussalam telah membuka peluang sektor
swasta di bidang penelitian. Penjenjangan pendidikan mengikuti pola “A7-3-2-2”
yang melambangkan lamanya masa studi, 7 tahun tingkat dasar, 3 tahun tingkat
menengah pertama, 2 tahun tingkat menengah atas dan 2 tahun pra Universitas.
Bagaimana
dengan pendidikan agama Islam di Negara-negara Barat? Sedikit saja dapat
disinggung di sini, kita ambil contoh Belanda, Belgia dan AS. Pendidikan agama yang banyak tersedia di Belanda dan Belgia.
Di Belanda "arus spiritual" (geestelijke stromingen) diperlukan hanya
di sekolah dasar, sedangkan di Belgia baik pelajaran
agama diakui (termasuk Islam)
atau etika nonconfessional
yang wajib untuk
kedua tingkat primer dan sekunder.
Proses sekularisasi di daerah perkotaan di kedua negara telah mendalam sejak
1960-an, terutama di
provinsi-provinsi non-Katolik
di Belanda dan Frenchspeaking daerah di Belgia. Sebaliknya,
di Amerika Serikat, iman terus menjadi katalisator kuat dalam pengambilan keputusan publik dan kampanye politik.[24]
D.
Kebijakan Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Di Indonesia, pertumbuhan
Madrasah merupakan
respon umat Islam yang lebih progresif -tidak melulu bersifat defensif- terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda karena bersifat menekan dipicu kekhawatiran akan timbulnya
militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru
agama disalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban
dan keamanan.[25] Tetapi
pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan,
berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan
dan legitimasi dari pemerintah. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda,
pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah
ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap
mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang
membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.[26]
Selanjutnya, perkembangan
Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait erat dengan peran Departemen Agama
yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 karena adanya penyeragaman nama, jenis dan tingkatan madrasah
sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama,
madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar
dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran
agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah.[27]
Ketika pemerintah Orda Baru
menggencarkan program Wajib Belajar, tuntas pendidikan dasar, pada dekade
1970-an umat Islam terpanggil untuk ikut mensukseskan program tersebut dengan
jalan mengubah madrasah (Diniyah) atau Sekolah Arab menjadi pendidikan formal
dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI). Waktu belajarnya pagi hari sebagaimana
Sekolah Dasar pada umumnya, tapi porsi materi agama jauh lebih banyak
dibandingkan SD. Perubahan itu tidak membuat madrasah sore hari berhenti, ia
masih tetap bertahan, bahkan sampai saat ini, dinamakan Madrasah Diniyah.[28] Untuk
memperjelas proses evolusi pendidikan Islam jenjang dasar, mari kita ikuti
deskripsi dan penilaian Zamakhsyari Dhofier di bawah ini:
Meski sebagaian besar ulama menerima perubahan nama sekolah
(pengajian-pen) al-Quran, yang jelas mereka tidak banyak yang memasukkan
mata pelajaran umum dalam kurikulumnya. Sekolah al-Quran yang masih
"tegar" ini diberi nama baru: Madrasah Diniyah. Dalam
perkembangannya, setelah guru mata pelajaran umum cukup tersedia banyak
Madrasah Diniyah diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah. Hal ini menunjukkan
adanya kontinuitas dan fluiditas struktural di Indonesia antara
(pengajian al-Quran-pen), Madrasah Diniyah, Madrasah Ibtidaiyah dan
Sekolah Dasar"[29]
Sampai pada kondisi ini, dinamika madrasah yang
berdiri mandiri dapat dikatakan berakhir, karena pada perkembangan selanjutnya
perkembangan madrasah di bawah kontrol Pemerintah melalui Kementerian Agama
(awalnya bernama Departemen Agama).
Pendirian Departemen Agama dilatari oleh kebijakan politik umat
Islam setelah Indonesia merdeka. Pemerintah Republik Indonesia baru dibentuk
oleh koalisi Muslim dan beberapa partai nasionalis, antara lain Masyumi,
Nahdhatul Ulama, PNI, dan PKI. Meskipun selama tahun-tahun peperangan, pihak
Muslim menjadi kekuatan organisasi politik yang besar, namun kemudian kekuatan
mereka terkalahkan oleh kekuasaan Partai Nasionalis Indonesia yang bercorak
nasionalis sekuler.[30]
Kebijakan pemerintah
pada pendidikan Islam, termasuk di dalamnya Madrasah dipaparkan berikut ini.
1.
Pengakuan Madrasah sebagai Pendidikan Formal[31]
Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah (pasal 10), untuk mendapatkan pengakuan
Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping
pelajaran umum.[32]
Jenjang pendidikan pada sistem madrasah terdiri dari tiga jenjang, yaitu (1)
Madrasah Ibtidaiyah, 6 tahun; (2) Madrasah Tsanawiyah Pertama, 4 tahun; dan (3)
Madrasah Tsanawiyah Atas, 4 Tahun.
Ketetapan
MPRS no II/MPRS/1960 tentang “Garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta
berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” (3 Desember 1960) menyebutkan, pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai
universitas-universitas negri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak
ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Dalam kaitannya dengan madrasah
ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan
merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom
dibawah pengawasan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.[33]
2.
Penegrian Madrasah[34]
Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan
madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN),
Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri
(MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan
pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri
Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah
swasta. Memasuki tahun 2000 penegerian dimunculkan kembali.
3.
Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum[35]
Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun
1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada
Madrasah, menyatakan bahwa (1) setiap waganegara Indonesia berhak memperoleh
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan pengajaran yang sama; (2) lulusan madrasah yang ingin
melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat
di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang ingin pindah sekolah dapat pindah ke
sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar
sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang dimaksud
dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kuranya 30 %
disamping mata pelajaran umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan
Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat
SMA.
SKB ini juga menetapkan hal-hal yang menguatkan posisi
madrasah pada lingkungan pendidikan, diantaranya : (1) Ijazah madrasah
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2)
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih diatasnya;
(3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat; dan (4)
Pengelolaan madrasah dan pembinaan mata pelajaran agama dilakukan Menteri
Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan mata pelajaran umum pada madrasah
dilakukan oleh Mendikbud, bersama-sama Menag serta Mendagri.
4.
Lahirnya Kurikulum 1984[36]
Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum
Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh
Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem
Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain
dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai
upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut
lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No.
100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah
Aliyah.
Rumusan kurikulum 1984 adalah memuat hal-hal
strategies, diantaranya : (1) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, dan
MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler
baik dalam program inti maupun program pilihan; (2) Proses belajar mengajar
dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan
apa yang dipelajarinya; (3) Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan
menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta
pengelolaan program.
5.
Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989[37]
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan
perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak
lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya
diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang
tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang
Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990
tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur
pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.
UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi
dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No.
2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral
(sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian,
kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah
sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga
pendidikan nasional secara keseluruhan.
UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap
siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan SLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu
tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi
ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik
dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama
(berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang
tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan
bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan
memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah
tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang
dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung
kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
6.
Lahirnya Kurikulum 1994[38]
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama
juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib
sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata
pelajaran, termasuk pendidikan agama. Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum
1994 hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi
jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih
menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde
baru menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya
adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan.
7.
Lahirnya UU No, 20 Tahun 2003[39]
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan
adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak peserta didik. "Setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama," (Pasal
12 ayat a).
UU ini juga sekaligus "mengubur" bagian dari
UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya
sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan
pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk
siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan
Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama
Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama
di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan
dan muatan lokal.
8.
Lahirnya KBK-KTSP-K-13[40]
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum
berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan
akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai
penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi
mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan
ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah
bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan
disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kemudian
Kurikulum 2013 (K-13). K-13 masih hingga saat sudah ada yang menerapkan, tetapi
masih banyak mengundang kontroversi.
Sampai perkembangan
ini, Azyumardi Azra menilai, madrasah tidak lagi terasing dari pendidikan
nasional Indonesia secara keseluruhan, walaupun masih saja mendapat perlakuan
marjinal karena pembatasan anggaran.[41]
Belum lagi secara kultural, banyak madrasah dikelola oleh Yayasan yang “wujuduhu
ka’adamihi”. Meskipun begitu, Madrasah telah menjadi
bagian integral yang menyatu padu dalam alam
pendidikan nasional. Satu abad yang lalu hal itu masih
merupakan mimpi dan sebatas cita-cita umat Islam, sekarang telah menjadi sebuah kenyataan. Oleh karena itu, tidak ada
kata lain bagi umat Islam, kecuali
mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan materi untuk memajukan madrasah.[42]
E. Perbandingan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia dan Lainnya
1.
Orientasi Pendidikan
Di Indonesia,
pemberlakuan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menjadi pijakan
hukum dan konstitusional bagi orientasi pendidikan agama yang diintegrasikan
pada kurikulum di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Hal ini secara
eksplisit disebutkan pada pasal 37 ayat (1), bahwa kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa,
matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal. Integrasi pendidikan Islam
dalam kurikulum nasional juga terjadi di Pakistan. Sejak tahun
1959 Pakistan di bawah kepemimpinan Presiden Moh. Ayub Khan mewujudkan satu
sistem Pendidikan nasional yang terpadu (intregated) dan komprehensif,
juga menggabungkan sistem/aliran yang telah berjalan lama,
tradisional/keagamaan dan modern/ilmiah.
Kondisi yang kurang baik berlangsung di Turki,
karena sejak 1924 secara berangsur-angsur pendidikan Agama Islam, bahasa Arab
dan bahasa Persia dihapus dari kurikulum sekolah. Tidak hanya itu, tulisan Arab
diganti tulisan latin. Sementara
itu, Mesir masih menyisakan kontroversi, sistem pendidikan
tradisional tetap dipertahankan di bawah pembinaan Al-Azhar, karena pada
umumnya ulama-ulama Al-Azhar menentang adanya sekolah-sekolah modern. Sama halnya di Msesir, Saudi masih
mempertahankan aspek tradisionalnya dengan memberlakukan sistem sekolah
terpisah antara laki-laki dan perempuan, namun pengajaran aritmatika, bahasa asing dan membaca bahasa Arab
dimasukkan dalam kurikulum. Di
Sudan, perhatian pada aspek tradisional lebih kentara lagi, karena banyak majelis ilmu yang
menggunakan sistem talaqqi yang diasuh para masyayikh diakui
sebagai pendidikan non formal. Iran selangkah lebih maju,
karena revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk barat, dan
mempromosikan sains yang berbasiskan Islam.
Meskipun kurikulum nasional telah berjalan
stabil, mengenai Sekolah Agama Islam di Malasia, setelah menempuh
wajib belajar sebelas tahun, lulusan sekolah Islam tidak bisa diterima di
Universitas di Malaysia, tapi kebanyakan mereka melanjutkan pendidikan di
Pakistan atau Mesir. Tidak begitu dengan Brunei Darussalam, karena menerapkan konsep Melayu Islam beraja
(MIB) dalam kurikulum sekolah. Di Belanda pendidikan
agama diberlakukan di sekolah dasar,
sedangkan di Belgia baik pelajaran agama diakui (termasuk Islam) atau etika
nonconfessional yang wajib untuk kedua tingkat
primer dan sekunder. Sebaliknya, di Amerika Serikat, agama termasuk pendidikan agama meski belum diakui secara
formal tapi tetap menjadi katalisator kuat dalam komoditas keputusan politik.
2.
Legalitas Kelembagaan
Semua penguasa
di semua Negara dalam pembahasan ini dapat dikatakan telah mengakomodasi
kepentingan pendidikan Islam dengan mengakuinya sebagai institusi pendidikan
yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Di Indonesia, keberadaan
madrasah diakui di bawah naungan Kementeriaan Agama dan pendidikan agama Islam
di sekolah-sekolah umum di bawah pengawasan Kementeriaan Pendidikan dan
Kebudayaan. Pendidikan madrasah dibuat berjenjang mulai dari jenjang dasar
(Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah), menegah (Madrasah Aliyah) dan
tinggi (PTKIN dan PTKIS dan Fakultas Agama Islam di PT yang diselenggarakan
masyarakat).
Di negara berkomunitas
Muslim lainnya; Pakistan memberlakukan pendidikan
agama Islam mulai sekolah rendah sampai sekolah menengah pertama; sedangkan
mulai kelas 9 sampai 12 (SMA dan Sekolah Persiapan PT), studi keislaman
merupakan pelajaran pilihan. Sedangkan di PT, studi ke-Islaman diarahkan agar
mahasiswa memahami Islam secara rasional. Saudi Arabia menerapkan sistem
pendidikan menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) pendidikan umum untuk laki-laki,
(2) pendidikan umum umum untuk perempuan, dan (3) pendidikan Islam untuk
laki-laki. Pendidikan umum dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) pendidikan
dasar, 6-12 tahun, (2) pendidikan menengah, 12-15 tahun, (3) pendidikan
sekunder, 15-18 tahun, dan (4) pendidikan tinggi (universitas atau akademi).
Sedangkan di Iran dan Sudan, pendidikan tinggi menjadi fokus utama pemberlakuan
pendidikan Islam.
Di Malaysia,
sistem pendidikan Islam dipusatkan terutama bagi sekolah rendah dan sekolah
menengah. Kerajaan negeri tidak berkuasa dalam kurikulum dan aspek lain pada
pendidikan sekolah rendah dan sekolah menengah, sebaliknya ditentukan oleh
Kementerian. Sementara itu, di Brunei Darussalam penjenjangan pendidikan
mengikuti pola “A7-3-2-2” yang melambangkan lamanya masa studi, 7 tahun tingkat
dasar, 3 tahun tingkat menengah pertama, 2 tahun tingkat menengah atas dan 2
tahun pra Universitas.
Praktik pendidikan Islam di era ini
tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan modernisasi pendidikan Islam di
abad pertengahan. Dalam hal ini, Hefner mencatat, implementasi pendidikan Islam
sejauh dalam hal rujukan teks keagamaan selalu mengacu pada otoritas Ulama yang
telah menelurkan karya-karya menomentalnya.[43]
Namun, memperhatikan pembahasan
kebijakan pendidikan Islam di atas, nampaknya institusi-institusi pendidikan
Islam hari ini tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan pemerintah
setempat karena faktor saling membutuhkan. Yang terjadi hari, proses
pelembagaan pendidikan Islam mengharuskan pengintegrasian pendidikan Islam ke
dalam sistem pendidikan yang diberlakukan di semua negara Muslim.
F. Penutup
Sebagai catatan
akhir, ditinjau dari perspektif kebijakan pendidikan Islam dapat digaris
bawahi, bahwa pendidikan Islam dapat
mempengaruhi politik, sebaliknya politik dapat terakomodasi melalui pendidikan
Islam. Hal ini dibuktikan, dalam upaya modernisasi pendidikan Islam,
pemerintahan berusaha memfasilitasi kepentingannya dalam bentuk pelembagaan
instusi pendidikan Islam dan integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional di masing-masing Negara. Akomodasi itu dilakukan dalam rangka
mempermudah kontrol Negara atas pendidikan Islam yang acapkali mengganggu
kebebasan lembaga pendidikan Islam untuk mengekspresikan idialismenya. Sebagai
saran, umat Islam perlu memahami politik pendidikan agar Umat Islam terutama di
Indonesia dapat memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Millenium III. Jakarta: Frenada Media Group, 2012.
______. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002
Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial; Perselingkuhan Agama,
Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2005.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Endiklopedi Islam. t.t., t.p.,
t.h.
Dhofier, Zamakhsyari. "Sekolah Al-Quran dan Pendidikan Islam
di Indonesia" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran. Vol.
Ill/ No. 4/1992.
Fatah, Nanang. Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung :
Remaja Rosda Karya, 2013.
Hefner, Robert W. Making Modern Muslims : The Politics of Islamic
Education in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press, 2009.
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis#.ViC5Gl7H7IU
(16/10/2015)
Imron, Ali. Kebijakan Pendikan Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Khoiriyah, Menggagas Sosiologi Pendidikan Islam. Yogyakarta :
Teras, 2012. Freire, Paulo. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto.
Yogyakarta: Read – Pustaka Pelajar, 2004.
Makdisi, George. The Rise of Colleges of Institutions of Learning
in Islam and The West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
Maksum. Sejarah Madrasah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Malik, Jamal. Madrasas in South
Asia. New York : Routledge, 2008.
Maunah, Binti. Perbandingan Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Teras, 2011
Merry, Michael S. Culture, Identity, and Islamic Schooling: A
Philosophical Approach. New York: Palgrave Macmillan, 2007.
Noor , Farish A., Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen
(eds.). The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages.
Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008
Sikand, Yoginder. “The
Indian Madaris and the Agenda of Reform Islamic Education”, dalam Diversity and National identity Dînî
Madâris in India Post 9/11, Ed. Jan-Peter Hartung Helmut Reifeld. New
Delhi: Sage Publications India, 2006.
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
Supriadi, Dedi. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan
Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta:
Ditendik Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2003.
Syafarudin. Efektitas Kebijakan Pendidikan; Konsep, Strategi, dan
Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif. Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari
Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.