Islam dan kekuasaan : Konteks kebijakan pendidikan di indonesia

Islam dan kekuasaan :
Konteks kebijakan pendidikan di indonesia 
A.      Pendahuluan
Sistem pendidikan yang diberlakukan di sebuah negara meskipun bermula dari aspirasi yang berkembang di masyarakat pada akhirnya harus diputuskan oleh Pemerintah yang berkuasa saat itu sebagai konsensus nasional yang mengikat seluruh insan pendidikan. Sehebat apapun gagasan pendidikan yang dibangun oleh para tokoh pendidikan, pada akhirnya harus memperhitungkan aspek legalitas agar diterima dengan baik oleh User-nya. Dan sudah menjadi jamak, parameter yang dipakai User pendidikan hari ini adalah legalitas sebuah institusi pendidikan yang ujungnya perlu pengakuan politik. Dengan begitu, bisa dikatakan, pendidikan tidak terlepas dari politik[1], juga dapat dikatakan, segala kebijakakan (nasional dan lokal) tentang pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik.[2]
Konsekuensi pendidikan yang mensyaratkan legitimasi politik bahkan sudah  berlangsung sejak zaman awal munculnya konsep Negara. Terkait hal ini, Azyumardi Azra mengutip teorinya Coleman, “As is the state, so is school” (“sebagaimana negara, seperti itulah sekolah”). Juga terdapat teori yang dominan dalam demokrasi yang mengasumsikan, pendidikan adalah sebuah korelasi, jika tidak sebuah persyaratan, bagi tatanan demokrasi.[3] Tatanan demokrasi di sini bisa dimaknai menjadi tujuan dibentuknya suatu Negara. Tentu saja, Negara tersebut akan sangat mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya untuk mewujudkan tatanan demokrasi, tanpa terkecuali pendidikan. Dengan begitu sistem pendidikan di suatu negara akan diarahkan menuju terwujudnya demokrasi melalui sistem kontrol terhadap gagasan-gagasan yang ditelurkan para penggiat pendidikan. Gagasan-gagasan pendidikan mau tidak mau juga harus mengintegrasikan konsep demokrasi yang kemudian dibakukan menjadi seperangkat kurikulum dan standarisasi pendidikan yang diikat oleh produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Alasan selain demokrasi, sebuah Negara dengan memakai sistem politik yang dimilikinya sudah sewajarnya menginginkan idiologinya dapat diterima dengan baik kemudian dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Fakta membuktikan, bukan hanya terbatas pada internal Negara, bahkan Barat sampai menerobos “kemerdekaan” bangsa lain demi menguatkan superioritas idiologinya dan sudah barang tentu demi menjamin keberlangsungan kepentingan dalam negerinya. Fenomena seperti ini nampaknya yang hari ini dihadapi pendidikan Islam di hampir semua Negeri Muslim.
Peristiwa 9 September 2011 (populer disebut 9/11) seakan menjadi puncak simbolisasi hegemoni barat itu. Tuduhan kepada Islam sebagai biang kerok merembet kemana-mana, salah satu titik perhatiannya tertuju kepada lembaga pendidikan Islam. Robert W. Hefner meyakinkan fakta itu dengan mengatakan, “Since the 9/11 attacks in the United States and the October 2002 Bali bombings in Indonesia, Islamic schools in Southeast Asia have been the focus of international attention.[4]  Lebih spesifik, Faris A. Noor, dkk menyebutkan, “In the Western popular imagination, madrasas came to be seen as ‘incubators for violent extremism’ and ‘jihad factories’, imprisoning Muslim youth in backwardness and indoctrinating them with a hatred for the West that was considered to be the root cause of all that was said to be ‘wrong’ with Islam. (Dalam imajinasi yang populer di Barat, keberadaan madrasah dilihat sebagai 'inkubator untuk ekstremisme' dan 'pabrik jihad', memenjarakan kaum muda Muslim dalam keterbelakangan dan mengindoktrinasi mereka dengan kebencian bagi Barat dianggap sebagai akar penyebab semua yang dikatakan 'salah' dengan Islam.[5]
Terlepas dari kehebohan di atas, sebenarnya geliat modernisasi pendidikan Islam kini tengah berlangsung di Negara-negara Muslim dan Barat sendiri. Hal ini patut diungkap bukan sekedar untuk menolak tuduhan Barat, lebih dari itu, diperlukan ulasan yang memadai mengenai perkembangan modernisasi pendidikan Islam di Negara-negara Muslim sebagai radar pembacaan kita, apakah kebijakan politik sudah berperan dalam kebijakan pendidikan? Ahmad Baso mengingatkan bahwa Era 1990-an menunjukkan bahwa apa yang disebut Islam Universal itu mulai memetik hasil, ketika negara, yang memonopoli kuasa itu, juga mulai memonopoli pengertian tentang Islam. Islam mulai  diuntungkan oleh negara, hanya sebatas yang dimaui negara.[6] Pernyataan Ahmad Baso ini membimbing kita untuk menimbang apakah idialisme Pendidikan Islam sudah dipenuhi oleh kebijakan politik, utamanya pada konteks Indonesia. Tinjauan perbandingan pendidikan kepada berbagai determinasi akan melahirkan ciri khas pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara bagi masyarakatnya.
Dengan demikian, perbandingan pendidikan mengandung pengertian sebagai usaha menganalisa dan mempelajari secara mendalam dua hal/aspek dari sistem pelaksanaan pendidikan, untuk mencari kesamaan-kesamaan yang ada dari/dalam kedua hal/aspek atau lebih tersebut.[7]  Perkembangan modernisasi pendidikan Islam di berbagai Negara, baik Negara Muslim maupun Barat akan digunakan sebagai pembanding, hal apa saja yang sudah berjalan di Indonesia dan sebaliknya, hal apa saja yang perlu dibenahi.
Untuk itu kajian ini berusaha mengggali: (1) kebijakan pendidikan di negara-negara muslim; (2) kebijakan pendidikan  Islam di Indonesia; (3) perbandingan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dan lainnya. Pendekatan yang dipakai adalah deskriptif-komparatif yang setidaknya akan mengikuti prosedur: (1) perumusan masalah (definisi); (2) peramalan (prediksi); (3) rekomendasi (preskripsi); (4) pemantauan (deskripsi); dan (5) evalusi.[8]

B.        Pendidikan Islam dan Kekuasaan : Perspektif Gagasan dan Politik
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan pendidikan Islam saat ini merupakan kesinambungan dari gagasan dan pencapaian pendidikan yang diciptakan pelaku sebelumnya. Pelaku pendidikan dan institusi yang dibangunnya pada setiap masa tidak dapat dipisahkan dari lingkaran kekuasaan yang menaunginya, dan menjalin hubungan timbal balik yang saling menguatkan.  Senada dengan hal ini, Syafarudin menyatakan, sekolah sebagai subsistem sosial melakukan transformasi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sebagai lembaga atau unit institusi sosial, maka sekolah secara historis telah memberikan kepercayaan, keyakinan, nilai, pengetahuan, sains dan teknologi yang menjadi alat dalam proses indoktrinasi politik atau sosialisasi sebagai fungsi esensial dalam sitiap sistem politik.[9]
Gagasan pendidikan Islam dalam kaitannya dengan transformasi budaya mempunyai akar dalam gagasan tentang “modernisme” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Untuk itu, pengembangan Pendidikan Islam sebagai upaya perubahan dari bentuk lama ke bentuk baru, tidak akan lepas dengan modernisasi. Modernisasi sendiri adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Atau, modernisasi merupakan proses perubahan dari cara tradisional ke cara baru yang lebih maju untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.[10] Dalam hal ini, modernisasi pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam yang menjadi prasyarat kebangkitan umat Islam.[11]      
Menengok kepada konteks global, Paulo Freire mencatat, beberapa gereja telah meninggalkan perspektif tradisional dan mempunyai sikap yang baru. Sejarah menunjukkan bahwa sikap yang baru ini mulai muncul, ketika elemen-elemen modernisasi menggantikan struktur sosial yang bersifat tradisional. Kelompok-kelompok masyarakat yang dulunya terlindas sejarah, kini mulai bangkit kembali dan menyesuaikan diri dengan masa industrialisasi. Masyarakat juga berubah. Tantangan baru sekarang harus dihadapi oleh kelompok yang berkuasa, yang memerlukan penanganan yang juga berbeda.[12] Ini sebagai tanda bahwa modernisasi sudah merambah dunia hingga saat ini.
Sebagai konsekuensi dari modernisasi, kebijakan pendidikan harus dapat melayani kebutuhan institusi pendidikan agar terbangun hubungan yang saling menguntungkan. Karakteristik kebijakan pendidikan setidaknya dapat memenuhi kriteria: (1) Memiliki tujuan pendidikan; (2) Memiliki aspek legal-formal; (3) Memiliki konsep operasional; (4) Dibuat oleh yang berwenang; (5) Dapat dievaluasi; (6) Memiliki sistematika.[13]  Dengan demikian, kebijakan pendidikan dapat dikatakan telah menampung gagasan pendidikan Islam apabila telah melayani gagasan pendidikan Islam yang memenuhi aspek orientasi pendidikan dan legalitas kelembagaan.

C.      Kebijakan Pendidikan Islam di Berbagai Negara
Menengok ke babak awal perkembangan pendidikan Islam, kebijakan pendidikan Islam secara formal mulai dapat dicatat sejak abad pertengahan. Pada abad pertengahan, Kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Al-Mansur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah dan kesusteraan dari bahasa asing: India, Yunani lama, Bizantium, Persia dan Syria. Para peminat ilmu dan kesusateraan. Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Ma’mun (813-833), banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah mati dihidupkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada masa al-Ma’mun terdapat perpustakaan bernama Bait al-Hikmah yang dipenuhi beribu-ribu ilmu pengetahuan. Di samping itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi dan sekolah biasa, yang terpenting adalah perguruan Nizhamiyah, didirikan Nizham al-Mulk, Wazir Sultan Seljuk, pada abad ke-5 H, dan perguruan Mustanshiriyah, didirikan dua abad kemudian oleh Khalifah Mustanshir Billah.[14]
Beralih ke Mesir. Periode Fathimiah dimulai dengan Al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-Aziz. Al-Mu’izz dan ‘Aziz (975-996 M) di Mesir dapat disejajarkan dengan Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun di Baghdad. Selama pemerintahan Mu’izz dan tiga pengganti pertamanya, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan besar. Di bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga pendidikan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni. Pada masa pemerintahan Al-Hakim (996-1021 M), didirikan Bait al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan al-Ma’mun di Baghdad.  Selain mengoleksi buku-buku, lembaga ini merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran agama terutama Syi’ah.[15]
            Perkembangan selanjutnya, di Isfahan (Persia), Ketika Raja Safawi, Abbas I menjadikan Isfahan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Kerajaan Safawi dikelilingi tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu, di dalamnya banyak dijumpai bangunan istana, sekolah, masjid, meara dan rumah dengan arsitektur yang indah.[16]
Kurikulum pendidikan abad pertengahan lebih menitik beratkan pada pendidikan agama Islam, belum menampakkan ekspansi yang progressif ke arah integrasi kurikulum non agama. Dalam catatan Hefner, sekitar abad pertengahan dalam sejarah Islam (1000-1500 M), kurikulum madrasah menjelma menjadi berbagai bentuk yang relatif sama. Pada madrasah-madrasah besar diajarkan bacaan al-Qur’an (qira'ah), hadits, tata bahasa Arab (nahw), interpretasi Alquran (tafsir), yurisprudensi (fiqh), prinsip-prinsip agama (ushul ad-din ), sumber hukum (ushul al- fiqh), dan teologi (kalam). Meskipun sudah ada standarisasi, untuk kurikulum sejarah madrasah masih bervariasi tergantung kekhasan masing-masing daerah. Memang, pada umumnya, madrasah adalah entitas non formal yang menjadi kebalikan dari Universitas. Pendanaan madrasah berasal dari hibah (wakaf), yang secara resmi diakui dalam hukum Islam.[17]
Terlepas dari hal di atas, madrasah tetap menempati tempat terhormat sebagai capaian pelembagaan pendidikan agama Islam di abad pertengahan. George Makdisi memperkuat bukti bahwa madrasah telah mengambil tempat dalam modernisasi pendidikan Islam pada abad pertengahan. Dalam pengantar bukunya, The Rise of Colleges of Institutions of Learning in Islam and The West, George Makdisi menyatakan: “I hope to show that the madrasah was of Islam’s ideal religeous science, law, and of Islam’s ideal religeous orientation, traditionalism; and that law and traditionalism combined to produce the scolastic method which was the peculiar of middle ages.” ("Saya berharap dapat menunjukkan bahwa madrasah adalah pusat ilmu pengetahuan Islam yang ideal, hukum, dan orientasi Islam yang ideal, tradisionalisme; dan bahwa hukum dan tradisionalisme dikombinasikan untuk menghasilkan metode scolastic yang khas abad pertengahan."[18]
Dibandingkan dengan masa Abasiyah dan Umaiyyah, perkembangan madrasah sesudahnya sudah menunjukkan kemajuan. Beberapa madrasah pada abad pertengahan, terutama yang di Islam timur laut (dari Turki sampai India) mengembangkan kurikulum non agama seperti mata pelajaran aritmatika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan puisi. Dari abad kesebelas ke abad keempat belas, matematika, astronomi, dan farmasi di Timur  Tengah dan India Utara adalah yang paling canggih di dunia, dan ada beberapa madrasah unggul dalam pengajaran ini, karena disiplin itu masih dikenal sebagai "ilmu asing."[19]
Namun, Hefner menyayangkan, penggunaan frase "ilmu asing" sebagai disiplin pengetahuan menimbulkan kegentingan pada kurikulum madrasah. Pada detik ini, kebanyakan madrasah di Timur Tengah semakin sedikit yang memberikan kurikulum matematika, astronomi, atau farmasi dan bidang telah bermigrasi dari madrasah ke rumah sakit dan diberikan secara privat di rumah-rumah pribadi ulama karena dianggap ilmu-ilmu non-religius. Bahkan, di banyak wilayah Muslim yang sudah maju kurikulum ini hilang dari peredaran. Dalam hal ini Hefner memberikan komentar:
Di sinilah letak salah satu ironi besar dari peradaban sejarah dunia klasik. Selama keberadaan Eropa Barat pada Abad Pertengahan, perpustakaan dan madrasah di Timur Tengah menyimpan karya filsafat Yunani dan ilmu alam mengalahkan Kristen Eropa. Pada abad kedua belas dan abad ketiga belas, Muslim, Kristen, dan sarjana Yahudi di Spanyol dan negeri-negeri Muslim lainnya menerjemahkan banyak karya-karya ini ke dalam bahasa Latin. Karya-karya klasik itu diterjemahkan kembali ke Eropa Barat memicu kebangkitan kembali minat dalam ilmu alam dan filsafat humanistik. Meskipun sebelumnya karya-karya itu pernah disimpan dan dipelajari oleh generasi Arab dan cendekiawan Muslim India, karya-karya Yunani  itu secara bertahap terpinggirkan dari sebagian kurikulum madrasah. Memang, pada akhir Abad Pertengahan Pendidikan di Timur Tengah secara keseluruhan mengalami kejumudan. Hukum fikih telah menjadi raja pendidikan yang diagungkan di madrasah. Lebih signifikan lagi, banyak para ahli hukum (fuqaha) yang berpendirian bahwa studi filsafat dan ilmu-ilmu asing sebagai "tidak berguna dan menentang hukum agama”. Hasilnya, filsafat dan ilmu alam sama sekali menghilang dari kehidupan intelektual Muslim dan banyak lembaga pendidikan tinggi, tidak akan dihidupkan kembali hingga munculnya transformasi pendidikan di era modern.[20]

Memang, dinamika modernisasi madrasah belum bisa dikatakan sebagai konsensus seluruh komponen umat Islam yang mengarah kepada satu bentuk ideal yang disepakati bersama karena faktor perbedaan afiliasi idiologis. Menurut pengamatan Jamal Malik, madrasah dan tradisi pendidikan Islam adalah perwujudan dari berbagai pola resistensi. Di satu sisi, mereka muncul sebagai bentuk perlawanan lokal terhadap Universalisasi dan homogenisasi gagasan modernitas sekuler sebagaimana diatur oleh negara dari atas. Di sisi lain, mereka terkena tantangan homogenisasi dan mengglobalnya gagasan Islam. Bentuk-bentuk resistensi memiliki potensi untuk berkembang menjadi radikalisme, tapi pada aspek positifnya, resistensi malah membawa madrasah untuk   menyesuaikan diri dengan realitas ekonomi-politik.  Resistensi positif ini juga memberikan alternatif kreatif yang mengakomodasi semua potensi internal madrasah.[21]
Ilustrasi pro-kontra modernisasi madrasah bisa diikuti dari hasil penelitian Yoginder Sikand tentang perkembangan madrasah di Deoband India. Beliau mengungkapkan, tidak setiap Deobandi adalah konservatif, dan tidak semua dari mereka menentang perubahan Madaris tersebut. Qari Muhammad
Tayyib, mantan pemimpin madrasah Deoband, tampaknya
agak lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dari pada penggantinya. Menanggapi konferensi yang disponsori pemerintah pada pengembangan pendidikan al-Qur’an di madrasah, ia berpendapat bahwa tidak ada yang bisa setuju untuk mengubah pembelajaran Qur'ân di Madaris tersebut. Namun, sejauh mata pelajaran atau buku-buku yang adalah 'hamba Al Qur'an' [Khadim-i Qur'ân], mereka dapat memodifikasinya sesuai dengan perubahan kondisi. Ia kemudian berpendapat bahwa cara memahami Al Qur'an bisa berubah seiring waktu. Di masa lalu, ketika filsafat Yunani atau tasawuf adalah dominan, Al Qur'an dipahami melalui lensa mereka. Namun, di era ilmiah ini Al Qur'an perlu dipelajari dari perspektif ilmiah untuk menghasilkan cara baru mengungkapkan kebenaran kekal dari teks suci. Ia berpendapat, ada ruang untuk
reformasi dalam silabus madrasah, tapi dia bersikeras bahwa itu wilayahnya 'Ulama' sendiri untuk memutuskan arah reformasi sebagai respon dari aspirasi para alumni Madrasah Darul Ulum yang telah mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di India.[22]
Paparan di atas menggambarkan para penguasa abad pertengahan menunjukkan perhatiannya terhadap Pendidikan Agama Islam dengan mendorong kodifikasi berbagai pengetahuan sekaligus memfasilitasi berdirinya institusi pendidkan Islam. Hingga kini, yang dapat diamati adalah pelembagaan Pendidikan Agama Islam dalam  bentuk formal pada tingkat dasar lebih banyak berakhir pada madrasah dengan segala variannya. Proses modernisasi pun mengambil obyek madrasah, tanpa menafikan bahwa Negara-negara Muslim juga sangat memperhatikan perkembangan Universitas sebagai puncak proses intelektualitas.
Pergumulan gagasan ini jika dibandingkan dengan fakta perkembagan madrasah di Negara-negara lain akan menemukan fakta lain, pendidikan agama Islam telah mendapat legalitasnya, sebagaimana diungkap dari hasil penelitian Siti Maunah berikut ini.[23]
Sejak tahun 1959 Pakistan di bawah kepemimpinan Presiden Moh. Ayub Khan mewujudkan satu sistem Pendidikan nasional yang terpadu (intregated) dan komprehensif, juga menggabungkan sistem/aliran yang telah berjalan lama, tradisional/keagamaan dan modern/ilmiah. Pelajar lembaga pendidikan Islam tradisional (maktab, madrasah, Darul Ulum) diberi bantuan keuangan. Pada tahun 1981 dibangun Universitas khusus wanita di Lahore dan Karachi di samping sudah ada Universitas yang menyatukan dua sistem pendidikan, sekuler dan keagamaan. Pendidikan agama diwajibkan untuk semua pelajar muslim, mulai sekolah rendah sampai sekolah menengah pertama; sedangkan mulai kelas 9 sampai 12 (SMA dan Sekolah Persiapan PT), studi keislaman merupakan pelajaran pilihan. Sedangkan di PT, studi ke-Islaman diarahkan agar mahasiswa memahami Islam secara rasional. Di samping itu, juga dibentuk Lembaga Riset Islam yang berusaha memadukan nilai-nilai fundamental Islam dan sains modern.
Lain lagi dengan India. Republik Federasi India menetapkan bahwa setiap negara bagian bertanggungjawab atas pendidikan. Karena tanggungjawab kependidikan dipegang oleh banyak instansi, maka sumber keuangan untuk pendidikan banyak pula, yang terbesar ialah biaya dari negara bagian sendiri. Kewajiban belajar telah ditetapkan dalam konstitusi sejak 1947, yang menetapkan bahwa negara mengusahakan pendidikan yang bebas dan diwajibkan bagi semua anak sampai umur 14 tahun.
Turki menyisakan kisah lain. Pada tahun 1924 dikeluarkan UU tentang penyatuan sistem pendidikan. Berdasarkan UU ini, seluruh sekolah ditempatkan di bawah naungan Kementerian Pendidikan. Konsekuensinya, madrasah-madrasah ditutup diganti dengan sekolah-sekolah yang membina para calon Imam/Khatib. Perubahan lain, di Universitas Istanbul dibuka fakultas Keagamaan/Ilahiyat. Secara berangsur-angsur pendidikan Agama Islam, bahasa Arab dan bahasa Persia dihapus dari kurikulum sekolah. Tidak hanya itu, tulisan Arab diganti tulisan latin. Selain itu, dilakukan beberapa penambahan kurikulum di PT seperti Darul Funun yang berdiri tahun 1900. Sementara itu, di Mesir, sistem pendidikan tradisional tetap dipertahankan di bawah pembinaan Al-Azhar, karena pada umumnya ulama-ulama Al-Azhar menentang adanya sekolah-sekolah modern. Kecuali, tentu saja Muhammad Abduh, yang telah memelopori modernisasi pendidikan di Al-Azhar.
Modernisasi pendidikan Islam juga berlangsung di Saudi Arabia. Pada akhir abad ke-19, subyek non religius diajarkan oleh pemerintahan Ottoman di Hijaz melalui Kuttab yang awalnya mengkhususkan diri dalam hafalan Al-Qur’an. Pengajaran aritmatika, bahasa asing dan membaca bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum. Hingga saat ini sistem pendidikan di Saudi Arabia memisahkan laki-laki dan perempuan. Secara umum, sistem pendidikan dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) pendidikan umum untuk laki-laki, (2) pendidikan umum umum untuk perempuan, dan (3) pendidikan Islam untuk laki-laki. Pendidikan umum dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) pendidikan dasar, 6-12 tahun, (2) pendidikan menengah, 12-15 tahun, (3) pendidikan sekunder, 15-18 tahun, dan (4) pendidikan tinggi (universitas atau akademi). Ada juga lembaga swasta khusus laki-laki yang mulai muncul tahun 1920-an. Mulai tahun 1951 program ekstensif sekolah didanai publik, sedangkan untuk pendidikan khusus perempuan mulai didanai sejak 1961 atas prakarsa Pangeran Faisal dan istrinya, Iffat. Semua buku dan pelayanan kesehatan untuk siswa disediakan gratis oleh Pemerintah. Pendidikan Islam tradisional bagi laki-laki difokuskan untuk membentuk calon-calon anggota dewan Ulama.
Pada perkembangan berikutnya, melampaui berbagai ragam peristiwa sejarah, setelah revolusi Iran, banyak saintis Iran yang bermigrasi ke Barat. Karena revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk barat, dan mempromosikan sains yang berbasiskan Islam, sebagian berhenti bekerja dalam sains dan beralih profesi, sebagian yang lagi malah menjadi “lebih kuat dan bersemangat” dalam mengejar idialisme untuk menjadikan Iran sebagai negara yang maju dalam sains dan teknologi. Pada masa sulit ini, muncul sekelompok ilmuan yang membangkitkan kegiatan saintifik di Iran, di luar konteks politik. Sedangkan di Sudan, UU Islam dan adat merupakan sumber utama perundangan. Di bidang pendidikan, Sudan memiliki banyak Universitas yang mahasiswanya banyak berasal dari Indonesia. Kebanyakan mahasiswa menanggung biaya sendiri. Adapun pendidikan non formal, terdapat banyak majelis ilmu yang menggunakan sistem talaqqi yang diasuh para masyayikh yang tersebar hampir di seluruh penjuru Sudan.
Beralih ke kawaan Asia Tenggara. Sistem pendidikan di Malaysia adalah berdasarkan sistem pendidikan Inggris, yang ditanggung oleh Kerajaan, baik sekolah ngeri maupun swasta. Sistem pendidikan dipusatkan terutama bagi sekolah rendah dan sekolah menengah. Kerajaan negeri tidak berkuasa dalam kurikulum dan aspek lain pada pendidikan sekolah rendah dan sekolah menengah, sebaliknya ditentukan oleh Kementerian. Kurikulum pendidikan yang ditetapkan Kementerian Pelajaran Malaysia relatif stabil. Kurikulum yang digunakan di Sekolah Rendah Malaysia disebut dengan Kurikulum Baru Sekolah Rendah (KBSR). Menurut data Kementerian Pelajaran Malaysia, KBSR mulai diujicobakan tahun 1982 di 302 sekolah rendah. Sejak tahun 1988, pelaksanaan KBSR sepenuhnya dicapai dan hingga tahun 2007 ini masih dipergunakan. Untuk buku teks, revisi terakhir dilakukan tahun 2005, di mana mata pelajaran Sains dan Matematika menggunakan bahasa Inggris. Mengenai Sekolah Agama Islam di Malasia, setelah menempuh wajib belajar sebelas tahun, lulusan sekolah Islam tidak bisa diterima di Universitas di Malaysia, tapi kebanyakan mereka melanjutkan pendidikan di Pakistan atau Mesir.           
Kerajaan Brunei Darussalam memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 1 Januari 1984, dipimpin seorang Sultan  sekaligus memegang jabatan Perdana Menteri. Tentang pendidikan, pemerintah menetapkan tiga bidang utama dalam pendidikan, yaitu: (1) sistem dwi bahasa di semua sekolah, (2) konsep Melayu Islam beraja (MIB) dalam kurikulum sekolah, dan (3) peningkatan serta perkembangan sumber daya manusia termasuk pendidikan vokasional (kejuruan) dan teknik. Brunei Darussalam, sebagaimana negara-negara “Commonwealth” lainnya memasang target di bidang pendidikan, yaitu meningkatakan kualitas lulusan sekolah tinggi. Sejak 2003 kerajaan Brunei Darussalam telah membuka peluang sektor swasta di bidang penelitian. Penjenjangan pendidikan mengikuti pola “A7-3-2-2” yang melambangkan lamanya masa studi, 7 tahun tingkat dasar, 3 tahun tingkat menengah pertama, 2 tahun tingkat menengah atas dan 2 tahun pra Universitas.
            Bagaimana dengan pendidikan agama Islam di Negara-negara Barat? Sedikit saja dapat disinggung di sini, kita ambil contoh Belanda, Belgia dan AS.  Pendidikan agama yang banyak tersedia di Belanda dan Belgia. Di Belanda "arus spiritual" (geestelijke stromingen) diperlukan hanya di sekolah dasar, sedangkan di Belgia baik pelajaran agama diakui (termasuk Islam) atau etika nonconfessional yang wajib untuk kedua tingkat primer dan sekunder. Proses sekularisasi di daerah perkotaan di kedua negara telah mendalam sejak 1960-an, terutama di provinsi-provinsi non-Katolik di Belanda dan Frenchspeaking daerah di Belgia. Sebaliknya, di Amerika Serikat, iman terus menjadi katalisator kuat dalam pengambilan keputusan publik dan kampanye politik.[24]
           
D.      Kebijakan Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Di Indonesia, pertumbuhan Madrasah merupakan respon umat Islam yang lebih progresif -tidak melulu bersifat defensif- terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda karena bersifat menekan dipicu kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama disalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.[25] Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.[26]
Selanjutnya, perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait erat dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 karena adanya penyeragaman nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah.[27]
Ketika pemerintah Orda Baru menggencarkan program Wajib Belajar, tuntas pendidikan dasar, pada dekade 1970-an umat Islam terpanggil untuk ikut mensukseskan program tersebut dengan jalan mengubah madrasah (Diniyah) atau Sekolah Arab menjadi pendidikan formal dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI). Waktu belajarnya pagi hari sebagaimana Sekolah Dasar pada umumnya, tapi porsi materi agama jauh lebih banyak dibandingkan SD. Perubahan itu tidak membuat madrasah sore hari berhenti, ia masih tetap bertahan, bahkan sampai saat ini, dinamakan Madrasah Diniyah.[28] Untuk memperjelas proses evolusi pendidikan Islam jenjang dasar, mari kita ikuti deskripsi dan penilaian Zamakhsyari Dhofier di bawah ini:
Meski sebagaian besar ulama menerima perubahan nama sekolah (pengajian-pen) al-Quran, yang jelas mereka tidak banyak yang memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulumnya. Sekolah al-Quran yang masih "tegar" ini diberi nama baru: Madrasah Diniyah. Dalam perkembangannya, setelah guru mata pelajaran umum cukup tersedia banyak Madrasah Diniyah diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah. Hal ini menunjukkan adanya kontinuitas dan fluiditas struktural di Indonesia antara (pengajian al-Quran-pen), Madrasah Diniyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar"[29]

Sampai pada kondisi ini, dinamika madrasah yang berdiri mandiri dapat dikatakan berakhir, karena pada perkembangan selanjutnya perkembangan madrasah di bawah kontrol Pemerintah melalui Kementerian Agama (awalnya bernama Departemen Agama).
Pendirian Departemen Agama dilatari oleh kebijakan politik umat Islam setelah Indonesia merdeka. Pemerintah Republik Indonesia baru dibentuk oleh koalisi Muslim dan beberapa partai nasionalis, antara lain Masyumi, Nahdhatul Ulama, PNI, dan PKI. Meskipun selama tahun-tahun peperangan, pihak Muslim menjadi kekuatan organisasi politik yang besar, namun kemudian kekuatan mereka terkalahkan oleh kekuasaan Partai Nasionalis Indonesia yang bercorak nasionalis sekuler.[30]
Kebijakan pemerintah pada pendidikan Islam, termasuk di dalamnya Madrasah dipaparkan berikut ini.
1.        Pengakuan Madrasah sebagai Pendidikan Formal[31]
Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah (pasal 10), untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.[32] Jenjang pendidikan pada sistem madrasah terdiri dari tiga jenjang, yaitu (1) Madrasah Ibtidaiyah, 6 tahun; (2) Madrasah Tsanawiyah Pertama, 4 tahun; dan (3) Madrasah Tsanawiyah Atas, 4 Tahun.
Ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentang “Garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” (3 Desember 1960)  menyebutkan, pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[33]
2.        Penegrian Madrasah[34]
Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Memasuki tahun 2000 penegerian dimunculkan kembali.
3.      Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum[35]
Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah, menyatakan bahwa (1) setiap waganegara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama; (2) lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang ingin pindah sekolah dapat pindah ke sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kuranya 30 % disamping mata pelajaran umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.
SKB ini juga menetapkan hal-hal yang menguatkan posisi madrasah pada lingkungan pendidikan, diantaranya : (1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih diatasnya; (3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat; dan (4) Pengelolaan madrasah dan pembinaan mata pelajaran agama dilakukan Menteri Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Mendikbud, bersama-sama Menag serta Mendagri.
4.        Lahirnya Kurikulum 1984[36]
Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.
Rumusan kurikulum 1984 adalah memuat hal-hal strategies, diantaranya : (1) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler baik dalam program inti maupun program pilihan; (2) Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajarinya; (3) Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta pengelolaan program.
5.        Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989[37]
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.
UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan SLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
6.        Lahirnya Kurikulum 1994[38]
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994 hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde baru menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan.
7.        Lahirnya UU No, 20 Tahun 2003[39]
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak  peserta didik. "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama," (Pasal 12 ayat a).
UU ini juga sekaligus "mengubur" bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.
8.        Lahirnya KBK-KTSP-K-13[40]
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kemudian Kurikulum 2013 (K-13). K-13 masih hingga saat sudah ada yang menerapkan, tetapi masih banyak mengundang kontroversi.
Sampai perkembangan ini, Azyumardi Azra menilai, madrasah tidak lagi terasing dari pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan, walaupun masih saja mendapat perlakuan marjinal karena pembatasan anggaran.[41] Belum lagi secara kultural, banyak madrasah dikelola oleh Yayasan yang “wujuduhu ka’adamihi”. Meskipun begitu, Madrasah telah menjadi bagian integral yang menyatu padu dalam alam pendidikan nasional. Satu abad yang lalu hal itu masih merupakan mimpi dan sebatas cita-cita umat Islam, sekarang telah menjadi sebuah kenyataan. Oleh karena itu, tidak ada kata lain bagi umat Islam, kecuali mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan materi untuk memajukan madrasah.[42]

E.       Perbandingan Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia dan Lainnya
1.        Orientasi Pendidikan
Di Indonesia, pemberlakuan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi orientasi pendidikan agama yang diintegrasikan pada kurikulum di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Hal ini secara eksplisit disebutkan pada pasal 37 ayat (1), bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal. Integrasi pendidikan Islam dalam kurikulum nasional juga terjadi di Pakistan. Sejak tahun 1959 Pakistan di bawah kepemimpinan Presiden Moh. Ayub Khan mewujudkan satu sistem Pendidikan nasional yang terpadu (intregated) dan komprehensif, juga menggabungkan sistem/aliran yang telah berjalan lama, tradisional/keagamaan dan modern/ilmiah.
Kondisi yang kurang baik berlangsung di Turki, karena sejak 1924 secara berangsur-angsur pendidikan Agama Islam, bahasa Arab dan bahasa Persia dihapus dari kurikulum sekolah. Tidak hanya itu, tulisan Arab diganti tulisan latin. Sementara itu, Mesir masih menyisakan kontroversi, sistem pendidikan tradisional tetap dipertahankan di bawah pembinaan Al-Azhar, karena pada umumnya ulama-ulama Al-Azhar menentang adanya sekolah-sekolah modern. Sama halnya di Msesir, Saudi masih mempertahankan aspek tradisionalnya dengan memberlakukan sistem sekolah terpisah antara laki-laki dan perempuan, namun pengajaran aritmatika, bahasa asing dan membaca bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum. Di Sudan, perhatian pada aspek tradisional lebih kentara lagi, karena banyak majelis ilmu yang menggunakan sistem talaqqi yang diasuh para masyayikh diakui sebagai pendidikan non formal. Iran selangkah lebih maju, karena revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk barat, dan mempromosikan sains yang berbasiskan Islam.
 Meskipun kurikulum nasional telah berjalan stabil, mengenai Sekolah Agama Islam di Malasia, setelah menempuh wajib belajar sebelas tahun, lulusan sekolah Islam tidak bisa diterima di Universitas di Malaysia, tapi kebanyakan mereka melanjutkan pendidikan di Pakistan atau Mesir. Tidak begitu dengan Brunei Darussalam, karena     menerapkan konsep Melayu Islam beraja (MIB) dalam kurikulum sekolah. Di Belanda pendidikan agama diberlakukan di sekolah dasar, sedangkan di Belgia baik pelajaran agama diakui (termasuk Islam) atau etika nonconfessional yang wajib untuk kedua tingkat primer dan sekunder. Sebaliknya, di Amerika Serikat, agama termasuk pendidikan agama  meski belum diakui secara formal tapi tetap menjadi katalisator kuat dalam komoditas keputusan politik.

2.        Legalitas Kelembagaan
Semua penguasa di semua Negara dalam pembahasan ini dapat dikatakan telah mengakomodasi kepentingan pendidikan Islam dengan mengakuinya sebagai institusi pendidikan yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Di Indonesia, keberadaan madrasah diakui di bawah naungan Kementeriaan Agama dan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum di bawah pengawasan Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan madrasah dibuat berjenjang mulai dari jenjang dasar (Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah), menegah (Madrasah Aliyah) dan tinggi (PTKIN dan PTKIS dan Fakultas Agama Islam di PT yang diselenggarakan masyarakat).
Di negara berkomunitas Muslim lainnya; Pakistan memberlakukan pendidikan agama Islam mulai sekolah rendah sampai sekolah menengah pertama; sedangkan mulai kelas 9 sampai 12 (SMA dan Sekolah Persiapan PT), studi keislaman merupakan pelajaran pilihan. Sedangkan di PT, studi ke-Islaman diarahkan agar mahasiswa memahami Islam secara rasional. Saudi Arabia menerapkan sistem pendidikan menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) pendidikan umum untuk laki-laki, (2) pendidikan umum umum untuk perempuan, dan (3) pendidikan Islam untuk laki-laki. Pendidikan umum dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) pendidikan dasar, 6-12 tahun, (2) pendidikan menengah, 12-15 tahun, (3) pendidikan sekunder, 15-18 tahun, dan (4) pendidikan tinggi (universitas atau akademi). Sedangkan di Iran dan Sudan, pendidikan tinggi menjadi fokus utama pemberlakuan pendidikan Islam.
Di Malaysia, sistem pendidikan Islam dipusatkan terutama bagi sekolah rendah dan sekolah menengah. Kerajaan negeri tidak berkuasa dalam kurikulum dan aspek lain pada pendidikan sekolah rendah dan sekolah menengah, sebaliknya ditentukan oleh Kementerian. Sementara itu, di Brunei Darussalam penjenjangan pendidikan mengikuti pola “A7-3-2-2” yang melambangkan lamanya masa studi, 7 tahun tingkat dasar, 3 tahun tingkat menengah pertama, 2 tahun tingkat menengah atas dan 2 tahun pra Universitas.
Praktik pendidikan Islam di era ini tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan modernisasi pendidikan Islam di abad pertengahan. Dalam hal ini, Hefner mencatat, implementasi pendidikan Islam sejauh dalam hal rujukan teks keagamaan selalu mengacu pada otoritas Ulama yang telah menelurkan karya-karya menomentalnya.[43]
Namun, memperhatikan pembahasan kebijakan pendidikan Islam di atas, nampaknya institusi-institusi pendidikan Islam hari ini tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan pemerintah setempat karena faktor saling membutuhkan. Yang terjadi hari, proses pelembagaan pendidikan Islam mengharuskan pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan yang diberlakukan di semua negara Muslim.

F.       Penutup
Sebagai catatan akhir, ditinjau dari perspektif kebijakan pendidikan Islam dapat digaris bawahi,  bahwa pendidikan Islam dapat mempengaruhi politik, sebaliknya politik dapat terakomodasi melalui pendidikan Islam. Hal ini dibuktikan, dalam upaya modernisasi pendidikan Islam, pemerintahan berusaha memfasilitasi kepentingannya dalam bentuk pelembagaan instusi pendidikan Islam dan integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di masing-masing Negara. Akomodasi itu dilakukan dalam rangka mempermudah kontrol Negara atas pendidikan Islam yang acapkali mengganggu kebebasan lembaga pendidikan Islam untuk mengekspresikan idialismenya. Sebagai saran, umat Islam perlu memahami politik pendidikan agar Umat Islam terutama di Indonesia dapat memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan pendidikan Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III. Jakarta: Frenada Media Group, 2012.

______. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002

Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2005.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Endiklopedi Islam. t.t., t.p., t.h.

Dhofier, Zamakhsyari. "Sekolah Al-Quran dan Pendidikan Islam di Indonesia" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran. Vol. Ill/ No. 4/1992.

Fatah, Nanang. Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2013.

Hefner, Robert W. Making Modern Muslims : The Politics of Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press, 2009.

http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis#.ViC5Gl7H7IU (16/10/2015) 

Imron, Ali. Kebijakan Pendikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Khoiriyah, Menggagas Sosiologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Teras, 2012. Freire, Paulo. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Read – Pustaka Pelajar, 2004. 

Makdisi, George. The Rise of Colleges of Institutions of Learning in Islam and The West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.

Maksum. Sejarah Madrasah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Malik, Jamal. Madrasas in South Asia. New York : Routledge, 2008.

Maunah, Binti. Perbandingan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2011 

Merry, Michael S. Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach. New York: Palgrave Macmillan, 2007.

Noor , Farish A., Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen (eds.). The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008 

Sikand, Yoginder.  “The Indian Madaris and the Agenda of Reform Islamic Education”,  dalam Diversity and National identity Dînî Madâris in India Post 9/11, Ed. Jan-Peter Hartung Helmut Reifeld. New Delhi: Sage Publications India, 2006.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005

Supriadi, Dedi. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Ditendik Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2003.

Syafarudin. Efektitas Kebijakan Pendidikan; Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif.  Jakarta : Rineka Cipta, 2008.

Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera, 2003.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Postingan terkait: