Model Proses Keputusan Inovasi
Pendahuluan
Inovasi
menjadi hal yang sangat penting untuk konteks keindonesiaan. Stagnannya
kualitas pendidikan nasional dibanding
dengan Negara-negara berkembang atau Negara-negara dalam kawasan Asia
ditengarai karena susahnya para pelaku-pelaku pendidikan Nasional untuk
melakukan terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan. Kemalasan untuk
keluar dari save zona menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku-pelaku
pendidikan yang ingin mencoba membuat inovasi pendidikan di lembaganya
masing-masing
Dalam
konteks pendidikan agama Islam nasional,
inovasi menjadi hal yang lebih urgent lagi karena sekolah-sekolah Islam
belum menjadi pilihan tapi masih menjadi alternative. Sehingga kualitas input
sekolah-sekolah Islam berada dibawah lembaga pendidikan lain. Kualitas SDM
pendididikan Lembaga pendidikan Islam makin menjadikan inovasi menjadi penting
dan mendesak untuk dilaksanakan.
Keputusan
untuk melaksanakan inovasi adalah proses awal yang menentukan langkah-langkah
selanjutnya. Para pengelola pendidikan sebagai manajer yang mempunyai wewenang
pengambilan keputusan secara manajerial, dan para guru yang mempunyai wewenang
untuk mengambil keputusan secara praktis, wajib memiliki kompetensi pengambilan
keputusan inovasi, terkhusus pengelola dan guru dalam lembaga pendidikan Islam
yang secara moril bertanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik dalam
melakukan pengambilan keputusan dalam berinovasi.
Pembahasan
Roger Everet membagi proses keputusan inovasi terdiri dari 5
tahap, yaitu tahap pengetahuan, tahapan bujukan, tahapan keputusan,
tahap implementasi dan tahap konfirmasi.
A. Tahap
Pengetahuan (Knowledge)
Proses keputusan inovasi dimulai dengan taghap
pengetahuan yaitu tahap pada saat seorang menyadari adanaya suatu
inovasi dan ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut. Pengertian
menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui
inovasi[1].
Seseorang menjadi atau membuka suat
inovasi tentu dilakukan secara aktif bukan secara pasif. Misalnya pada acara
siaran televisi disebutkan berbagai macam acara, salah satu menyebutkan bahwa
pada jam 19.30 akan ada siaran tentang metode baru cara mengajar berhitung
disekolah dasar. Guru A yang mendengar dan melihat acara tersebut kemudian
sadar bahawa ada metode baru tersebut, maka pada diri guru A tersebut sudah
mulai proses keputusan inovasi pada tahap pengetahuan. Sedangkan Guru b
walaupun mendengar dan melihat acara TV, tidak ada keinginan untuk tahu dan
acara tersebut berlalu demikian saja, maka belum terjadi proses keputusan
inovasi.
Seseorang menyadari perlunya mengetahui inovasi biasanya
tentu berdasarkan pengamatan tentang inovasi itu sesuai dengan kebutuhannya, minat
atau mungkin juga kepercayaannya. Seperti contoh Guru A tersebut di atas,
berarti ia ingin tahu metode baru berhitung karena ia memerlukannya. Adanya
inovasi menumbuhkan kebutuhan karena kebetulan ia merasa butuh. Tetapi mungkin
juga terjadi bahkan karena seseorang butuh sesuatu maka untuk memenuhinya diadakan
inovasi. Dalam kenyataanya di masyarakat hal yang kedua ini jarang terjadi,
karena banyak orang tidak tahu apa yang diperlukan. Apalagi dalam bidang
pendidikan, yang dapat merasakan perlunya ada perubahan biasanya orang yang
ahli. Sedang guru sendiri belum tentu mau menerima perubahan atau inovasi yang
sebenarnya diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana
halnya untuk seorang dokter, manusia memerlukan makan vitamin, tetapi juga
tidak menginginkannya, dan sebaliknya sebenarnya ingin sate tetapi menurut
dokter justru sate membahayakan kita. Setelah seseorang menyadari adanaya
inovasi dan membuka dirinya untuk mengetahui inovasi , maka keaktifan untuk
memenuhi kebutuhan ingin tahu tentang inovasi itu bukan hanya berlangsng pada tahap
pengetahuan saja tetapi juga pada tahap yang lain bahkan sampai tahap
konfirmasi. Artinya masih ada keinginan untuk mengetahui aspek – aspek tertentu
dari inovasi.
Dalam prakteknya pada pendidikan agama Islam, proses awal
dalam pengambilan keputusan ini. Bagi para pengelola lembaga pendidikan Islam
baik itu manajemen maupun guru, proses awal ini menjadi sangat penting. Di
madrasah atau di pesantren sebagai symbol lembaga pendidikan Islam nasional,
masa awal ini dapat dikatakan masa yang sangat menentukan. Stigma awal para
guru atau manajemen tentang inovasi yang selalu terstigma hal yang datang dari
barat, teknologi terkini membuat pengetahuan ini langsung tertolak. Kesadaran
kognitif langsung menolak hal tersebut. Maka sebagai solusi perlu perubahan paradigma
tentang inovasi. Inovasi yang sesungguhnya bermakna sesuatu yang baru yang
tidak akan mengancam struktur lama yang baik harus ditanamkan pada diri
insane-nsan pendidikan agama Islam. Pembelajaran fiqh misalnya, tidak lagi
pasif dalam kelas tapi dapat menggunakan media ajar out door yang dapat
memberikan pemahaman lebih banyak kepada anak didik. Thoharoh bisa langsung
belajar ke Masjid, macam-macam air mereka langsung dapat praktek di salah satu
rumah ustadz misalnya. Hal ini dapat membawa perkembangan karena memang merubah
paradigm lama yang menganggap sesuatu yang baru tersebut adalah proses
mengancam tradisi lama[2]
B. Tahap
Bujukan (Persuation)
Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi,
sesorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap
inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama bidang
kognitif, amaka pada tahap persuasi yang berperan utama bidang afeksi
atau persaan. Sesorang tidak dapat menyenangi inovasi sebelum ia tahu
lebih dulu tentang inovasi.
Dalam tahap persuasi ini lebih banyak keaktifan mental yang
memegang peran. Seseorang akan bersaha mengetahui lebih banyak tentang inovasi
dan menafsirkan informasi yang diterinmanya. Pada tahap ini berlangsung seleksi
informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah peranan
katrakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses keputusan inovasi[3].
Dalam tahap persuasi ini juga sangat penting peran
keamampuan untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan inovasi di masa dating.
Perlu ada kemampuan untuk untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam
pemikiran berdasrkan kondisi dan situsai yang ada. Untuk mempermudah proses
mental itu, perlu adanaya gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaannya
inovasi, jika mungkin sampai pada konsukuensi inovasi.
Hasil dari tahap persuasi yang utama ialah adanya penentuan
menyenangi atau tidak menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan
mengarahkan proses keputusan inovasi atau dengan kata lain ada kecenderungan
kesesuaian antara menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi. Namun perlu
diketahui bahwa sebenarnya antara sikap dan aktifitas masih ada jarak. Orang
menyenangi inovasi belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak atau
kesenjangan antara pengetahuan-sikap, dan penerapan ( praktik ). Misalnya
seorang guru tahu tentang metode diskusi, tahu cara menggunakannya, ddan senang
seandainya menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa
factor : tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu besar, dan
takut bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai batas waktu yang
ditentukan. Perlu adanya bantuan pemecahan masalah.
Dalam praksisnya pada PAI, proses kedua ini sangat
tergantung pada proses kognitif pertama. Jika seorang guru fiqh ketika
mengetahui bahwa pembelajaran dapat dilakukan di rumah atau di masjid, kemudian
langsung memberikan respon tidak senang maka proses ini akan langsung berhenti.
Maka pada proses pengetahuan harus langsung dapat menyentuh pada perubahan
paradigm pembelajaran[4]
C. Tahap
Keputusan ( Decision )
Tahap keputusan dari proses inovasi, berlangsung jika
seseorang melakukan kegiatan yang mengarah untuk menetapkan menerima atau
menolak inovasi. Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan
menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi[5].
Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi setelah ia
mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil lebih dahulu,
baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil
sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat dicoba dengan
dipecahkan menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian demi
bagian akan lebih cepat diterima. Dapat juga terjadi percobaan cukup dilakukan
sekelompok orang dan yang lain cukup memepercayai dengan hasil percobaan
temannya.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kenyataan pada setiap tahap
dalamproses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya
penolakan dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada
tahap persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi yaitu : ( a) penolakan
aktif artinya penolakan inovasi setelah inovasi setelah melalui
mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mungkin sudah mencoba lebih
dahulu, tetapi keputusan terakhir menolak inovasi, dan ( b ) penolakan
pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara : pengetahuan ,
persuasi, dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan. Satu dengan yuang
lainnya saling berkaitan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu dapat terjadi
urutan : pengetahuan-keputusan inovasi-baru persuasi.
Dalam PAI, konteks keputusan ini sering menjadi masalah.
Dominasi figure kepala sekolah atau kiyai dalam sekolah sebagai figure
satu-satunya yang dapat mengambil keputusan dalam sekolah membuat para guru
takut untuk mengambil keputusan walaupun telah melalui proses pengetahuan dan
persuasi dan dapat menerima dengan baik. Dalam pembelajaran wudhu misalnya,
terkadang alas an menjaga kesucian masjid menjadi dominan bagi kiyai untuk
tidak mengijinkan inovasi pembelajaran dilaksanakan di Masjid[6].
D. Tahap
Implementasi ( Implementation )
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi
apabila seseorang menerapka inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlang sung
keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputuisan penerima gagasan atau ide
baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil
keputussan inovasi. Tetapi daoat juga terjadi karena sesuatu hal sudah
memutuskan menerima inovasi tidak diikuti imlementasi. Biasanya hal ini terjadi
karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia[7].
Kapan tahap implementasi berakhir? Mungkin tahap ini
berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tergantung dari keadaan inovasi
itu sendiri. Tetapi biasanya suatu tanda bahwa taraf imlpementasi inovasi
berakhir jika penerapan inovasi itu sudah melembaga atau sudah menjadi hal-hal
yang bersifat rutin. Sudah tidak merupakan hal yang baru lagi.
Hal-hal yang memungkinkan terjadinya re-invensi antara
inovasi yang sangat komplek dan sukar dimengerti, penerima inovasi kurang dapat
memahami inovasi karena sukar untuk menemui agen pembaharu, inovasi Yang
memungkinkan berbagai kemungkinan komunikasi, apabila inovasi diterapkan untuk
memecahkan masalah yang sangat luas, kebanggaan akan inovasi yng dimiliki suatu
daerah tertentu juga dapat menimbulkan reinvensi
E. Tahap
Konfirmasi ( Confirmation )
Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan
terhadap keputusan yang telah diambilnya,dan ia dapat menarik kembali
keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi
semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan
sejak terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi yang berlangsung tak
terbatas. Selama dalam konfirmasi seseorang berusaha menghindri
terjadinya disonansin paling tidak berusaha menguranginya[8].
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang antara lain
disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan internal. Orang itu merasa dalam
dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut disonansi, sehingga
orang itu merasa tidak enak. Jika seseorang merasa dalam dirinya terjadi
ddisonansi, maka ia akan berusaha akan menghilangkannya atau paling tidak
menguranginya dengan cara pengetahuannya, sikap atau perbuatannya. Dalam
hubungannya dengan difussi inovasi, usaha mengurangi ddisonanasi terjadi :
1. Apabila
seseorang menyadari akan ssesuatu kebutuhan dan berusaha mencari
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan mencari informasi
tentang inovasi hal ini pada terjadi tahap pengetahuan dalam proses keputusan
inovasi :
2. Apabila
seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenagi inovasi, tersebut
tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi. Maka ia akan
berusaha untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi antara apa yang
disenangi dan diyakini dengn apa yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap
keputusan inovasi, dan tahap implementasi dalam proses keputusan inovasi.
3. Setelah
seseorang menetapkan menerima dan menerapkan inovasi, kemudian diajaka unuk
menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan cara tidak melanjutkan
penerimaan dan penerapan inovasi ( discontinuiting ). Ada kemungkinan
lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian diajak
menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima inovasi (
mengubah keputusan semula ). Perubahan ini terjadi ( tidak meneruskan inovasi
atau mengikuti inovasi terlambatpada tahap konfirmasi ).
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut, berkaitan
dengan perubahan tingkah l;aku seseorang sehingga antara sikap, perasaan,
pikiran, perbuatan sangat erat hubungannya bahkan sukar dipisahkan karena yang
satu mempengaruhi yang lain. Sehingga dalam kenyataannya kadang-kadang
sukar orang akan mengubah keputusan yang sudah terlanjur mapan dan
disenangi, walaupun secara rasional diketahui adanya kelemahannya. Oleh karena
sering terjadi untuk menghindari timbulnya disonansi, maka itu hanya berubah
mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya. Dengan kata lain orang
itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi ( selective
exposure ). Untuk menghindari terjadinga drop out dalam penerimaan dan
imlementasi inovasi ( discontinue ) peranan agen pembaharu sangat
dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang akan mudah terpengaruh pada
informasi negative tentang inovasi.
TIPE KEPUTUSAN INOVASI
Inovasi dapat diterima atau ditolak oleh seseorang
(individu) sebagai anggota sistem sosial, atau oleh keseluruhan anggota
sistem sosial, yang menentukan untuk menerima inovasi berdasarkan keputusan
bersama atau berdasarkan paksaan (kekuasaan). Dengan dasar kenyataan tersebut
maka dapat dibedakan adanya beberapa tipe keputusan inovasi :
A. Keputusan
inovasi opsional,
yaitu pemilihan menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang
ditentukan oleh individu (seseorang) secara mandiri tanpa tergantung atau
terpengaruh dorongan anggota sistem sosial yang lain. Meskipun dalam hal ini
individu mengambil keputusan itu berdasarkan norma sistem sosial atau hasil
komunikasi interpersonal dengan anggota sistem sosial yang lain. Jadi hakikat
pengertian keputusan inovasi opsional ialah individu yang berperan sebagai
pengambil keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
B. Keputusan
inovasi kolektif,
ialah pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang
dibuat secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan antara anggota sistem
sosial. Semua anggota sistem sosial harus mentaati keputusan bersama yang telah
dinuatnya. Misalnya, atas kesepakatan warga masyarakat di setiap RT untuk tidak
membuang sampah di sungai, yang kemudian disahkan pada rapat antar ketua RT
dalam suatu wilayah RW. Maka konsekuensinya semua warga RW tersebut harus
mentaati keputusan yang telah dibuat tersebut, walaupun mungkin secara pribadi
masih ada beberapa individu yang masih merasa keberatan.
C. Keputusan
inovasi otoritas,
ialah pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang
dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan, status,
wewenang atau kemampuan yang lebih tinggi daripada anggota yang lain dalam
suatu sistem sosial. Para anggota sama sekali tidak mempunyai pengaruh atau
peranan dalam membuat keputusan inovasi. Para anggota sistem sosial tersebut
hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh unit pengambil keputusan
misalnya, seorang pimpinan perusahaan memutuskan agar sejak tanggal 1 maret
semua pegawai harus memakai seragam hitam putih. Maka semua pegawai sebagai
anggota sistem sosial di perusahaan itu harus melaksanakan apa yang telah
diputuskan oleh atasannya.
Ketiga tipe keputusan inovasi tersebut merupakan rentangan
dari keputusan opsional (individu dengan penuh tanggung jawab secara mandiri
mengambil keputusan), dilanjutkan dengan keputusan kolektif (individu
memperoleh sebagian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan), dan yang
terakhir keputusan otoritas (individu sama sekali tidak mempunyai hak untuk
mengambil alih keputusan). Keputusan kolektif dan otoritas banyak digunakan
dalam organisasi formal, seperti perusahaan, sekolah, perguruan tinggi,
organisasi pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan keputusan opsional sering
digunakan dalam penyebaran inovasi kepada petani, konsumen, atau inovasiyang
sasarannya anggota masyarakat sebagai individu bukan sebagai anggota organisasi
tertentu.
Biasanya yang paling cepat diterimanya inovasi dengan
menggunakan tipe keputusan otoritas, tetapi masih juga tergantung bagaimana
pelaksanaannya. Sering terjadi juga kebohongan dalam pelaksanaan keputusan
keputusan otoritas. Dapat juga terjadi bahwa keputusan opsional lebih cepat
dari keputusan kolektif, jika ternyata untuk membuat kesepakatan dalam
musyawarah antara anggota sistem sosial mengalami kesukaran. Cepat lambatnya
difusi inovasi tergantung pada berbagai faktor.
Tipe keputusan yang digunakan untuk menyebarluaskan suatu
inovasi dapat juga berubah dalam waktu tertentu. Rogers memberi contoh inovasi
penggunaan tali pengaman bagi pengendara mobil (auto mobil seat belts). Pada
mulanya pemasangan seatbelt di mobil diserahkan kepada pemilik kendaraan yang
mampu membiayai pemasangannya. Jadi menggunakan keputusan opsional. Kemudian
pada tahun berikutnya peraturan pemerintah mempersyaratkan semua mobil baru
harus dilengkapi dengan tali pengaman. Jadi keputusan inovasi pemasangan tali
pengaman dibuat secara kolektif. Kemudian banyak reaksi terhadap peraturan ini
sehingga pemerintah kembali kepada peraturan lama keputusan menggunakan tali
pengaman diserahkan kepda tiap individu (tipe keputusan opsional).
4. Keputusan inovasi kontingensi (contingent), yaitu
pemilihan menerima atau menolak suatu inovasi, baru dapat dilakukan hanya
setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya. Misalnya di sebuah Perguruan
Tinggi, seorang dosen tidak mungkin untuk memutuskan secara opsional untuk
memakai komputer sebelum didahului keputusan oleh pimpinan fakultasnya untuk
melengkapi peralatan fakultas dengan komputer. Jadi ciri pokok dari keputusan
inovasi kontingan ialah digunakannya dua atau lebih keputusan inovasi secara
bergantian untuk menangani suatu difusi inovasi, terserah yang mana yang akan
digunakan dapat keputusan opsional, kolektif atau otoritas.
Sistem sosial terlibat secara langsung dalam proses keputusan
inovasi kolektif, otoritas dan kontingen dan mungkin tidak secara langsung
terlibat dalam keputusan inovasi opsional.
Kesimpulan
Dalam melaksanakan inovasi proses pengambilan keputusan
inovasi adalah langkah urgen untuk difahami dan dilaksanakan dengan baik.
Proses pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi menjadi
lima proses keputusan yang bersifat berkesinambungan. Berikut bagan yang dapat
disimpulkan dari proses pengambilan keputusan
DAFTAR
PUSTAKA
Rogers
Everet, Difusions of Innovation Third editions, The Free Prees, New
York, 1983
Supriyadi, strategi Belajar Mengajar Cakrawala Ilmu,
Jakarta 2011
Suyatno, Menjelajah pembelajaran Inovatif Masmedia Buana
Pustaka :Surabaya, 2009
Basyiruddin
Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Press, Jakarta :
2002
[1] Rogers Everet, Difusions of Innovation Third editions, (The
Free Prees, New York, 1983) 164
[2] Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Ciputat
Press, Jakarta : 2002) 45
[3] Rogers Everet, Difusions of Innovation Third editions, (The
Free Prees, New York, 1983) 169
[4] Suyatno, Menjelajah pembelajaran Inovatif (Masmedia Buana
Pustaka :Surabaya, 2009) 3
[5] Rogers Everet, Difusions of Innovation Third editions, (The
Free Prees, New York, 1983) 172
[6] Supriyadi, strategi Belajar Mengajar (Cakrawala Ilmu,
Jakarta 2011) 67
[7] Rogers Everet, Difusions of Innovation Third editions, (The
Free Prees, New York, 1983) 175
[8] Rogers Everet, Difusions of Innovation Third editions, (The
Free Prees, New York, 1983) 185