INOVASI
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“
Pembelajaran PAI Berbasis Inquiry’’
A. Pendahuluan
Pada dasarnya
pendidikan Islam menekankan pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung
konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru, dengan
bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka anak didik mempunyai ruang
gerak yang cukup luas mengaktualisasikan segala potensi yang di milikinya. Di
sini guru berfungsi sebagai “fasilitator” penunjuk jalan ke arah penggalian
potensi anak didik, dengan demikian guru bukanlah segala-galanya, sehingga guru
cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong yang
perlu diisi.[1]
Dengan kerangka dasar pengertian ini,
maka guru menghormati anak didik sebagai individu yang memilliki berbagai
potensi, dari kerangka pengertian dan hubungan antara peserta didik dengan
pendidik, dapat pula sekaligus dihindari, apa yang disebut “bangking concept”
dalam pendidikan yang banyak dikritik dewasa ini. Penerapan semacam ini yang
dicoba inquiry.
Pendidikan
Islam dalam era globalisasi ini menghadapi tantangan terutama moral sosial
yaitu kegiatan penataan kehidupan yang paling baik yang seharusnya dialami oleh
generasi muda agar mampu menghadapi masa depan dengan integritas (kesatuan)
yang tangguh. Untuk itu maka Pendidikan Islam diharapkan mampu menyusun pola pikir
yang sistematis untuk membina pribadi muslim yang kreatif dan berintegritas
tinggi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Maka pendidikan Islam dapat mengajarkan moral positif yang berakar
pada nilai-nilai Islami.[2]
Dengan demikian penulis mencoba memaparkan inovasi.[3]pembelajaran
pai dengan rumusan masalah yang diantaranya:
1. Pengertian
pembelajaran berbasis inquiry,
2. Landasan Filosofis Kontruktivistik
dalam Metode Inquiry
3. Langkah-langkah kegiatan Inquiry
4. Tingkatan-tingkatan Inquiry
5. Tujuan Metode Inquiry
6. Model Penerapan Inquiry
7. Keunggulan dan Kelamahan Model Inquiry
B. Pembahasan
1. Pengertian Pembelajaran berbasis
inquiry
Inquiry berasal
dari bahasa Inggris “inquiry”, yang secara harfiah berarti penyelidikan. Carin dan Sund (1975)
mengemukakan bahwa inquiry adalah the process of investigation a
problem. Adapun Piaget mengemukakan bahwa metode inquiry merupakan
metode yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan eksperimen sendiri
secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan
penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan
peserta didik lain.[4]
Inquiry
yaitu menemukan. Metode inquiry adalah suatu teknik atau cara
yang digunakan guru untuk mengajar kedepan kelas, adapun pelaksanaannya sebagai
berikut: guru membagi tugas meneliti sesuatu masalah, siswa dibagi beberapa
kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu. Kemudian mereka
mempelajari, meneliti dan membahas tugasnya didalam kelompok. Setelah hasil
kerja kelompok mereka mendiskusikan, kemudian baru didiskusikan dalam forum.[5]
Metode inquiry adalah
cara penyampaian bahan pengajaran dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk
belajar mengembangkan potensi intelektualnya dalam jalinan kegiatan yang
disusunnya sendiri untuk menemukan sesuatu sebagai jawaban yang meyakinkan
terhadap permasalahan yang dihadapkan kepadanya melalui proses pelacakan data
dan informasi serta pemikiran yang logis, kritis (teliti dalam menghadapi sesuatu)
dan sistematis (teratur).[6]
Pembelajaran
dengan metode inquiry merupakan satu komponen penting dalam pembaruan
pendidikan.[7]
Karena dalam pembelajaran dengan metode ini siswa di dorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri. dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk
diri mereka sendiri.[8]
Jadi inquiry memberikan
kepada siswa pengalaman-pengalaman belajar yang nyata dan kreatif. Siswa
diharapkan mengambil inisiatif, mereka dilatih bagaimana memecahkan masalah,
membuat keputusan, dan memperoleh keterampilan. inquirymemungkinkan siswa
dalam berbagai tahap perkembangannya bekerja dengan masalah-masalah yang sama
dan bahkan mereka bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah yang
sedang dihadapi.
Melakukan inquiry berarti
melibatkan diri dalam tanya jawab, mencari informasi dan melakukan
penyelidikan.[9]
Karena itu metode inquiry dalam proses belajar mengajar adalah
strategi yang melibatkan siswa dalam tanya jawab, mencari informasi, dan
melakukan penyelidikan. Dalam pelaksanaan siswa bertanggung jawab untuk memberi
ide atau pemikiran dan pertanyaan untuk dieksplorasi (diselidiki), mengajukan
hipotesa untuk diuji, mengumpulkan dan mengorganisir data yang dipakai untuk
menguji hipotesa dan sampai pada pengambilan kesimpulan yang masih tentative
(sebagai percobaan).[10]
Juga
pembelajaran inquiry merupakan pembelajaran yang menyenangkan/gembira, dimana
dalam prakteknya langsung pada lapangan dan bukan hanya teori, hal ini
sebagaimana pendapat (Darmansyah :2010) Hasil penelitian dalam
dekade terakhir mengungkapkan belajar yang efektif, jika peserta didik dalam
keadaan gembira. Kegembiraan dalam belajar telah terbukti memberikan efek yang
luar biasa terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik. Bahkan potensi
kecerdasan intelektual yang selama ini menjadi “Primadona” sebagai penentu
keberhasilan belajar, ternyata tidak sepenuhnya benar, kecerdasan emosional
telah memberikan kontibusi yang signifikan terhadap efektivitas pembelajaran
disamping kecerdasan intelektual.[11]
Ketika
peserta didik mendapat rangsangan menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi
berbagai”sentuhan tingkat tinggi” pada diri peserta yang membuat mereka lebih
aktif dan kreatif secara mental dan fisik, inilah pembelajaran inquiri mental
dan fisik diutamakan, ketika tersenyum atau tertawa aliran darahnya akan
semakin lancar”menjalar” ke seluruh anggota tubuh yang membuatnya semakin aktif.
Otak mereka menerima suplai darah yang memadai (ketika bahagia/tersenyum) akan
mempermudahkan mereka berpikir dan memproses informasi, baik dalam memori
jangka pendek dan jangka panjang, informasi yang masuk kedalam otak memori yang
melibatkan emosi secara mendalam, akan memudahkan siswa mengingat pelajaran
saat mereka perlukan, Artinya kenyamanan dan kesenangan yang dinikmati oleh
peserta didik itu sangat membantu mereka mencapai hasil belajar secara optimal.
Metode inquiry ini
berasal dari John Dewey.[12]
Maksud utama metode ini adalah memberikan latihan kepada
murid dalam berfikir. Metode ini dapat menghindarkan untuk membuat kesimpulan
tergesa-gesa, menimbang-nimbang kemungkinan pemecahan dan menangguhkan
pengambilan keputusan sampai terdapat bukti-bukti yang cukup.[13]
Metode inquiry juga
dikembangkan oleh Suchman untuk mengajar siswa memahami proses
penelitian. Metode inquiry menurut Suchman adalah suatu
metode yang merangsang murid untuk berfikir, menganalisa suatu persoalan
sehingga menemukan pemecahannya. Suchman tertarik untuk membantu
siswa melakukan penelitian secara mandiri dan disiplin. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa anak-anak selalu memiliki rasa ingin
tahu. Suchman menginginkan siswa mempertanyakan mengapa suatu
peristiwa terjadi dan menelitinya dengan cara mengumpulkan data dan mengolah
data secara logis. Dengan demikian maka metode inquiry akan
memperkuat dorongan alami untuk melakukan eksplorasi dengan semangat besar dan
dengan penuh kesungguhan.
Metode
ini mengembangkan kemampuan berfikir yang dipupuk dengan adanya kesempatan
untuk mengobservasi problema mengumpulkan data, menganalisa data, menyusun
suatu hipotesa, mencari hubungan data yang hilang dari data yang telah
terkumpul untuk kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan
masalah tersebut.
Cara
berfikir yang menghasilkan suatu kesimpulan atau keputusan yang diyakini
kebenarannya karena seluruh proses pemecahan masalah itu telah diikuti dan di
kontrol dari data yang pertama dan yang berhasil dikumpulkan dan di analisa sampai
kepada kesimpulan yang ditarik atau ditetapkan. Cara berfikir semacam itu
benar-benar dapat dikembangkan dengan menggunakan metode pemecahan masalah.
Inquiry merupakan
teknik yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen
sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta
-menghubungkan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan
yang ditemukan peserta didik lainnya. inquiry sebagai teknik
pengajaran mengandung arti bahwa dalam proses kegiatan mengajar berlangsung
harus dapat mendorong dan dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih
aktif dalam belajar.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode inquiry adalah suatu
metode pengajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan sendiri
pengetahuan yang sebelumnya belum mereka ketahui.
2. Landasan Filosofis Kontruktivistik dalam
Metode Inquiry
Teori
pembelajaran kontruktivistik merupakan teori pembelajaran inquiry,[14]
merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang
menyatakan siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapakan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susuh payah dengan
ide-ide.[15]
Konstruktivistik juga merupakan landasan
berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuaan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuaan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.[16]
Menurut
teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa
guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk
proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan
ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan cara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga
yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri
yang harus memanjatnya. Esensi dari teory kontrutivistik dan metode inquiryadalah
ide bahwa harus siswa sendiri yang menemukan dan menstransformasikan sendiri
suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu menjadi
miliknya. Kontrutivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa
perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak secara aktif membangun
sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi
mereka.
Menurut
pandangan kontrutivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara
terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain
kontrutivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif
siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita. Pendekatan kontruktivis
dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar
teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami kosep-konsep yang
sulit apabila mereka dapat saling mediskusikan masalah-masalah itu dengan
temannya. Dan pada dasarnya aliran kontrutuvistik menghendaki bahwa pengetahuan
dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari
belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud hanya dengan
mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain. Siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan dibenak
mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivistik adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentrasformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lai, dan
apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuaan mereka melalui
penggunaan Metode Inquiry.[17]
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, akan tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang
kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Siklus Inquiry antara
lain:
a. Observasi (Observation)
b. Bertanya (Questioning)
c. Mengajukan
dugaan (Hypothesis)
d. Pengumpulan
data (Data Gathering)
e. Penyimpulan
(Conclusion)
3. Langkah-langkah kegiatan menemukan (Inquiry),
yaitu:
a. Merumuskan
masalah
b. Mengamati
atau melakukan observasi
c. Menganalisis
dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, bagan, table,
dan
lainnya.
d.
Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas,
guru atau
audien yang lain.[18]
4. Tingkatan-tingkatan Inquiry
Berdasarkan
komponen-komponen dalam proses Inquiry yang meliputi topik masalah, sumber
masalah atau pertanyaan, bahan, prosedur atau rancangan kegiatan, pengumpulan
dan analisis data serta pengambilan kesimpulan Bonnstetter (2000) membedakan
Inquiry menjadi lima tingkat yaitu praktikum (tradisional hands-on), pengalaman
sains terstruktur (structured science experiences), Inquiry terbimbing (guided
inquiry), Inquiry siswa mandiri (student directed inquiry), dan Penelitian
siswa (student research). Klasifikasi Inquiry menurut Bonnstetter (2000)
didasarkan pada tingkat kesederhanaan kegiatan siswa dan dinyatakan sebaiknya
penerapan Inquiry merupakan suatu kontinum yaitu dimulai dari yang paling
sederhana terlebih dahulu diantaranya:[19]
a.
Traditional
hands-on Praktikum (tradisional hands-on) adalah tipe Inquiry yang
paling sederhana. Dalam praktikum guru menyediakan seluruh keperluan mulai dari
topik sampai kesimpulan yang harus ditemukan siswa dalam bentuk buku petunjuk
yang lengkap. Pada tingkat ini komponen esensial dari Inquiry yakni pertanyaan
atau masalah tidak muncul,
b.
Pengalaman
sains terstruktur (structured science experiences), yaitu kegiatan Inquiry
di mana guru menentukan topik, pertanyaan, bahan dan prosedur sedangkan
analisis hasil dan kesimpulan dilakukan oleh siswa.
c.
Inquiry
terbimbing ( guided inquiry ), di mana siswa diberikan kesempatan untuk
bekerja merumuskan prosedur, menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara
mandiri, sedangkan dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang,
guru hanya berperan sebagai fasilitator.
d.
Inquiry Siswa
Mandiri (student directed inquiry), dapat dikatakan sebagai Inquiry penuh
(Martin-Hansen, 2002) karena pada tingkatan ini siswa bertanggung jawab secara
penuh terhadap proses belajarnya, dan guru hanya memberikan bimbingan terbatas
pada pemilihan topik dan pengembangan pertanyaan.
e.
Tipe Inquiry
yang paling kompleks ialah penelitian siswa ( student research). Dalam
Inquiry tipe ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing
sedangkan penentuan atau pemilihan dan pelaksanaan proses dari seluruh komponen
Inquiry menjadi tangung jawab siswa.
5. Tujuan Metode Inquiry
Tujuan
metode inquiry adalah agar siswa terangsang oleh tugas, dan kreatif
mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu, mencari sumber, dan
mereka belajar bersama dalam kelompok. Tujuan utama dari pada penggunaan
metode inquiry adalah untuk mengembangkan kemampuan berfikir,
terutama di dalam mencari sebab akibat dan tujuan suatu masalah. Metode ini
melatih murid-murid dalam cara-cara mendekati dan cara-cara mengambil
langkah-langkah bila akan memecahkan suatu masalah yaitu dengan memberikan
kepada murid pengetahuan kecakapan praktis yang bernilai bagi keperluan hidup
sehari-hari.
Metode
ini memberikan dasar-dasar pengalaman yang praktis mengenai bagaimana cara-cara
memecahkan suatu masalah dan kecakapan ini dapat diterapkan bagi keperluan
menghadapi masalah-masalah lainnya di dalam masyarakat.
Sedangkan
menurut Roestiyah tujuan metode inquiry agar siswa
terangsang oleh tugas, dan kreatif mencari serta meneliti sendiri pemecahan
masalah itu, mencari sumber sendiri dan mereka belajar sendiri dalam kelompok.
Mengingat tujuan tersebut di atas maka pemecahan suatu masalah jangan di ajarkan
sebagai pengetahuan saja, melainkan harus menjadi alat bagi murid untuk
selanjutnya dapat memecahkan masalah sendiri dari segala macam masalah yang
mungkin akan dijumpainya, sekarang maupun kelak, di sekolah, di rumah maupun di
masyarakat.
Tujuan-tujuan
lainnya selain dari tujuan utama yang telah disebutkan di atas adalah:
a. Belajar bagaimana bertindak di dalam
suatu situasi baru.
b. Belajar bagaimana caranya keluar dari situasi
yag sulit.
c. Belajar bagaimana caranya
mempertimbangkan suatu keputusan.
d. Belajar bagaimana caranya membatasi
suatu persoalan.
e. Belajar bagaimana caranya menemukan
pemecahan-pemecahan.
f.
Belajar
menyadari bahwa setiap masalah pasti ada cara tertentu untuk memecahkannya.
g. Belajar meneliti suatu masalah dari
semua sudut pemecahan.
h. Belajar bekerja secara sistematis di
waktu memecahkan suatu masalah.
i.
Belajar menguji kebenaran suatu keputusan yang
telah ditetapkan.
Selain itu juga disebutkan tujuan umum dari
latihan inquiry adalah menolong siswa mengembangkan disiplin
intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan dengan memberikan pertanyaan dan
mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Dapat disimpulkan tujuan dari
metode inquiry ini adalah untuk membantu siswa dalam mengembangkan
intelektual dan ketrampilannya yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan dan
menyelidikinya untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan keingintahuan mereka.
6. Model Penerapan Inquiry
Contoh
sederhana tentang pembelajaran AL-Qur’an berbasis inquiri adalah sebagai
berikut: Pembelajaran AL Qur’an tentang kandungan ayat “wa’fu anna wagfir lana
warhamna” menurut Ath- Thabathaba’i (1983), bahwa “al-al afwu hiya idzhabu
atsar adz-dzanbi wal maghfirah satruhu” ayat ini berkaitan dengan QS AL
Zalzalah ayat 7-8” Faman ya’mal mistqala zarrah khairan yarah waman ya’mal
zarrah syarran yarah”, kemudian dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari
menyangkut profil manusia yang hidupnya diwarnai oleh nilai-nilai kebaikan dan
keburukan.[20]
Contoh
lainnya mengenai pembelajaran Al Qur’an dan Hadis yang kandungannya menyangkut
aspek keimanan, sebagaimana diketahui bahwa masalah keimanan/aqidah banyak
menyentuh aspek metafisika abstrak atau supra-rasional. seorang yang banyak
terlatih dengan hal-hal yang bersifat rasional mungkin sulit mencerna dan
menghayati hal-hal yang supra-rasional tersebut. Untuk mengatasi kesulitan ini
dapat diketahui dengan jalan mengembangkan keimanan berbasis inquiri berbasis
kontestual. Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk mengamati dan
mengkaji peristiwa-peristiwa kehidupan sebagai laboratorium (pendidikan agama
islam), baik yang terkait dengan fenomena alam (komologi, flora, fauna,
astronomi, geografi, metereologi, oceanografi, kimia, dll), fenomenal sosial,
psikologis, budaya, maupun fenomena seseorang yang memiliki komitmen adan
loyalitas serta dedikasi yang tinggi terhadap ajaran, nilai-nilai dan petunjuk
Tuhan, ataupun sebaliknya seseorang yang kafir. Dari hasil pengamatan dan
kajian peristiwa-peristiwa kehidupan (sabagai laboratorium pendidikan agama
islam).
7. Keunggulan dan Kelamahan Model Inquiry
:
1)
Dapat membentuk
dan mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang
konsep dasar ide-ide dengan lebih baik.
2)
Membantu dalam
menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru.
3)
Mendorong siswa
untuk berfikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif,
dan terbuka.
4)
Mendorong
siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri.
5)
Memberi
kepuasan yang bersifat intrinsik.
6)
Situasi
pembelajaran lebih menggairahkan.
7)
Dapat
mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8)
Memberi
kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
9)
Menghindarkan
diri dari cara belajar tradisional.
b. Kelemahan model Inquiry :
1)
Memerlukan
waktu yang cukup lama.
2)
Tidak semua
materi pelajaran mengandung masalah
3)
Memerlukan
perencanaan yang teratur dan matang
4)
Tidak efektif
jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
5)
Siswa harus
memiliki kesiapan dan kematangan mental, siswa harus berani dan berkeinginan
untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
6)
Keadaan kelas
di Indonesia yang pada kenyataannya memiliki jumlah yang tidak ideal per
kelasnya membuat pembelajaran inquiry ini kemungkinan besar tidak mencapai
hasil yang memuaskan.
7)
Ada kritik,
bahwa dalam model inquiry ini terlalu mementingkan proses pengertian saja atau
lebih banyak menguras aspek kognitif namun kurang memperhatikan perkembangan
sikap bagi siswa.
C. Kesimpulan
1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa metode inquiry adalah suatu metode pengajaran yang memberikan
kesempatan pada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan yang sebelumnya belum
mereka ketahui
2. Landasan
filosofis diantaranya: Observasi, Bertanya , Mengajukan dugaan , Pengumpulan
data , Penyimpulan.
3. Langkah-langkah kegiatan menemukan yaitu: Pertama merumuskan masalah, Kedua
Mengamati atau melakukan observasi Ketiga menganalisis dan menyajikan
hasil dalam tulisan, gambar, bagan, table,dan lainnya. Keempat
mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas,
4. Tingkatan-tingkatan Inquiry diantaranya
: Traditional hands-on Praktikum, Pengalaman sains
terstruktur, Inquiry terbimbing dan Tipe Inquiry yang paling kompleks
ialah penelitian siswa
5. Tujuan Metode Inquiry untuk
mengembangkan kemampuan berfikir, terutama di dalam mencari sebab akibat dan
tujuan suatu masalah. Model Penerapan Inquiry.
6. Contoh mengenai pembelajaran Al Qur’an
dan Hadis yang kandungannya menyangkut aspek keimanan, sebagaimana diketahui
bahwa masalah keimanan/aqidah banyak menyentuh aspek metafisika abstrak atau
supra-rasional.
7. Keunggulan dan Kelamahan Model Inquiry
Keunggulan
yaitu pertama Dapat membentuk dan mengembangkan konsep dasar kepada
siswa, kedua Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada
situasi proses belajar yang baru. Ketiga Mendorong siswa untuk berfikir
dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, keempat Mendorong siswa untuk
berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri.kelima Memberi
kepuasan yang bersifat intrinsik. keenam Situasi pembelajaran lebih
menggairahkan. Ketujuh dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
Kedelapan memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri. menghindarkan
diri dari cara belajar tradisional.
Kelemeahan Kelemahan
model Inquiry Pertama memerlukan waktu yang cukup lama. Kedua
tidak semua materi pelajaran mengandung masalah Ketiga memerlukan
perencanaan yang teratur dan matang keempat tidak efektif jika terdapat
beberapa siswa yang pasif. Kelima siswa harus memiliki kesiapan dan
kematangan mental. Keenam keadaan kelas di Indonesia yang pada
kenyataannya memiliki jumlah yang tidak ideal per kelasnya. Ketujuh bahwa
dalam model inquiry ini terlalu mementingkan proses pengertian saja atau lebih
banyak menguras aspek kognitif namun kurang memperhatikan perkembangan sikap
bagi siswa
DAFTAR PUSTAKA
Azymuardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Wacana Ilmu, 2002
Bernard
Novick, Jeffrey S., Kress, and Maurice J. Elias., Building Learning
Communities with Character : How to Integrate Academic, Social, and Emotional
Learning, Virginia, USA: Association for Supervision and Curriculum
Development (ASCD), 2002
Darmansyah, Strategi
Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, Jakarta Bumi Aksara. 2010
David H. Jonassen, Learning
to Solve Problems; An Instructional Design Guide, San
Francisco: Pfeiffer, 2004
Inovasi
di sini ditekankan pada aspek a new thinking. Lihat, Sara L. Beckman and
Michael Barry, Innovation as a Learning Process: Embedding Design Thinking, Berkeley:
University of California, Vol. 50, No. I, 2007
Knud Illeris, Contemporary Theories of Learning, New
York: Routledge, 2009
L.
Dee Fink, Creating Significant Learning Experiences; An
Integrated Approach to Designing College Courses, San Fransisco: Jossey-Bass, 2003
Maja
Pivec (ed.), Affective and Emotional Aspects of Human-Computer Interaction;
Game-Based and Innovative Learning Approaches, Amsterdam, Netherlands: IOS
Press, 2006
Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2009
Mulyasa, Menjadi
Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008
Norbert M. Seel and Sanne Dijkstra (ed.), Curriculum, Plans,
and Processes in Instructional Design; International Perspectives, New
Jersey, London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004
Nurhadi
dan A. G Senduk, Pembelajaran kontekstual (CTL) dan Penerapannya dalam
KBK, Malang: Universitas Negeri Malang, 2004
Rostiyah, Strategi
Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991
Slameto, Proses
Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS, Jakarta: Bumi Aksara,
1993
Sunaryo, Strategi
Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial, Malang: IKIP Malang, 1989
Tim
Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, Surabaya:
PT. Karya Aditama
Trianto, Model
Pembelajaran Terpadu Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007
Wideen M., Mayer-Smith, J., and
Moon, B., A critical analysis of the research on learning to teach: Making
the case for an ecological perspective on inquiry. Sterling, Virginia:
Stylus Publishing, 2004
[1] Azymuardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Wacana Ilmu, 2002), 6-7.
[2] Tim Dosen IAIN
Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam, (Surabaya:
PT. Karya Aditama), 127.
[3] Inovasi di
sini ditekankan pada aspek a new thinking. Lihat, Sara L. Beckman and
Michael Barry, Innovation as a Learning Process: Embedding Design Thinking, (Berkeley:
University of California, Vol. 50, No. I, 2007), 25.
[4] Mulyasa, Menjadi Guru
Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), 108.
[5] Rostiyah, Strategi
Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), 75.
[6] Slameto, Proses
Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS, (Jakarta: Bumi Aksara,
1993), 116.
[7] Knud Illeris, Contemporary Theories of Learning, (New
York: Routledge, 2009), 74.
[8] Nurhadi dan A.
G Senduk, Pembelajaran kontekstual (CTL) dan Penerapannya dalam KBK, (Malang:
Universitas Negeri Malang, 2004), 57.
[9] Bernard
Novick, Jeffrey S., Kress, and Maurice J. Elias., Building Learning
Communities with Character : How to Integrate Academic, Social, and Emotional
Learning, (Virginia, USA: Association for Supervision and Curriculum
Development (ASCD), 2002), 78.
[10] Sunaryo, Strategi
Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial, (Malang: IKIP Malang, 1989),
117.
[11] Darmansyah, Strategi
Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, (Jakarta Bumi Aksara. 2010), 3-4.
[12] Norbert M. Seel and Sanne Dijkstra (ed.), Curriculum, Plans,
and Processes in Instructional Design; International Perspectives, (New
Jersey, London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004), 31.
[13] Muhaimin, Strategi
Belajar Mengajar, (Surabaya: CV. Citra media, 1996), 88.
[14] Maja Pivec
(ed.), Affective and Emotional Aspects of Human-Computer Interaction;
Game-Based and Innovative Learning Approaches, (Amsterdam, Netherlands: IOS
Press, 2006), 62.
[15] Trianto, Model
Pembelajaran Terpadu Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2007), 26.
[16] Nurhadi dan A.
G Senduk, Pembelajaran kontekstual (CTL) dan Penerapannya dalam KBK,
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), 86.
[17] David H.
Jonassen, Learning to Solve Problems; An Instructional Design Guide, (San Francisco: Pfeiffer,
2004), 128.
[18] Roestiyah, Strategi
Belajar Mengajar, (Jakarta: Bima Aksara, 1989), 76.
[19] L. Dee Fink, Creating Significant Learning Experiences; An
Integrated Approach to Designing College Courses, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2003), 32.
[20] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), 295.
[21] Wideen M.,
Mayer-Smith, J., and Moon, B., A critical analysis of the research on
learning to teach: Making the case for an ecological perspective on inquiry.
In Rethinking Teaching in Higher Education from a Course Design Workshop to
a Faculty Development Framework, (Sterling, Virginia: Stylus Publishing, 2004),
31.