FILSAFAT ILMU DALAM
PEMIKIRAN ISLAM
(Abid Al-Jabiri dan Kritik
Nalar Arab)
Abstrak
Pemikiran
Abid al-Jabiri yang ia lancarkan melalui “Kritik Nalar Arab”-nya merupakan pemikiran
untuk menuju langkah progresif yang patut untuk disambut. Abid al-Jabiri berhasil
memmotret dan memetakan atas epistemologis dan ideologi yang berkembang di
dunia Arab yang begitu kental memberikan warna baru dan ciri khasnya
tersendiri. Latar belakang pendidikan yang mumpuni dalam memahami secara
rigid philosophical approaches menjadikan al-Jabiri berhasil memrikan tawaran
solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab yang berlangsung sepuluh
Abad lebih.
Walaupun
demikian, sebagai seorang pembaca, kita seharusnya mengambil jarak dan tidak
bersikap taken for granted terhadap pemikiran al-Jabiri. Sikap
tersebut dibutuhkan agar penilaian yang terjadi terhadap sebuah pemikiran
diharapkan objektif dan tidak memihak.
Keyword:
Turast, Nalar Arab, Sistem Pengetahuan dan Politik
A. Pendahuluan
Renaisans abad
pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus
pemikiran manusia sesudahnya. Pasca peristiwa tersebut, weltanschauung (baca:
pandangan dunia) masyarakat Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan
puluh derajat. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi
“gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka
dari Teosentris menjadi Antroposentris. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh
James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massif membuat perubahan tersebut
menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut modernitas.
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa,
secara tidak langsung memberikan dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan
invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan
kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang
menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi
hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “ dan bangkit untuk
mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab
terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh
Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada
masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya
tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa
aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut
Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan
budaya vis a vis modernitas:[1]
Pertama, kelompok
yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang
menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena
tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh
dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis,
Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain-lan.
Kedua, kelompok
yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap
akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari
kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dan lain-lan.
Ketiga, kelompok
yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali
kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran
dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb,
Muhammad Quthb, dan lain-lan. Makalah ini memberikan perhatian kepada kelompok
reformatif dengan fokus pada pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri.
B. Sketsa dan Karir Intelektual Abid Al Jabiri
Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah
selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat
ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta
yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan
memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal
al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai
tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di
universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru
didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan
tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan
N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang
banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.
Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik
berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des
Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union
Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi
anggota biro politik USFP.[2]
Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga
banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar
filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program
pendidikan nasional.[3] Pada tahun 1966 dia
bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks,
pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa
S1.
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya
tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang
selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga
filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan
buku Nahwu wa al-Turast-nya, disusul dua tahun kemudian
dengan al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah,
kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai
pengantar kepada grand proyek inteletualnya ‘Naqd al-’Aql al-’Arabi(kritik
akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk
membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja
yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah
menerbitkanTakwim al-’Aql al-’Arabi, Bunya al-’Aql-’Arabi, al-A’ql
al-Siyasi-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah
li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya
yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi
al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li
akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat,
al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996,
al-Mashru al-Nahdawi al-’Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa
Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah
al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah
al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.[4]
C. Pemikiran Abid al-Jabiri
Agar lebih memudahkan fokus kepada pemikiran al-Jabiri,
makalah ini akan mengeksplorasi pemikiran al-Jabiri melalui karya trilogi magnum
opus-nya (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql
al-Siyasi al-‘Arabi), yang tergabung dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Ditambah
beberapa tulisan maupun artikel yang mendukung.
Adapun latar belakang yang membuat Jabiri menulis
triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang
mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun
yang lampau, mereka (baca: Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang
jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang
mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak
berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense
of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang
terbelakang dan kemajuan Barat modern.[5] Akibatnya, tegas Jabiri,
sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan
dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban”
baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.
- Turats dan
Modernitas
Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi).
Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik.
Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di
dalam al-Quran tidak dikenalturast dalam pengertian tradisi kecuali
dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang
dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah
sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa
lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah
produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa
sekarang oleh jarak waktu tertentu.[6]
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas
tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui
bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”,
tetapi modernitas
Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab
yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan
paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern
tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi,
yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan
pandangan baru tentang tradisi.[7]
Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak
tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap
serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam
tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam
rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.[8] Modernitas adalah
sebuah keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu
menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul.
Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan
perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma
pemikiran beserta seluruh apresiasinya.
- Nalar Arab
Nalar (akal) Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan
prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya
sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni
sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari
pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep
dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan
pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah
individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam
peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya
yang utama, kalu bukan satu-satunya.[9]
Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql
al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni,
sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal
tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan.
Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar
manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut
hidup.[10] Yang kedua inilah
yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”.
Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab
bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan
sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan
masa kebangkitan.
Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya
dari “masa kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa
Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam
peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada
disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya,
dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam
menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan
mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada
masa sebelumnya, di pihak lain.
- Sistem Pengetahuan Burhani, Bayani, dan ‘Irfani
Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab
kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Jabiri memetakan
perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan
epistemologis filsafat Arab. Menurutnya, muatan epistemologis filsafat
Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan
muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua (muatan ideologis) terkait
dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu
(epistemologis-ideologis) sering dipakai Jabiri dalam studinya tentang
Akal Arab. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai
untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.[11]
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural
mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu
memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi).
Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis
dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun
model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat
dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut menurut Jabiri, tradisi (turats)
dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi
sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur
tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal
dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan
secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi
sesuatu yang debatable.
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan
untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema
Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, sistem
epistemologi indikasi serta eksplikasi[12] (‘ulum al-bayan)
merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia
menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi,
yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi
dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai
kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting
of discourse).[13]
Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang
menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara
epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang
telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan
“pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme,
pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat
illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum
al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi
empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah
rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah
empirik, dalam epistemologi umumnya.
Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini hadir
dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang
lebih kurang telah mengalami kontaminasi.[14] Sistem epistemologi
tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian
mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa
al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara
pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan “processed structure”(al-bunyah
al-muhassalah). Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed
structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa
kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal
derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut
bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh
abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis.
Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari
realitas faktual.[15]
Mesti demikian,
Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan
untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui
apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri
mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan
modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori
oleh Ibn Rusyd dkk.
Bagan Pemikiran Abid
al-Jabiri tentang perbandingan Bayani, Irfani dan Burhani.
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks keagamaan/ Nash
|
Ilham/ Intusi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat dan Istidlal
|
Kasyf/ Experince
|
Tahlili (Analitik) dan
Diskursus
|
Pendekatan
|
Liguistik/ Dilalat
al-lughawiyyah
|
Psikho-Gnostic
|
Logika
|
Tema Sentral
|
Ashl – Furu’ – Kata -
Makna
|
Zahir-batin-Wilayah-
Nubuwah
|
Essensi –
Aksistensi-Bahasa-Logika
|
Validitas Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi - Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum teolog, ahli fiqih,
dan ahli bahasa
|
Kaum sufi
|
Para filossof
|
- Politik dalam
Kebudayaan Arab
Jabiri melihat aktivitas politik Arab
mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan pengejawantahan (al-tajalliyat).
Adapun motif-motif tersebut, Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam
praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah
(al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).
Motif pertama tidak
diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena
politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam
memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama,
di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu
kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Sedangkan dengan motif kedua adalah
peranan ikatan in-group di antara klan-klan Arab satu sama
lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di
masa awal. Dan yang ketiga, motif al-ghanimah berarti
pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam
sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh
kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan
oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich.
Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber
penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika
itu.[16]
Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik
yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri
membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase
dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada
periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode
Madinah. Kedua pada fase negara Islam yang established, yang
diwakili pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase
ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa
timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan
kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan
diktatorisme kerajaan monarki.[17]
Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk
al-siyasi) ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat)
dari Akal Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan
oleh kaum Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang
disebut oleh Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh
dinasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari
tradisi kekaisaran Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum
“agama” yang mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab
al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi
kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab.
Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung
oleh khurafat dan menyerah kepada takdir.[18]
Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep
sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah
Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal:[19]
1)
Mengubah masyarakat klan
menjadi masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi
profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.
2)
Mengubah ekonomi al-ghanimah yang
bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama
dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
3)
Mengubah sistem ideologi (al-aqidah)
yang yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam
mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis,
digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.
Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal
Pilitik Arab “hampir” menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan
berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok
dengan umat Islam, karena sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan
agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen.
Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan
semacam ini. [20] Umat Islam menghendaki
agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan Syari’ah, hukum yang
diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial
dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui.
D. Kesimpulan
Bagaimanapun juga pemikiran al-Jabiri – terlepas
dari pro dan kontra terhadap pemikirannya tersebut – yang tertuang dalam Kritik
Nalar Arab-nya merupakan pemikiran yang patut diapresiasi. Pemetaan yang
dilakukannya terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab
memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical
approaches yang menjadi background pendidikannya, al-Jabiri
menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab sepuluh
Abad lebih.
Walaupun demikian, sebagai seorang pembaca,
kita seharusnya mengambil jarak dan tidak bersikap taken for granted terhadap
pemikiran al-Jabiri. Sikap tersebut dibutuhkan agar penilaian yang terjadi
terhadap sebuah pemikiran diharapkan objektif dan tidak memihak
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003.
Cooper, John. Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan
Hingga Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Erlangga, 2002.
Jabiri
(al), Mohammed ‘Abed. Kritik Kontemporer Atas Filsafat
Arab-Islam, Terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika, 2003.
_________________________. Formasi Nalar Arab.
Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Shihab,
M. Quraish. Logika Agama; Batas-batas Akal Dan Kedudukan Wahyu Dalam
Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Syafrin, Nirwan. “Kritik Terhadap Kritik Akal Islam
Al-Jabiri,” Islamiya, Thn I No. 2 (Juni-Agustus 2004.
Syah,
Muhammad Aunul Abied. Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung:
Mizan, 2001.
Wijaya, Aksin
Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2004.