Reformasi pendidikan Islam di Indonesia Pada awal abad ke-20

Reformasi  Pendidikan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20
PENDAHULUAN
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sitem yang telah ada pada suatu masa, Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh banyaknya para santri yang telah mengecap pendidikan formal yang lebih tinggi dan adanya proses dakwah yang baik di masjid. Jadi dapat dipahami bahwa proses pembaharuan pendidikan di Indonesia berawal dari kegiatan-kegiatan dakwah dan majlis talim yang ada di masjid. Hal ini memberi kesan bahwa masyarakat secara tidak langsung membentuk sebuah wadah yang pada akhirnya menjadi gerakan untuk melakukan pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Sejak abad ke-20, gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara besar-besaran dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia, dalam makalah ini penulis akan menjabarkan bagaimana reformasi pendidikan islam di Indonesia pada awal abad 20.

PEMBAHASAN
A.    .      Pembaruan dan Kebangkitan Pendidikan Islam di Indonesia
Latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air dari luar negeri (misalnya Makkah, Madinah, Kairo, dan lain-lain). Gagasan-gagasan yang mereka bawa dari luar negeri itu menjadi wacana untuk pembaruan di Indonesia setelah mereka kembali.
Kedua, yaitu faktor dari dalam negeri banyak mempengaruhi pembaruan pendidikan di Indonesia. Kondisi tanah air pada awal abad ke-20 adalah sedang dikuasai oleh Barat. Dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidkikan diskriminatif. Yaitu membagi lembaga pendidikan menjadi tiga strata. Strata pertama adalam strata tertinggi yaitu sekolah untuk anak-anak Belanda. Strata kedua adalah untuk anak-anak bumiputra yang orang tua mereka mempunyai kemampuan ekonomi dan mempunyai posisi di pemerintahan, mereka juga dapat disebut kelompok elit masyarakat Indonesia. Strata terendah adalah anak-anak bumiputra, yaitu kelompok orang-orang yang hanya boleh menempuh pendidikan Sekolah Desa (3 tahun) atau Sekolah Kelas Dua (5 tahun).
Dengan setting historis pada awal abad ke-20 ini ada dua trend-dialektis sosio-kultural yang dihadapi dunia pendidikan Islam pada saat itu. Pertama, pada awal abad ke-20 ini merupakan era pencerahan dan kebangkitan (lembaga) pendidikan Islam pada umumnya. Kedua, pada abad tersebut juga merupakan era pergerakan nasional dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia.[2] Sementara itu di kalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren, rangkang, dayah, surau.[3] Dengan menekankan mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Pendidikan pesantren berbeda dengan sistem sekolah-sekolah pemerintah. Melihat kondisi yang demikian, maka sebagian tokoh-tokoh umat Islam berupaya untuk melaksanakan pembaruan di dalam bidang pendidikan Islam.
Di kalangan Muhammadiyah berdiri sekolah-sekolah yang mengambil nama sama dengan sekolah pemerintah HIS, MULO, AMS yang diberikan tambahan muatan keagamaan di dalamnya. Sekolah itu diberikan nama HIS met de Qur’an, MULO met de Qur’an, dan sebagainya.
Selain itu di Sumatera Barat juga memelopori berdirinya madrasah, yang sistemnya mendekati sistem sekolah pemerintah dan berbeda dengan sistem pesantren Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan Islam di Indoesia pada permulaan abad kedua puluh, yaitu:[4]
1.            Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Dengan kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama. sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.[5] Lebih khas lagi, kedua sumber tersebut memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum Muslim terdapat di dalam al-Qur’an semuanya. Kedua, dapat menciptakan sebuah iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam berbagai segi berujung pada penegasan Tauhid (Keunikan dan Keesaan Tuhan).
2.            Al-Qur’an mengandung kebenaran religious dan moral yang diwahyukan oleh Tuhan. Sekalipun wahyu ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan bangsa Arab pada abad ke-7, pokok-pokoknya memiliki validitas universal dan mengandung petunjuk bagi umat manusia abad ke-21 dan selanjutnya.[6]
3.            Menurut al-Banna, pemahaman yang autentik tentang Islam mensyaratkan pengenalan al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber otoritatif untuk menetapkan peraturan Islam dalam setiap keadaan. Kaum muslim harus mempelajari Kitab Suci-nya agar dapat pemahaman yang komprehensif tentang agamanya, bukan semata tunduk kepada otoritas keagamaan yang ada. Dalam beribadah, kaum muslim haruslah berlandaskan pada kitab suci dan tidak boleh mempercayai kemujaraban azimat, jampi-jampi, mantera, dan ramalan. Secara umum, kaum muslim harus memerangi bid’ah dalam praktik agama.[7] Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral kebijakan”. Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Qur’an tentang manusia.[8]
4.            Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. Kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintaha kolonial diciptakan untuk mendukung sistem birokrasi penjajah demi memperkuat eksistensi kolonialisme.[9] Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam begitu dianaktirikan.[10]Bahkan, pemerintah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah-sekolah partikuler termasuk madrasah dengan mengeluarkan peraturan yang terkenal wilde schoolen ordonantie tahun 1933.[11] Ini, karena kolonialisme pada awal abad ke-20 tersebut, memberlakukan kebijakan baru berupa politik etis, yang di satu sisi memang menguntungkan (sebagian) masyarakat pribumi, karena pemerintah kolonial memberikan andil dan kontribusi terhadap pendidikan dan pencerahan di tanah air. Akan tetapi di sisi lain, kebijakan politik etis kolonial tersebut menjadi boomerang bagi masyarakat kecil (wong cilik), karena kebijakan pengembangan pendidikan hanya diberikan bagi para priyayi dan kaum bangsawan kelas menengah ke atas.[12] Pemberlakuan politik kolonial ini memicu sebagian tokoh agama untukmendirikan lembaga-lembaga pendidikan (agama) yang bisa mewadahi kebutuhan rakyat khususnya umat Islam sebagian rakyat mayoritas yang miskin. Dari sinilah muncul trikotomi lembaga pendidikan Islam: pesantren, madrasah, dan sekolah, meskipun fenomena pertumbuhan dan perkembangannya berlainan dan tidak bersamaan.[39] Menurut Kennedy, pendidikan mampu berperan sebagai momok yang mengancam sistem kolonial.[13]
5.            Dorongan ketiga, adalah adanya usaha-usaha dari Umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
6.             Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Qur’an dan studi agama. (Steenbrink, 1986: 46-47).
Bahwa Umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[14] Salah satu kelemahan umat Islam, bahkan para cendekiawannya adalah kebiasaan berhenti pada konsep normatif sehingga mereka seakan telah puas hanya dengan hafal dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis.[15] Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan munculnya Sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang di dalamnya juga diajarkan agama dan Qur’an secara wajib. Tahun 1915, sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan kemudian mengganti namanya menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah.
MAI asal mulanya adalah singkatan dari Madrasah Arabiyah Islamiyah, yang didirikan oleh Mualim Sa’id Joban pada sekitar tahun 1926 M dengan tujuan untuk membentuk generasi Muslim yang berakhlakul karimah, berilmu, beramal dan bertakwa kepada Allah Swt yang dipersiapkan untuk menjadi manusia yang siap pakai dalam menjawab tantangan zaman serta dinamika kehidupan masyarakat.[16]
Menurut Mahmud Yunus yang disebutkan di dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Haidar Putra Daulay disebutkan bahwa sekolah adabiyah adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja.
Pada tahun 1915 di padang juga didirikan Diniyah School (Madrasah Diniyah) yang didirikan oleh Zainuddin Labai al Yunusi. Madrasah ini mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat Minangkabau. Setelah itu tersebarlah madrasah-madrasah di beberapa Kota dan Desa di Minangkabau khususnya dan di Indoesia pada umumnya.
Pada tahap awal madrasah-madrasah yang ada di Sumatera Barat sebelum tahun 1931, terkonsentrasi mengajarkan mata pelajaran agama. Perbedaannya dengan surau adalah:
1.      Madrasah memakai sistem klasikal.
2.       Kitab-kitab yang dibaca tidak selalu berpedoman pada kitab-kitab klasik, akan tetapi memakai kitab-kitab baru, yaitu kitab-kitab yang diajarkan di sekolah-sekolah Mesir.
Dimasukkan dalam kurikulumnya sedikit pengatahuan umum seperti ilmu bumi dan menulis. Pendidikan Islam hendaknya tidak dimaksukan untuk mengisi mental-spiritual anak dengan pembinaan rohaniah semata, melainkan juga penguatan unsur jasmaniah sehingga tercapai kebahagiaan utuh jasmani-rohani dan dunia-akhirat.[17]
Islam mendorong keterlibatan aktif di dunia, termasuk penyelidikan ilmiah atas alam yang membawa kemajuan teknologi. Al-Banna percaya bahwa ajaran Islam tak bertentangan dengan capaian-capaian ilmu pengetahuan, karena agama dan ilmu pengetahuan membahas tentang realitas yang berbeda. Sikap ini menunjukkan kontinyuitas pemikiran reformis abad ke-19. Dan pada konteks pembaruan Islam, sesungguhnya gagasan al-Banna tidak menyimpang jauh dengan trend umum pembaruan yang lahir sekitar abad 18 sampai awal abad 20-an.
Setelah tahun 1931 madrasah mengalami modernisasi, yaitu dengan memasukkan mata pelajaran umum ke madrasah. Hal ini dipelopori oleh pelajar-pelajar yang pulang dari Mesir. Karena di Mesir mereka menerima pelajaran umum.
Madrasah merupakan salah satu perwujudan hasrat umat Islam untuk melangkah pada dunia yang disebut dengan alam kemajuan.[18] Madrasah yang mula-mula memasukkan pengetahuan umum dalam rencana pelajarannya adalah:[19]
1.      Al-Jamiah Islamiyah di Sungayang Batusangkar, didirikan oleh Mahmud Yunus pada tanggal 20 Maret 1931. Al-Jamiah Islamiyah ini mempunyai tiga tingkatan:
Ibtidaiyah, lama belajarnya 4 tahun. Pelajarannya:
Ilmu-ilmu agama, Bahasa Arab,  Pengetahuan Umum yang setingkat dengan Sekolah Schakel.
Tsanawiyah, lama pelajarannya 4 tahun. Pelajarannya:
lmu-ilmu agama,  Bahasa Arab, Pengetahuan Umum yang setingkat dengan Normal School
Aliyah, lama belajarnya 4 tahun.
2.       Normal Islam (Kuliah Mu’allimin Islamiyah) didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus.
3.      Islamic College, didirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Padang tanggal 1 Mei 1931, di pimpin oleh Mr. Abdul Hakim, kemudian digantikan oleh Mukhtar Yahya.
Selain yang di atas, berdiri pula madrasah-madrasah yang memasukkan pengetahuan umum dan pendidikan dalam rencana palajarannya. Mata pelajaran umum dan agama di madrasah-madrasah ini tidak sama dengan yang lain, ada yang memasukkan mata pelajaran umum 30%, 40%, dan ada juga yang memasukkan 50%. Madrasah itu misalnya adalah:
a.       Training College didirikan tahun 1934
b.      Kuliah Mubalighin?mubalighat
c.       Kuliah Muallimat Islamiyan didirikan tanggal 1 Februari
d.      Kuliah Dianah didirikan tahun 1940
e.       Kuliah Ulum
f.       Kuliah Syariah
g.      Nasional Islamic College
h.      Modern Islamic College.
Jadi kesimpulannya adalah usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dimulai pada awal abad kedua puluh. Dimotivasi oleh umat Islam baik dari dalam diri umat Islam itu sendiri maupun dari luar umat Islam. Pembaruan pendidikan Islam terkonsentrasi pada dua hal, yaitu sistem pendidikannya dan yang kedua adalah pada materi pelajarannya. Sistem yang pada mulanya adalah nonklasikal berubah menjadi sistem klasikal. Materi pelajarannya sebelum masuk ide-ide pambaruan merupakan mata pelajaran agama saja dan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, menjadi berimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru disebutkan :
Di zaman modern ini, sistem lembaga pendidikan tinggi Islam harus diperbarui; kurikulum harus ditingkatkan dengan memasukkan topic-topik beragam, berbobot dan menarik. Beberapa aspek ajaran dan warisan Islam dapat dipandang sebagai cabang pokok ilmu-ilmu humaniora, yang wilayah studinya mencakup: agama, falsafah, etika, spiritualitas, sastra, seni, arkeologi, sejarah. Masing-masing bidang studi tersebut dapat dijelaskan secara historis: awal, pertengahan, klasik, modern, dan seterusnya.[20]

B.       Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Pembaruan
Dengan masuknya ide-ide pembaruan dalam bidang pendidikan, maka sistem dalam lembaga pendidikan sebelum masuknya ide-ide pembaruan yang semula nonklasikal berubah menjadi klasikal dilengkapi dengan manajemen pendidikan yang masih sederhana. Metode mengajar guru yang semula adalah metode sorogan[21], wetonan dan hafalan telah bervariasi sesuai dengan tuntutan sistem klasikal.
Cara sorogan ini tentu lebih efektif daripada wetonan, karena kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz (kiai), akan tetapi tidak efisien karena memakan waktu yang lama. Sedangkan wetonan lebih efisien tapi kurang efektif karena tidak terkontrol langsung oleh pengajarnya. Akan tetapi, untuk kedua sistem tersebut budaya tanggung jawab dan perdebatan tidak dapat tumbuh; terkadang terjadi kesalahan yang diperbuat oleh sang kyai (ustadz) lantaran kantuk, umpamanya, tidak pernah ada teguran atau kritik dari santri.[22]
Materi pelajaran yang semula adalah materi agama yang bertumpu pada kitab-kitab klasik mulai dimasuki mata pelajaran nonkeagamaan. Secara kelembagaan.[23] terutama dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai pendidikan Islam sebenarnya lebih diwarnai oleh dua model pendidikan, yakni pendidikan dalam bentuk pesantren dan pendidikan madrasah.
Pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Istilah pondok mungkin berasal dari kata funduk yang berasal dari bahasa Arab dan berarti rumah penginapan. Akan tetapi dalam pesantren di Indonesia lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan (rumah sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang digunakan sebagai asrama santri). Istilah pesantren secara etimologi diartikan tempat santri. Jadi pondok pesantren bisa diartikan yaitu lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. Para pengamat dan peneliti sering memberikan simpulan, santri dengan pesantrennya mempunyai kultur dan tradisi yang khusus dan unik.[24]
Sedangkan madrasah dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan sekolah. Madrasah sebagai nama dari sebuah lembaga pendidikan Islam baru populer setelah awal abad kedua puluh. Madrasah adalah “sekolah umum yang bercirikan Islam”. Pengertian ini menunjukkan bahwa dari segi materi kurikulum, madrasah mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan sekolah-sekolah umum sederajat.
Hanya saja yang membedakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum adalah banyaknya pengetahuan agama yang diberikan, sebagai ciri khas Islam atau sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama.[25] Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan sistem pendidikan pesantren gaya lama, yang dimodifikasi menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal.
Masuknya ide-ide pembaruan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia menginspirasi para pembaru untuk mengadopsi  nama madrasah sebagai nama sebuah lembaga pendidikan Islam.
Salah seorang pelajar Indonesia yang sedang belajar di Makkah adalah Haji Abdullah Ahmad. Beliau lahir di Padang Panjang tahun 1878. Ia tertarik dengan penjabaran pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan. Ia tertarik mendirikan pendidikan yang sistematis, sebab tidak semua anak-anak dari Padang Panjang dapat masuk sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini kemudian mendorongnya membuka sekolah Adabiyah, dengan bantuan para pedagang pada tahun 1909.
Berhubung karena kecilnya porsi pendidikan agama di sekolah ini sedangkan seluruh unsur tradisional dalam waktu beberapa tahun saja ditinggalkan.[26] Hal ini tidak bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau karena perubahan yang sangat cepat itu.
Di jawa, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Taswirul Afkar yang didirikan oleh KHA Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Pada mulanya madrasah ini hanya sebagai tempat kursus, diskusi, dan musyawarah yang kemudian menjadi madrasah. Pada tahun 1919 KH. Hasyim As’ary mendirikan Madrasah Salafiyah.
Beberapa organisasi Islam pada awal abad kedua puluh banyak juga yang terlibat mendirikan madrasah, misalnya Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA Dahlan pada tahun 1912, disamping mendirikan sekolah umum yang mengambil nama dari nama sekolah Belanda, organisasi ini juga mendirikan madrasah.
Ada dua jenis sekolah yang dibawah naungan  Muhammadiyah. Pertama, sekolah umum berbasis pelajaran umum dengan menambahkan mata pelajaran agama sebagai ciri khas yang wajib diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kedua, sekolah yang berbasis ilmu-ilmu keagamaan, sekolah-sekolah ini yang kemudian digolongkan kepada kelompok madrasah.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa semangat dan ide pembaruan pendidikan Islam yang muncul adalah suatu upaya untuk memperbarui sistem, metode, dan materi. Kemudian pembaruan pada asasnya tidak bisa melepaskan diri dari sistem pendidikan kolonial yang berlaku pada waktu itu. Dan terakhir adalah ide-ide pembaruan belum seluruhnya dapat diterima oleh masyarakat muslim pada umumnya dan terutama di kalangan ulama.
C.     Ciri-ciri Pendidikan Islam Pada Masa Pembaruan
Ada beberapa indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaruan:
1.      Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi waktunya, jadi seseorang dapat tinggal di suatu pesantren kapanpun dia mau.
2.      Mata pelajaran adalah pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik dan tidak diajarkan pelajaran umum. Seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke-12 s/d abad ke-16).[27]
3.       Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan muzakarah. [28]
4.       Tidak mementingkan ijazah sebagai tanda bukti seseorang telah selesai atau menamatkan pelajarannya.
5.      Kentalnya hubungan antara santri dengan kyainya.
Indikasi terpenting pendidikan Islam pada masa pembaruan adalah, pertama, dimasukkannya mata pelajaran umum ke madrasah. Kedua, penerapan sistem klasikal dengan segala kaitannya. Ketiga, ditata dan dikelola administrasi sekolah dengan tetap berpegang pada prinsip manajemen pendidikan. Keempat, lahirnya lembaga pendidikan Islam yang baru dan diberi nama madrasah.

    KESIMPULAN

Latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air dari luar negeri (misalnya Makkah, Madinah, Kairo, dan lain-lain).dan faktor dari dalam negeri banyak memperngaruhi pembaruan pendidikan di Indonesia. Kondisi tanah air pada awal abad ke-20 adalah sedang dikuasai oleh Barat.
Dimana umat Islam Indonesia mengalamai beberapa perubahan dalam bentuk kebangkitan, agama, perubahan dan pencerahan. Di antara motivasinya adalah dorongan untuk mengusir penjajah. Perlawanan terhadap kolonialisme menjadi motivasi bagi umat Islam mengadakan pembaruan. Gerakan pembaruan tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya perubahan di bidang pendidikan,
Disamping itu gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara besar-besaran dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan munculnya Sekolah Adabiyah. Madrasah ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di Padang, Sumatera Barat.[29] Sekolah adabiyah adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja, Materi pelajarannya sebelum masuk ide-ide pambaruan merupakan mata pelajaran agama saja dan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, menjadi berimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.

DAFTAR PUSTAKA

A. Syafi’i Maarif, “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, ed. Muslih Usa. 1991 Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007
Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam,
Andi Faisal Bakti, National Building: Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya Terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia, terj. M. Adlan Nawawi dan Syamsul Rijal, Jakarta: Churia Press, 2006
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2008.
Moh. Nurhakim. Islam Responsif: Agama di Tengah Pergulatan Ideologi Politik dan Budaya Global. Malang: UMM Press, 2005.
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam,  Jakarta: Erlangga, 2010.
Mukhammad Abdullah, Manajemen Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Islam.Kediri: STAIN Press, 2009.
Nuha Effendi, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka, 2006.
William Montgomery Watt. Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Manajemen Berorientasi Link and Match. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.




Postingan terkait: