Pendidikan
Islam Formal,Informal, dan Nonformal
A. Pendahuluan
Pendidikan keagamaan Islam merupakan
sesuatu yang wajib diajarkan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Peraturan
Pemerintah ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Hal yang menarik dari PP No. 55 tahun 2007 ini adalah diakuinya
majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah
sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam nonformal.
Apa yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah di atas dapat dianalisis dengan membandingkan praktik
penyelenggaraan pendidikan Islam yang berlangsung pada masa dahulu. Boleh jadi
ada kebijakan baru yang belum ada pada masa pendidikan Islam pada masa dahulu
tetapi saat ini kebijakan itu ada.
Untuk itu, makalah ini akan membahas
tentang pendidikan Islam formal, nonformal, dan informal. Makalah ini
menyajikan pembahasan yang dimulai dari praktik pendidikan Islam dalam sejarah
Islam, kebijakan tentang pendidikan keagamaan berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor
55 Tahun 2007, dan praktik pendidikan Islam di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Praktik Pendidikan Islam Dalam
Sejarah Islam
Pendidikan Islam mempunyai sejarah
yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang
seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di
mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan
usaha-usaha pendidikan – untuk tidak menyebut sistem – merupakan transformasi
besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem
pendidikan formal.[1]
Menjelang datangnya Islam, bangsa
Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam
bentuk puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang dominan adalah lisan,
tulisan telah mulai dikenal secara terbatas. Paling tidak untuk kalangan
tertentu (Yahudi dan Kristen), pendidikan yang terstruktur, meskipun sangat
sederhana, sudah mulai berkembang.[2]
Pada saat datangnya Islam, hanya ada
17 orang Quraisy yang mengenal tulis baca.[3][3] Di tengah permusuhan kaum Quraisy,
tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Rasulullah saw. bersama pengikutnya yang
hanya sedikit. Ketika akhirnya mereka hijrah ke Madinah (1 H/622 H), mereka
menemukan bahwa beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj (dua kabilah utama
Madinah) dapat menulis dan membaca. Menurut ajaran Islam, Rasulullah saw.
memberi perhatian khusus terhadap persoalan pendidikan.[4]
Pada masa awal perkembangan Islam,
tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan
yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan inipun lebih
berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah – penyebaran, dan penamaan
dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam.
Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama
kali berlangsung di rumah sahabat tertentu; yang paling terkenal adalah Dār
al-Arqam. Tetapi ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan
diselenggarakan di masjid. Proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan
dalam halaqah, lingkaran belajar.[5]
Fachruddin mengatakan bahwa pada
masa Islam klasik lembaga pendidikan terdiri atas masjid, dār, dan shuffah.
Masjid menjadi lembaga pendidikan formal pada masa itu. Segala aktivitas
pendidikan berlangsung di Masjid. Bahkan peranan masjid seperti universitas
terbuka pada masa itu. Dikatakan demikian karena semua orang dapat mengakses
ilmu secara mudah.[6]
Fachruddin juga mengatakan bahwa
pada masa berikutnya trend masjid sebagai lembaga pendidikan formal mulai
bergeser dengan hadirnya madrasah. Dengan hadirnya madrasah maka dengan
sendirinya pula praktik pendidikan formal berada di madrasah. Madrasah pada masa
itu mengkaji ilmu lintas disiplin keilmuan atau adanya integrasi keilmuan (baik
ilmu diniyah maupun ilmu gharbiyah). Dengan demikian madrasah menjadi
kaya akan pengkajian keilmuan.[7]
Madrasah lahir sebagai lembaga
pendidikan yang berkembang secara alami dari cikal bakalnya, yaitu masjid.
Masjid yang pada masa itu menjadi pusat kajian keagamaan, terutama masjid
akademi (masjid khan). Tahapan perubahan sebelum menjadi madrasah adalah
dari masjid, kemudian masjid akademi, hingga akhirnya menjadi madrasah. Untuk
menamatkan pembelajaran dasar keislaman di masjid dibutuhkan waktu sekitar 4
tahun. Pembiayaan pendidikan di masjid berasal dari wakaf tahrir (si
pemberi wakaf tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan di
masjid).[8]
Keberadaan madrasah merupakan salah satu bentuk inovasi dalam trend pendidikan Islam. Dikatakan
sebagai inovasi karena pada masa sebelumnya belum ada madrasah.[9]
Pendidikan secara informal telah
berlangsung sejak awal Islam. Mereka yang berpengetahuan mendalam tentang
Alquran memimpin kelompok-kelompok diskusi, membaca surah-surah Alquran dan
menjelaskan makna yang terkandung di dalam Alquran.[10] Dengan demikian, pendidikan secara
informal berlangsung dalam bentuk diskusi tentang kandungan Alquran.
Pada periode awal Islam, pengajaran
agama diberikan di rumah-rumah. Rasulullah saw. sendiri menggunakan rumah
al-Arqam bin al-Arqam sebagai tempat pertemuan dengan para sahabat dan
pengikut-pengikut beliau. Di sana kaum Muslimin mendapatkan pengajaran dari
beliau, berupa kaidah-kaidah Islam dan ayat-ayat Alquran. Selain itu Rasulullah
saw. mengadakan pertemuan di rumah beliau sendiri di Mekah. Di sana kaum
Muslimin berkumpul untuk belajar dan membersihkan akidah serta pencerahan jiwa
mereka.[11]
Untuk memberikan pelajaran kepada
anak-anak, kaum Muslimin pada saat itu mengirimkan anak-anak mereka secara
khusus ke rumah-rumah para ulama untuk mendapatkan didikan langsung dari para
ulama atau ke perpustakaan-perpustakaan untuk memperoleh kitab-kitab yang
lengkap untuk dibaca dan dijadikan referensi.[12]
Pendidikan formal Islam baru muncul
pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Secara
tradisional sejarawan pendidikan Islam, seperti Munir ad-Din Ahmed, George
Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah
pertama kali didirikan oleh Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini
kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian
lebih akhir, misalnya yang dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi
madrasah-madrasah lebih tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009
terdapat madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah
Nizhamiyah; yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq
Ibrahim ibn Mahmudi di Nishapur.[13]
Lebih jauh lagi, dalam tradisi
pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jāmi‘ah,
yang tentu saja secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jāmi‘
– masjid besar tempat berkumpul jamaah untuk menunaikan salat Jumat. Al-Jāmi‘ah yang muncul paling awal dengan potensi
sebagai lembaga perguruan tinggi adalah al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis dan
Qarawiyyin di Fez.[14]
Sepanjang sejarah Islam, baik
madrasah maupun al-jāmi‘ah diabdikan terutama untuk ilmu-ilmu agama, dengan
penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis. Ilmu-ilmu alam dan
eksakta – yang merupakan akar-akar pengembangan
sains dan teknologi – sejak awal perkembangan madrasah dan al-jāmi‘ah
sudah berada dalam posisi marjinal. Mempelajari ilmu-ilmu umum bukan sesuatu
yang sama sekali tidak ada dalam kurikulum madrasah. Tetapi ada “pemakruhan” –
untuk tidak menyebut pengharaman penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah,
setelah periode al-Ma’mun.[15]
Selanjutnya, Hasan ‘Abd al-‘Al
sebagaimana dikutip oleh Suwito, menyebutkan bahwa ada tujuh lembaga pendidikan
yang telah berdiri pada masa Abbasiyah terutama pada abad keempat hijrah.
Ketujuh lembaga pendidikan tersebut adalah: (1) lembaga pendidikan dasar (kuttab);
(2) lembaga pendidikan masjid; (3) kedai pedagang kitab (al-Hawanit
al-Warraqin); (4) tempat tinggal para sarjana (manazil al-‘ulama);
(5) sanggar seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah); (6) perpustakaan
(dar al-kutub wa dar al-‘ilmi); dan (7) lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).[16]
Institusi pendidikan Islam klasik
menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria hubungan institusi
pendidikan dengan negara yang berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu
institusi pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan Islam informal. Institusi
pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk
mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan
dalam agama dan menjadi pegawai pemerintahan. Institusi pendidikan formal ini
biayanya disubsidi oleh negara dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui harta
wakaf. Pengelolaan administrasi berada di tangan pemerintah. Institusi atau
lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara, dan lembaga ini
menawarkan mata pelajaran umum, termasuk filsafat.[17][17]
Lembaga pendidikan informal dan
alamiah, walaupun sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, tidak
menerima bantuan langsung dari negara, juga tidak memperoleh pengakuan hukum
apapun dalam struktur kemasyarakatan. Lembaga-lembaga pendidikan informal
didukung oleh sukarelawan yang mengabdikan diri pada usaha-usaha kelompok.
Keberadaan para sukarelawan tersebut tidak diatur oleh negara; tetapi pribadi
atau sekelompok orang yang terlibat di dalam lembaga itu bertanggung jawab
kepada masyarakat dengan cara yang sama seperti halnya warga negara lainnya.
Keberadaan lembaga pendidikan informal tergantung pada kepribadian para ilmuwan
dan kemampuannya untuk menarik murid dan pendukung.[18][18]
Salah satu lembaga pendidikan
informal pada masa itu adalah perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan umum
dibuka untuk umum, berdiri di masjid-masjid, masjid-akademi, dan
madrasah-madrasah. Khalifah, wazir, dan penguasa lokal sering sekali membangun
perpustakaan umum untuk mempromosikan kegiatan tulis-baca dan memajukan tingkat
pendidikan dalam wilayah kekuasaan mereka. Lembaga-lembaga seperti itu tidak
hanya berkembang di Bagdad dan Kairo, tetapi juga di ibukota-ibukota propinsi
dan sepanjang wilayah Afrika Utara, khususnya di pusat-pusat utama kebudayaan Islam
di Andalusia.[19]
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa selain negara membangun fasilitias pendidikan formal, pada sisi lain para
pemimpin (khalifah, wazir) membangun fasilitas pendidikan informal secara
mandiri. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan program pemerintah pada masa
itu.
a) Kuttab
Kuttab merupakan sejenis tempat belajar
yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya, kuttab berfungsi
sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak. Kuttab
sebenarnya telah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam, tetapi belum begitu dikenal. Di
antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab
ini adalah Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais bin Abdul Manaf bin
Zuhrah bin Kilab. Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang
mempelajarinya dari Hirah. Kuttab dalam bentuk awalnya berupa ruangan di
rumah seorang guru.[20]
Sejalan
dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah pulalah jumlah
penduduk yang memeluk Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya
mengambil tempat di ruangan rumah guru mulai dirasakan tidak memadai untuk
menampung anak-anak yang jumlahnya semakin besar. Kondisi yang demikian
mendorong para guru dan orang tua murid mencari tempat lain yang lebih lapang
untuk ketentraman belajar anak-anak. Tempat yang mereka pilih adalah
sudut-sudut masjid.[21]
Selain dari kuttab-kuttab
yang diadakan dalam masjid terdapat pula kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai
gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid. Kuttab jenis ini
bersifat formal. Kuttab ini mulai berkembang karena adanya pengajaran
khusus bagi anak-anak keluarga raja, pembesar, dan pegawai istana yang diasuh
oleh seorang mu’addib (pendidik). Bentuk pengajaran yang demikian akhirnya
berkembang menjadi kuttab-kuttab
umum. Pendidik yang mulai
mengembangkan pola pengajaran khusus itu ke arah pembentukan kuttab umum
menurut Ahmad Syalabi ialah Hajjaj bin
Yusuf as-Saqafi (w.714). Al-Hajjaj pada mulanya menjadi mu’addib
anak-anak Sulaiman bin Na’im yang menjadi wazir Abdul Malik bin Marwan. Pada
saat inilah ia mengembangkan pendidikan anak dari bentuk khusus di rumah
pembesar raja menjadi bentuk pendidikan umum yang disebut kuttab umum.
Dari sini pula karir al-Hajjaj meningkat menjadi pembesar khalifah Bani
Umayyah, al-Walid I (705-715).[22]
Pendidikan tingkat rendah Islam
diadakan di kuttab-kuttab juga diberikan di istana untuk anak-anak
pejabat, didasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan
anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas, setelah dewasa nanti. Atas
dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana
lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anak mereka sejak kecil sudah
diperkenalkan dengan tugas-tugas yang akan dipikulnya nanti. Corak pendidikan
anak-anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab pada umumnya. Rencana pelajaran untuk
pendidikan di istana pada garis besarnya
sama dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab hanya sedikit
ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.[23]
Dalam catatan sejarah membuktikan
bahwa perkembangan kuttab berlangsung dengan pesat. Dahhak bin Muzahim,
seorang mufasir, memiliki kuttab yang menampung murid sebanyak 3000
orang, sehingga Dahhak bin Muzahim harus menunggangi keledai untuk mengecek
murid-muridnya. Pada sisi lain, dalam periode Mamluk, hampir setiap pendiri kuttab
mendirikan kuttab sabil, yaitu kuttab untuk anak yatim piatu. Pendidikan di kuttab
sabil diberikan secara gratis.[24]
Kuttab merupakan tempat
pertama seorang anak belajar membaca Alquran, menulis, prinsip-prinsip agama,
bahasa dan ilmu hitung. Kesenian menulis atau kaligrafi sangat diperhatikan
pula karena merupakan bagian dari kesenian lukis-melukis. Di kuttab
disediakan pengasuh-pengasuh khusus di bidang tesebut di atas secara penuh.
Demikian pula, Rasulullah saw. sendiri telah mempekerjakan orang-orang Islam
(para sahabat) yang tahu tulis baca untuk mencatat ayat-ayat Alquran. Untuk
mengajar kaum muslimin pun beliau meminta bantuan orang non-Muslim untuk
mengajar kaum Muslimin membaca dan menulis karena pada masa itu jumlah kaum
Muslimin yang pandai tulis baca masih sedikit.[25]
Keterampilan tulis baca – yang
merupakan materi utama pendidikan kuttab – menjadi semakin penting sejalan
dengan berkembangya komunitas Muslim Madinah. Kebutuhan paling penting,
tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. dari
waktu ke waktu. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan
komunikasi antara umat Islam dengan suku-suku dan bangsa-bangsa lain.
Tulis-baca sebagai sebuah prioritas penting dapat dilihat dalam peristiwa
pembebasan beberapa tawanan perang badar.[26]
b) Masjid
Masjid juga berperan dalam
pendidikan Islam. Masjid pada masa Rasulullah saw. dijadikan tempat untuk
memberi pelajaran. Di antara siswa yang menjadi siswa di Masjid Nabi adalah Ali
bin Abi Talib dan Abdullah bin Abbas. Di dalam masjid dipelajari kaidah-kaidah
hukum agama.[27]
Struktur pengajian di Masjid Nabi
lebih merupakan bentuk nonformal. Walau bagaimanapun struktur pengajian yang
lebih sistemik dan formal dapat diadakan apabila sebuah surau didirikan
bersambungan dengan masjid tersebut lalu diberi nama al-Suffah. Oleh karena
struktur pengajian di sini lebih sistemik dan formal.[28] Di masjid juga diberikan pengajaran
tentang kesehatan dan oba-obatan (medicine).[29]
Pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab, negeri Persi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab
ditaklukkan.[30]
Khalifah Umar bin Khattab telah memerintahkan para gubernurnya untuk mendirikan
masjid-masjid di semua negeri dan kota-kota yang telah dikuasai oleh pemerintah
Islam. Pada abad ketiga hijrah, kota Bagdad sudah penuh dengan masjid, demikian
pula kota Mesir. Atas perintah khalifah, masjid yang pertama kali dibangun
adalah masjid Amru bin Ash. Di masjid ini diberikan pelajaran-pelajaran agama
dan akhlak dan secara berangsur-angsur pula pelajaran-pelajaran di masjid ini
semakin meningkat.[31]
Pada masa khalifah Umar bin Khattab
juga ada instruksi kepada penduduk kota supaya diajarkan kepada anak-anak
mereka tentang berenang, mengendarai kuda, memanah, dan membaca serta menghafal
syair-syair mudah dan peribahasa. Instruksi Umar itu dilaksanakan oleh
guru-guru di tempat-tempat yang dapat dilaksanakan. Misalnya berenang dapat
dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai seperti di Irak, Syam, Mesir
dan lain-lain.[32]
Pada masa Abbasyiah, sekolah-sekolah
terdiri dari beberapa tingkat:
a. Tingkat
sekolah rendah, yaitu kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab
ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko dan di pinggir
pasar.
b. Tingkat
sekolah menengah, yaitu di masjid dan di majelis sastra dan ilmu pengetahuan,
sebagai sambungan dari kuttab.
c. Tingkat perguruan tinggi, seperti
Baitul Hikmah di Bagdad, dan Darul Ilmi di Mesir, di masjid-masjid dan
lain-lain.[33]
c) Majelis
Taklim
Majelis taklim merupakan lembaga
pendidikan tertua dalam Islam, sebab sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah
saw. Meskipun tidak disebut dengan majelis taklim, pengajian Nabi Muhammad saw.
yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam di zaman Rasul saw. atau periode Mekah dapat
dianggap sebagai majelis taklim dalam konteks sekarang. Pada periode Madinah,
ketika Islam telah menjadi kekuatan nyata dalam masyarakat, penyelenggaraan
pengajian itu lebih pesat. Rasulullah saw. duduk di masjid Nabawi untuk
memberikan pengajian kepada para sahabat dan kaum muslimin ketika itu. Hingga
saat ini di Masjidilharam terdapat pengajian (majelis taklim) yang diasuh
ulama-ulama terkenal dan terkemuka serta dikunjungi para jamaah.[34]
Pada masa berlangsungnya gerakan tajdid,
pembelajaran pada bidang pendidikan umum tidak begitu dianggap. Sesuatu yang
ada pada masa itu adalah pengkajian pada bidang spiritual, sehingga kajian
spiritual mengalami agredasi. Idealnya adalah pembelajaran dilakukan dengan
tidak memisahkan antara ilmu-ilmu umum (ulum al-gharbiyah) dengan ilmu-ilmu
agama (ulum ad-diniyah). Dari kedua model keilmuan ini seharusnya dapat
diintegrasikan. Praktik pengintegrasian keilmuan ini telah dijalankan oleh
masjid dan madrasah pada masa awal berdirinya.
2. Kebijakan Tentang Pendidikan
Keagamaan Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007
Ada beberapa pasal dalam UU No. 20
Tahun 2003 yang menyinggung tentang pendidikan Islam. Di dalam aturan tersebut
setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan pendidikan Islam. Pertama,
kelembagaan formal, nonformal, dan informal didudukkannya lembaga madrasah
sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang diakui keberadaannya setara
dengan lembaga pendidikan sekolah, dan dipertegas pula tentang kedudukannya
sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Selanjutnya diakui majelis
taklim sebagai pendidikan nonformal dan masuknya Raudhatul Athfal sebagai
lembaga pendidikan anak usia dini, dan dipertegas pula tentang pesantren
sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran, dikukuhkannya mata pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajaran
yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai, terdapat seperangkat nilai-nilai Islami dalam
sistem pendidikan nasional.[35]
Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan.[36]
Keberadaan lembaga pendidikan Islam
sebagai lembaga formal dinyatakan dalam pasal 17 bahwa pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
atau bentuk lain yang sederajat. Mengenai pendidikan menengah dinyatakan dalam
pasal 18 bahwa Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan dalam pasal 20
dinyatakan bahwa pendidikan tinggi dapat berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah
Tinggi, Institut, atau Universitas.[37]
Selanjutnya, dalam pasal 26
dinyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat
yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai
setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[38]
Dalam pasal 27 dinyatakan bahwa
kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
seseuai dengan standar nasional pendidikan.[39]
Mengenai pendidikan keagamaan, dalam
pasal 30 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[40]
Pendidikan keagamaan yang tercantum
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007.
Dalam pasal 1 PP No. 55 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pendidikan agama
adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian,
dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama
dan mengamalkan ajaran agamanya.[41]
Selanjutnya dalam pasal 4 dinyatakan
bahwa pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan
sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk matapelajaran atau kuliah
agama. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[42]
Dalam pasal 11 ayat (2) dinyatakan
bahwa hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai
sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk
oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 13 PP No. 55 Tahun 2007
menyatakan bahwa pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk
satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 orang atau lebih merupakan
program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota.[43]
Dalam pasal 14 dinyatakan bahwa
pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Pendidikan
diniyah diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan
diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari
ajaran agama Islam pada jenjang
pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi.[44]
Pendidikan diniyah nonformal
diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan
Alquran, diniyah taklimiyah atau bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah
nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang
persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22 menyatakan bahwa pengajian
kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli
ilmu agama Islam. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid,
mushalla atau tempat lain yang memenuhi syarat. Begitu juga majelis taklim
dapat dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.[45]
Pasal 24 menyatakan bahwa pendidikan
Alquran terdiri dari Taman Kanak-Kanak Alquran (TKQ), Taman Pendidikan Alquran
(TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. Kurikulum
pendidikan Alquran adalah membaca, menulis, dan menghafal ayat-ayat Alquran,
tajwid, serta menghafal doa-doa utama. Pendidik pada pendidikan Alquran minimal
lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca
Alquran dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Alquran.[46]
Pasal 26 menyatakan bahwa pesantren
menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan
lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah,
dan/atau pendidikan tinggi. Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang
diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan
formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji
kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[47]
3. Praktik Pendidikan Islam di Indonesia
Pada awal berkembangnya agama Islam
di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Hal tersebut
tampak dari kegiatan para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan
agama Islam. Setiap ada kesempatan, para pedagang memberikan pendidikan dan
ajaran agama Islam.[48]
Pendidikan Islam di langgar bersifat
elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab atau kadang-kadang
langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci
Alquran. Pendidikan di langgar dikelola
oleh seorang petugas yang disebut amil, modin atau lebai. Pelajaran memakan
waktu beberapa bulan tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.
Pengajian Alquran pada pendidikan
langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a. Tingkat
rendah; merupakan tingkat pemula, yaitu mulainya mengenal huruf Alquran sampai
bisa membacanya.
b. Tingkat
atas; pelajarannya selain tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran
lagu, qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[49]
Memang, dalam bentuk yang permulaan,
pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau masjid masih sangat
sederhana. Modal pokok pelaksanaan pendidikan yang dimiliki hanya semangat menyiarkan
agama bagi yang telah mempunyai ilmu agama, dan semangat menuntut ilmu.[50]
Pada masa kerajaan Islam di
Indonesia, sistem pendidikan Islam berlangsung secara informal berupa majelis
taklim dan halaqah. Materi pendidikan Islam adalah bidang syariat dalam mazhab
Syafi’i. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama. Biaya pendidikan
agama bersumber dari negara. Hal ini terjadi di kerajaan Samudera Pasai.[51]
Ada pula suatu lembaga pendidikan
lainnya berupa majelis taklim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para murid yang
sudah alim dan mendalam ilmunya. Pada majelis taklim ini diajarkan kitab-kitab
agama yang punya bobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab al-Umm
karangan Imam Syafi’i dan sebagainya. Hal ini terjadi di kerajaan Islam Perlak.
Bahkan, Sultan Mahdum alauddin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun
1243-1267 M mendirikan semacam perguruan tinggi Islam pada saat itu.[52]
Bidang pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam
mendapat perhatian besar. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang
bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:
a. Balai
Seutia Hukama;
Merupakan lembaga ilmu pengetahuan,
tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikawan untuk membahas dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Balai
Seutia Ulama
Merupakan jawatan pendidikan yang
bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c. Balai
Jamaah Himpunan Ulama
Merupakan
kelompok studi tempat para ulama sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran
membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Adapun jenjang pendidikan yang ada
adalah sebagi berikut:
1. Meunasah
(Madrasah)
Terdapat di setiap kampung, berfungsi
sebagai sekolah dasar. Materi-materi yang diajarkan yaitu: menulis dan membaca
huruf Arab, ilmu agama, bahasa Jawi/Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
2.
Rangkang
Diselenggarakan di setiap mukim,
merupakan masjid sebagai tempat berbagai aktivitas umat termasuk pendidikan.
Rangkang adalah setingkat madrasah tsanawiyah. Materi yang diajarkan adalah
bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih, dll.
3.
Dayah
Terdapat di setiap daerah ulebalang
dan terkadang dan terkadang berpusat di masjid, dapat disamakan dengan madrasah
aliyah sekarang. Materi yang diajarkan meliputi fikih, bahasa Arab, tauhid,
tasawuf, ilmu bumi, sejarah, tatanegara, ilmu pasti dan faraid.
4.
Dayah
Teuku Cik
Dapat
disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi. Materi yang diajarkan adalah
fikih, tafsir, hadis, tauhid, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,
sejarah dan tata negara, mantik, ilmu falak, dan filsafat.[53]
Fachruddin mengatakan bahwa masjid
yang ada di kerajaan Pasai pada masa itu merupakan tempat berkumpul para ulama
lintas daerah dan bahkan negara. Masjid pada masa itu memiliki posisi sebagai
lembaga pendidikan tinggi formal Islam. Bahkan, para ulama dalam dan luar
negeri menjadikan masjid di Pasai sebagai tempat pertemuan.
Masjid berperan sangat penting dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Masjid dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia, sebelum adanya pesantren. Masjid berfungsi sebagai lembaga
pendidikan penyempurna pendidikan dalam keluarga. Biasanya di masjid diberikan
pengajian dasar yang biasa disebut pengajian Alquran. Akan tetapi di beberapa
daerah, masjid berfungsi sebagai pesantren. Masjid pada masa itu merupakan
lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.[54]
Saat ini, keberadaan majelis taklim
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang
senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan keterampilanya jamaahnya. Majelis taklim juga merupakan lembaga
pendidikan masyarakat, yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat
Islam itu sendiri.
Ada beberapa hal yang membedakan
majelis taklim dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, yaitu:
a. Majelis taklim adalah lembaga
pendidikan nonformal Islam.
b. Waktu belajarnya berkala tapi
teratur, tidak setiap hari sebagaimana halnya
sekolah atau madrasah.
c. Pengikut atau pesertanya disebut
jamaah bukan santri.
d. Tujuannya yaitu memasyaraktkan ajaran
Islam.
Majelis taklim merupakan lembaga
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pengajian Islam. Lembaga ini
berkembang dalam lingkungan masyarkat muslim di Indonesia. Penamaan majelis
taklim lebih banyak ditemukan di Jakarta, sementara di daerah-daearah lain
lebih dikenal dengan “Pengajian Agama Islam”. Musyawarah Majelis Taklim se-DKI
Jakarta (9-10 Juli 1980 di Jakarta) telah memberi batasan yang lebih definitif
tentang pengertian majelis taklim; yaitu suatu lembaga pendidikan nonformal
Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan
teratur dan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak.[55]
Bentuk pengajian agama seperti ini
mengambil pelajaran dari praktek yang dilakukan Nabi Muhammad saw, baik sewaktu
berada di Mekah maupun setelah berada di Madinah, ketika ia menyampaikan ajaran
Islam dan berhadapan langsung dengan para sahabatnya. Demikian juga
perkembangan di zaman kejayaan Islam masa Kekhalifahan Abbasyiah, sampai pada
pengajian agama yang dilaksanakan para wali ketika mensyiarkan Islam di
Indonesia.
Metode penyajian Majelis Taklim
dapat dikategorikan menjadi: (a) metode ceramah, terdiri dari ceramah umum; (b)
metode halaqah; dan (c) metode campuran, yakni melaksanakan berbagai
metode sesuai dengan kebutuhan. Materi yang diajarkan dalam majelis taklim
mencakup: pembacaan Alquran serta tajwidnya, tafsir bersama ulumul quran, hadis
dan mustalahnya, fikih dan usul fikih, akhlak, ditambah lagi dengan materi-materi
yang dibutuhkan para jemaah misalnya masalah penanggulangan kenakalan anak,
masalah Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.[56]
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 dijelaskan tentang pendidikan nonformal, pasal 26: satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan
sejenis. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk
lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Alquran, bisa dalam
bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar
dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang banyak tersebar di masyarakat
adalah dalam bentuk majelis taklim.[57]
Terkait dengan pendidikan nonformal,
di beberapa daerah provinsi atau kabupaten di Indonesia menyikapi PP No. 55
Tahun 2007 dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Perda yang dikeluarkan
memperkuat PP No. 55 Tahun 2007. Salah satu fokus kebijakan Perda tersebut
adalah kewajiban bagi anak mengikuti pendidikan Madrasah Diniyah Taklimiyah
Awwaliyah (MDTA). Bahkan ada daerah yang mengeluarkan Perda sebelum terbitnya
PP. No. 55 Tahun 2007.
Konsekuensi dari Perda ini
adalah setiap siswa Muslim wajib
memiliki ijazah MDTA apabila akan melanjutkan pendidikan ke
SMP/MTs. Daerah-Daerah yang telah mengeluarkan Perda ini adalah Kabupaten
Indramayu melalui Perda No. 2 Tahun 2003, Kabupate
n
Pandeglang Provinsi Banten melalui Perda No. 27 Tahun 2007, Kabupaten
Purwakarta mengeluarkan Perda tahun 2008, Kabupaten Pesisir Selatan melalui
Perda No. 8 Tahun 2004, dan Kota Padang melalui Perda No. 6 Tentang Wajib Baca
Tulis Alquran.
Akhir-akhir ini, pada tahun 2009
mencuat wacana program home schooling. Keberadaan home schooling
ramai diperbincangkan di kalangan akademisi. Seto Mulyadi, pakar psikolog anak
juga terlibat aktif dalam wacana ini.
Fachruddin mengatakan bahwa
sesungguhnya program home schooling memiliki kesamaan dengan praktik dār
yang ada dalam dunia Islam. Ini berarti bahwa Islam telah memulai lebih
dahulu praktik pendidikan di dalam rumah tangga (pendidikan informal). Bahkan
lebih tegas lagi Nabi saw. telah mempraktikkan secara langsung pendidikan
informal. Ketika Nabi saw. menyampaikan dakwah Islam pertama kali kepada
keluarganya, ini merupakan praktik pendidikan informal pada masa itu. Pada sisi
lain, ketika Nabi saw. menerangkan wahyu kepada para sahabatnya, hal ini
merupakan contoh praktik pendidikan nonformal pada masa itu.
C. Penutup
Kesimpulan dari makalah ini adalah
bahwa kebijakan pendidikan Islam yang berlaku pada masa Nabi saw. hingga periode dinasti Abbasyiah memberikan
gambaran tentang pelaksanaan pendidikan Islam. Pendidikan dasar diselenggarakan
secara formal dan informal. Pendidikan secara formal diselenggarakan oleh
negara berikut dengan pembiayaannya. Pada sisi lain dibuka pula kesempatan
untuk anak-anak yatim piatu yang miskin untuk dapat bersekolah secara gratis (kuttab
sabil).
Anak-anak pada masa dinasti Umayyah
sudah dipersiapkan pengetahuan mereka tentang tugas-tugas kenegaraan. Lembaga
pendidikan dasar untuk anak-anak pembesar dinasti sedikit berbeda dengan
lembaga pendidikan dasar pada umumnya. Perbedaan itu tampak pada kurikulum yang dikembangkan di lembaga pendidikan
dasar.
Guru di lembaga pendidikan formal
pada masa itu dimungkinkan untuk menempati jabatan pembesar di pemerintahan.
Hal ini dialami oleh Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi.
Dari uraian di atas juga dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran trend bentuk lembaga pendidikan.
Pada masa Islam klasik dan pada masa Islam di kerajaan Pasai, masjid menempati
peran sebagai lembaga pendidikan formal. Akan tetapi dalam PP No. 55 Tahun 2007
dinyatakan bahwa pengajaran yang diberikan di masjid merupakan bagian dari
pelaksanaan pendidikan nonformal.
Selanjutnya, saat ini melalui UU No.
20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007 diatur pelaksanaan pendidikan keagamaan
formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan (diniyah) dapat diselenggarakan pada jenjang pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Kemudian, pendidikan diniyah nonformal dapat diselenggarakan dalam bentuk
pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Alquran, diniyah taklimiyah, atau
bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah informal dapat diselenggarakan
dalam keluarga dan lingkungan. Baik pendidikan diniyah formal, nonformal dan
informal, semuanya itu merupakan kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah
untuk membuka akses yang seluas-luasnya dalam mempelajari agama.
Hemat pemakalah, terdapat kebijakan
baru dalam PP No. 55 tahun 2007 dibandingkan dengan kebijakan yang pernah
terjadi pada masa pendidikan Islam pada masa lalu. Kebijakan baru tersebut
adanya pengakuan kesetaraan atau sederajat hasil pendidikan keagamaan nonformal
dan/atau informal dengan hasil
pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 11 ayat (2),
PP No. 55 Tahun 2007).
Konsekuensi dari kebijakan yang
terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2007 adalah diwajibkan bagi
pihak yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan nonformal bilamana telah
memiliki jamaah (bagi majelis taklim) atau siswa (bagi madrasah diniyah
taklimiyah) yang jumlahnya melebihi dari 15 orang untuk melapor/mendaftar ke
Kantor Departemen Agama (Kantor Kementerian Agama) Kabupaten atau Kota. Langkah ini dilakukan
guna mendapatkan pengakuan yang lebih “formal” pada lembaga pendidikan
nonformal karena sudah mendaftarkan lembaga pendidikan keagamaan nonformal.
Hasil dari langkah ini adalah diperolehnya pengakuan kesetaraan ijazah lembaga
pendidikan keagamaan nonformal setelah lulus uji kompetensi dari satuan
pendidikan yang sudah terakreditasi yang ditunjuk oleh Departemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad
Athiyah. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia,
2003.
Asari, Hasan Asari. Menyingkap
Zaman Keemasan Islam. Bandung: Citapustaka Media, 2007.
Azra, Azyumardi. Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan
Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Cetakan II. Jakarta: Kencana, 2007.
---------------------------.
Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2007.
Dewan Penyusun Ensiklopedi
Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Houve, 2003.
Gibb, H.A.R. dan J.H.Kramers, Shorter Encyclopaedia of
Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Langgulung, Hasan. Pendidikan
Islam Dalam Abad ke 21. Jakarta: PT. Pustaka Alhusna Baru, 2003.
Makdisi, George. The
Rise of Colleges. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
Salinan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007.
Stanton, Charles Michael. Pendidikan
Tinggi Dalam Islam, Terj. Affandi dan Hasan Asari. Jakarta: Logos, 1994.
Suwito dan Fauzan (Ed). Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Cetakan II. Jakarta: Kencana, 2008.
Syalabi, Ahmad. History
of Muslim Education. Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954
Undang-Undang RI No. 20
Tahun 2003. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Yunus, Mahmud. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981.
Wahid, Ramli Abdul. Makalah:
Peran Madrasah Diniyah Dalam Membentuk Karakter Anak Bangsa. 20 Januari
2011