PENDAHULUAN
Pendidikan
dalam suatu negara tentu tidak terlepas dari sejarah sosial bangsa tersebut.
Seperti halnya Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim
dengan keaneka ragaman ras suku dan budayanya, amat kaya akan pertumbuhan dan
perkembangan Pendidkan Islam, mulai dari yang bertarap tradisional seperti
Surau di Sumatra Barat, Rangkang di Aceh, Langgar di Jawa Timur, hingga yang
bertarap modern lengkap dengan manajemen dan sarana-prasarananya yang lengkap
dan canggih, seperti Pondok Modern Gontor, al-Zaitun, bahkan Universitas Islam
Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan lain sebagainya.
Dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas, Negara sudah berupaya memperbaiiki sistem
pendidikan Nasional termasuk di dalmnya adalah Pendidikan Islam, namun sampai
saat ini, keberhasilan itu belum nampak,
justru data yang dirilis oleh Pearson Education (2014) cukup
mencengangakan. “Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40
negara di dunia”. Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan Eduaction
Index ini terdapat empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu
sampai empat menggeser Finlandia ke posisi nomor urut lima yang
pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan
sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan,
(2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia
(ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14),
Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko
(39), dan Indonesia (40)
Kajian berikut akan mengupas
bagaimana pendidikan Islam di Indoensia dalam perspektif Pendidikan Nasional.
Mengingat keneka ragaman rupa wajah pendidikan di indoensia sehingga penulis
hanya membatasi pada kajian singkat sejarah pendidikan Islam di Indonesia,
Institusi Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Islam dan Sistem Penyelenggaraan
Pendidikan Islam.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia
Studi tentang
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari kajian sejarah
masuknya Islam di Indonesia. Ini karena awal munculnya pendidika Islam di Indonesia
terwujud dengan adanya praktek penyebaran agam Islam itu sendiri. Masuk dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia disebabakan dua faktor yang cukup
Dominan. Pertama, letak geografis Indonesia yang berada di persimpangan
jalan Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok. Kedua, Kesuburan
tanah yang menghasilkan bahan-bahan keperlua hidup yang dibutuhkan oleh bangsa
lain, misalnya rempah-rempah[1]
yang akhirnya Indonesia ditinggali oleh para pedagang dari manca negara.
Merujuk pada periodeisasi sejarah
pendidikan Islam di Indonesia yang dibuat oleh Zuhairini, ada 7 fase datangnya Islam
ke Indonesia; fase pengembangan dengan melalui proses adaptasi; fase berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam (proses politik); fase kedatangan orang barat (zaman
penjajahan); fase penjajahan Jepang; Fase
Penjajahan Jepang; Fase Indonesia Merdeka; Fase Pembangunan[2].
Pendikakan Islam
pada fase pertama diawali dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad 7 M/1 H yang disebarkan oleh pedagang
dan muballigh dari Arab di pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya di daerah
Baros.[3].
Interaksi penyebaran Islam kepada penduduk lokal melalui kontak jual beli,
perkawinan, dan dakwah baik secara individu maupun kolektif[4]
dari situlah semacam Pendidikan Islam
berjalan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana, tanpa
terikat oleh formalitas waktu dan tempat tertentu. Materi pelajarannya yang
pertama adalah kalimat Syahadat. Sebab barang siapa yang telah bersyahadat
berarti sudah masuk Islam kemudian secara lambat laun dikembangkan pada materi
rukun iman, rukun Islam terus belanjut pada cara melaksnakan sholat lima waktu,
membaca al-Qur’an dan seterusnya
Pada fase kedua,
yakni masa pengembangan dengan proses adaptasi, pendidikan Islam tersus
berkembang. Mahmud Yunus menggambarkan
pendidikan Islam pada fase ini ditandai dengan terbentuknya sistem langgar atau
surau sebagai pusat studi keIslaman. Dengan dipandu oleh juru dakwah yang
biasanya dikenal dengan sebutan modin atau lebai, pengajian
al-Qur’an dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau pemula
dengan materi pembelajaran pengenalan huruf dan bacaan al-Qur’an pada malam dan
pagi hari sesudah shalat subuh. Kedua, tingkat atas, yaitu dengan penambahan
beberapa pembelajaran seperti pelajaran lagu, qasidah, barzanji, dan tajwid.
Metode yang digunakan ialah dengan cara sorogan dan halaqah[5]
Pada fase ketiga (munculnya kerajaan Islam) potret pendidikan di Indonesia
mulai mengalami kemajuan karena pada fase ini pendidikan Islam mendapat
dukungan yang penuh dari kerajaan, kerajaan Islam yang pertama adalah fase atau
kerajaan Samudera di Aceh yang beridiri pada abad 10 M dengan rajanya yang
pertama Al Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Al Malik Al Shaleh dan
yang terakhir Al Malik Sabar Syah. Sistem pendidikan Islam pada masa ini,
sebagaimana keterangan Ibnu Batutah, sebagai berikut:
1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang Syariat
ialah Fiqh Madzhab Syafi’i.
2. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis
taklim dan halaqah.
3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
Kerajaan Islam
yang kedua di Indonesia dan yang juga mewariskan pendidikan Islam adalah Perlak
di Aceh. Raja yang pertama adalah Sultan Alaudin abad 12M, Raja yang keenam
yang bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin adalah seorang Ulama yang
mendirikan perguruan tinggi Islam. Suatu majlis taklim tingkat tinggi yang
dipruntukkan khusus para murid yang sudah alim. Kitab-Kitab yang dikaji cukup
berbobot seperti Al-Um karya Imam Syafi’i dan beberapa kitab lainnya[7].
Pendidikan Islam
pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M (1399 M) di bawa oleh Maulana Malik Ibrahim bersama keponakannya
yang bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik. Perkembangan Pendidikan Islam
semakin kokoh dengan adanya pimpnan yang diebut Wali Songo. Sistem pendidikan
yang dilakukan oleh para Wali adalah sistem pesanten. Maulana Malik Ibrahim
berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali yang lain adalah
murid dari Maulana Malik Ibrahim yang akhirnya tersebar sampai ke Maluku, Kalimantan
yang di bawa oleh para santri Wali songo[8]
Pada fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan belanda) kondisi
pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak kendala sehingga mengalami
kemunduran yang luar biasa. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanada ke Indonesia
sudah bermotif Ekonomi, Politik, dan Agama. Pondok Pesantren, Masjid, Mushalla
dianggap tidak membantu Belanda. Pesantren dianggap tidak berguna dan rendah
sehingga disebut sekolah desa. Pada tahun 1882 M, Pemerintah Belanda membentuk
satu badan khusus yang di beri nama Priesterraden. Badan ini bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam pribumi. Atas nasehat badan
inilah maka pada tahaun 1905 pemerintah belanada mengeluarkan peraturan yang
isinya orang yang memberikan pengajian harus mintak izin lebih dahulu. Pada
tahun 1925, belanda mengeluarka peraturan yang lebih keta lagi bahwa tidak
semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932 muncul
lagi peraturan yang akan memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang
tidak punya izin atau memeberikan pelajaran yang tidak disukai ole
pemerintah
Wajah pendidikan Islam pada fase penjajahan Jepang mengalami sedikit
kebaikan dibading pada zaman belanda walaupun secara umum terbengkalai karena
murid-murid sekolah hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekrja bakti,
bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah mdrsah-mdrsah
yang berada di pondok pesantren yuang bebas dari pengawasan langsung pemerintah
jepang. Dalam rangka mencari simpati dan dukungan rakyat Indonsia, jepang
memberi beberapa kebaikan terhadap pendidikan Islam, antara lain sebagai
berikut:
1. Pondok pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang
2.
Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya Identik dengan
ajaran Agama
3.
Memberikan izin pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh KH. Wahid Hasyim, Kahjar Muzakir, dan Bung Hatta[9]
Awal fase Indonesia merdeka ditandai dengan Proklamasi pada tanggal 17
Agustsus 1945. Pada awal masa ini kondisi Indonesia masih belum stabil, akan
tetapi perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam cukup besar. Pendidikan
agama saat itu secara formil institusiomal dipercayakan kepada Departemen Agama
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Agama Islam secara umum
mulai diatur pada bulan Desember 1946
melalalui suarat keputusan bersama dua Menteri, yaitu menteri Agama dan menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV sampai Kelas VI SR (Sekolah Rakyat)[10]
Pada fase pembangunan atau zaman Orde Baru, kehidupan sosial, agama, dan
politik diIndonsia mengalami kemajuan yang cukup baik. Hal ini terkait dengan
kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam yang semakin mantap. Pemerintah Orde
Baru betekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya
secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangaun manusia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangaun bidang jasamani dan rohani.
Pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi
pemerintahan dan masyarakat. Dalam sidang-sidang MPR yang menyususn GBHN pada tahun 1973-1978
dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib
di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di semua jenjang pendidikan[11].
B.
Institusi
Pendidikan Islam di Indonesia
Indonesia sebagai
negara yang majemuk, kaya dengan keaneka ragaman suku,
budaya, bahasa, dan adat istiadatnya memiliki berbagai bentuk Institusi
Pendidikan. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi
tiga Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan
Pendidikan Islam In-Formal.
1.
Pendidika Formal
Dalam UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa
“Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[12] Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian
tentang lembaga penddikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut
diadakan ditempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjnagan dalam
kurun waktu tertentu, berlangsung mulai pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan
aturan resmi.[13]
Haidar Nawawi
mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang
kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis
dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjlanakn
tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[14]
Di Indonesia yang
termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a.
Raudhatul Athfal
(RA) atau Bustanul Athfal, atau nama lain sesuai dengan pendiriannya
b.
Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI)
c.
Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), atau nama lain yang
setingkat dengan lembaga ini
d.
Madrasah Aliyah
(MA) atau Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama lain yang setingkat
dengan lembaga ini
e.
Perguruan Tinggi Islam
antara lain adalah sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik Yayasan
atau organisasi keIslaman
2. Pendidikan
Non Formal
Sesuai dengan UU
No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang[15].
Ramayulis mengartikan pendidikan
Non-Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.[16]
Denagn kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-formal adalah
pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa mengikuti
peraturan yang baku dari pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang
dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Di dalam PP No. 55 tahun 2007
menyebut majelis taklim, pengajian
kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan
keagamaan Islam.
Beberapa diantara
pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh masyarakat dan masih
tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
a.
Masjid, Mushalla,
Langgar, Surau dan Rangkang
b.
Madrasah Diniyah
c.
Majlis Ta’lim,
TPQ, Taman Pendidikan Seni al-Qur’an, Jama’ah wirid
d.
Kursus-kursus KeIslaman
e.
Badan-badan
Pembinaan Rohani
f.
Badan-Badan
Konsultasi keagamaan
3.
Pendidikan Informal
Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[17].
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah sekelompok orang yang
memiliki pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada
di lingkungannya[18].
Pengertian ini berarti menegakkan bahwa yang masuk adalam ketagori pendidi Islam
in formal adalah pendidika Islam yang diberikan oleh orang tua kepada
keluarganya dan juga pendidikan Islam dilingkunangan masyarakat seperti majlis
ta’lim yang ada di masjid-masjid atau mushola.
Praktek pendidikan
Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau muatan
kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya
bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan
evaluasi.
C.
Lembaga
Pendidikan Islam
Secara etimologi,
lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain,
badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan
atau melakukann suatu usaha.[19]
Istilah lembaga pendidikan Islam, secara terminologi ada banyak pendapat yang
menjelaskan pengertiannya. Ada yang memaknai lembaga pendidikan Islam secara
fisik dan ada yang mengartikannya secara abstrak. Sebagaimana yang dikutip oleh
Prof. Dr Ramayulis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lembaga pendidikan
adalah suatau sistem peratuaran yang bersifat mujarrad suatu konsepsi
yang terdiri dari Kode-kode, Norma-norma, Ideologi-ideologi dan sebagainya,
baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.[20]
Pendapat Hasan Langgulung inilah pendapat yang mencakup keduanya (Fisik dan
Non-fisik) dan cukup menggambarakan tentang realitas lembaga pendidikan Islam
di Indonesia
Ada berbagai
bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain adalah pondok pesantren
dengan berbagai variannya, sekolah Islam atau Madrasah dengan berbagai jenjang
dan modelnya, dan perguruan tinggi dengan berbagai program studinya.
1.
Pondok Pesantren
Pesantren
merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Berdasarkan
Pendataan DEPAG pada tahun 1984-1985, pondok pesantren tertua di Indonesia
adalah pondok pesantren Jan Tampes II berdiri pada tahun 1062 di Pamekasan
Madura[21].
Sekalipun kebenarannya masih diragukan tapi pesantren merupakn lembaga
pendidikan Islam Tertua di Indonesia.
Istilah pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata Pondok
mungkin berasal dari bahasa arab “Funduq”
yang berarti Hotel Atau Asrama[22].
Sedangakan Pesantren menurut Mastuhu adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan najaran Islam
dengan menekankan oentingnay moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari[23]
Pesantren
merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Keberadaan
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah
tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam dan telah banyak berperan
dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren
menunjukkan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menjalankan fungsinya
sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin)
sehingga dari pesantren lahir kader ulama, guru agama, mubaligh, tokoh politik
dan lain-lain yang dibutuhkan masyarakat.
Pada sejarah
berdirinya pesantren, awalnya pesantren didirikan dengan misi khusus, yaitu:
pertama, sebagai wahana kaderisasi ulama’ yang nantinya diharapkan mampu
menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat; kedua, membentuk jiwa santri
yang memiliki kualifikasi moral dan religius; ketiga, menanamkan
kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada
tuhan, bukan hanya untuk meraih prestasi kehidupan dunia.[24]
Kemampuan pesantren untuk tetap survive hingga kini tentu merupakan kebanggaan
tersendiri bagi umat Islam, terutama kalangan pesantren. Hal ini sangat
beralasan, sebab ditengah derasnya arus
modern dan globalisasi, dunia pesantren masih konsis dengan kitab kuning[25]
dan konsep pendidikan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tradisional.
Begitu pula dengan pelajaran kitab-kitab kuning (klasik) merupakan salah satu
elemen dasar dari tradisi pesantren.
Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat religius-teosentris yang
merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis, sehingga semua aktivitas pendidikan
dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan.
Seiring dengan
perkembangan zaman dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta arus informasi global, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami
perubahan dalam rangka penyesuaian, khususnya menyangkut kurikulum dan metode
serta teknik pembelajarannya. Aktifitas belajar bukan hanya diposisikan sebagai
media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan, karena itu proses belajar
mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak
mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman[26].
Padahal, seiring dengan pergeseran zaman
santri membutuhkan formalitas, sebut saja Ijazah serta penguasaan bidang
keahlian lain yang dapat mengantarnya agar mampu menjalani kehidupan. Di era
modern, santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja, tapi
perlu pula dilengkapi dengan keahlian yang relevan dengan dunia kerja modern.
Hal demikian
inilah yang kemudian mengharuskan pendidikan di Pondok Pesantren mengalami
perubahan dan pengembangan khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya.
Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren
sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan
menjadi empat tipe, yakni:
a. Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memilki
sekolah keagamaan (MI, MTs, MA. Dan PT. Agama Islam) maupun yang juga memilki
sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum).
b. Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski
tidak menerapkan kurikulum nasional.
c. Pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrsah diniyah.
d. Pesantren yang hanya sekedar menjadi
tempat pengajian.[27]
Pesantren jenis yang
ketiga dan keempat ini masih mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang
telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum atau metode pembelajarannya,
sehingga disebut Pondok Pesantren Salafiyah. Berbeda dengan
Pondok pesantren jenis pertama, Pesantren ini tidak
menggunakan kurikulum pemerintah dan
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik atau yang
disebut kitab Kuning. Metode
pembelajarannya pun menggunakan metode khas pesantren tradisional yaitu sorogan,
bandongan dan halaqoh.[28]
Kebanyakan santrinya belum mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
dasar, sehingga keluaran/lulusan Pesantren Salafiyah tersebut tidak mendapatkan
Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah sebagaimana lulusan pendidikan
formal yang dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi atau untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
Berdasarkan Pendataan
pada tahun 2011/2012 Jumlah pondok pesantren di Indoensia mencapai 27.230 pondok pesantren yang tersebar di
sekuruh Indonesia Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah
seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624
(28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten
3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi
Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah,
dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok
Pesantren Kombinasi[29]
2.
Sekolah Islam
Sekolah Islam
merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam. Awal munculnya Sekolah Islam
berawal dari adanya sekelompok masyarakat yang berlatar belakang agama yang
mempuntai gagasan membuka sekolah dengan sistem “sekolah belanda” dengan
tambahan pelajaran Agama. Pemrakarsa Utama dalam modernisasi Pendidikan Islam
adalah organisasi mordernis Islam seperti Jami’at Khair, Al-Irsyad, dan
Muhammadiyah.[30]
Dalam
perkembangannya, pendirian pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir
semua organisasi pergerakan Islam seperti Nahdlotul Ulama’ (NU) dengan
Pendidikan Maarif tahun 1926 di Jawa timur, Persatuan Islam (Persis), Persatuan
Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, Matalaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah
(Perti) dengan corak dan ciri khas masing-masing. Sekolah yang mereka dirikan
merupakan sekolah umum dengan memasukkan pengajarah Agama dan menambahkan nama Islam
di belakangnya sehingga menjadi SD Islam, SMP Islam, dan SMA Islam. Selain itu,
ada yang menggunakan nama organisasi penyelenggara seperti SD Muhammadiyah, SMP
Maarif NU, SMA Al-Irsyad. Ada pula yang menggunakan perlambang berbahasa Arab,
misalnya SD Al-Falah, SMP Futuhiyah. Dan belakngan ini muncul nama SDIT
(Sekolah Dasar Islam Terpadu) SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu).[31]
Belakangan ini muncul sekolah Islam dengan model fullday atau Boarding
Scholl.
Perkembangan
Sekolah Islam saat ini mendapat Animo dari masyarakat yang cukup besar. Hal ini
terjadi sebagai imbas dari kekurangan yang ada pada Madrasah atau Sekolah.
Banyak masyarakat menilai bahwa pendidikan di madrasah kurang profesioanl dalam
biadang materi umum sehingga tertinggal dengan sekolah, sementara sekolah umum
kurang dalam memberikan layanan pendidikan Agama. Sekolah Islam muncul sebagai
alterntif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Agama yang baik dan
pendidikan umum yang profesional.
3.
Perguruan Tinggi Islam
Pendirian lembaga
pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan
pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga
diri kaum muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. Bagi Indonesia, kebutuhan
Pendidikan tinggi Islam sudah sanagat mendesak untuk mendidik tenaga ahli dalam
bidang Ilmu agama Islam dan sebagai pusat pengembanagan intelektualisme agama Islam.
Keinginan tersebut berhasil direalisasi di Minangkabau dengan didirikannya
sekolah Tinggi oleh persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang yang
diresmikan pada tanggal 9 Desember 1940[32].
Sekolah Tinggi Islam ini merupakan Sekolah Tinggi Islam yang pertama kali
berdiri di Indonesia dan menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Islam yang lain
baik negeri maupun swasta.
Undang-Undang No
20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasioanl pasal 19 ayat 1 menyatakan “Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”.
dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perguruan
tinggi Islam adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah (SMA/MA)
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang berciri khas Islam.
Saat ini
Pendidikan Tiggi Islam (PTI) di Indonesia baik yang negeri maupun yang swasta
terus berkembang dengan berbagai program studi dan jurusan. Saat ini Pergurun
Tinggi Islam Swasta se-Indonesia berjumlah 272 lembaga sementara Perguruan
Tinggi Islam Negeri berjumlah 52.
D.
Sistem
Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem adalah
suatu gagasan atau prinsip yang bertauatan yang tergabung menjadi suatu
keseluruhan[33].
Dengan demikian Sistem pendidikan bisa difahami sebagai himpunan gagasan atau
prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertauatan yang tergabung menjadi suatu
keseluruhan[34].
Dalam mengkaji
sistem pendidikan dalam suatu negara tidak terlepas dari falasafah suatu bangsa
tersebut. Ketika negar-negara barat mempunya falsafah hidup rasionalis,
materialis, dan pragmatis maka sistem pendidiksan yang dibuat oleh barat tentu
bercorak rasionalis, pragmatis, dan materialis. Falsafah bangsa Indonesia
adalah Pancasila. Dengan demikian maka sistem pendidikan Nasional Indonesia
(Pendidikan Islam) bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem
pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.[35]
Penyelenggaraan
Sistem Pendidikan di Indonesia sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang
SISDIKNAS kemudian dijabarkan ke dalam Peratuaran Pemerintah lalu
dioprasionalkan dalam Peratuaran
Meneteri. Pendidikan Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Islam
sehingga sistemnye mengikuti Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan keagamaan menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No: 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan. Bab I, Pasal 1, Ayat 2 berbunyi, “pendidikan keagamaan adalah
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan
yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan / atau menjadi
ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”.
Sistem
Penyelenggaraan Pendidikan Islam In-Formal dan Non-formal memang disebut dalam
Peratuarn Pemerintah akan tetapi dalam pelaksaannya berjalan secara alami tanpa
terikat dengan peraturan yang baku dan diselenggrakan sesuai dengan situasi,
kondisi dan tujuan penyelenggaraannya.
Adapun sistem
penyelenggaran pendidkan Islam formal di Indonesia sebagai bagian dari
pendidikan nasionaltentu tidak terlepas dari Sistem Pendidikan Nasional.
Penyelenggaraan Pendidikan Islam mengacu pada delapan Standar pendidikan
nasional yang sudah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32. tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410)
1.
Tujuan Pendidikan Islam
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Tujuan
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional maka tujuan
pendidikannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Untuk mewujudkan tujuan
pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan profil kualifikasi kemampuan
lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan.
Berikut ini adalah Standar
Kompetensi Lulusan yang ditetapka pemerintah melalui Permendikbud No 54 tahun
2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
SD/MI/SDLB/PAKET A
|
|
Dimensi
|
Kualifikasi kemampuan
|
Sikap
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
|
Pengetahuan
|
Memiliki
pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
|
Keterampilan
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.
|
SMP/MTS/SMPLB/PAKET B
|
|
Dimensi
|
Kualifikasi kemampuan
|
Sikap
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
|
Pengetahuan
|
Memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.
|
Keterampilan
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.
|
SMA/MA/SMALB/PAKET C
|
|
Dimensi
|
Kualifikasi kemampuan
|
Sikap
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
|
Pengetahuan
|
Memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena
dan kejadian.
|
Keterampilan
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.
|
2.
Kurikulum
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian
tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara
yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran[36].
Kurikulum
yang diberlakukan untuk tingkat MI - MA mulai tahun ajaran 2013/2014 adalah
kurikulum 2013 yang mana kurikulum tersebut telah memenuhi kedua dimensi
tersebut. Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut:
a. mengembangkan keseimbangan antara
pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja
sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik;
b. sekolah
merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana
dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat
dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
c. mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan
masyarakat;
d. memberi
waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan
keterampilan;
e.
kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi
inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
f. kompetensi inti kelas menjadi unsur
pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua
kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi
yang dinyatakan dalam kompetensi inti;
g. kompetensi
dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced)
dan memperkaya (enriched) antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan
(organisasi horizontal dan vertikal)[37].
Struktur Kurikulum MI
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
|||||||
Kelompok A
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
|||||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
5
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
8
|
9
|
10
|
7
|
7
|
7
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
5
|
Matematika
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
|
6
|
Ilmu Pengetahuan
Alam
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
|
7
|
Ilmu Pengetahuan
Sosial
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
|
Kelompok B
|
||||||||
8
|
Seni Budaya dan Prakarya
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
|
9
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
Jumlah Alokasi Waktu
Per-Minggu
|
34
|
36
|
40
|
43
|
43
|
43
|
Struktur Kurikulum Mts
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
||||
Kelompok A
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
3
|
3
|
3
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
6
|
6
|
6
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
3
|
3
|
3
|
|
5
|
Matematika
|
5
|
5
|
5
|
|
6
|
Ilmu Pengetahuan Alam
|
5
|
5
|
5
|
|
7
|
Ilmu Pengetahuan Sosial
|
4
|
4
|
4
|
|
8
|
Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
4
|
|
Kelompok B
|
|||||
1
|
Seni Budaya
|
4
|
4
|
4
|
|
2
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
4
|
4
|
4
|
|
3
|
Prakarya
|
2
|
2
|
2
|
|
Jumlah Alokasi Waktu
Per-Minggu
|
46
|
46
|
46
|
Struktur
Kurikulum MA
Peminatan
Matematika dan Ilmu Alam
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
||||
Kelompok A
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
4
|
2
|
2
|
|
5
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
|
6
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
|
7
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
|
Kelompok B
|
|||||
1
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
|
3
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
|
Jumlah Jam Kelompok A dan B
Per-Minggu
|
33
|
31
|
31
|
||
Kelompok C Peminatan
|
|||||
Matematika
|
3
|
4
|
4
|
||
Biologi
|
3
|
4
|
4
|
||
Fisika
|
3
|
4
|
4
|
||
Kimai
|
3
|
4
|
4
|
||
Mata Pelajaran Polihan dan
Pendalaman
|
|||||
Pilihan Lintas Minat dan/atau
pendalaman minat
|
6
|
4
|
4
|
||
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
|
51
|
51
|
51
|
Struktur Kurikulum MA
Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
||||
Kelompok A
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
4
|
2
|
2
|
|
5
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
|
6
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
|
7
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
|
Kelompok B
|
|||||
1
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
|
3
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
|
Jumlah Jam Kelompok A dan B
Per-Minggu
|
33
|
31
|
31
|
||
Kelompok C Peminatan
|
|||||
1
|
Geografi
|
3
|
4
|
4
|
|
2
|
Sejarah
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Sosiologi
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Ekonomi
|
3
|
4
|
4
|
|
5
|
Mata Pelajaran Polihan dan
Pendalaman
|
||||
6
|
Pilihan Lintas Minat dan/atau
pendalaman minat
|
6
|
4
|
4
|
|
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
|
51
|
51
|
51
|
Struktur Kurikulum MA
Peminatan Ilmu Bahasa
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
||||
Kelompok A
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
4
|
2
|
2
|
|
5
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
|
6
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
|
7
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
|
Kelompok B
|
|||||
1
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
|
3
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
|
Jumlah Jam Kelompok A dan B
Per-Minggu
|
33
|
31
|
31
|
||
Kelompok C Peminatan
|
|||||
1
|
Bahasa dan Sastra Indonesia
|
3
|
4
|
4
|
|
2
|
Bahasa dan Sastra Inggris
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Bahasa dan Sastra Bahasa Asing
Lainnya
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Antropologi
|
3
|
4
|
4
|
|
5
|
Mata Pelajaran Polihan dan
Pendalaman
|
||||
6
|
Pilihan Lintas Minat dan/atau
pendalaman minat
|
6
|
4
|
4
|
|
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
|
51
|
51
|
51
|
Struktur Kurikulum MA
Peminatan
Ilmu-Ilmu Keagamaan
Mata
Pelajaran
|
Alokasi
waktu Belajar Per-minggu
|
||||
Kelompok A
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
1
|
Pendidikan Agama Islam
|
||||
1
|
Al-Qur’an Hadits
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Aqidah Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Sejarah kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
|
4
|
Bahasa Arab
|
4
|
2
|
2
|
|
5
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
|
6
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
|
7
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
|
Kelompok B
|
|||||
1
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
|
2
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga,
dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
|
3
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
|
Jumlah Jam Kelompok A dan B
Per-Minggu
|
33
|
31
|
31
|
||
Kelompok C Peminatan
|
|||||
1
|
Tafsir – Ilmu Tafsir
|
2
|
3
|
3
|
|
2
|
Hadits - Ilmu Hadits
|
2
|
3
|
3
|
|
3
|
Fiqih – Ushul Fiqih
|
2
|
3
|
3
|
|
4
|
Ilmu Kalam
|
2
|
2
|
2
|
|
5
|
Akhlaq
|
2
|
2
|
2
|
|
6
|
Bahasa Arab
|
2
|
3
|
3
|
|
Mata Pelajaran Pilohan dan
Pendalaman
|
|||||
Pilihan Lintas Minat dan/atau
pendalaman minat
|
6
|
4
|
4
|
||
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
|
51
|
51
|
51
|
3.
Proses Pembelajaran
Proses Pembelajaran
Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar[38] Proses
Pembelajaran pada satuan pendidikan Islam diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan Islam
harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta
penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan
Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
a. dari pesertadidik
diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu;
b. dari guru sebagai
satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;
c. dari pendekatan
tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
d. dari pembelajaran
berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
e.
dari pembelajaran
parsial menuju pembelajaran terpadu;
f.
dari pembelajaran
yang menekankan jawaban tunggal menuju
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
g.
dari pembelajaran
verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
h.
peningkatan dan
keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan
mental (softskills);
i.
pembelajaran yang
mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar
sepanjang hayat;
j.
pembelajaran yang
menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan(ing ngarso sung tulodo),
membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
k.
pembelajaranyang
berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
l.
pembelajaran yang
menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan
di mana saja adalah kelas.
m. Pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pembelajaran; dan
Sasaran
pembelajaran mencakup engembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan
yang dielaborasi untuk setiap satuan
pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan
(proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas“ menerima,
menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh
melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi,
mencipta. Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan
lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik
antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu
diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry
learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya
kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah(project
based learning).[40]
4.
Pembiayaan
Dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggran 20
% dari APBN untuk pendidikan. Sehingga ada bantuan bagi sekolah berupa BOS, BSM, Blok Grand, DAK dan
laian-lain. Pendanaan Pendidikan Islam formal menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. UU Sisdikna
Mengamanatkan “
a.
Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
b. Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945[41].
5.
Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang cukup
penting dalam pendidikan Islam. Baik mulai dari tingkat dasar samapai tingkat
tinggi. untuk penilaian lembaga pendidikan formal tidak MI/MTs/MA/yang
sederajat telah diatur dalam Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar
Penilaian
Penilaian pendidikan sebagai proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar
peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis
portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir
semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian
nasional, dan ujian sekolah/madrasah[42].
Ruang lingkup Penilaian hasil belajar
peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi
relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan
penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi
muatan/kompetensi program, dan proses[43].
Mekanisme penilaian mulai jenjang Sekolah
Dasar sampai Menengah diatur sebagai berikut:
a.
Penilaian otentik
dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.
b.
Penilaian diri
dilakukan oleh peserta didik untuk tiap kali sebelum ulangan harian.
c.
Penilaian projek
dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau tema pelajaran.
d.
Ulangan harian
dilakukan oleh pendidik terintegrasi dengan proses pembelajaran dalam bentuk
ulangan atau penugasan.
e.
Ulangan tengah
semester dan ulangan akhir semester, dilakukan oleh pendidik di bawah
koordinasi satuan pendidikan.
f.
Ujian tingkat
kompetensi dilakukan oleh satuan pendidikan pada akhir kelas II (tingkat 1),
kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5), dengan
menggunakan kisi-kisi yang disusun oleh Pemerintah. Ujian tingkat kompetensi
pada akhir kelas VI (tingkat 3), kelas IX (tingkat 4A), dan kelas XII (tingkat
6) dilakukan melalui UN.
g.
Ujian Mutu Tingkat
Kompetensi dilakukan dengan metode survei oleh Pemerintah pada akhir kelas II
(tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI
(tingkat 5).
h.
Ujian sekolah
dilakukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
i.
Ujian Nasional
dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[44].
KESIMPULAN
Dari urian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa :
1. Sejarah perjalana
pendidikan Islam di Indonesia berawla dari pertama kali Islam disebarkan di Indonesia,
perkembangan pendidikan Islam terus berjalan mulai dari masa kerajaan hingga
masa sekarang
2. Institusi
Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang, In-Formal (pendidikan keluarga dan lingkungan)
3. Pondok Pesantren
merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Saat ini
Pondok Pesantren berkembang menjadi 4 tipe.
a. Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional
b. Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan
ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional
c.
Pesantren yang
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrsah diniyah.
d.
Pesantren yang
hanya sekedar menjadi tempat pengajian
4. Madrasah merupakan
lemabaga pendidikan Islam yang diakui bagian dari pendidikan Nasional. Jenjang Madrsah tediri dari RA. MI, MTs, dan
MA
5. Sekolah Islam
merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam yang di prakarsi oleh
tokoh-tokoh atau organisasi modernis Islam Indonesia
6. Pergurun Tinggi Islam
merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan dari tingkatan MA atau SMA
7. Sistem
penyelnggraan pendidikan Islam In Ormal dan Non formal berjelan sesuai dengan
kebutuhan dan situasi masyarakat tertentu, tidak terikat dengan waktu dan
evaluasi yang ditentukan oleh pemerintah
8. Sistem
penyelnggraan Institusi Pendidikan Islam Formal mengikuti ketentuan yang
ditetapak oleh pemerintah akan tetapi ada ciri khas tersendiri yang dibuat oleh
lembaga
DAFTAR
PUSTAKA
_________, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:
Raja Grafindo, 1996
_________, Panorama
Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. Jakarta: Diva Pustaka, 2004
___________, Sejarah
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992
Analisis dan
Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman
Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012 pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
Barnadib, Imam, Filsafat
Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan, Yogyakarta:
Studying, 1982
Chirzin,
M.Habib, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren
dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES
Dawam, Ainur
Rofiq, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, Listafariska,
2005
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Putaka, 1990
Fathoni,
Muhammad Kholid, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional paradigma Baru, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2005
Haedari, Amin dkk,
Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD Press, 2004
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999
Lampiran
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 912 tahun 2013 tentang
Kurikulum Madrasah 2013 mata Pelajaran PAI dan Bhs. Arab
Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah.
Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah
Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
Mastuhu, Dinamika
Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Muhibbuddin,
“Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren”
Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005
Mukhtarom,
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam Pada
Periode Klasik dan Pertengahan Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
Ramayulis, Ilmu
Pendidikanm Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006
Taufiq, Sholla Dkk Madrasah Lebih Baik Madrasah The Best Choive, Jakarta: Direktorat
Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama Ri, 2014
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,
Bandung : Pustaka Setia, 1998
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia;
Jakarta: Balai Pustaka, 1984 Cet. VII
Yunus, Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hida Karya Agung, 1985
Zuhairini Dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
[1] Zuhairini
Mukhtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 130
[2] Ibid,,. 7-8
[3] Ibid,,.
133
[4] Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985), 14
[5] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 22-23
[6] Zuhairini
Dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 212
[7] Ibid.,
136
[8] Ibid.,
137-146
[9] Ibid., 150-152
[10] Ibid., 154
[11] Ibid., 155
[12] Undang-Undang
NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 11
[13] Ramayulis, Ilmu
Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, . 282
[14] Ibid., 282
[15] Undang-Undang
NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat Pasal
12
[16] Ramayulis, Ilmu
Pendidikanm Islam 283
[17] Undang-Undang
NO 20 tahun 2003 ... Pasal 13
[18] Ramayulis, Ilmu
..., 281
[19] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Putaka, 1990), cet iii, 572
[20] Ramayulis, Ilmu
..... 277
[21] Hasbullah
, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 41
[22] Ibid, 40
[23] Mastuhu, Dinamika
Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 55
[24] Ainur Rofiq
Dawam, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, (Listafariska,
2005), 6
[25] Amin Haedari
dkk, Masa Depan Pesantren.
(Jakarta: IRD Press, 2004), 37
[26] Muhibbuddin,
“Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren”
Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005, 36.
[27] Amin Haedari,
Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. (Jakarta: Diva Pustaka,
2004),16.
[28] M.Habib
Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren
dan Pembaharuan. ( Jakarta: LP3ES), 87-88.
[29] Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok
Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun
Pelajaran 2011-2012 pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[30] Muhammad
Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [paradigma Baru], (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2005), 70
[31] Ibid,,,. 71
[32] Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya,
1992), 117
[33] DG Ryan, System Analisis in Educational Planning dalam
Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI,
hlm. 3
[34] Imam
Barnadib, Filsafa6 Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan (Yogyakarta:
Studying, 1982), hlm 19
[35] Ramayulis, Ilmu
Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, 37
[36] Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah. 1
[37] Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah. 3
[38]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 1
[39] Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. 1-2
[40] Ibid,,,. 3
[41] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 46
[42] 1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang
dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input),
roses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2. Penilaian diri merupakan
penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk
membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Penilaian berbasis portofolio
merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses
belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di
dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4. Ulangan merupakan proses yang
dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara
berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk
memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5. Ulangan harian merupakan
kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik
setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan tengah semester
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan
pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator
yang merepresentasikan seluruh KD pada
periode tersebut.
7. Ulangan akhir semester
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh
indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8. Ujian Tingkat Kompetensi yang
selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh
satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada
tingkat kompetensi tersebut.
9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi
yang selanjutnya disebut UMTK
merupakan kegiatan pengukuran
yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi.
Cakupan MTK
meliputi sejumlah Kompetensi
Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10. Ujian Nasional yang
selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang
dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional
Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11. Ujian Sekolah/Madrasah merupakan
kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada
UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. ( Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian
Pendidikan)
[43] Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
[44] Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan