PENDAHULUAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai kurikulum pendidikan yang
bagus dan stabil setidaknya di sana ada balancing antara kurikulum yang lama
dan kuri kulum yang baru yang mampu memberi motivasi pelajarnya agar bisa
meningkatkan standar mutu pendidikannya di kemudian hari.
Sejarah kurikulum yang di adopsi dari terminologi latin dari kata curere
dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1920, ditinjau dari asal katanya
kurikulum bermakna lari. Dalam kontek pendidikan di Indonesia, kurikulum kerap
berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan
Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap.
Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang
telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri
prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu
lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang
berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga
akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu
pengembangan kurikulum.
Fungsi kurikulum pada dasarnya adalah program kegiatan yang tercantum
dalam kurikulum yang akan mempengaruhi atau menentukan bentuk pribadi murid
yang diinginkan.
PEMBAHASAN
A. Historisitas Kurtikulum
Dalam kontek penelusuran sejarah, sebagaimana termaktub
dalam kajian para ahli kurikulum maka disebutkan bahwa termenologi kurikulum
berasal dari bahasa Yunani. Dimana pada awalnya terminologi ini digunakan untuk
sebuah ajang olah raga yakni sebuah jarak yang harus ditempuh oleh para pelari.
Istilah ini juga menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang
pelari dalam even lari estafet. Istilah kurikulum ini mulai dikenal di Amerika
Serikat sejak tahun 1920, ditinjau dari asal katanya kurikulum berasal dari
bahasa latin dari kata curere yang artinya lari[1].
Dengan demikian maka kurikulum pada awalnya mempunyai pengertian course of race
(arena pacuan) Secara tradisional kurikulum mempunyai pengertian yaitu mata
pelajaran atau arena pelatihan untuk suatu produksi pendidikan[2].
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mempunyai kurikulum pendidikan yang bagus dan stabil serta memberi motivasi
pelajarnya agar bisa meningkatkan standar mutu pendidikannya di kemudian hari.
Seperti halnya sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap
ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga
kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap[3].
Dalam perjalanan
sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan
2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang
sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Tahun 1950 ada kurikulum SD yang disebut “Rencana
Pelajaran Terurai”. Pada tahun 1960 muncul “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah
Dasar”. Tahun 1968 dikenal “Kurikulum 1968″ pengganti “Kurikulum 1950″. Lalu
tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” diganti dengan pelajaran matematika
modern. Tahun 1975 disebut “Kurikulum 1975″ yang fokus pada pelajaran
matematika dan Pendidikan Moral Pancasila serta Pendidikan Kewarnegaraan. Pada
tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif”
(CBSA)[4].
Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum
1994″. Tahun 2004 dikenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK), yang dipelesetkan
jadi Kurikulum Berbasis Kebingungan.
Terakhir tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan” (KTSP), entah berapa tahun lagi ada kurikulum baru yang membuat
bingung semua pihak. Siswa kita jangan dijadikan “kelinci percobaan”.
B. Ragam Definisi Kurikulum
Ada banyak definisi tentang kurikulum, setidaknya
dalam banyak literature yang penulis temukan kurikulum diartikan sebagai: suatu
dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki
oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung
arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau
rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan
mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti
kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus
dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari
peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap
proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para
pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum
sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi
tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang
dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas
pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau
pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Nasution mengatakan bahwa
kurikulum : suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar
mengajar di bawah bimbingan dan tanggunga jawab sekolah atau lembaga pendidikan
beserta staf pengajarnya. Atau dengan bahasa lain adalah peristiwa-peristiwa
yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kulikuler yang
formal juga kegiatan yang tak formal[5].
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli
kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap
sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Nana Sudjana menyebutkan
bahwa Kurikulum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya
pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang
harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan
masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau disekesaikan anak didik untuk memperoleh
ijasah. Juga disebutkan kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam
bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah.
Dalam proses tersebut ada dua subjek yang terlibat yakni guru dan siswa. Siswa
adalah subjek yang dibina dan guru adalah dubjek yang membina[6].
Sementara Nana Syaodih Sukmadinata menyitir bahwa kurikulum
adalah merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses
kegiatan belajar mengajar, kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori
yaitu teori kurikulum. Selain sebagai bidang studi kurikulum juga sebagai
rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan
bagian dari sistem persekolahan[7].
Selain itu Mashur Muslich menguraikannya lebih rinci
yakni 20. UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidika Nasional Pasal 1 ayat
19 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu[8].
Menurut Wina Sanjaya Pengertian kurikulum sebagai mata
dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukakan oleh Robert M.
Hutchins yang menyatakan : The curriculum should include grammar, reading,
the toric and logic, and mathematic and addition at the secondary level
introduce the great books of the western world. Bahwa Pengertian kurikulum
sebagai pengalaman belajar mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh
kegiatan yang dilakukan siswa baik diluar maupun di dalam sekolah asal kegiatan
tersebut berasa di bawah tanggung jawab guru (sekolah)[9].
Sementara Kunandar dalam kamus Webster menyebutkan
bahwa kurikulum Kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran di sekolah atau
mata kuliah di perguruan tinggi yang harus di tempatkan untuk mencapai suatu
ijasah[10].
Definisi yang dikemukakan diatas menggambarkan
pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa
yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak
akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut
pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan
itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana
tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah
sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi
mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan.
Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara
kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli
kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan
latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum seperti “planned activities”,
“written document”, “curriculum as intended”, “curriculum as
observed”, “hidden curriculum”,”curriculum as reality”, “school
directed experiences”, “learner actual experiences”[11]
menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di
kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh mewakili pandangan ini
dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended
learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned,
and with the result of instruction[12].
Pengertian yang menggambarkan definisi kurikulum dalam
arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses
pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa
yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan.
Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk
mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum
untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll
menamakannya sebagai “the scientific curriculum” dan menyimpulkan sebagai
“clouded and myopic”.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi
suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa
yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan
peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa
dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan
apa yang dialami oleh orang tua mereka.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan
kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena
hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan
intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini.
Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus
berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad
keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan
pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus
lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu
kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi
anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk
oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan
mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya,
kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal
mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai
individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya,
masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang. Sebagaimana di ungkapkan oleh
Hasan Langgulung bahwa kurikulum semestinya mencakup pengalaman pendidikan,
kebudayaan, social, olah raga dan kesenian baik yang berada di dalam ataupun di
luar kelas yang di kelola oleh sekolah[13].
C. Proses Kurikulum dalam Pendidikan
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya
pendidikan. Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada
kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern
dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang
tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian
di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan
secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit
pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik
antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini
menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan.
Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat
dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk
akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga
pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah
lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang
dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat
memberikan “academic accountability” dan “legal accountability” berupa
kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan
akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka
ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah
yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji
kurikulum lembaga pendidikan tersebut[14].
Dalam pengertian “intrinsic” kependidikan maka
kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan
yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum.
Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang
diinginkan kurikulum[15].
Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah
didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas,
di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan
kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan
sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang
dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas
apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu
lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi
peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak
boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme
atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan
pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari
berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat.
Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah
oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi
seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan
tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema
masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah
kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang
diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum
merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa
menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda[16].
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan
menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah “construct” yang dibangun
untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi
berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian
kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat
mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi
sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan
dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang
didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah
kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa
sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan
dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan[17].
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan
diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang
pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional
adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai
melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun
maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun
yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak
mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan
menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu
kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga
bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa[18].
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga
pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak
sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam
pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda
dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun
dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta
didik[19].
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan memperhatikan[20]:
a)
Peningkatan iman dan takwa;
b)
Peningkatan akhlak mulia;
c)
Peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat peserta didik;
d)
Keragaman potensi daerah dan
lingkungan;
e)
Tuntutan pembangunan daerah dan
nasional;
f)
Tuntutan dunia kerja;
g)
Perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;
h)
Agama;
i)
Dinamika perkembangan global; dan
j)
Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek
pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan
pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya,
seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah
memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini
dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada
setiap jenjang pendidikan pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan
juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar
pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan
sentralistis ke sistem pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai
kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran,
cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki
kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan
seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini
harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga
pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum[21].
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia
masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang
dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis
dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan
dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang
memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih
mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan
teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan,
bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang
“penting”. Alokasi waktu ini adalah “construct”[22]
para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat.
Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di
masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang
diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain
yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti
undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang
seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi
tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari
diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan
global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada
posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi
ketiga yaitu kurikulum merupakan “construct” yang dikembangkan untuk membangun
kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang
diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk
mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini
maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi
baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi
dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus
dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9
tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa.
Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk
mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka
kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang
diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki
rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga,
cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta
kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan
teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar
atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs[23].
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru
yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah
maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik
mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di
jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka
kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah
saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia
lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang
lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian
keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model
penjurusan untuk kurikulum SMA[24].
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang
berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada
pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi
berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini
menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan
kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu
atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan
tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas
kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja.
Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin,
taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam
kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999
mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PENUTUP
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai kurikulum pendidikan yang
bagus dan stabil serta memberi motivasi pelajarnya agar bisa meningkatkan
standar mutu pendidikannya di kemudian hari.
Sejarah kurikulum mulai dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1920,
ditinjau dari asal katanya kurikulum berasal dari bahasa latin dari kata curere
yang artinya lari. Kurikulum dalam kontek pendidikan di Indonesia kerap berubah
setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia
hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok
:
· Prinsip – prinsip umum :
relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas;
· Prinsip-prinsip khusus :
prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan
isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar,
prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip
berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Fungsi kurikulum pada dasarnya adalah program kegiatan yang tercantum
dalam kurikulum yang akan mempengaruhi atau menentukan bentuk pribadi murid
yang diinginkan.
Posisi sentral kurikulum menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan
kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara
peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan
pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan
bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa
interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasbullah. Otonomi
Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Hasibuan, Lias. Kurikulum
dan Pemikiran Pendidikan. Jakarta :
GP Press, 2010.
Islam Kiri : Pendidikan
dan Gerakan Sosial, Jurnal Edukasi, Volume III,
Nomor 1 (Juini 2009).
Imron, Ali. Kebijakan
Pendidikan di Indonesia (Proses, Produk dan Masa depannya). Jakarta
: Bumi Aksara, 2002.
Kunandar. Guru
Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses
dalam Sertifikasi Guru. Jakarta : PT. Raga Grafindo Persada, 2007.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta
: Pustaka Al-Husna, 1987.
Muslich, Mashur. Seri
Standar Nasional Pendidikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar
Pemahaman dan Pengembangan. Bandung : Bumi Aksara, 2008.
Nata, Abuddin. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005.
Nata, Abuddin. Metodologi
Studi Islam. Jakarta : PT Rajda
Grafindo Persada, 2000.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi
Aksara, 1994.
Nasution, S. Kurikulum
dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.
Oliva. Developing
the Curriculum. New York: Harper
Collins Publishers, 1992.
Pusat Kurikulum. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta :
Balitbang Depdiknas, 2002.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta :PT. Raga
Grafindo Persada, 2005.
Sam M. Chan, Tuti T. Sam. Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Sudjana, Nana. Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Jakarta : Sinar Baru Algesindo, 2005.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek Tahun. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Syukur, Fatah. Teknologi
Pendidikan. Semarang : RaSAIL Media Group, 2008.
Tilaar, H.A.R. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004.
Tyler, R.W. Basic
Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: University of Chicago
Press, 1975.