Foto: Pencetus Teori Kognitif, Jean Piaget |
PENDAHULUAN
Telah
kita lalui bahwa secara garis besar teori belajar di antaranya ada teori
behavioristik dan teori kognitif. Teori behavioristik menekankan pada perilaku
dan stimulus juga pembiasaan pembiasaan perilaku tertentu. Dalam hal ini teori
piaget akan mengembangkan dari teori Gestalt
yang mana teori gestal juga masih menggunakan hewan untuk uji coba. Namun dalam
Teori Piaget ini telah menggunakan manusia sebagi subjek dalam penelitianya.
Dalam
teorinya Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai proses gradual dari
segi intelektual dari kongkrit menuju abstark. Jean Piaget adalah seorang psikolog developmental
karena penelitianya mengenai tahap-tahap perkembangan kepribadian serta
perubahan umur yang mempengaruhi kemempuan belajar individu. Dia adalah seorang
psikolog yang mempunyai teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi
atau proses berfikir.
Pertumbuhan
intelektual tidaklah kuantitatif melainkan kualitatif. Apabilah psikolog lain
menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu
mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka piaget menekankan
penyelidikan lain. Jean Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuain
adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi
berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk didalam individu akibat
interaksi dengan lingkungan[1].
Dalam
pembahasan teori Jean Piaget diarahkan pada konsep teoritis utama, tahap perkembangan,
kondisi optimal untuk belajar, pendapat piaget tentang pendidikan, kajian teori
kognitif dalam pandangan pendidikan islam dan aplikasi teori piaget.
PEMBAHASAN
A. Konsep Teoritis
Utama
Teori
kognitif Jean Piaget sangat kompleks dalam analisisnya. Dalam hal ini piaget
mengunakan istilah-istilah untuk menjelaskan kondisi kondisi tertentu yang
dalam hal ini kemudian kita gunakan sebagai konsep teorits utama dalam terori
kognitif piaget. Istilah istilah ini untuk mempermudah dalam memahami kajian
peaget tentang teori kognitifnya. Konsep teoritis utama tersebut yaitu:
Intelegensi, Skemata, Asimilasi dan Akomodasi, Ekulibrasi Interiorisasi[2].
1.Intelegensi
Dalam
kajian piaget prilaku yang cerdas adalah tidakan yang menimbulkan kondisi yang
mendekati optimal untuk kelangsungan hidup organisme. Dengan kata lain,
intelegensia memungkinkan organisme untuk menangani secara efektif apa yang
menjadi tantangan atau sesuatu yang dihadapi secara efektif. Karena organisme
dan lingkungan selalu berubah, maka dibutuhkan tindakan yang cerdas dalam
menghadapi. Suatu tindakan cerdas cenderung menciptakan kondisi yang optimal
untuk organisme bisa survive dalam segala kondisi yang dialami.
Dalam
pandangan piaget intelegensi adalah ciri bawaan
yang sebab tindakan cerdas bisa berubah dan berkembang sesuai dengan
kematangan biologis dan gesekan dari lingkungan dan pengalaman organisme.
Intelegensi juga bagian integral dari organisme karena organisme terus mengarah
kepada kondisi yang kondusif bagi dirinya untuk kelangsungan hidupnya. Namun
manifestasi kecerdasan tersebut dalam praktiknya diakui oleh piaget bisa
berbeda beda sesuai dengan kondisi organisme berada.
Teori
intelegensi Piaget juga sering disebut dengan genetic epestemologi (epistemology genetik). Karena teori ini
berusaha melacak bagaimana perkembangan kemampuan intelektual anak. Istilah
genetic disini yang dimaksud adalah mengacu pada pertumbuhan develommental
bukan hanya warisan biologis. Lebih lanjut juga akan di bahas tentang potensi
intelektual anak.
2. Skemata
Istilah
Schemata dalam kajian Piaget menunjuk
pada tindakan bayi dalam waktu perkembangan awal atau potensi umum bagi bayi
karena saat bayi baru lahir sedikit gerakan refleks. Potensi dalam bertindak
seperi, mengisap, menatap atau memegang inilah yang disebut skema. Tapi disini skema
bukan sekedar manifestasi suatu tindakan saja. Sebagai contoh skema memegang
bukan hanya refleksi memegang melainkan dianggap sebagi dari struktur kognitif
yang memungkinkan tindakan memegang bisa dimungkinkan.
Suatu
tindakan memegang tertentu tidak boleh hanya didiskripsikan dengan respons
sepesifik memegang. akan tetapi prilaku memegang tersebut adalah manifistasi
partikular skema ini kemudian dinamakan content (isi). Karena skema merupakan
potensi umum dan isi mendiskripsikan kondisi kondisi yang berlaku selama
terjadi manifestasi potensi umum.
Skema
adalah istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap
sebagai elemen dalam struktur organisme. Skema yang ada dalam organisme akan
menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik. Skema dapat muncul
sebagai prilaku yang jelas, seperti dalam kasus reflek memegang, atau dapat
muncul dengan samar. Manifestasi skema yang tidak jelas dapat dikatakan
berfikir.
Maka
dengan jelas cara anak menghadapi lingkunganya akan berubah ubah sesui dengan
pertumbuhan anak. Agar terjadi interaksi lingkungan-organisme, schemata yang
tersedia untuk anak harus berubah.
3. Asimilasi dan
akomodasi
Proses
merespons lingkungan sesuai dengan struktur kognitif dinamakan asimilasi yakni
sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan
fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan
oleh organisme. Misalnya jika skema mengisap, menatap, menggapai dan memegang
sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialamai anak akan
diasimilasikan ke sekema itu. Saat struktur kognitif berubah, maka anak mungkin
bisa mengasimilasi aspek aspek yang berbeda dari lingkungan fisik.
Sedangkan
akomodasi adalah proses untuk menghasilkan mekanisme perkembangan intelektual.
Jadi asimilasi saja tidak cukup maka disini ada proses lagi yaitu akomodasi.
Modofikasi ini sama halnya dengan proses belajar. Dengan kata lain, kita
merspon dunia dengan pengalaman kita sebelumnya (asimilasi). Tetapi setiap pengalaman
memuat aspek aspek yang berbeda dengan pengalaman yang kita alami sebelumnaya.
Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kognitif kita (akomodasi).
Sebagai
contoh proses sifat atau prilaku asimilasi dan akomodasi ini sebagai berikut. Misalnya
si bayi umur 4 bulan disuguhkan mainan yang sebelumnya belum pernah ditemui.
Dalam arti mainan itu adalah hal yang baru bagi si bayi. Maka si bayi harus
mengakomodasi lebih banyak cara dengan cara mengakomodasi visualnya dengan cara
melihat mainan tadi. Kemudian harus menjangkaunya, menyesuaikan gerakan tangan
dengan dirinya, mengatur jari jari untuk menggapai, mengakomodasi ototnya
berdasarkan berat dan ringanya mainan.
Tindakan
memegang menggapai melihat adalah tindakan akomodasi atau modiofikasi struktur
bayi sesuai dengan lingkungan. Pada saat yang sama memegang mainan juga
membutuhkan asimilasi.
Sebelumnya
bayi itu pernah memegang benda lain baginya itu adalah mempunya struktur yang
terbentuk tentang benda tersebut. Ketika melihat mainan baru maka si bayi akan
mencoba bentindak dengan pengalaman sebelumnya. Karena itu dapat kita katakan
si bayi mengasimilasikan objek ke dalam kerangka yang dimilikinya.
Dengan
catatan hal yang baru dalam benda yang di jumpai bayi ia akan lebih banyak
melibatkan akomodasi. Sedangkan hal yang sudah pernah dialami tidak banyak
terlalu melibatkan banyak akomodasi karena bendah yang sudah pernah dialami
telah terstruktur dalam kognitifnya. Asimilasi dan akomodasi juga bisa disebut
invariant fungsi karena hal itu terjadi di semua level perkembangan
intelektual.
4. Ekuilibrasi
Ekulibrasi
adalah sejenis penyesuaian atau adaptasi bagi anak dalam hal lingkungan baru
atau pengalaman baru. Karena dengan hal yang baru tersebut dengan si anak
terdapat sesuatu yang belum seimbang dengan struktur konnitifnya maka disini
disitilahkan dengan ekulibrasi. Secara singakat ekulibrasi dapat didefinisikan
dorongan terus menerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrium.
Konsep
ekuilibrasi sama dengan konsep hedonisme Freud atau aktualisasi dari Maslow.
Ekuilibrasi adalah konsep motivasional yang menyertai asimilasi dan akomodasi.
Akomodasi menyebabkan perubahan struktural mental sehingga aspek lingkungan
yang baru selalu dijumpai lagi. Dan disini terjadi ketidakseimbangan maka
disini aspek motivasional terjadi.
5. Interiorisasi
Interiorisasasi
adalah penurunan dari ketergantungan pada lingkungan fisik dan meningkatnya
penggunaan struktur kognitif. Struktur kognitif anak semakin luas. anak anak akan mampu merespons
situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak tergantung situasi yang sedang
dialami di lingkunganya. Misalnaya meraka mampu berfikir yang sebelumnaya
mereka tidak dapat memikirkanya. maka kelak mampu mengakumulasikan dari
pengalaman pengalamanya.
Jadi
interiorsasi adalah proses yang denganya tindakan adaptif menjadi makin
tersamar. Dalam kenyataanya operasi dapat dikatakan sebagai tindakan
interiorisasi. Perilaku yang adaptif yang pertama tama menggunakan skema
sensorimotor dan perilaku yang kelihatan, berkembang sampai dimana titik oprasi
formal dipakai dalam proses adaptif. Sedangkan penggunaan operasi formal adalah
tingkat paling tinggi penggunaan intelektual.
Piaget
meyakini bahwa pertumbuhan intelektual selalu berkembang dari apa yang telah
diakomodasi oleh anak dari kecil. Kemampuan untuk berkembang anak bervariasi
tidak bisa disamakan satu sama lain. Namun urutan perkembangan selalu sama
hanya saja dalam level umurnya bisa berbeda[3].
B.
Tahapan tahapan perkembangan
Secara rinci tahapan perkembangan menurut Piaget dibagi menjadi empat
yaitu: Sensori Motor Stage, Preoprasional Thingking, Concrete Operations dan
Formal Operations[4].
1. Sensorimotor Stage
Masa ini dari lahir sampai dua tahun. Tahap sensori motor dicirikan oleh
tidak adanya bahasa. Karena anak anak tidak menguasai kata untuk suatu benda,
objek tidak akan eksis jika tidak dihadapai secara langsung. Interaksi dengan
lingkungan adalah interaksi sensorimotor dan hanya berkaitan dengan saat itu.
Anak anak pada saat itu bersifat egosentris. Segala sesuatu hanya dilihat
berdasarkan kerangka dirinya sendiri. Dan dunia psikologis yang ada hanyalah
dunia yang dihadapi. Pada ahir tahap ini anak mengembangkan kepermanenan objek.
Artinya anak anak menyadari bahwa objek tetap ada walaupun mereka tidak
melihatnya[5].
2. Pre-oprasional
Thingking (Praoperasional)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua
dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan
bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran
(Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan
secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental
yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar
menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata.
Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri,
seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau
mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda[6].
Menurut Piaget, tahapan
pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua
sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan
bahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan
gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis.
Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak
dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu
sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di
sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif
orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat
ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Concrete Operations
(Operasional Konkrit)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga
dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai
ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Berikut tahapanya[7]: Pertama, pengurutan. Kemampuan
untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya,
bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil. Kedua, Klasifikasi kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian
benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan
bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam
rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa
animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Ketiga, Decentering. Anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh
anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi. Keempat, Reversibility. Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda
dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan
cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah
sebelumnya.
Kelima, konservasi. Memahami bahwa kuantitas, panjang,
atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau
tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi
cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain. Keenam, Penghilangan sifat Egosentrisme. Kemampuan untuk melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara
yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan
boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan
boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam
tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka
itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan
ke dalam laci oleh Ujang.
4. Formal Operations (Operasional Formal)
Tahap operasional formal adalah
periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi
yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti
cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam
bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari
faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis,
kognitif, penalaran moral, perkembangan Psiko-seksual, dan perkembangan sosial.
Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini,
sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan
tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
C.
Kondisi optimal untuk belajar
Sedikit
banyak telah diulas bahwa setiap anak mempunyai potensi berkembangnya
intelektual dengan beberapa tahapnya. Dalam hal ini bagaimana anak dalam
kondisi optimal dalam belajar menurut pandangan Peaget. Bahwa potensi potensi
yang dimiliki anak dalam otaknya sudah terasimilasi dan terakomodasi mulai
sejak si anak lahir. Saat struktur kognitif makin luas, lingkungan fisik akan
menjadi teraktualisasi dengan lebih baik. Menurut Piaget, kegagalan pengetahuan
sebelumnya untuk mengasimilasi pengalaman akan menyebabkan akomodasi.
Pengalaman harus cukup matang agar memicu perkembangan kognitif. Pertumbuhan
akan terjadi hanya karena ada asimilasi. Jadi, kondisi optimal anak bisa
belajar karena sudah ada pengalaman sebelumnya.
D.
Pendapat Piaget Tentang Pendidikan
Menurut
Piaget pengalaman pendidikan harus dibangun diseputar struktur kognitif Pembelajar.
Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung mempunyai struktur
kognitif yang sama. Walaupun dari latarbelakang yang sama tidak menutup
kemungkinan selalu sama bisa juga berbeda maka dari itu dibutuhkan materi yang
berbeda. Apalagi anak yang dari kultur yang sama jelas membutuhkan materi yang
berbeda pula. Jika materi pendidikan tidak bisa diasimilasikan ke struktur anak
maka tidak akan berguna bagi anak. Materi pendidikan harus dimulai dari yang
diketahui anak. Bagian yang sudah diketahui akan diasimilasikan anak dan bagian
yang belum diketahuiakan menimbulkan modifikasi dalam struktur anak. Modifikasi
ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar.
Menurut
Piaget pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si
terdidik sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan
intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini guru harus mengetahui level
fungsi struktur siswa . maka kita melihat baik paradigma Kognitif maupun Behafioris
telah mendapatkan kesimpulan yang sama mengenai pendidikan yakni pendidikan
harus diindividualisasikan. Piaget mendapatkan kesimpulan ini dengan menyadari
bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dan materi pendidikan harus
sesui dengan struktur kognitif anak[8].
E.
Kajian kognitif Piaget dalam pandangan Pendidikan
Islam
Pengertian belajar menurut al
Ghazali adalah: serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku dan ilmu pengetahuan sebagai hasil dari pengalaman individu.
Sedangkan menurut Piaget adalah suatu proses perolehan pengetahuan yang dibentuk
oleh individu itu sendiri karena individu melakukan interaksi secara terus
menerus dengan lingkungan[9].
Dalam pandangan al-Ghazali dan Piaget
terdapat persamaan dan perbedaan. Adapun persamaanya al Ghazali dan Piaget
sepakat bahwa belajar adalah merupakan suatu proses, dilakukan dengan
memperoleh suatu perubahan, dan dengan belajar seseorang akan mendapatkan
pengetahuan. Bahwa belajar adalah merupakan proses aktif pelajar. Al Ghazali
dan Piaget mengakui adanya struktur kognitif (adanya daya ingat). Seorang yang
belajar tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru sama
sekali dan tidak diketahuinya, kecuali dengan memperoleh serta mengingat
kembali pengetahuan-pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya[10].
Sedangkan perbedaan antar tokoh ini
adalah arah dan orientasi belajar al Ghazali lurus kepada Allah, namun tidak
mengabaikan masalah duniawiyah. Sedangkan Piaget lebih menonjolkan aspek
kognitif, yaitu memajukan pengetahuan seseorang dari satu tahap kurang cukup ke
tahap pengetahuan yang lebih cukup sesuai perkembangan kognitif. Belajar
menurut al Ghazali dapat dilakukan dengan membersihkan jiwa dari hal-hal yang
tercela dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji, sehingga seorang murid dapat
menerima atau menyerap ilmu. Sedangkan Piaget dilakukan dengan beradaptasi
dengan lingkungan, yaitu melalui asimilasi dan akomodasi.
Belajar menurut al Ghazali dikaitkan
dengan pandanganya tentang mencari ilmu yang melibatkan unsur jiwa, di samping
indera dan akal. Sedangkan menurut Piaget, belajar didasarkan pada perkembangan
pemikiran yang mirip dengan perkembangan biologis, yang selalu beradaptasi dan
mengorganisasikan lingkungan sekitar. Bahwa pemikiran al Ghazali bersifat
religius rasional yang lebih berorientasi pada al Qura’an dan Hadits, dan juga
termasuk aliran konservatif yang cenderung bersifat keagamaan. Sedangkan
pemikiran Jean Piaget bersifat rasional, yang mendasarkan pada metode umum
mendapatkan data empiris dan penggunaan model-model logis dalam menafsirkan
data.
Implikasi konsep belajar al Ghazali
dan Piaget dalam pembelajaran dapat di kombinasika bahwa kegiatan aktif dalam
proses belajar perlu ditekankan. Bahkan kegiatan murid secara pribadi dalam
mengolah bahan, mengerjakan soal, membuat kesimpulan, dan merumuskan suatu
rumusan dengan kata-kata sendiri adalah kegiatan yang sangat dipelukan agar
murid sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru adalah menyediakan alat-alat
dan mendorong agar murid aktif.
Agar proses belajar murid dapat
dikembangkan dan juga salah pengertian murid dapat dibantu, sangat mutlak bahwa
murid diberi keleluasaan untuk mengungkapkan apa yang menjadi pemikiran,
gagasan dan penangkapannya akan suatu bahan atau hal. Dengan membiarkan murid
mengungkapkan pemikirannya maka seorang guru dapat membetulkannya jika terjadi
kesalahan dan mendukung serta meneguhkannya jika apa yang diungkapkan baik dan
benar. Dengan kata lain seorang guru tidak boleh mendoktrin suatu kebenaran,
dan membiarkan murid untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan yang
tidak mereka ketahui, sebagai refleksi pengetahuan mereka.
F. Implementasi teori Piaget dalam
pembelajaran sebagai berikut :
1. Memfokuskan pada proses berfikir
atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran
jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai
pada jawaban tersebut.
2. Pengenalan dan pengakuan atas
peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan
aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi
(ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan
untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3. Tidak menekankan pada praktek -
praktek yang diarahkan untuk menjadikan
anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
4. Penerimaan terhadap perbedaan
individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak
berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya
dengan kecepatan yang berbeda[11].
PENUTUP
Bahwa
teori piaget mengkaji dan menelitai tahap perkembangan anak secara komprehensif
dan akurat. Walaupun dalam penelitainya abanayk yang menyagngsiakan akan tetapi
dalam perjalananya dapat penguat penguat teori. Karena piaget menggunakan
ketiga anaknya saja dalam penelitianya.
Teori
kognitif jean piaget sangat kompleks dalam analisisnya. Dalam hal ini piaget
mengunakan istilah-istilah untuk menjelaskan kondisi kondisi tertentu yang
dalam hal ini kemudian kita gunakan sebagai konsep teorits utama dalam terori
kognitif piaget. Istilah istilah ini untuk mempermudah dalam memahami kajian
peaget tentang teori kognitifnya. Konsep teoritis utama tersebut yaitu:
Intelegensi, Skemata, Asimilasi dan Akomodasi, Ekulibrasi Interiorisasi.
Secara rinci tahapan
perkembangan menurut piaget dibagi menjadi empat yaitu: Sensori Motor Stage,
Preoprasional Thingking, Concrete Operations dan Formal Operation.
Sedangkan Dalam
pandangan al-Ghazali dan piaget terdapat persamaan dan perbedaan. Adapun
persamaanya al Ghazali dan Piaget sepakat bahwa belajar adalah merupakan suatu
proses, dilakukan dengan memperoleh suatu perubahan, dan dengan belajar
seseorang akan mendapatkan pengetahuan. Bahwa belajar adalah merupakan proses
aktif pelajar. Al Ghazali dan Piaget mengakui adanya struktur kognitif (adanya
daya ingat). Seorang yang belajar tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang
sesuatu yang baru sama sekali dan tidak diketahuinya, kecuali dengan memperoleh
serta mengingat kembali pengetahuan-pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akromah, Saidatul , Belajar
Menurut Al Ghazali Dan Piaget; Study Komparasi Pemikiran Al-Ghazali dan Piaget,
Dalam; http://library.walisongo.ac.id diakses
pada 26/05/2013
Hergenhahn,
B.R. & Mathew H. Olson, Theories of Learning, Terj: Tribowo
B.S., (Kencana Prenada Media Group: Jakarta),
2008.
Dalyono, M.,
Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta: Jakarta, 1997.
Winarto, Joko, Teori perkembangan kognitif Jean Piaget, dalam
Woolfolk, Anita,
Educational Psychology Active Learning Edition, terj. Helly
Prajitno Soetjipto, (Pustaka Pelajar):
Yogyakarta, 2009.