PENDAHULUAN
Suatu profesi
membutuhkan landasan pengetahuan teoritis yang menunjang praktek. Profesi
pendidikan yang didalamnya terdapat proses pembelajaran mengandung kerangka
pengetahuan teoritis yang didasarkan pada hasil pengetahuan yang disusun dari
hasil penelitian dan pengalaman. Hubungan antara teori dan praktek menjadi
semakin mantap dengan matangnya kajian keilmuan tertentu termasuk ilmu pendidikan.
Teori terdiri
dari konsep bangunan (konstruk),
prinsip, dan proposisi yang memperkokoh khasanah ilmu pengetahuan. Sedangkan
praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam memecahkan permasalahan
nyata dalam aktivitas menjalankan profesi. Praktek juga memberi kontribusi
kepada pengetahuan teoritis melalui informasi yang didapat dari pengalaman. Pelaksanaan
proses pembelajaran, hakekatnya adalah menghubungkan secara konkret dalam merealasikan
antara konsep teoritis dalam wujudnya
yang praktis.
Teori adalah konsepsi
abstrak dari hasil observasi dari hal –
hal yang bersifat empirik yang kemudian dilakukan generalisasi. Teori termasuk
di dalamnya adalah ringkasan pernyataan yang melukiskan dan menata sejumlah
pengamatan empirik. Rumusan inilah yang dipakai sebagai pegangan dalam mengembangkan
kajian-kajian ilmu pengetahuan. Sementara itu belajar mengandung konsep adalah
perubahan yang relatif permanen atau perilaku potensial sebagai hasil dari
pengalaman.[1]
Dalam kesempatan
ini akan dijelaskan teori belajar yang dipelopori oleh seorang pakar psikologi
pendidikan berkebangsaan Amerika yang bernama lengkap Edward Lee Thorndike. Yang selanjutnya disebut
dengan Thorndike saja.
PEMBAHASAN
- Biografi Edward Lee Thorndike
Thorndike lahir
di Wiliamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan meninggal di Montrose, New
York, pada tanggal 10 Agustus 1949, adalah tokoh lain dari aliran
fungsionalisme Kelompok Columbia. Setelah ia menyelesaikan pelajarannya di
Harvard, ia bekerja di Teacher’s College of Columbia di bawah pimpinan James
Mckeen Cattell. Di sinilah minatnya yang besar timbul terhadap proses belajar,
pendidikan, dan intelegensi. Pada tahun
1898, yaitu pada usia 24 tahun, Thorndike menerbitkan bukunya yang berjudul Animal Intelligence, An Experimental Study
of Association Process in Animal. Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik
dan psikolog. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen di Conecticut tahun 1895, S2
dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898.
Buku-buku yang ditulisnya antara lain berjudul: Educational Psychology
(1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence
(1911), A teacher’s Word Book
(1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order
(1940)[2]
- Teori Thorndike
Karya
Thorndike yang cukup monumental diantaranya adalah bukunya yang berjudul
“Animal intelligence, An experimental study of association process in
Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap
tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang
mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike
yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenaranya
adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu. Teori belajar thorndike menjelaskan
belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai
secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa menumbuhkembangkan asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut
stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan
eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau
berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang.
Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai
hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih
respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials)
dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Disinilah sejumlah
pakar menyatakan teori Thorndike ini dengan sebutan Instrumental Conditioning.
Bentuk paling dasar dari belajar
hakekatnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning”. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau
teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi
sumbangan teoritis yang cukup besar di dunia pendidikan inilah maka ia
dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan[3].
Percobaan Thorndike yang terkenal
dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam
sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop
yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Disinilah ditemukan konsep
bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan
stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons
lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat dilukiskan dengan skema sebagai
berikut:
S R
S1 R1 dst
Dalam percobaan tersebut apabila
di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya
dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah
menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari
ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang
lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh
kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dalam
membuktikan teorinya Thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang
lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana kandang tersebut terdapat
celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makanan yang
berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila
seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang
tersebut. mula-mula kucing tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia
menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang kucing ini melakukan respon
atau tindakan dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari
kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga
menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada.
Thorndike
melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang
sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemukan jalan keluar membutuhkan waktu yang lama dan
pastinya mengitari kandang dengan jumlah yang banyak pula, akan tetapi karena
sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam
menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan
jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang ia pegang tindakan
ini sehingga kucing tadi dalam keluar untuk mendapatkan makanan tidak lagi
perlu mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan tetapi
kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk
makan.
Thorndike
memplokamirkan teorinya dalam belajar ia mengungkapkan bahwasanya setiap
makhluk hidup itu dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus
dan respon. Dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan
respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang
berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan
respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan[4].
Dalam teori trial
and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini
dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme
ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau dapat
juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya di setiap stimulus itu pasti
ditemukan respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menelurkan
perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan
disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara
tindakan-tindakan yang paling cocok adalah itu. Selama yang telah dilakukan
dalam menanggapi stimulus dan situasi baru. Dengan demikian dalam teori ini
pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau
situasi baru itu sangat penting. Dalam kondisi yang demikian seseorang atau
organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus
menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau
respon terhadap stimulus.
- Hukum-Hukum
Belajar
Dalam mendiskusikan hukum-hukum belajar yang
diteorikan oleh Thorndike mengandung tiga konsep utama yakni Hukum kesiapan (Law
of Readiness), Hukum Latihan (Law of Exercise) dan
Hukum Akibat (Law of Effect).[5]
Pertama, Hukum
kesiapan “Law of Readiness”
Dalam belajar peserta
didik harus dikondisikan dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar
harus dalam keadaan yang baik dan siap. Agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka
seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik dan psikis. Siap fisik
seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa mengganggu kualitas
konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis
adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa
dan lain-lain.
Disamping
sesorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan
dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang mendasarinya.
Menurut
Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada hukum kesiapan ini,
diantaranya: pertama, jika ada
kecenderungan untuk bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa
puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain. Kedua, jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi
ia tidak mau melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia
akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Dan Ketiga, jika belum ada
kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka hal inipun akan
menimbulkan. Akibatnya, ia juga akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasannya. [6]
Hukum Kesiapan (law
of readiness), memiliki implikasi bahwa semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Teori
koneksionisme[7] ini menyatakan bahwa
belajar adalah suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara
kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa
senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung
mengerjakannya[8]. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.
Kedua, Hukum Latihan”Law of Exercise”
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan
memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan
percobaan dan latihan yang berulang-ulang. Adapun latihan atau pengulangan
prilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, ini merupakan bentuk
peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut agar tindakan tersebut
semakin kuat (Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat
mentrasfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long
time memory dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan
yang didapat tidak mudah hilang dari benaknya.
Adapun dalam percobaan Throndike pada seekor
kucing yang lapar yang ditaruh dalam kandang, pertama-tama kucing tadi
membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui pintu kandang tersebut dan untuk
menemukan pintu tersebut membutuhkan pecobaan tingkah laku yang berulang-ulang
dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mendapatkan tingkah laku yang
cocok, sehingga kucing tadi untuk keluar tidak membutuhkan waktu yang lama.
Prinsip utama belajar adalah
latihan (pengulangan), karena itu jika guru sering memberi latihan (S) dan
siswa menjawabnya (R), maka prestasi belajar siswa tentang pelajaran tersebut
akan meningkat. Thorndike menyatakan bahwa pengulangan tanpa ganjaran tidak
efektif, karena asosiasi S dan R hanya diperkuat jika diiringi ganjaran.[9] Jadi
hukum latihan ini mengarah pada banyaknya pengulangan,yang biasa disebut drill.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan,
tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau
dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah
ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
Dalam hal ini,
hukum latihan mengandung dua hal: pertama, The Law of Use:
hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada
latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu. Dan Kedua, The Law of
Disue: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi
bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya
yang melemahkan hubungan tersebut[10].
Ketiga, Hukum Akibat “Law of Effect”
Setiap organisme memiliki respon
sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan situasi yang baru, apabila suatu
organisme telah menentukan respon atau tindakan yang melahirkan kepuasan dan kecocokan
dengan situasi maka hal ini pasti akan di pegang dan dilakukan sewaktu-waktu ia
dihadapkan dengan situasi yang sama. Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan kepuasan
dalam menghadapi situasi dan stimulus maka respon yang seperti ini aka
ditinggalkan selama-lamanya oleh pelaku. Hal ini terjadi secara otomatis bagi
semua binatang (otomatisme).
Hukum belajar
ini timbul dari percobaan thorndike pada seekor kucing yang lapar dan ditaruh
dalam kandang, yang ditaruh makanan diluar kandang tersebut tepat didepan pintu
kandang. Makanan ini merupakan effect positif atau juga bisa dikatakan bentuk
dari ganjaran yang telah diberikan dari respon yang dilakukan dalam menghadapi
situsai yang ada.
Thorndike
mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika
ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of
Effect ini terjadi pada tindakan seseorang dalam memberikan punishment
atau reward [11].
Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang
peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori
Thorndike ini biasanya juga disebut teori koneksionisme karena dalam
hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana disini terjadi hubungan antara
tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah
laku tersebut mendatangkan hasilnya (Effect). Thorndike
berkeyakinan
bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku
pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang
tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari
apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Hukum ini
menunjukkan bahwa jika suatu hubungan dapat dimodifikasi seperti hubungan
antara stimulus dengan respon dan hubungan tersebut diikuti oleh peristiwa yang
diharapkan maka kekuatan hubungan yang terjadi semakin meningkat. Sebaliknya jika kondisi
peristiwa yang tidak sesuai mengikuti hubungan tersebut, kekuatan hubungan yang
terjadi makin berkurang.
Koneksi antara
kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah,
tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya,
ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Selanjutnya Thorndike menambahkan
hukum tambahan sebagai berikut:[12]
·
Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial
dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum
memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
·
Hukum Sikap ( Set/ Attitude). Hukum ini
menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada
dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
·
Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of
Element). Hukum ini
mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus
tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon
selektif).
·
Hukum Respon by Analogy. Hukum ini
mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah
dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum
pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin
banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
·
Hukum perpindahan Asosiasi (
Associative Shifting). Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari
situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap
dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru yang bermanfaat dan
membuang sedikit demi sedikit unsur lama yang tidak bermanfaat[13].
Revisi Hukum
Dalam perjalanan penyampaian
teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain bahwa :
1.
Hukum latihan ditinggalkan karena
ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus
respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu
diperlemah.
2.
Hukum akibat direvisi. Dikatakan
oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah
hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.
Syarat utama terjadinya hubungan
stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus
dan respon.
Disini juga
ditambahkan bahwa teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of
training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Ini adalah perkembangan teorinya
berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
- Prinsip-Prinsip Belajar Thorndike
Pada saat
seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan.
Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun
menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon
atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang
dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan
respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua
dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
Dalam diri
setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan
respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong
masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur
yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan
yang diinginkan.
Orang cenderung
memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila
seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami
ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama
karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi tersebut
seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
- Aplikasi Teori Thorndike terhadap
Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam menerapkan teori Thorndike (aliran behavioral) adalah
ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:[15] Mementingkan
pengaruh lingkungan. Mementingkan bagian-bagian, Mementingkan peranan reaksi,
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon, Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya,.
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan dan Hasil
belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati, serta kesalahan harus
segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Dimana
perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang
sesuai, mendapat penghargaan negatif. Dalam hal ini, evaluasi atau penilaian
didasari atas perilaku yang tampak/kelihatan.[16]
Penerapan teori
behavioristik Thorndike yang salah dalam
suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran
yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa
Aplikasi
Teori Thorndike dalam pembelajaran siswa
mengandung nilai praktek prosedur pembelajaran sebagai berikut: Pertama, Sebelum guru dalam kelas mulai
mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak
disuruh duduk, reward dan punishment sehingga memberikan motivasi
proses belajar mengajar yang rapi, tenang dan sebagainya. Kedua,
Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau
sistem drill. Dan Ketiga, Guru
memberikan bimbingan, pemberian hadiah, dan pujian untuk menumbuhkan efek yang strategis bagi peserta didik.[17]
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Metode Thorndike
ini sangat cocok untuk perolehan
kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan
komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan
untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa,
suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
- Behaviorisme Dalam Perspektif Islam
Tentang perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar
berwujud konkrit terutama yang dapat diamati, Islam menjelaskan dalam ilmu hadits sesuai dengan
pengertiannya; tasydid bil halqi, wal ikraru bil lisan, wal arkanu bil arkan,
maksudnya ilmu tanpa amal akan sia-sia belaka, karena tidak cukup hanya dengan
kecerdasan akal dan kecerdasan emosional semata akan tetapi juga yang lebih
penting adalah bukti nyata.
Firman
Allah SWT dalam al-Qur’an :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُون
Artinya
: “Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu
mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak memahaminya”.[18]
Ajaran islam diharapkan dapat mengkaji perilaku dengan
cara mempertimbangkan jiwa dan badan, perilaku manusia hanya merupakan
interpretasi dari kejiwaan manusia. Jadi tidak hanya dari satu aspek saja. Yang
diperkuat dengan pendapat dari M. Ramli, yang terdapat dalam al-qur’an surah
al-maidah ayat 3 yaitu :
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ
Artinya dalam aliran behaviorisme, terujinya suatu
kejiwaan manusia dengan suatu eksperimental, observasi dan uji coba memang yang
dilakukan oleh thorndike adalah benar karena tanpa uji coba kita tidak bisa
menilai seseorang, dan pengkajian seharusnya dimulai dengan rumusan menurut
Allah. Seperti firman Allah :
ôQr& óOçFö6Å¡ym br& (#qä.uøIè? $£Js9ur ÄNn=÷èt ª!$# tûïÏ%©!$# (#rßyg»y_ öNä3ZÏB óOs9ur (#räÏGt `ÏB Èbrß «!$# wur ¾Ï&Î!qßu wur tûüÏZÏB÷sßJø9$# ZpyfÏ9ur 4 ª!$#ur 7Î7yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès?
Artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan
( begitu saja ), sedang Allah belum mengetahui ( dalam kenyataan ) orang –
orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia
selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengeahui
apa yang kamu kerjakan”.[19]
Di dalam islam ada yang disebut dengan ujian, dalam
firman Allah :
cÎ) #x»yd uqçlm; (#às¯»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$#
Artinya : “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata”.[20]
Thorndike mempelajari terbentuknya perilaku manusia
berdasarkan konsep stimulus dan respon, yang berarti perilaku manusia sangat
terkondisi oleh lingkungan. Satu – satunya motivasi yang mendorong manusia
bertingkah laku adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Konsep ini
mengisyaratkan bahwa ketika manusia dilahirkan, ia tidak membawa bakat apa –
apa dan mengingkari potensi alami manusia. Aliran behaviorisme menolak
determinan perilaku manusia, karena manusia berkembang atas dasar stimulasi
dari lingkungannya.
Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki
kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, oleh karena itu aliran ini
memiliki kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memiliki
jiwa kemauan dan kebebeasan untuk menentukan pilihannya sendiri.
Dalam hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia
sebagai makhluk hedonis, padahal manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi
pada Tuhannya dengan tulus ikhlas dan penuh kesadaran. Pandangan ini mengangkat
derajat manusia ke tempat yang teramat tinggi. Ia seakan-akan pemilik akal budi
yang hebat serta kebebebasan penuh untuk berbuat sesuatu yang dianggap baik dan
sesuai dengan dirinya.
Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai
keunggulan dari aliran behaviorisme dalam menelaah konsep manusia yang
dikaitkan dengan salah satu fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat
mengubah nasib dirinya sendiri.Seperti firman Allah SWT pada :
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur
“ Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya;
dan sekali-kali tidak ada pelindung mereka selain Dia”.[21]
- Analisa Kritis dari teori Thorndike
Setiap teori dan
metode dalam kajian ilmu pendidikan memiliki sejumlah kelebihan dan
kekurangan. Demikian juga teori yang
dirintis oleh Thorndike memiliki sejumlah kelemahan yang mencakup:
Pertama, Dalam kaitan ini Thorndike menggunakan teori berupa
binatang (kucing, anjing dsb). Dalam kajian pendidikan konsep seperti ini cukup mendapatkan
kontroversial oleh para ahli pendidikan. Sejumlah pakar membedakan antara
pendidikan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran, dengan dressur atau
ketrampilan yang diajarkan kepada binatang. Binatang secara prinsip tidak bisa
memiliki konsep pendidikan dan pembelajaran sebab binatang hanya mengandalkan Insting.
Sehingga beberapa pakar menolak atas teori Thorndike yang menyandingkan
pembelajaran dengan binatang[22].
Kedua, Teori Thorndike ini terlalu memandang manusia sebagai
mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak
tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku
manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error
tidak berlaku mutlak bagi manusia.
Ketiga, teori ini memandang belajar hanya merupakan asosiasi
belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan
dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau
ulangan-ulangan yang terus menerus. Tidak memungkinkan munculnya nalar yang
lebih mendalam dan lebih luas terhadap makna-makna diluar hal-hal yang di
asosiasikan.[23]
Keempat, Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian
tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka
mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Kelima, Implikasi dari teori ini dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk
berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.[24] Karena
sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Keenam, Teori ini menganggap bahwa pembelajar dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para pembelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar
pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Ketujuh, Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di
luar diri pebelajar.
Kedelapan, Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Kesembilan, Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar
secara individual.
KESIMPULAN
Prinsip utama
teori thorndike adalah bahwa belajar merupakan latihan (pengulangan), karena
itu pembelajaran harus berorientasi pada pemberian latihan (S) dan siswa
menjawabnya (R), maka prestasi belajar siswa tentang pelajaran tersebut akan
meningkat. Thorndike mengungkapkan
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Teori ini dibangun oleh thorndike
dengan uji coba Puzzle box yang di dalamnya diletakkan binatang dan seberikan
latihan-latiahn Trial and Error
sehingga menumbuhkan asosiasi dan koneksionisme pada binatang yang
bersangkutan. Teori Thorndike mengandung
tiga konsep utama yakni Hukum kesiapan (Law of Readiness), Hukum Latihan
(Law of Exercise) dan Hukum Akibat
(Law of Effect).
Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai
keunggulan dari aliran behaviorisme dalam menelaah konsep manusia yang
dikaitkan dengan salah satu fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat
mengubah nasib dirinya sendiri. Seperti firman Allah SWT pada QS Ar Ra’d ayat
11.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
Jakarta; Rineka Ciota, 2001
B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi
Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981
C. George Boeree, Sejarah Psikologi dari Masa
Kelahiran Sampai Masa Modern, Yogyakarta; Prisma Sophie, 2005
Dimyati & Mujiono, Belajar dan Pembelajaran,
Jakarta;Rineka Cipta, 1994
Hergenhanh, B.R. & H Olson Matthew. 1997. An Introduction to Theories of Learning. Fifth Edition. New York:
Prentice Hall,Inc.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan;Teoritis dan Praktis,
Jakarta:Rajawali Grafindi, 1995
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar,
Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000
Sarlito Wirawan, Berkenalan
dengan Aliran – Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang,1978
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali
Pers, Jakarta, 1987
Tohirin, Psikologi Pembelajaran PAI,
Jakarta;Rajagrafindo, 2005
Umar Tirtaraharja & S.L.La Sulo, Pengantar
Pendidikan, Jakarta :Rineka CIpta, 1995