PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar
mempunyai pengertian yag sangat umum dan luas, boleh kita katakan bahwa
sepanjang kehidupan seseorang selalu mengalami proses belajar. Dari berbagai
macam pengalaman yang diperoleh seseorang bisa mengembangkan dan merubah cara
dan gaya berfikir dan mengerjakan suatu pekerjaan. Dari berbagai macam
pengalaman itu pula, seseorang bisa mendapatkan dan membentuk pengetahuan,
pengertian dan nilai nilai, sikap sikap tertentu dan gambaran tentang dunia
sekitar dan lingkungannya serta keduduknnya dalam lingkungan tersebut.
Belajar
dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan
latihan yang sering dilakukan, oleh karena itu belajar bukan sekedar
mengumpulkan pengetahuan. Belajar merupakan proses mental yang terjadi dalam
diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas
mental tersebut muncul karena adanya interaksi individu dengan lingkungan hidup
yang ada disekitarnya. Proses belajar merupakan kegiatan mental yang tidak bisa
kita lihat. Kita hanya bisa melihat adanya tanda tanda perubahan perilaku yang
tampak dari orang yang melakukan kegiatan belajar tersebut.
Banyak
teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku. Dalam suatu
pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar. Setiap aliran
teori belajar tersebut memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang belajar.
Pandangan-pandangan itu umumnya berbeda satu sama lain dengan alasan-alasan
tersendiri.
Dalam
makalah ini penulis memfokuskan pembahasannya terhadap salah satu Teori belajar
saja, yaitu Teori belajar Humanistik. Teori Humanistik tertuju pada masalah
bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi
yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Munculnya teori belajar humanistik ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan
pendidikan humanistik yang memfokuskan diri pada hasil afektif, belajar tentang
bagaimana belajar dan belajar untuk meningkatkan kreativitas dan potensi
manusia. Teori belajar Humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati
bidang filsafat, teori keperibadian, dan psikoterapi dari pada bidang kajian
psikologi belajar.Teori ini sangat mementingkan isi yang dipelajari dibanding
proses belajar itu sendiri. Adapun yang termasuk golongan aliran humanistik
adalah David Kolb, Honey, Mumford, Hubermas, Bloom dan
Krathwohl
Mereka
berpendapat bahwa tujuan utama pendidik adalah membantu siswa mengembangkan
dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu mewujudkan potensi mereka. Penyusunan dan penyajian
materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar Menurut Teori Belajar Humanistik
Aktifitas Belajar Menurut Oemar
Hamalik, adalah “suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungannya”.[1]
Sedangkan menurut Thursan Hakim,“Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam
kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan,
pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan
lain-lain kemampuan”.[2]
Dari definisi di atas, dapat
digaris bawahi bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang
diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya suatu kualitas dan kuantitas kemampuan
orang itu dalam berbagai bidang. Jika di dalam suatu proses belajar seseorang
tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat
dikatakan orang tersebut belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain
ia mengalami “kegagalan” di dalam proses belajar.
Menurut Teori humanistik, Proses
Belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia[3].
Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun
ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.
Teori Humanisme lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif. Misalnya
kemampuan dalam ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan
orang lain, kepercayaan, penerimaan,
kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Jadi intinya adalah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari – hari. Selain menitikberatkan
pada interpersonal, para pendidik juga membuat pembelajaran yang membantu
peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi,
mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan dan berfantasi. Pendekatan ini
mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi
sebagai sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat dan
nampak dari para
pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi
terbesar manusia.[4] Dari
perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah
kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi
dan moral.[5]
Jika kita bandingkan antara aliran
behaviorist dan humanist, keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam
melihat masalah perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh orang yang belajar.
Para behaviorist mengatakan bahwa manusia adalah sebagai makhluk reaktif yang
memberikan responnya terhadap lingkungannya. Pengalaman masa lampau dan
pemeliharaannya akan membentuk perilaku mereka. Sedangkan Humanist mengatakan
bahwa setiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri, mereka bebas memilih
kwalitas hidup mereka dan tidak terikat oleh lingkungannya.[6]
Teori Humanistik adalah teori yang
bersumber dari asumsi ajaran humanisme. Model pembelajaran menurut teori ini
merupakan model belajar yang dikemas dalam pendidikan kemanusiaan dari pada
pendidikan tentang yang khusus untuk profesi tertentu. Oleh karena itu,
kecenderungan yang berada di luar diri peserta didik tidak menjadi perhatian
dari teori ini. Teori Humanistik tidak boleh memksakan kehendak kepada anak.
Sejalan dengan kreteria tersebut Knight memberikan ciri utama teori humanistik
dengan pernyataan “ Educational humanism has placed even more stress on the
uniqueness of individual child”[7].
Teori Humanistik lebih menekankan keunikan individu. Orientasi yang tidak
sesuai dengan potensi anak tidak menjadi sasaran teori humanistik.
Pengembangan potensi ditujukan pada
ciri utama manusia, berupa kemampuan diberi motivasi guna mencapai tujuan
belajar. Teori ini dalam pandangan Maslow memberikan tekanan yang lebih besar
pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi
manusiawi, memahami diri dan orang lain serta berhubungan dengan mereka,
mencapai pemuasan atas kebutuhan kebutuhan dasar manusia, tumbuh kearah
aktualisasi diri. Teori ini akan berusaha mengajak seseorang menjadi pribadi
yang sebaik baiknya sesuai kemampuannya.[8]
Meskipun demikian, Jika kita lihat
tujuan yang di capai dari teori Humanistik, teori ini merupakan teori belajar
yang sangat Eklektik.[9]
Dalam artian eklektisme yang dibawah oleh teori humanistik ini bukanlah suatu
sistem yang membiarkan unsur unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana aslinya.
Teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan
manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri
orang yang belajar, secara optimal.
B. Pandangan David Kolb
Teori ini dikembangkan oleh David Kolb pada sekitar awal
tahun 1980-an. Dalam teorinya, Kolb mendefinisikan belajar sebagai proses
dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan
dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.
Experiential Learninng Theory
kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning yang menekankan
pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pengalaman
kemudian mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Kolb merupakan seorang
ahli penganut aliran humanistik. Kolb membagi tahap tahap belajar menjadi 4
yaitu, Tahap pengalaman Konkrit, Tahap pengalaman aktif dan reflektif, Tahap
konseptualisai, dan Tahap eksperimentasi aktif.
1.
Tahap pengamalan konkrit (Concrete Experience)
Pada tahap paling
awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu
peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.[10] Peserta didik akan bisa melihat, merasakan,
menceritakan suatu peristiwa tersebut sesuai dengan yang dialaminya. Namun ia
belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa yang dialaminya
tersebut. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.
2.
Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)
Pada tahap ini sudah
ada observasi terhadap peristiwa yang dialami, mencari jawaban, melaksanakan
refleksi, mengembangkan pertanyaan- pertanyaan bagaimana peristiwa terjadi, dan
mengapa terjadi. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban terhadap peristiwa
yang dialaminya. Ia mulai melakukan sebuah refleksi pada peristiwa yang di
alaminya dengan mengembangkan pertanyaan tertanyaan terhadap peristiwa yang
dialaminya[11]
3.
Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)
Pada tahap
ini seseorang sudah berupaya membuat sebuah abstraksi, mengembangkan suatu
teori, konsep, prosedur tentang sesuatu yang sedang menjadi objek perhatian.
Berfikir induktif banyak dilakukan untyk merumuskan suatu aturan umum atau
generalisasi dari berbagai peristiwa yang dialaminya.[12]
4.
Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)
Pada tahap
ini sudah ada upaya melakukan eksperimen secara aktif, dan mampu
mengaplikasikan konsep, teori ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak
digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori teori serta konsep konsep
dilapangan. Siswa sudah mampu mengaplikasikan
suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa
tidak hanya memahami “ asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai
rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui
sebelumnya.[13]
C. Pandangan
Honey dan Mumford
Pandangan tentang belajar
Honey dan Mumford banyak dipengaruhi oleh Kolb. Mereka kemudian menggolongkan
orang belajar menjadi empat macam golongan, yaitu golongan aktivis, golongan
reflektor, golongan teoritis, dan golongan pragmatis. Masing masing golongan
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan golongan yang lainnya.
1. Aktivis
Orang orang yang termasuk dalam
kelompok ini adalah orang yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif
dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman pengalaman
baru.[14]
Ciri dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru dan cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak
berdialog. Namun, siswa seperti ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Dalam mengerjakan suatu
tindakan seringkali kurang pertimbangan secara matang, dan didorong oleh
kesenangannya untuk melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Dalam
belajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal
baru, seperti brainstorming atau problem solving. Akan tetapi mereka
cepat merasa bosan dengan hal-hal yang perlu waktu lama dalam implementasi.
2. Reflektor
Mereka yang termasuk golongan
reflektor mempunyai kecenderungan dengan golongan aktivis. Siswa tipe ini
cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam mengambil
keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruknya.Siswa
yang demikian tidak mudah untuk di pengaruhi, sehingga mereka cenderung
bersifat konservatif.
3.
Teoris
Siswa tipe ini biasanya
sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian
yang sifatnya subjektif. Berpikir rasional adalah sangat penting. Dan mereka
cenderung sangat skeptis dan tidak suka hal-hal yang spekulatif. Mereka selalu berfikir
rasional dengan menggunakan penalaran. Segala sesuatu sering dikembalikan
kepada teori dan konsep-konsep atau hukum hukum. Dalam melakukan atau
memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan. Mereka mempunyai
pendirian yang kuat, nampak tegas, dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
4.
Pragmatis
Siswa pada tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari
segala hal. Bagi mereka teori memang penting, tapi tidak akan berguna jika
tidak dipraktikkan.[15] Pragmatis
adalah kebalikan dari teoris. Bagi siswa yang termasuk golongan ini beranggapan
sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat di praktekkan dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia
D.
Pandangan Hubermas
Salah satu tokoh humanis laian
adalah Hubermas. Manurutnya belajar baru terjadi jika ada interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah
lingkungan alam maupun lingkungan sosial, karena antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Dengan pandangannya tersebut, Hubermas membagi tipe belajar menjadi
tiga bagian , yaitu
1. Belajar teknis (
technical learning )
Dalam belajar teknis siswa
belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Pengetahuan dan keterampilan apa
yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola
alam dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu ilmu alam atau sain amat
dipentingkan dalam belajar teknis
2. Belajar praktis ( practical
learning )
Pada belajar ini siswa juga
belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan adalah interaksi dia
dengan orang-orang di sekelilingnya. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya
interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang bidang ilmu yang
berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya
sangat diperlukan.
3. Belajar emansipatoris ( emancipatory
learning)
Pada belajar ini siswa
berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan
( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah tujuan pendidikan yang
paling tinggi.[16][9]
Psikologi
humanistik dan pengajaran di dalam bagian ini berisi tentang bagaimana para
psikolog humanistik berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif
dengan segi efektif , nilai – nilai, dan perilaku antar pribadi. Sehubungan dengan
itu akan di bicarakan tiga macam program :
a.
Confluent
education
Adalah proses pendidikan yang
memadukan atau mempertemukan pengalaman – pengalaman
afektif dengan belajar kognitif di dalam kelas.[17][10] Sebagai contoh guru bahasa indonesia memberikan tugas pada
para siswa untuk membaca sebuah novel, misalnya tentang “keberanian” sebuah
novel perang. Melalui tugas itu siswa diharapkan memahami isi bacaan tersebut
dengan sebaik – sebaiknya tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang
lebih baik dengan jalan membahas pengertian mereka sendiri mengenai keberanian
dan perasaan takut. Untuk keperluan itu tugas tersebut di lengkapi dengan tugas
– tugas yang berkaitan,
antara lain :
1.
Mewawancarai orang – orang yang
tahu tentang perang.
2.
Mendengarkan musik perang,
menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan yang timbul secara bebas, kemudian menghayatinya
dalam kelompok – kelompok kecil.
3.
Memperdebatkan apakah perang itu
dapat dihindari ataukah tidak.
4.
Membandingkan perang saudara
dengan sajak – sajak perang.
b.
Open Education
Adalah proses pendidikan terbuka,
Menurut Walberg dan Thomas (1972), open education itu memiliki delapan
kriteria :
1. Kemudahan
belajar tersedia, artinya berbagai macam
bahan yang di perlukan untuk belajar tersedia
2. Penuh
kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat artinya menggunakan bahan buatan siswa
: guru menangani masalah – masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi
secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan saja.
3. Mendiagnosis
peristiwa – peristiwa belajar , artinya siswa – siswa memeriksa pekerjaan
mereka sendiri.
4. Pengajaran,
artinya pengajaran individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.
5. Penilaian,
artinya guru membuat penilaian secara individual : hanya sedikit sekali di
adakan test formal.
6. Mencari
kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan
orang lain, guru bekerja dengan teman – teman sekerjanya.
7. Persepsi
guru sendiri, artinya guru berusaha mengamati semua siswa untuk memantau
kegiatan mereka.
8. Asumsi
tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah,
sehingga para siswa asyik melakukan sesuatu.[18][11]
Meskipun pendidikan terbuka itu
memberikan kesempatan pada para siswa untuk bergerak secara bebas di sekitar
ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru
tetap di perlukan. Kira-kira
perlu di catat bahwa open education ini lebih efektif dari pada
pendidikan tradisional dalam hal meningkatkan hal belajar yang bersifat
efektif, kerja sama,
kreatifitas.
c.
Cooperative learning
Model
pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok kelompok tertentu
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan. Ada empat unsur yang
terpenting dalam Cooperative
Learning, yaitu :
1. Adanya
peserta dalam kelompok
2.
Adanya aturan kelompok
3.
Adanya upaya belajar setiap
anggota kelompok
Cooperative Learning merupakan
strategi belajar yang akhir akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan oleh para
ahli pendidikan untuk digunakan. Menurut Slavin (1995) ada dua alasan yang
mendasari anjuran untuk menerapkan Cooperative Learning yaitu, Pertama
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sekaligus dapat meningkatkan
kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang
lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua Pembelajaran kooperatif
dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan
masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan.[20]
Menurut Jonhson (1994) dan Sutton
(1992) terdapat lima unsur penting dalam pembelajran kooperatif, yaitu :
1.
Saling ketergantungan yang
bersifat positif antara siswa
2.
Interaksi antar siswa yang
semakin meningkat
3.
Tanggung jawab individual dalam
mengemban tugas
4.
Keterampilan interpersonal dan
kelompok kecil
5.
Proses kelompok[21]
Selain lima unsur penting yang
terdapat dalam model pembelajaran kooperatif, model pembelajran ini juga
mengandung prinsip yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya. Menurut
Slavin (1995) konsep utama dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut
:
1. Penghargaan
kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kreteria yang ditentukan
2. Tanggung
jawab Individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar
individual semua anggota kelompok.
3. Kesempatan
yang sama untuk meraih kesuksesan, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok
dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah akan tertantang dalam menyelesaikan
tugasnya dengan sebaik baiknya.
Adapun teknik dalam
belajar cooperative learning itu ada empat macam :
a. Team
game tournament
(TGT);
dalam teknik ini siswa –siswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda di
satukan dalam team (4 orang). Setelah itu guru menyajikan soal dan team lalu
mengerjakan, saling mengajukan pertanyaan dan belajar bersama se team untuk
menghadapi tournament yang biasanya di selenggarakan seminggu sekali.
b. Teams – achievement
divisions;
teknik ini juga menggunakan team (4 orang) tetapi kegiatan tournament di ganti dengan bertanya selama lima belas
menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor team.
c.
Jigsaw, dalam teknik ini siswa di
masukan dalam tim –tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan pelajaran di
bagikan kepada anggota anggota team. Kemudian siswa tersebut mempelajari bahan
pelajaran yang sama dengan team lain kemudian mereka kembali ke kelompoknya
masing – masing dan menjelaskan apa yang telah dipelajari dari kelompok lain
tersebut kepada kelompoknya.[22][12]
d. Group
investigation
adalah teknik di mana para siswa bekerja di dalam kelompok – kelompok kecil
yang menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas
tersebut menjadi sub topik – sub topik, kemudian setiap anggota kelompok
melakukan penelitian yang di perlukan untuk mencapai tujuan kelompok, setelah
itu kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Dalam metode ini
hadiah atau point tidak di berikan.
E.
Pandangan Bloom dan Krathwohl
Selain tokoh tokoh di
atas Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanistik. Pandangan
ini menekankan pada apa yang harus dikuasai oleh individu ( sebagai tujuan
belajar ) setelah melalui peristiwa belajar. Tujuan belajar telah dirangkum
dalam tiga kawasan yang disebut Taksonomi Bloom. Melalui Taksonomi Bloom inilah
telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam
mengembangkan teori teori dan praktek pembelajaran. Taksonomi Bloom ini talah
membantu pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan belajar yang akan di capai.
Melalui Taksonomi Bloom ini juga para praktisi pendidikan dapat membuat
program-program pembelajarannya. Adapun ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom
ini adalah sebagai berikut :
1.
Domain
Kognitif, terdiri atas 6 tingkatan , yaitu
a.
Pengetahuan
( mengingat, menghafal )
b.
Pemahaman (
menginterprestasikan )
c.
Aplikasi (
menggunakan konsep untuk memecahkan masalah )
d.
Analisis (
menjabarkan suatu konsep )
e.
Sintesis (
menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi sebuah konsep yang utuh
f.
Evaluasi (
membandingkan nilai – nilai, ide, metode , dll )
2.
Domain
Psikomotor, terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :
a.
Peniruan (
menirukan gerak )
b.
Penggunaan (
menggunakan konsep untuk melakukan gerak )
c.
Ketepatan (
melakukan gerak dengan benar )
d.
Perangkaian
( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar )
e.
Naturalisasi
( melakukan gerak secara wajar )[23]
3.
Domain afektif , terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :
a. Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu
)
b. Merespon ( aktif berpartisipasi )
c. Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia kepada
nilai-nilai tertentu )
d. Pengorganisasian (menghubung - hubungkan nilai-nilai
yang dipercayai)
F.
Aplikasi
dan Implikasi dari Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran
Teori Humanistik sering
dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini
dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi
dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah
langkah yang lebih konkret. Semua tujuan pendidikan di arahkan pada
terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang di cita - citakan, yaitu manusia
yang mampu mencapai aktualisasi diri. Maka sangat perlu diperhatikan
perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya serta realisasi
diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar
perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran yang
dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan
pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi
belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman belajar yang dipilih untuk
siswa mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers
dalam Snelbecker, 1974). Hal ini tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut
teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan
keterlibatan penuh dari siswa sendiri.[25]
Teori humanistik akan sangat
membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih
luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu
diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistic ini
masih sukar untuk diterjemahkan kedalam langkah-langkah pembelajaran yang
praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar. Ide-ide,
konsep-konsep tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan
guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia.
Dalam prakteknya teori
humanistic ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif,
mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada
pedoman baku tentang langkah - langkah pembelajaran dengan pendekatan
humanistic, namun paling tidak dapat dirumuskan langkah -langkah pembelajaran
sebagai berikut:
1.
Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran
2.
Menentukan
materi pembelajaran
3.
Mengidentifikasikan
kemampuan awal siswa
4.
Mengidentifikasi
topic-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secar aktif melibatkan diri dalam
atau mengalami dalam belajar
5.
Merancang
fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
6.
Membimbing
siswa belajar secara aktif
7.
Membimbing
siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya
8.
Membimbing
siswa membuat konseptual pengalaman belajarnya
9.
Membimbing
siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
10.
Mengevaluasi
proses dan hasil belajar[26]
Adapun Prinsip- prinsip belajar
humanistic menurut Rogers adalah sebagai berikut :
1.
Manusia mempunyai
belajar alami
2.
Belajar
signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi
dengan maksud tertentu
3.
Belajar yang
menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
4.
Tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5.
Belajar yang
bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
6.
Belajar
lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
7.
Belajar yang
melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
8.
Kepercayaan
pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
9.
Belajar
sosial adalah belaja[27]
Kesimpulan
Menurut
teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara
optimal. Teori humanistik cenderung bersifat elektik, maksudnya teori ini dapat
memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa
tokoh penganut aliran humanistik diantaranya adalah :
1.
Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap belajar,
yaitu pengalaman konkret, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan
eksperimentasi aktif.
2.
Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4,
yaitu aktifis, reflektor, teoris, dan pragmatis.
3.
Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe belajar, yaitu
belajar teknis, belajar praktis, dan belajar emansipatoris.
4.
Bloom dan Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar,
yaitu kognitif, psikomotor, dan efektf.
Aplikasi
teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk
berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
- B. Uno, Dr. Hamzah Orientasi Baru dalam Psikologi
Pembelajaran,
Jakarta: Bumi Aksara.
- Budiningsih, Asri, Belajar dan
pembelajaran, Jakarta; PT Rineka
Cipta, 2005.
- Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 2002.
- Dr. Iskandar,M.Pd . Psikologi pendidikan
,Cipayung : Gaung persada (GP) Press,2009.
- Frank G. Goble, Madzab ke-tiga:
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A. Supratinya, Yogyakarta;Kanisius,
1997.
- Hakim,Thursan, Belajar secara Efektif,
Solo: Niaga Swadaya, , 2007.
- Hamalik,Oemar, Kurikulum dan
Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
- Mahmud, Drs. M. Dimyati., Psikologi
Pendidikan,Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta, 1990.
- Sanjaya , Wina, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana, 2008.
- Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan,
Surabaya; Karya Abditama, 1994.
- Trianto, M.Pd, Mendesain Model
pembelajaran Inovativ progresive, Jakarta, Kencana, 2010.