PENDAHULUAN
Secara garis
besar, dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar ada dua kelompok aliran
psikologi yang sering dibahas dalam psikologi belajar yaitu, aliran
behavioristik dan aliran kognitif. Disamping juga ada aliran humanistik. Pada
umumnya jenis pendekatan kognitif ini menganggap bahwa perilaku merupakan suatu
proses input-output yaitu penerimaan dan pengolahan informasi, untuk
kemudian menghasilkan keluaran.[1]
Dalam hal ini individu bukanlah penerima rangsangan yang pasif, akan tetapi
kesadarannya mengolah informasi yang diterimanya menjadi bentuk baru yang lebih
sesuai. Jadi, perilaku yang dimunculkan oleh individu sangat dipengaruhi oleh
olahan informasi yang dilakukannya.
Salah satu
aliran yang dikelompokkan dalam aliran psikologi belajar kognitif ini adalah aliran
teori gestalt. Sama halnya dengan teori yang lain teori ini juga berangkat dari
pengamatan salah satu tokohnya terhadap fenomena alam dan kemanusiaan kemudian
mensinkronisasikan dengan aktivitas dan perilaku manusia dalam proses belajar
mengajar yang sering juga diistilahkan dengan proses pendidikan.
Pandangan umum dari teori gestalt ini adalah memahami segala sesuatu secara utuh dan
tidak parsial sehingga terkonstruk suatu makna atau pemahaman yang bermakna.
Makalah menarik lainnya:
Teori Behavioristik Ivan Pavlov
Model Pembelajaran Langsung
Bayi Tabung dalam Pandangan
Makalah menarik lainnya:
Teori Behavioristik Ivan Pavlov
Model Pembelajaran Langsung
Bayi Tabung dalam Pandangan
Teori Kognitif Gestalt
A. Pengertian Teori
Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar
gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer yang meneliti
tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt
Koffka yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight pada simpase.
Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam
suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar
menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan antara
bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan
keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih
meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
Teori gestalt dalam buku theories of learning disebutkan
bahwa Gestaltis mengikuti tradisi yang dibawa dan dikembangkan oleh Kantian,
yang mempunyai kepercayaan bahwa organisme menambahkan sesuatu pada pengalaman,
di mana sesuatu itu tidak ada dalam data yang diindera, dan sesuatu itu adalah
tindakan menata (organisasi) data. Gestalt adalah bahasa Jerman yang mempunyai
makna pola atau konfigurasi. Aliran ini menganggap bahwa dunia adalah
eksistensi yang ada secara menyeluruh bukan bagian yang parsial[2].
Dengan bahasa lain, Gestaltis menganggap bahwa “keseluruhan itu
berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya” atau “membagi-bagi berarti
mendestorsi”[3].
Jadi, konstruksi pikiran dari kelompok ini adalah keseluruhan form dari benda
yang kita lihat. Misalnya, manusia, kursi dan pohon, gambaran yang kita sebut
menggunakan bahasa itu tidaklah bagian-bagian dari hal itu melainkan
keseluruhan yang ada dalam wujudnya.
Suatu konsep yang penting dalam psikologis Gestalt adalah tentang insight
yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar
bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan[4].
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan
potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan
yang utuh.
Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu
hukum Pragnaz, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada
hukum yang pokok itu,yaitu hukum –hukum keterdekatan , ketertutupan, kesamaan ,
dan kontinuitas.
1.
Hukum Pragnaz
Hukum Pragnaz
ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian , yaitu berarah kepada
Pragnaz itu, yaitu suatu keadaan yang seimbang, suatu Gestalt yang baik.
Gestalt yang baik, keadaan yang seimbang ini mencakup sifat-sifat keturunan,
kesederhanaan, kestabilan, simetri dan sebagainya.
Medan
pengamatan, jadi juga setiap hal yang dihadapi oleh individu, mempunyai sifat
dinamis, yaitu cendrung untuk menuju keadaan Pragnaz itu , keadaan seimbang .
Keadaan yang problematis adalah keadaan yang tidak Pragnaz, tidak teratur,
tidak sederhana, tidak stabil, tidak simetri, dan sebagainya dan pemecahan
problem itu ialah mengadakan perubahan kedalam struktur medan atau hal itu
dengan memasukkan hal-hal yang dapat membawa hal problematis ke sifat
Pragnaz.
2.
Hukum-hukum tambahan
Ahli-ahli
psikologi Gestalt telah mengadakan penelitian secara luas dalam bidang
penglihatan dan akhirnya mereka menemukan bahwaobjek-objek penglihatan itu
membentuk diri menjadi Gestalt-gestalt menurut prinsip-prinsip tertentu. Adapun
prisip-prinsip tersebut dapat dilihat pada hukum-hukum, yaitu :
a.
Hukum keterdekatan
b. Hukum ketertutupan
c. Hukum kesamaan
Selain dari
hukum-hukum tambahan tersebut menurut aliran teori belajar gestalt ini bahwa
seseorang dikatan belajar jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh kalau
seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalan situasi
tertentu. Dengan adanya insight maka didapatlah pemecahan problem,
dimengertinya persoalan; inilah inti belajar. Jadi yang penting bukanlah
mengulang- ulang hal yang harus dipelajari, tetapi mengertinya, mendapatkan
insight. Adapun timbulnya insight itu tergantung pada:
a.
Kesangupan
b.
Pengalaman
c.
Taraf kompleksitas dari suatu situasi.
d.
Latihan
e.
Trial and eror
B. Biografi
Tokoh-tokoh Teori Gestalt
1.
Max Wertheimer (April 15, 1880 – October 12, 1943)
Dia merupakan
penemu dari teori Gestal ini. Dia adalah Czech-born psychologist yang menjadi bagian darri tiga
orang penemu teori psikologi genstalt ini bersama K. Koffka dan Kohler. Proyek
kolaboratif tentang Psikologi Genstalt ini dilaksanakan pada perang Dunia I.
Wertheimer dan Koffka melakukan penelitian tentang perang, dan mereka berdua
bekerja di bawah Kohler yang ditujuk sebagai direktur disebuah lembaga di
Terenife. Dan mereka melanjutkan terus menerus
penelitiannya[5].
Setelah
peperangan, Koffka kembali ke Frankfurt, sejak itu Kohler menjadi Direktur
Institut Psikologi di Universitas Berlin, Wertheumer pun juga berada di sebuah
Fakultas disana, dan mendirikan sekolah. Mereka bersama-sama menulis journal
yang berlabel Psychologische Forschung (Psychological Research: Journal
of Psychology and its Neighboring Fields). Dari sekolah dan journal yang mereka
terbitkan timbullah beberapa tokoh-tokoh terkenal bernama Kurt Lewin, Rudolf
Arnhiem, Wolfgang Mezger, Bluma Zeigamik, Karl Ducker dan masih banyak yang
lainnya. Jadi, mereka bertiga benar-benar menjadi pioner dalam trending
topic genstal ini[6].
Pada Tahun
1923, sejak dia mengajar di Berlin, Dia (Wertheimer) menikahi Anna Caro,
dengannya dia mempunyai empat anak yang bernama Rudolf (yang mati pada saat
infancy), Valentin, Michael dan Lise.
Kurt Koffka
adalah seorang psikolog Jerman. Dia
lahir dan mendapatkan pendidikan di Berlin dan gelar PhD-nya dia dapat pada tahun
1909 sebagai murid dari Carl Stumpf. Selain kehidupannya di Berlin, Koffka juga
menghabiskan waktunya di Universitas Edinburgh, Skotland selama satu tahun. Dia
mengembangkan pengetahuannya tentang bahasa Inggris, yang kemudian membantunya
untuk menyebarkan psikologi gestalt ini ke seluruh German. Koffka juga sudah
bekerja di Universitas Franfrut saat Max Wertheimer tiba pada 1910 dan mengajak
Koffka untuk berpartisipasi menyelesaikan penelitiannya tentang phi phenomenoni[7].
Koffka meninggalkan
Franfurt pada tahun 1912 untuk mengambil tempat di Giesen University, yang
berada sekitar 40 mile dari Franfrut, sampai pada 1924. Dia juga melakukan
perjalan ke Amerika, mengunjungi profesor di Coernell University dari tahun 19224 sampai 1925 dan dua tahun
kemudian ke Winconsin-Madison University. Hingga dia berada di Smith College,
Notrhampton, sampai dia meninggal pada tahun 1941.
Ada tiga karya
Koffka yang terkenal, tentang psikologi dan kaitannya terhadap dunia
pembelajaran. Adapun karya tersebut adalah :
-
Perception: An Introduction to the Gestalt Theorie. (1922)
-
Growth of the Mind (1924)
-
Principles of Gestalt Psychology (1935)
Pandangan
Koffka secara khusus terhadap pembelajaran awal sebagaimana yang ada dikutipun
dibawah ini :
“Koffka
believed that most of early learning is what he referred to as,
"sensorimotor learning," which is a type of learning which occurs
after a consequence. For example, a child who touches a hot stove will learn
not to touch it again. Koffka also believed that a lot of learning occurs by
imitation, though he argued that it is not important to understand how
imitation works, but rather to acknowledge that it is a natural occurrence.
According to Koffka, the highest type of learning is ideational learning, which
makes use of language. Koffka notes that an important time in children's
development is when they understand that objects have names.[8]
Ada beberapa
kesimpulan yang bisa diambil dari kutipan ini, Pertama Permbalajaran
menggunakan sistem sinsiomotorik. Contohnya, seorang anak akan mempunyai
keinginan untuk mengulangi terhadap apa yang sudah pernah ia sentuh atau
lakukan Kedua, dia juga meyakini terhadap imitasi (tendesi tiruan dari
sebuah benda atau baranga), oleh karenanya anak akan lebih mudah memahami kalau
seandainya barang atau bentuk itu mempunyai nama dan kandungan kebahasaan.
Jadi, pandangan awal ini dapat kita lihat secara umum tentang teori belajar
koffka. Dan dia punya bahasan khusus terhadap teori genstalt yang akan kita
bahas setelah ini.
3. Wolfgang
Kohler
Lahir pada tanggal 21 Januari 1887 di kota perbatasan
Reval (sekarang dikenal dengan sebutan Tallinn), dibawah Gubernur Estonia,
Rusia. Orang tuanya adalah seorang berkebangsaan Jerman, akan tetapi setelah
kelahirannya ia pindah ke Rusia. Ia sudah akrab dengan hal-hal yang berbau
pendidikan sejak kecil. Dalam keluarga mungilnya, ia dihadapkan dengan hal-hal
yang berhubungan dengan perawat, dan ilmuwan lain. Kesenian, musik, adalah
hal-hal yang sudah diakrabinya sejak kecil.
Pada pengantar buku The Selected Papers of Wolfgang
Kohler, banyak disinggung tentang kehidupan Kohler yang terkenal. Di buku ini
pula, Hans-Lukas Teuber berbicara banyak tentang pengalamannya bekerja dengan
Kohler. Dia menuturkan, “selama hidupnya, Wolfgang Kohler memandang sesuatu
yang ada disekitar dengan pandangan yang berbeda. Setiap masalah akan menjadi
hal yang menarik jika ditangani olehnya.” Teuber bekerjasama dengan Kohler
ketika meneliti kera pada tahun 1914, dengan pemikirannya tersebut, ia turut
memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan psikologi selanjutnya. Pada
pengantar buku tersebut, dicantumkan bagaimana Kohler berusaha untuk mempertemukan
antara fisika, biologi, dan psikologi. Hal itu kemudian dikenal sebagai relasi
antara psikologi dan filsafat, dia juga telah membuktikan bahwa masalah mental
yang dialami manusia dapat dihubungkan dengan hal yang empiris. Ini menunjukkan
betapa Kohler sangat berpengaruh dan karya-karyanya tidak bisa dikesampingkan
begitu saja.
Pendidikan Tingginya ia lewati di tiga perguruan tinggi,
yaitu University of Tubingen (1905-1906), University of Bonn (1906-1907), dan
di Unuversity of Berlin (1907-1909). Di awal perkulihannya, ia fokus pada
permasalahan antara fisik dan psikis. Dibimbing oleh dua mentornya yaitu Max
Planck dan Carl Stumpf. Dari keduanya, terlebih Carl Stumpf, ia berhasi
menyelesaikan doktoralnya dengan disertasi yang membahas tentang Aspek-aspek
Psikoakustik.
Karya-karyanya bantara lain:
-
The Mentality of Apes
-
Gestalt Psychology
-
The Place of Value in a World of Facts
-
Dynamics in Psychology
-
Gestalt Psychology Today
-
The Task of Gestalt Psychology
C. Penentangan
terhadap Behaviorisme
Para penganut teori
Gestalt percaya,
bahwa meskipun pengalaman-pengalaman psikologis timbul dari
penginderaan elemen-elemen, tetapi
mereka berasal dari penginderaan elemen-elemen itu sendiri. Dengan perkataan lain, bahwa pengalaman fenomenologis merupakan akibat dari
penginderaan pengalaman, tetapi tidak dapat
dipahami dengan menganalisa
pengalaman fenomena dalam elemen-elemennya. Pengalaman
fenomena berbeda dengan jumlah bagian-bagian yang membentuknya.
Gestalt adalah
bahasa Jerman untuk konfigurasi atau organisme
Gestalt merupakan
keseluruhan yang penuh arti. Stimulus-stimulus
tidak dihayati secara tertutup, melainkan stimulus-stimulus itu secara bersama-satna serempak ke dalam konfigurasi yang penuh arti. Keseluruhan itu lebih
dari jumlah bagian-bagiannya.
Tokoh-tokoh Gestalt
berpendapat bahwa strukturalisme maupun behaviorisme, keduanya telah
melakukan kesalahan mendasar yaitu
dalam menggunakan pendekatan
reduksi (penjabaran). Keduanya membagi-bagi subyek matter ke dalam elemen-elemen untuk memahaminya. Strukturalisme menjabarkan pikiran-pikiran ke dalam elemen-elemen basik, sedang behaviorisme menjabarkan
tingkah-laku ke dalam habit, respons bersyarat
atau lebih umum dalam kombinasi
stimulus respons.
Psikologi Gestalt menentang
penjabaran dari sesuatu.
Penggunaan metode introspeksi
untuk memecahkan pengalaman harus digunakan dalam
kaitannya dengan keseluruhan yang merupakan
pengalaman penuh arti. Karena
itu gejala persepsi dipelajari langsung tanpa lebih jauh
mengadakan reduksi.
Menurut
pandangan Gestalt, belajar merupakan
suatu proses perolehan atau perubahan insait-insait
(insights), pandangan (outlooks), harapan-harapan, atau pola-pola
berpikir. Dalam mempermasalahkan belajar bagi siswa, para penganut pandangan ini lebih menyukai istilah-istilah
orang daripada organisma, lingkungan psikologi daripada lingkungan fisik atau lingkungan biologi, dan interaksi daripada aksi atau reaksi. Mereka berpendapat bahwa konsep-konsep orang, lingkungan
psikologi, dan interaksi lebih memudahkan
para guru dalam memberikan proses-proses belajar.[9]
Konsep-konsep ini, memungkinkan guru
untuk melihat seseorang, lingkungannya, dan interaksi dengan lingkungannya semuanya itu terjadi
pada waktu yang sama.
Ciri-ciri teori
behavioristik dan teori belajar kognitif
antara lain:
BEHAVIORISTIK
|
KOGNITIF
|
a.
Mementingkan peranan factor lingkungan
b.
Mementingkan
bagian-bagian (elemen)
c. mementingkan
peranan reaksi mengutamakan mekanisme
d.
terbentuknya
hasil belajar
e.
mementingkan
sebab-sebab diwaktu yang lalu
f. Mementingkan pembentukan
kebiasaan
g.
dalam pemecahan masalah, ciri khasnya
"trial and error”
|
a. mementingkan apa yang ada pada diri sibelajar
b.
mementingkan keseluruhan
c.
mementingkan
peranan fungsi kognisi
d.
mementingkan
keseimbangan dalam diri sibelajar (dinamis
equilibrium)
e.
mementingkan
kondisi yang ada pada waktu ini
(sekarang)
f.
mementingkan
pembentukan struktur kognitif
g.
dalam pemecahan masalah, ciri khasnya "insight"
|
D. Konsep Teoritis
utama
1. Teori Medan
Psikologi gestalt dapat dianggap sebagi usaha untuk
mengaplikasikan Field Theory (teori medan) dari fisika ke problem
psikologi. Secara umum, medan dapat dideskripsikan sebagai sistem yang saling
terkait secar dinamis, dimana setiap bagiannya saling mempengaruhi satu sama
lain. Psikologi Gestalt menggunakan konsep medan ini dalam banyak level.
Psikologi gestalt percaya bahwa apa pun yang terjadi pada seseorang akan
mempengaruhi segala sesuatu yang lain di dalam diri orang itu. Menurut
psikologi gestalt, penekannya adalah selalu pada totalitas atau keseluruhan,
bukan pada bagian-bagian.
Kurt Lewin (1890-1947) sebagai salah satu tokoh dan
pengembang teori medan mengatakan bahwa perilaku manusia waktu tertentu
ditentukan oleh jumlah total dari fakta psikologis pada waktu tertentu.
Menurutnya, fakta psikologis adalah segala sesuatu yang disadari manusia,
seperti rasa lapar, ingatan masa lalu, memiliki sejumlah uang, berada ditempat
tertentu atau di depan orang lain. Life space seseorang adalah jumlah total
dari semua fakta psikologis ini dan hal itu menentukan prilaku seseorang pada
waktu tertentu.
Dalam
jurnal yang disusun oleh DR. Phil. Hana Panggabean tentang Gestalt menjelaskan bahwa Life Space,
yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan
psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan
menentukan perilaku individu. Tugas utama psikologi adalah meramalkan perilaku
individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan
psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas bagian-bagian
memiliki batas-batas.
Batas
ini dapat dipahami sebagai sebuah hambatan individu untuk mencapai tujuannya.
Gerakan individu mencapai tujuan (goal)
disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong
individu mendekati dan menjauhi tujuan. Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan
(tension). Perilaku individu akan
segera tertuju untuk meredakan ketegangan ini dan mengembalikan keseimbangan.Apabila
individu menghadapi suatu obyek, maka bagaimana valensi dari nilai tersebut
bagi si individu akan menentukan gerakan individu.
Pada
umumnnya individu akan mendekati obyek yang bervalensi positif dan menjauhi
obyek yang bervalensi negatif. Dalam usahanya mendekati obyek bervalensi
positif, sangat mungkin ada hambatan. Hambatan ini mungkin sekali menjadi obyek
yang bervalensi negatif bagi individu. Arah individu mendekati/menjauhi tujuan
disebut vektor. Vektor juga memiliki kekuatan dan titik awal berangkat.
2. Nature versus Nurture
Penganut Gestaltis memberi peran yang lebih aktif pada
otak. Menurut teoritisi Gestalt, otak bukan penerima pasif dan gudang penyimpan
informasi dari lingkungan. Otak bereaksi terhadap informasi sensoris
yang masuk dan otak melakukan penataan yang membuat informasi itu lebih
bermakna. Ini bukanlah fungsi yang dipelajari; ini adalah “sifat alami” dari
otak dalam menata dan memberi makna pada informasi sensoris.
Gestaltis menunjukan bahwa kemampuan organisasional otak
tidak diwariskan; kemapuan itu lebih merupakan ciri sistem fisik, dan otak
hanyalah salah satunya. Berbeda dengan aliran behavioris yang mempostulatkan
otak yang pasif yang merespon pada informasi sensoris, sedangkan Gestaltis
mempostulatkan otak aktif yang mengubah informasi sensoris.
3. Hukum
Pragnanz
Perhatian utama Psikologi Gestalt adalah pada fenomena
perseptual yang mana prinsip yang paling menonjol dalam hal tersebut yaitu hukum pragnanz. Koffka
mendeskripsikan hukum parganaz sebagai berikut : “Penataan psikologis selalu
sebaik yang diizinkan oleh lingkungan pengontrolnya”.yang dimaksud baik oleh
Koffka adalah kualitas-kulaitas seperti sederhana, komplit, ringkas, simetris,
atau harmonis. Karena pengaruh Pragnanz kita dapat melihat pengaturan delapan
titik pada gambar seperti sebuah persegi panjang atau lingkaran, namun bila
tata letak titik tersebut tidak memliki bentuk yang baik, kita hanya kan
mempersepsi sutu bentuk yang abstrak.
Hukum Pragnanz dipakai oleh Gestaltis sebagai prinsip
pedoman mereka meneliti persepsi, belajar dan memori. Dalam masalah belajar dan
memori juga tidak terlepas dari prinsi penutupan atau pengakhiran dimana
prinsip tersebut menyatakan tendensi untuk menyelesaikan pengalaman yang belum
lengkap.
E. Otak dan
pengalaman sadar
Gestaltian
menganut pandangan yang berbeda dalam memandang problem tubuh-pikiran. Mereka
mengasumsikan adanya isomorphism (isomorfisme) antara pengalaman psikologis
dengan proses yang ada di dalam otak. Stimulasi eksternal menimbulkan reaksi di
otak, dan kita merasakan atau mengalami reaksi
itu saat reaksi itu terjadi di otak. Perbedaan utama antara pendapat ini
dengan pendapat strukturalis adalah Gestaltian percaya bahwa otak aktifmengubah
stimulasi sensori.
Karenanya,
otak mengorganisasikan, menyederhanakan, dan
memberi makna pada informasi sensoris yang datang. Kita mengalami
informasi hanya setelah ia ditransformasikan oleh otak sesuai dengan hukum
Pragnanz. Otak aktif mengisi ruang kosong, seperti sebentuk penutupan yang
kompleks. Jika benar bahwa “alam tidak menyukai kekosongan,” maka adalah benar
bahwa, menurut perspektif Gestalt, otak juga tidak menyukai kekosongan dan akan
mengisinya.
F. Realitas
subyektif dan obyektif
Menurut
teoritis Gestalt, yang menentukan perilaku adalah kesadaran atau realitas
subjektif dan fakta ini mengandung implikasi yang penting. Menurut Gestaltian
Pragnanz bukan bukan satu-satunya yang mengubah atau memberikan makna pada apa
yang kita alami. Hal-hal seperti kebutuhan, nilai-nilai, keyakinan, dan sikap
juga melengkapi segala yang kita alami secara sadar. Maka dalam suatu
lingkungan yang sama orang bisa menginterpretasikan keadaan itu berbeda-beda
dan tentunya dengan reaksi yang berfariasi. Dalam hal ini Koffka membedakan antara
geographical environment (realitas fisik atau objektif) dengan behavioral
environment (realitas psikologis atau subjektif). Oleh karena itu, Koffka
memahami bahwa orang bertindak karena mengetahui lingkungan behavioralnya
ketimbang lingkungan geografisnya.
Koffka
memberikan contong dari legenda Jerman kuno yang menunjukkan arti penting dari
realitas subjektif dalam menentukan perilaku. Di suatu malam yang dingin
seorang lelaki dengan menunggang kuda di tengah hujan salju tiba di sebuah
penginapan. Dia tampak gembira bisa menemukan tempat berteduh setelah ia
menempuh perjalanan jauh menembus hujan salju. Pemilik rumah yang membukakan pintu
kaget melihat orang asing itu dan bertanya darimana asalnya. Orang itu menunjuk
lurus kearah jalan yang habis dilaluinya. Pemilik rumah itu takjub dan
bertanya, “ apakah kau tahu kalau engkau telah menunggang kuda melintasi Danau
Constance?” Mendengar perkataan itu si penunggang kuda itu jatuh dari kudanya
lantaran kaget dan langsung mati.
Di sini
Koffka ingin menunjukkan bahwa realitas subjektif itu menentukan perilaku.
Dimana sipenunggang kuda itu merasa bahwa ia berjalan diatas daratan, maka ia
tidak takut ataupun cemas. Tapi realista objektifnya bahwa ia berjalan diatas
danau yang membeku. Jika awalnya ia tahu bahwa akan berjaln diatas danau yang
membeku, mungkin dia akan takut dan berhati-hati atau mungkin mengambil rute
lain. Contoh lainnya: gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang
indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan
yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
G. Teori Getalt
dalam Prespektif Islam
Ada
beberapa hal keterkaitan antara teori Gestalt dengan Islam, yaitu sebagai
berikut :
1.
Penekanan akan betapa pentingnya hubungan diri seseorang dengan dirinya
sendiri, orang lain dan lingkungan.
“Setiap
orang dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah, setelah ayah-ibunya lah yang menjadikannya
yahudi, nasrani, atau majusi. Maka jika kedua orang tuanya itu muslim, maka
anak itu akan menjadi seorang muslim”.(H.R. Muslim)
2.
Menjadi lebih sadar atas apa yang di indrakan dan dirasakan oleh peserta didik.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut Ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberikan pendengaran,
penglihatan dan hati nurani agar kamu bersyukur”. (Q.S. An-Nahl:78)
3.
Mengembangkan keterampilan dan nilai-nilai yang dapat memenuhi kebutuhan
peserta didik tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
“Dan
carilah pada apa yang telah di anugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dan kenikmatan duniawi, dan
berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan”.(
Q. S. Al-Qashash : 77)
4.
Bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan termasuk setiap
konsekuensinya.
“Barang
siapa berbuat kebaikan sebesar benda kecilpun maka dia akan melihat balasannya,
dan barang siapa yang berbuat kebusukan sebesar benda terkecil pun, maka dia
akan melihat balasannya”(
Q. S. Az-Zalzalah : 7-8)
5.
Peran sentral dari hubungan yang tulus dan dialog dalam proses pendidikan.
“Maka berkat rahmat
Allah, Kau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu, karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai
orang yang bertawakkal”(
Q. S. Ali-Imran : 159)
Kesimpulan
1. Teori
kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar
teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka
(1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada
simpase.
2. Dari
Eksperimen-eksperimen kohler menjelaskan terhadap simpanse bahwa simpanse yang
dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang situasi total
dan saling menghubungkan antara semua hal yang relevan dengan Problem yang
dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan tersebut menunjukkan
simpanse dapat memecahkan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut
untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya.
3. Kelompok
pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa
pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan
lebih dari pada bagian-bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip
belajar yang penting, antara lain :
a. Manusia
bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara
intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya.
b. Belajar
adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
c. Manusia
berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan
segala aspek-aspeknya.
d. Belajar
adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas.
e. Belajar
hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
f. Tidak
mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan
yang mengerakan seluruh organisme.
g. Belajar akan
berhasil kalau ada tujuan.
h. Belajar
merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang
diisi.
Artikel lainnya:
Teori Pemrosesan Informasi Robert Mills Gagne
Media Pembelajaran Grafis dan Visual
Artikel lainnya:
Teori Pemrosesan Informasi Robert Mills Gagne
Media Pembelajaran Grafis dan Visual
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo.
Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 1991
Baharuddin
dan Wahyuni, Nur. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogajakarta : Ar-Ruz
Media Group. 2008
Hamalik, Oemar. Psikologi
Belajar dan Mengajar. Bandung:Sinar Baru Algesindo Offset 2007
Mappa, Syamsu dkk. Teori
Belajar-Mengajar. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK. 1984
Soewondo, Soetina. Dasar-dasar Pendidikan, Semarang:
Effhar Offset 1993
Sudjana, Nana. Teori-teori
Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: UI Press. 1989
Surya,
Muhammad. Psikologi Pembelajaran dan
Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004
Suwarno,
Wiji, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2006
Syah,Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada. 2009