Pertumbuhan dan Dinamika Pemikiran Hukum Shi`Ah


PENDAHULUAN
 Sudah menjadi tabiat bahwa manusia hidup akan membentuk golongan yang satu sama lain mengklaim bahwa golongannya adalah paling benar. Tak hanya dalam tataran politik, dalam segi aqidah pun akan terjadi hal yang sedemikian. Al-Qur`an dan Hadith sebagai rujukan mutlak umat islam telah memberikan kisi kisi perpecahan tersebut. Perbedaan pendapat yang terjadi di dalam kubu manusia secara umum, embrionya telah hadir semenjak penciptaan manusia.
Manusia yang dijadikan khalifah di dunia ini ternyata sejalan asumsi yang dibangun oleh para malaikat bahwa ia akan membuat peperangan yang melayangkan beberapa nyawa. Dalam sejarah  manusia perbedaan pendapat sehingga menyebabkan perpecahan pertama kali terjadi adalah pada Qabil dan Habil, sehingga salah satunya harus menghembuskan nafas terakhir. Sejalan dengan itu suatu esensi hadith yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, hanya satu yang selamat dan masuk surga. Ini merupakan ketegasan yang dilontarkan oleh rasul bahwa setelah afatnya beliau umatnya akan mengalami perpecahan yang satu sama lain mengklaim dirinya yang paling benar.
Inilah satu keyakinan dasar dalam setiap golongan, bahwa akidah, dan tatanan hidup yang dibuat dan dibentuk oleh golongannya merupakan yang paling benar. Sebagaimana penjelasan al-Qur`an “ bahwa setiap aliran akan membanggakan dirinya sendiri “. Sejalan dengan fakta yang terjadi, bahwa di dalam kubu internal islam mengalami perpecahan, maka dari itu dianggap perlu mengkaji dan membahas diantara sebagian kelompok kelompok tersebut. Shi`ah oleh para pakar sejarah merupakan kelompok pertama yang menujukkan batang hidung perpecahannya. Dari situ, penting untuk membahas tentang awal mula munculnya shi`ah ini.
Di samping perpecahan yang awalnya ditenggarai berangkat dari politik, lalu berkelanjutan pada akidah, merupakan pembahasan yang unik dan menarik jika dikaji secara mendetail, tak hanya itu, pergolakan politik yang terjadi ketika itu banyak memakan korban, padahal membunuh merupakan dosa yang sangat besar. Ini yang patut untuk dicermati, karena mempelajari awal kebangkitan, perkembangan, sepak terjang, dan prinsipnya akan memberikan pemahaman bagi setiap pengkajinya benarkah mereka lahir dari satu motif politik, atau mereka lahir murni untuk menegakkan sendi sendi ajaran islam ? Maka dalam pembahasan yang sangat sederhana ini, para pembaca dan pengkaji akan disuguhkan beberapa pembahasan yang membahas seputar shi`ah, mulai dari lahir sampai pada prinsipnya. Pebahasan ini juga memberikan sebuah kerangka berpikir serta ilustrasi terhadap mazhab shi`ah ini, apakah mazhab shi`ah ini masuk dalam kategori kelompok yang selamat atau malah sebaliknya. [1]

Sejarah timbulnya konflik perpolitikan dalam islam bermula dari mangkatnya sang pembawa syariat dan tidak adanya penunjukan langsung seorang yang menggantikannya, konflik yang timbul pertama dalam islam adaalah konflik politik yang berujung pada teologi. Konflik yang bermula dari acana pengganti nabi ini cukup mempunyai efek besar pada perjalanan perpolitikan dan stabilitas tatanan sosial dalam masyarakat muslim. Namun hal tersebut bukanlah suatu yang aneh, pasalnya disamping islam sebuah agama (ajaran) namun tidak lepas dari sistim polotik. Muhammad sebagai pembawa ajaran pamungkas, di samping sebagai nabi ia juga menjadi kepala pemerintah yang menjalankan sistim tatanan Negara ketika itu, sehingga perebutan kekuasaan setelah nabi dalam pandangan Harun Nasution adalah wajar wajar saja.
Di satu sisi, perdebatan sengit yang terjadi pada saat memperdebatkan seorang yang pantas menjadi pengganti nabi dengan mudahnya diredam oleh Abu Bakar dan Umar, sehingga pada waktu kepemimpinan beliau pemerintahannya cukup stabil, dikarenakan kedua tokoh tersebut sangat dihormati dan mengayomi, serta adil dan terpercaya. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pencegahan munculnyaa pertikaian dan perbedaan pendapat ke permukaan. Semasa hidupnya kedua tokoh tersebut sangat akrab, laksana mata uang mereka tidak bisa dipisahkan. Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, Umar sangat gigih memantapkan kepemimpinan Abu Bakar, begitu juga sebaliknya.
Perjalanan pemerintahan Islam setelah dipegang oleh khalifah ketiga tak semulus system pemerintahan yang dipegang oleh pendahulunya. Usman bin Affan yang menggantikan Umar ( meninggal 26 atau 27 Zulhijjah 23 H, umur beliau 55 tahun ) setelah mengalahkan pesaing terberatnya Ali bin Abi Thalib.
Ahli sejarah mengatakan sebagaimana yang dikutip Harun Nasution bahwa Usman termasuk orang yang lemah lembut sehingga dia tidak mampu meredam ambisi para kerabatnya yang sebagian besar adalah dari kalangan aristocrat Makkah. Akibatnya beberapa gubernur yang diangkat oleh Umar diberhentikan oleh Usman dan digantikan dari kalangan keluarganya. Politik nepotisme yang dipraktekkan oleh usman mendapat pertentangan keras dari sahabat sahabat yang lain. Sebagaimana pemecatan Amr bin Ash sebagai gubernur Mesir lalu diganti oleh Abdullah bin Sa`ad bin Abi Sarh salah satu kerabat Usman. Sikap ini mendapat pertentangan sengit dari beberapa kalangan yang berkumpul lalu bergerak ke Mdinah sehingga klimaksnya menyebabkan terbunuhnya Usman.Terbunuhnya Usman sebagai khalifah ketiga adalah sikap frontal yang diambil oleh beberapa oknum yang tidak puas serta kecewa terhadap system kepemimpinan yang diambil oleh Usman. Pada mulanya para demostran yang erkumpul meminta Marwan pada Usman untuk diserahkan pada demonstran karena ia dianggap otak dibalik peristiwa ganjil yang diatas namakan kepada Usman. Namun Usman enggan memenuhi tuntutan mereka sehingga terjadilah peristiwa pembunuhan khalifah ketiga tersebut, tepat tanggal 18 Zulhijjah 35. Peristiwa ini adalah pintu awal yang membuka pada peperangan peperangan yang banyak memakan korban di kalangan kaum Islam itu sendiri.
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah ke empat. Pemerintahan Ali sangat tidak stabil pasalnyaia selalu mendapat perlawanan dari kalangan orang Islam itu sendiri. Penuntutan terhadap darah Usman juga menjadi satu alasan yang cukup kuat untuk menggulingkan kekuasaan Ali. Salah satu kelompok yang menentang Ali adalah Talhah dan Zubair dari Maakkah yang mendapat dukungan dari Aisyah yang menyebabkan meletusnya perang Jamal, yang menewaskan mereka berdua. Harun Nasution memandang bahwwa pemberontakan yang dilancarkan oleh mereka karena didorong oleh ambisius mereka untuk menjadi khalifah. Setelah menuntaskan perlawanan Aisyah dan koleganya, perhatian Ali tertuju ke Damaskus tempat kekuasaan Muawiyah yang enggan tunduk pada Ali, yaitu mengangkat Abdullah bin Abbas untuk menggantikan Muawiyah menjadi gubernur Damaskus. Keengganan Muawiyah ini menyebabkan meletusnya perang Siffin yang menurut Khalifah bin Khayyath, berlangsung dari tanggal 7 hingga 10 Shaffar 37 H. Dalam peperangan yang begitu sengit tersebut akhirnya Muawiyah setelah merasa pesimis memenangkan peperangan, dengan usulan Amr untuk meletakkan Mushaf di atas tombaknya. Konon sebanyak lima ratus mushaf diletakkan diatas tombak mereka. Langkah ini berhasil untuk mengembalikan semua masalah pada al-Qur`an. Pada mulanya Ali menganggap langkah tersebut tipu muslihat dari Muawiyah, namun ini ditentang oleh para pengikutnya termasuk yang menentang pertama melanjutkan peperangan adalah Asy`ats. Namun dengan desakan dari tentara Ali yang menginginkan semua dikembalikan pada al-Qur`an akhirnya Ali mengikuti pendapat mayoritas yaitu adanya arbitrase yng sama sama mewakilkan utusan dari masing masing pihak. Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy`ari dari Ali. Dengan kelihaian politik yang digunakan Amr, ia tetap menganggap Muawiyah sebagai khalifah dan memberhentikan Ali.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Muawiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Khawarij dan Shi`ah. Misalnya khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa itu, sementara Shi`ah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa sehingga seolah olah Ali adalah manusia tanpa cacat. Walaupun kedua sekte tersebut berangkat dari politik namun akhirnya mereka juga memasuki ranah teologi.
Muawiyah, melakukan perlawanan terhadap Ali ibn Abi Thalib yang diangkat menjadi khalifah yang ke empat, tepat pada tahun 37 H. Muawiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Antara menuntut balas atas kematian Usman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur. Berbagai upaya dilakukan Ali untuk mencegah kontak senjata antara lain mengiri Jarir bin Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Muawiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Muawiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Sebelum peperangan terjadi, Ali kembali mengirim juru runding untuk menghindari kontak senjata, namun upaya tersebut lagi lagi tidak meenemukan hasil yang diinginkan.
Jika ditelaah secara kritis, lahirnya aliran Khaariij adalah ide Amru Ibn Ash dengan mengangkat lembaran mushaf al-Qur`an diletakkan di ujung tombak sebagai issyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada kitab suci al-Qur`an. Ide ini ampuh memecah belah pasukan Ali.
Dari sini, sebagian pengikut Ali menyerukan untuk menerima tawaraan Muawiyah, sedangkan Ali sendiri menolaknya, terjadilah adu argument antara Ali dan tentaranya. Langkah ngotot yang diambil tentaranya akhirnya disetujui oleh Ali, Al-Asyasts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Muawiyah dan menanyakan apa  yang diinginkannya dengan mengangkat mushaf seperti itu, Ali menyetujuinya. Muawiyah mengatakan ; MARI KITA KEMBALI KEPADA APA YANG DIPERINTAHKAN ALLAH DI DALAM AL-QUR`AN. Kalian utuslah seseorang yang  kalian sukai dan kamipun akan mengutus seseorang yang kami suukai, biarkan mereka  berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati. Dengan segera usulan Muawiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus Amr ibn Ash sebagai juru runding. Sementara daripihak Ali, sekali lagi kelompok yang tadi memaksa Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka dengan menunjuk Abu Musa al-Asy`ari, sementara Ali menginginkan Abdullah ibn Abbas atau Malik al-Asytar, akhirnya Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian Amru, tapi kemudian Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Muawiyah menjadi khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution dalam tulisannya ; Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asyari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang  bertentangan itu, berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr ibn Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy`ari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.
Setelah menuai kekecewaan dari hasil arbitrase akhirnya mereka meningglkan barisan Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Haruriyah. Di Harura mereka membentuk organisasi sendiri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Raasii dari Banu Azd sebagai ppemimpin mereka.
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadlan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang dan kampong mereka kemudian pindah ke Jukha. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam diam sebaagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang dibawah pimpinan Abdulla ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara serius gerakan gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentaang kekejaman mereka terhadaap orang orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Diantara yang mennjadi korban adalah Abduullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Ali kemudian mengiri utusan membujuk dan menyadarkan mereka, Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama sama menuju Syiria atau pulang ke kampong masing masing. Sebagian memenuhi  anjuran  Ali, ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampong serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang, mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu, hamper semua mereka mati terbunuh, hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daaerah semakin radikal dan kejam, Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahmman ibn Muljam AL-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Menjadi sebuh ketentuan jika mereka berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan sepakat bahwa pecahan Khawarij tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian Ushul dan yang lain Furu`, yang termasuk ushul menurut Abu Hasan al-Asy`ari adalah AL-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah, dan as-Shufriyah, sementara menurut as-Shahrastani, yang masuk ushul adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-Ajaridah, ats-Tsalibah, al-Ibadhiyah, dan as-Shufriyah, yang termasuk furu` banyak sekali, diantaranya adalah al-Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-Ajaridah.
Jika ditelisik lebih mendalam sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Hadi bahwa akar mazhab mereka adalah pengagungan terhadap al-Qur`an dan tuntutan mengikutinya, akan tetapi mereka keluar dari as-Sunnah dan jama`ah, mereka tidak mau memakai Sunnah karena dianggap bertentangan dengan al-Qur`an, maka dari itu pemikiran mereka sesat, disamping itu pula mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena menerima tahkim yang ditenggarai huku buatan manusia.

SHI`AH DALAM SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
            Shi`ah dalam arti bahasa adalah pengikut dan penolong, yang mana berasal dari kata Sha`a  Yashi`u.[2]
Menurut terminologi, Naubakhti mengartikannya sebagai pengikut Ali r.a. dan mereka terpecah menjadi bermacam macam  kelompok. Adapun menurut Abu Hasan al-Asy `ari, Shi`ah adalah orang orang yang menjadi pengikut Ali dan yang mendahuulukan ( mengutamakan ) atas para Sahabat Rasul SAW lainnya.[3]
As-Shahrastani mendefinisikan Shi`ah sebagai istilah khusus yang dipakai untuk pendukung atau pengikut Ali bin Abi Thalib yang berpendirian bahwa pengangkatan Ali sebagai Imam atau khalifah berdasarkan kepada nash dan wasiat, serta mereka berkeyakinan bahwa keimanan tersebut tidak terlepas dan terus berlanjut pada keturunan keturunannya.[4]
Gejala munculnya komunitas Shi`ah ditengarai ada sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW ( 632 M ), pada saat itu ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa yang berhak menduduki jabatan khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah Ali, bukan Abu Bakar atau yang lainnya. Mereka meyakini bahwa Ali adalah orang yang paling baik dan tepat untu jabatan itu, dengan alasan bahwa kualitas dan kredibilitas Ali tidak diragukan, kelompok inilah yang kkemudian dikenal dengan sebutan Shi`ah Ali.[5]
Menurut pandangan Shi`ah, ketokohan Ali telah sejalan dengan isyarat yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW sendiri semasa hidupnya. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama kali mengakui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan mendukung dakwah dakwahnya, juga sebagai pahlawan besar yang memberikan pengabdian dan perjuangan luar biasa terhadap Islam. Isyarat ini sesuai dengan janji nabi Muhammad SAW bahwa orang yang pertama menerima dakwahnya maka ia akan menjadi penerus dan juga pewarisnya. Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa Gadir Khum. Yang mana diriwayatkan bahwa ketika rombongan nabi Muhammad SAW kembali dari haji Wada` dalam perjalanan dari Makkah menuju Madinah, di sebuah tempat yang bernama Gadir Khum, Nabi Muhammad SAW menunjjuk Ali sebagai penggantinya di hadapan massa rombongan haji yang menyertai nabi Muhammad. Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad disamping menetapkan Ali sebagai pemimpin umum dalam wilayah politik umat (al wilayah al-`amah), juga menetaapkannya sebagai pelindung (wali) bagi mereka ahl al-bait. Namun sepeninggal nabi, para  pendukung ahl al-baitt ini menerima kenyataan lain yang berbeda dengan harapan mereka semmula.[6]
Shi`ah Ali benar benar mengkristal menjadi sebuah sekte Shi`ah ketika terjadi konflik politik antara Ali dan Muawiyah yang lebih dikenal dengan peristiwa Tahkim.[7]Shi`ah tumbuh dan berkembang menjadi oposisi terhadap kekuasaan.[8] Apalagi setelah Ali terbunuh, Shi`ah Ali di Kufah menuntut agar kekhalifahan dikembalikan kepada keluarga Ali. Klaim legitimis atas nama keturunan Ali inilah yang menjadi awal mula doktrin politik Shi`ah.[i]
Secara politis, Shi`ah dikenal sebagai reaksi oposisi terhadap pendapat mayoritas yang ditarik dari sebuah indicator peran sosial politik keagamaan sebagian kaum muslimin yang mendukung Ali bin Abbi Thalib dalam suksesi khilafah pasca wafatnya rasulullah SAW, kelompok oposisi ini terus berkembang melakukan mobilitas massa sambil mendakwahkan kecintaannya kepada ahl al bait sampai kemudian menjadi sebuah partai atau kelompok besar dalam suksesi kepemimpinan setelah terbunuhnya Usman bin Affan.( 656 M).
Partai Shi`ah ini menjadi lebih subur dikala Ali bin Abi Thalib memimpin al-Khilafah al-Islamiyah ( 656-661 ). Tetapi pasca terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada 25 januari 661 adalah tahun tahun pahit bagi Shi`ah. Namun Shi`ah mendapatkan pengikut yang semakin besar dan selanjutnya merupakan kekuatan oposisi utama dalam serentetan pemerintahan Khilafah Sunni. Hal demikian dimulai tidak hanya karena terpinggirkannya ahl al bait dari hak hak kekhalifahan, melainkan juga karena tragedi kekejaman dan ketidak adilan yang dilakukan penguasa Sunni terhadap keturunan ahl al bait. Sebagaimana pada masa pemerintahan Amawiyah, khalifah Mu`awiyah telah menciptakan tradisi buruk yang berlanjut pada masa anaknya, Yazid dan para penggantinya sampai Khalifah Umar bin Abdul Azis. Tradisi buruk tersebut adalah mengutuk Ali bin Abi Thalib pada setiap penutup khutbah jum`at. Para sahabat sudah berusaha melarang Mu`awiyah dan para pejabatnya untuk melakukan hal itu. Bahkan istri rasulullah Ummu Salamah menulis surat kepada Mu`awiyah ; Sesungguhnya Anda telah mengutuk Allah dan Rasulnya karena anda mengutuk Ali bin Abi Thalib dan orang orang yang dicintainya. Saya bersaksi bahwa Rasulullah mencintainya.
Namun teguran teguran tersebut hanya seper.ti angin lewat saja, bahkan pada masa pemerintahan Yazid bin Mu`awiyah, Husain bin Ali dibunuh secara kejam tanpa mengindahkan kehormatan agama. Anak anak perempuan Husein pun ditawan oleh Yazid bin Mu`awiyah, sedangkan mereka adalah cucu cucu Rasulullah SAW.
Pada masa Abbasiyah, Shi`ah tidak mendapat pengakuan yang lebih baik dibanding pada masa Umayyah.
Perlakuan pemerintahan Amawiyah dan Abbasiyah menciptakan tekanan mental dan jiwa pada diri para pendukung Ali, dan itu mendorong mereka untuk memberikan penghargaan yang berlebihan terhadapnya.[9] .
Seiring berjalannya waktu, Shi`ah mengalami perpecahan dan menjadi beberapa golongan dengan ragam pemikirannya. Konon pendapat yang mengatakan bahwa actor dibalik lahirnya Shi`ah adalah Abdullah bin Saba` yang muncul pada akhir pemerintahan Usman. Pendapat ini ditolak oleh Qurais shihab dengan alasan “ tidak logis seorang Yahudi dapat mempengaruhi sahabat sahabat besar nabi “
  
SEKTE SEKTE DALAM SHI`AH

SEKTE ZAIDIYAH
            Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Aliran ini ajarannya paling mendekati kepada ajaran sunni ketimbang sekte sekte Shi`ah yang lain. Sekte ini tidak mengangkat imam ke derajat kenabian, mereka hanya menganggap para imam sebagai manusia utama setelah nabi, dan mereka mengakui para khalifah yang lain. Seperti menganggap imam mereka terpelihara dari dosa, juga tidak mempercayai adanya raj`ah (al-Mahdi). Sekte ini juga berpendapat bahwa seorang iman yang mewarisi kepemimpinan Rasulullah SAW tidak ditentukan nama dan orangnya oleh rasul, tetapi hanya sifatnya saja, sifat sifat itu adalah ; dari kalangan bani Hashim, wara`, bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat dan mengajak mereka hingga mengakuinya menjadi imam. Dari sifat itulah Ali sebagai seorang yang pantas menggantikan rasul sesudah meninggal. Dan juga seorang imam harus mempunyai keberanian untuk melawan kedzaliman, dari itu Zaid lebih diutamakan menjadi imam dari pada imam Ja`far ash-Shadiq kendati ilmunya melebihi dari Zaid. Aliran ini juga tidak mengakui ayah beliau ( imam Ali Zainal Abidin ) sebagai imam, karena langkah pasif yang diambilnya terhadap kedzaliman.
            Di samping itu aliran ini mempunyai pendapat bolehnya mengangkat dua imam dalam dua daerah kekuasaan yang berbeda selama mereka memiliki sifat sifat yang telah ditentukan diatas dan dipilih oleh ahl al-hall wa al-aqd. Dalam masalah pelaku dosa besar, aliran ini sependapat dengan aliran Mu`tazilah, bahwa pelaku dosa besar akan kekal di neraka selama mereka tidak bertaubat. Pendapat ini wajar saja, karena Zaid memiliki kedekatan dengan Wahil bin Atha`. Dari itu dalam segi akidah pemahaman mereka sesuai dengan paham Mu`tazilah. Muhammad Imarah berpendapat yang dinukilnya dari pendapat Nashiruddin ath-Thusi. Lalu dinukil kembali oleh Qurais Shihab bahwa, sekte ini dalam bidang akidah sebagaimana Mu`tazilah. Namun dalam segi hukum hukum yang berkaitan dengan agama mereka banyak sejalan dengan madzhab Abu Hanifah dan sedikit dengan madzhab Syafi`i. Dari sini tidak mengherankan jika Shi`ah ini mempunyai kaitan yang erat dengan Sunni, sehingga banyak dari karya karya imam mereka menjadi rujukan dikalangan Sunni, semisal Nailul al-Authar, dsb.

SEKTE IMAMIYAH
            Secara  garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW  telah melakukan penunjjukan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Usman. Sekte ini juga berpendapat bahwa percaya kepada imam termasuk rukun iman, yang maknanya adalah percaya bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari tuhan sebagaimana kenabian. Sedangkan menyikapi pada Abu Bakar dan Umar, sekte ini meyakini bahwa meereka merampas kekhalifahan tersebut yang seharusnya milk Ali, dari ini mereka sangatt membenci keduanya.
            Shi`ah Imamiyah juga disebut Shi`ah Itsna Ashariyah (dua belas), sekte ini juga bisa disebut dengan Jakfarian karena aliran ini didirikan oleh imam Jakfar Shadiq, mempercayai imam yang dua belas tersebut termasuk rukun iman. Adapun runtutan imam yang dua belas itu adalah ; Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad al-Baqir dan Ja`far as-Shaddiq. Setelah wafatnya Ja`far as-Sadiq, barulah mereka berselisih pendapat tentang siapa penggantinya. Diantara mereka ada yang berpedapat bahwa jabatan imam pindah kepada anaknya, Musa al Kazhim. Keyakinan inilah yang melahirkan sekte Shi`ah 12. Mereka berpandangan bahwa nabi Muhammad telah  menetapkan 12 orang imam sebagai penerus risalah diantaranya ; Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad bin Ali  al-Baqir, Ja`far bin Muhammad as Shadiq, Musa bin Ja`far Al Kadzim, Ali bin Musa ar Ridha, Muhammad bin Ali al Jawwad, Ali bin Muhammad al Hadi, Hasan bin Ali al Askari, dan Muhammad bin Hasan al Mahdi. Seiring berjalannya waktu, Shi`ah Imamiyah mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Seperti al-Baqiriyah, al-Ja`fariyah, al-Waqifiyah, an-Nawusiyah, al-Afthahiyyah, al-Sumaithiyyah, al-Isma`iliyyah, al-Mufadhaiyyah, serta al-Itsna Ashariyah.

SEKTE AL-KISSANIYAH
            Penganut aliran ini adalah pengikut al-Mukhtar ibn Ubaid al Tsaqafi, pada mulanya al-Mukhtar berasal dari kalangan Khawarij kemudian masuk kelompok Shi`ah yang mendukung Ali. Nama Kaisaniyyah berhubungan dengan nama Kaisan, yang menurut satu kalangan adalah nama lain dari al-Mukhtar. Kaisaniyah adalah sekte shi`ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallahu anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain juga menyebutkan seperti al-Baghdadi, al As`ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain lain bahwa nama Kaisan dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas`ud ats Staqafi salah seorang kibar sahabat yang sangat mencintai Ali, Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu.
            Diantara kelompok ini adalah al-Karabiyah, pengikut Abi Karb ad-Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hashimiyah, pengikut Abi Hisham. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As-Safah dan Abu Ja`far al Manshur merupakan pecahan dari pengikut Hashimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisham, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut turut kepada Ibrahim al Imam, as Safah dan al Mansur.
            Sebagian dari pemikiran sekte ini menganggap cukup dengan menaati para imam, walaupun meninggalkan puasa, salat, dan haji. Karena mereka berpendapat seorang  yang tidak percaya terhadap imam berarti ia tidak beriman. Dan juga diantara aliran ini juga menganut aliran hulul, tanasukh ( roh berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain ), ruj`ah ( hidup kembali di dunia setelah mati ), dan sebagian lagi berpendapat imam tertentu tidak mati (ghaib) dan ia akan kembali ke dunia ini dan sesudah kembali ke dunia ini barulah dia mati.

SEKTE GHULAT
            Shi`ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok shi`ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, mereka juga meyakini para imam imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (ilah), terkadang mereka menyamakan tuhan dengan makhluk, mereka sangat berlebihan dan keyakinan ini tumbuh dari madzhab hulul, inkarnasi, Yahudi dan Nasrani.
            Kelompok ini terbagi menjadi As-Sabayah, mereka adalah pengikut pengikut Abdullah bin Saba` yang  konon berkata kepada Sayyidina Ali ; ANTA ANTA, yakni engkau adalah tuhan. Kelompok  ini yang mempopulerkan bahwa Ali adalah tetesan tuhan, dia menjelma melalui awan. Shi`ah Ghulat juga terbagi pada Al-Khaththabiyah, kelompok ini adalah penganut Abu al-Khattab al-Asady, kelompok ini menyatakan bahwa imam Ja`far ash-Shadiq dan leluhurnya adalah tuhan, tak hanya itu ajaran kelompok ini juga meyakini bahwa semua nabi adalah tuhan. Di samping itu Shi`ah Ghulat terbagi menjadi Al-Ghurabiyyah, ajaran sekte ini mempercayai bahwa Allah mengutus malaikat Jibril kepada Ali bin Abi Thalib, namun malaikat Jibril keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada nabi, karena itu mereka mengutuk malaikat Jibril.
            Sedangkan sempalan terakhir dari sekte ini adalah Al-Qaramitha, kelompok ini dinisbatkan kepada Ibn al-Asyast, yang dikenal dengan gelar Qirmith. Keyakinan mereka sangat sesat. Antara lain ; Ali bin Abi Thalib adalah tuhan, setiap teks mempunyai makna lahir dan bathin, namun yang terpenting adalah makna batinnya, mereka juga menganjurkan seks bebas dan kepemilikan wanita dan harta secara bersama, dan membatalkan kewajiban salat dan puasa. Di samping sekte sekte diatas masih banyak sekte yang lain. Namun penyusun anggap sekte sekte yang telah dipaparkan dalam makalah ini cukup mewakili untuk memahami sepak terjang shi`ah.

PRINSIP DAN PEMIKIRAN SHI`AH
            Shi`ah mempunyai pemikiran yang juga kadang satu sekte dan sekte yang lain berseberangan. Pemikiran dan prinsip yang berjalan dalam shi`ah oleh Sirajuddin Abbas disederhanakan sehingga menjadi ;

  1. Pangkat khalifah setelah nabi adalah diwarisi dan ditunjuk langsung oleh nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib.
  2. Khalifah / imam adalah pangkat tertinggi dalam islam dan termasuk salah satu rukun iman.
  3. Khalifah / imam adalah ma`shum.
  4. Khalifah / imam masih mendapat wahyu dari tuhan, walaupun tidak dengan perantara Jibril, dan wahyu yang dibawanya wajib ditaati.
  5. Pintu ijtihad tetap terbuka lebar, dan bertaklid kepada ahl al bayt dianggap lebih afdhal.
  6. Jihad sebagai rukun Islam ke-6
PRO KONTRA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM SHI`AH
  1. Penakwilan tentang talak tiga (tiga kali sekaligus dalam satu majelis hanya dianggap satu), yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.
  2. Penambahan lafat Ash-shalatu khayrun min an-naum dalam adzan subuh.
  3. Penambahan lafat Hayya `ala khayr al-`amal sesudah Hayya `ala al-falah.
  4. Setuju tehadap konsep nikah mut`ah
  5. Setuju terhadap menjamak salat walau tidak dalam perjalanan,hujan dan khauf.

                                    DAFTAR PUSTAKA

  1. Muhammad bin Abdul Karim Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, PT Bina Ilmu, 2006.
  2. Ahmad Yani Anshori, Ideologi Shi`ah, Jurnal Asy-Syir`ah Volume 42 Nomor II, 2009
  3. Abdul Fattah Ahmad Fuad, Mausu`ah al-Firaq wa al-Madhahib fi al-`Alam al-Islami, Kairo, al-Majlis al-`a`la li al-Shu`un al-Islamiyah, 2007
  4. Ahmad Zuhdi, Dinasti Shi`ah Isma`iliyah, Jurnal Madaniyah, Nomor 2, (September, 2003)
  5. Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah Dalam Islam, Jakarta, Logos, 1996
  6. Philip K. Hitti, A History of The Arabs, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2010
  7. Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2004
  8. Al-Salabi, Ali Muhammad, Al-Daulah Al-Fatimiyah, Kairo, Muassasah Iqra`, 2006
  9. Sayyid Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi, Isu Isu Penting Ikhtilaf Sunnah Shi`ah, Bandung, Mizan, 1993.

Postingan terkait: