Pemikiran Hukum Islam Ibn Rushd


PENDAHULUAN
Meski dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak banyak yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rushd juga merupakan ahli Hukum Islam (jurist) atau faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi pada dunia akademik. Yasin Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang berjudul The Introduction to Ibn Rushd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal Islamic Law and Society menyebutkan, hanya beberapa sarjana yang menulis Ibn Rushd dalam kapasitas sebagai ahli hukum, seperti, artikel yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki (1978), Dominique Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya, menulis Ibn Rushd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat (Yasin Dutton: 1994).
Adapun dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rushd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum menemukan sebuah tulisan tentang Ibn Rushd dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum. Padahal karya Ibn Rushd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, adalah karya klasik paling komprehensif dan sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh Suni.
Ibn Rushd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena suatu hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20 tahun kemudian atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini disebutkan Ibn Rushd pada bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.
Karya klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab kuning dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari judulnya, Bidayah memang merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad dan akhir bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan dasar hukum Islam. Maka dengan mempelajari Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk berijtihad atas masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun masalah fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.

PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Ibn Rushd
Nama lengkapnya adalah ِAbu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ahmad Ibn Rushd atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H). Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang memiliki tradisi dan intelektual   yang besar serta mempunyai keahlian yang diakui dan disegani di kalangan praktisi hukum.  Ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibn Muhammad (487-563 H) adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya Ibnu Rusyd juga bermadhab Maliki dan pernah menjadi hakim agung di Spanyol. Salah satu keistimewaan Cordova adalah perhatian yang cukup besar terhadap kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[1]
Ibn Rushd hidup pada masa dinasti al-Muwahidun (515 H-667 H/1121M-1269M) yang telah mengalahkan dinasti al-Murabithun dan mengambil alih daerah kekuasaannya di Andalusia (Spanyol). Khalifah yang memimpin pada saat itu adalah khalifah Abu Ya’kub Yusuf. Di antara penguasa al-Muwahidun, Abu Ya’kub Yusuf adalah yang paling dekat dengan kaum ulama dan cendekiawan.  Pada masa ini hidup orang-orang besar seperti Ibn Rushd (filosof islam sekaligus faqih), Ibnu Tufail (filosof islam), Ibnu Mulkun (ahli bahasa), Abu Bakr Ibn Zuhr (ahli kesehatan sekaligus menteri) sehingga Cordova merupakan pusat peradaban Islam terbesar pada saat itu.[2]

B. Jaringan Intelektual
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof islam sekaligus pakar dalam bidang fiqh dan masalah khilafiyah pada zamannya. Pendidikan awalnya dimulai dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadith, Ilmu Kalam, bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu fiqih, ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Abu Muhammad Ibn Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Abu> al-Qa>sim Bashkuwa>l dibidang hadi>th. Setelah mempelajari ilmu fiqh secara mendalam dari berbagai guru, beliau menyusun kitabnya yang monumental yaitu Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid, dalam kitab ini, dijelaskan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam fiqh serta alasan masing-masing, dan buku tersebut merupakan buku terbaik dalam bidang tersebut. Karena itu, beliau menjadi pakar dalam bidang fiqh pada zamannya. Ibn Abba>r mengungkapkan kehebatan Ibn Rushd dalam ilmu Fiqh dengan mengatakan : “ilmu dirayah lebih ia kuasai daripada ilmu riwayah”. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan rasionalnya lebih kuat. [3]
Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr. Hingga ia ditunjuk oleh khalifah Abu Ya’qub dan putranya Ya’qub al-Mansur untuk menjadi dokter istana.[4]
Selain itu, Ibn Rushd juga berguru kepada : Abu al-Qasim Bashkuwal, Abu> Marwa>n Ibn Masarrah, Abu> Bakr Ibn Samhun, Abu> Ja’far Ibn Abdul Aziz, Abu> Abdillah al-Madzari. [5]
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibn Rushd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas permintaan Ibn T}ufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian memperkenalkannya dengan khalifah Abu Ya’kub Yusuf. Dalam pertemuan pertama antara Ibn Rushd dengan Khalifah terjadi proses Tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibn Rushd, selain itu mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Kemudian Ibn Rushd diminta untuk memimpin dan menjadi guru besar di Universitas Cordova dan menjadi guru istana di Maroko. Kemudian pada tahun 1169, sesuai dengan keahliannya di bidang hukum dan Fiqh Islam, maka pemerintah mengangkat Ibn Rushd menjadi qodhi di Sevile setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di kordoba, selain itu pada tahun 1182 ia kembali ke istana Muwahidun di Marakhes menjadi dokter istana khalifah al-Manshur pengganti dokter Ibn T}ufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibn Rushd sebagaimana perlakuan ayahnya yang kemudian pada tahun 1186 M Ibn Rushd diangkat sebagai penasehat politik. Namun pada tahun 1195 mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang para filosof. Pada saat meletusnya fanatisme terpendam dari kaum Barbar, beliau menjadi korban dari kelompok yang mencemburui kejeniusannya, yakni para fuqaha’ dan ulama’ menuduhnya sebagai seorang zindik dan kafir. Sebagai akibat dari pertentangan antara kaum agamawan dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik. Akhirnya pada waktu Ibn Rushd berumur 73 tahun ia dihadapkan ke pengadilan, diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun 1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di sebelah selatan Cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rushd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan Nafish Abu al-‘Abbas.
Dapat dikatakan bahwa ujian yang dialami oleh Ibnu Rusyd itu disebabkan oleh permasalahan-permasalahan keagamaan dan filsafat, bukan permasalahan politik. Karena tidak ditemukan gejolak massa yang sama indikasinya dengan kejadian terhadap Ibn Rushd ini. Sepertinya penyebabnya adalah kekhawatiran sebagian fuqaha’ konservatif dan klaim mereka mengenai agama dan filsafat, serta perseteruan antara pemikir liberal dan ulama konservatif. Sebagian ulama konservatif dan pendukung-pendukungnya mengatakan  dasar pemikiran Ibn Rushd itu kafir dan zindiq. Hal ini dikarenakan keinginan mereka untuk menguasai suasana intelektual dan menuding ilmu-ilmu kuno Yunani sebagai ilmu terbuang yang tidak boleh dipelajari. Sehingga mereka mempengaruhi al-Manshur untuk menentang dan menghukumnya. Sedangkan al-Manshur sendiri sesungguhnya hanya menguji Ibn Rushd bukan karena dendam dan bukan pula untuk menganiayanya melainkan hanya untuk mengakhiri serangan para fuqaha>’ yang melontarkan sebutan kafir terhadap para filosof dan mengutuk mereka. [6]
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibn Rushd, sutau sikap yang sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al- Manshur merehabilitasi Ibn Rushd dan memanggilnya kembali ke istana. Ibn Rushd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rushd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, Cordova.[7]

C. Karya Karyanya
Ernast Renan, seorang peneliti dan sarjana Perancis menemukan buku-buku karya Ibn Rushd di perpustakaan Escurial Madrid sebanyak 78 buah buku diantaranya:[8]
1.      28 buah dalam ilmu filsafat.
2.    20 buah dalam ilmu kedokteran
3.      8 buah dalam ilmu hukum Islam.
4.      5 buah dalam ilmu kalam (teologi).
5.      2 buah dalam ilmu sastra arab.
6.      11 buah dalam berbagai ilmu pengetahuan. 
 Adapun buku karyanya dalam bidang fiqh dan ushul fiqh adalah:[9]
1.    Bida>yah al-mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid, ilmu fikih yang berisi tentang perbandingan madzhab dan alasannya masing masing. Pada bagian akhir, Ibn Rushd member sedikit komentar tentang perbedaan tersebut dengan menggunakan rasionya.
2.    Mukhtas}ar al-Mustas}fa> fi> al-Ushu>l li al-Gaza>li>.
3.    al-Tanbih Ila> al-Khatha’a fi> al-Mutu>n. Terdiri dari tiga juz.          
4.      al-Da’awa> fi> Majlida>t.
5.    Risa>lah fi> al-dhuha>ya>
6.    Risa>lah fi> al-Kharaj
7.    Muka>sab al-Mulu>k wa al-Ra’sa>i wa al-Mura>bi>n al-Muharramah
8.    Al-Dars al-Ka>mil.

D. Pemikiran Hukum Islam Ibn Rushd
Pemikiran hukum islam Ibnu Rusyd terdapat dalam kitab fiqhnya Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid. Tujuan dari penulisan kitab tersebut adalah memperkuat hafalan Ibn Rushd terhadap berbagai masalah hukum yang disepakati dan diperdebatkan dalil-dalilnya, yang sesuai dengan ushul dan qaidah fiqh yang dapat membantu seorang mujtahid mencari hukum terhadap masalah yang tidak diungkap dalam shari’at atau terkait dengan nash, dari zaman sahabat sampai masa tersebarnya taklid buta.
Sebelum membahas pemikiran Ibnu Rushd, kita harus tahu terlebih dahulu metode yang digunakan Ibn Rushd dalam mengeluarkan hukum-hukum shari’at dan menjelaskan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat para ulama’. Metode yang digunakan untuk memahami hukum dari Nabi Muhammad Saw pada dasarnya ada empat yaitu: [10]
1.    Lafaz}
Adapun lafaz}-lafaz} yang dapat dipahami untuk menentukan hukum terdiri dari 4 macam, tiga yang disepakati dan  satu yang diperdebatkan. Tiga lafaz} yang disepakati ulama’ adalah lafaz} umum yang menunjukkan keumumannya, lafaz} khusus yang menunjukkan kekhususannya, lafaz} umum yang maksudnya adalah khusus atau lafaz} khusus yang maksudnya adalah umum.
Contoh lafaz} umum yakni firman Allah :
ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌ“Yσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

Sesungguhnya kaum muslim telah sepakat bahwa lafaz} ’khinzir’ mencakup semua jenis babi selama tidak termasuk binatang yang diungkapkan secara ishtirak al-ism (kesatuan nama) seperti babi laut.
Contoh lafaz} umum tapi yang dimaksud adalah khusus adalah firman Allah:
õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy íOŠÎ=tæ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Sesungguhnya kaum muslim sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua jenis harta.
Contoh lafaz} khusus yang dimaksud adalah umum adalah firman Allah:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ 
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[1].
[1]  Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
                                                                                                                                                                Ayat tersebut  mengatakan bahwa berkata ”ah” kepada orang tua yang digolongkan sebagai perbuatan ringan itu saja tidak dibolehkan apalagi perbuatan memukul atau mencela orang tua, hal tersebut juga dilarang.                                                                                                                                                   
Lafaz}-lafaz} yang menunjukkan bahwa sesuatu harus dikerjakan ini terkadang  diungkapkan dalam bentuk perintah, atau berita yang memiliki makna perintah, begitu juga dengan sesuatu yang dilarang terkadang diungkapkan dalam bentuk larangan atau dalam bentuk berita yang mengandung makna larangan. Kemudian implikasinya, apakah lafaz}-lafaz} tersebut dapat menunjukkan bahwa sesuatu yang dituntutnya itu hukumnya wajib atau sunnah, sesuatu yang dilarang itu menunjukkan hukum haram atau makruh? Ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini.
Hal-hal yang terkait pada hukum terkadang berupa lafaz} yang hanya menunjukkan satu makna saja (dalam us}ul  fiqh disebut nas} dan wajib mengamalkannya), dan ada lafaz} yang menunjukkan lebih dari satu makna. Lafaz} yang kedua dibagi menjadi dua:
·      Lafaz} yang menunjukkan berbagai makna secara seimbang (dalam us}ul fiqh disebut mujmal), dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa lafaz} ini tidak menunjukkan satu hukum.
·      Lafaz} yang menunjukkan pada sebagian makna yang lebih banyak dari sebagian yang lainnya. Makna yang lebih banyak ini disebut dengan z}hahir, sedangkan makna yang lebih sedikit disebut muhtamal.
Jika makna tersebut diungkapkan secara mutlak terhadap berbagai makna maka akan sampai pada makna yang z}ahir hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud adalah makna muhtamal, hal itu menyebabkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh mengenai lafaz}-lafaz} nash. Sehingga timbul beberapa jenis makna:
·         Lafaz} yang mengandung banyak makna (al-ishtirak)
·         Ragam makna yang disebabkan oleh alif lam yang terdapat pada satu lafaz}
·         Ragam makna dalam lafaz}-lafaz} perintah dan larangan.
Sedangkan yang  diperdebatkan adalah mengenai penetapan terhadap sesuatu merupakan peniadaan untuk kebalikannya begitu juga sebaliknya peniadaan hukum terhadap sesuatu merupakan penetapan bagi kebalikannya, atau lebih dikenal dengan dalil khitab. Contohnya adalah hadith Nabi
في سائمة الغنم الزكاة
“Dalam kambing yang digembalakan ada (kewajiban) zakat.”
Sebagian ulama’ berpendapat tidak ada zakat pada kambing yang tidak digembalakan.
2.    Perbuatan
Menurut jumhur ulama’ perbuatan Nabi termasuk salah satu metode untuk menetapkan hukum-hukum shari’at, namun sebagian ulama’ yang lain mengatakan bahwa perbuatan Nabi tidak menunjukkan satu hukum tertentu karena tidak memiliki redaksi bahasa. Para ulama’ yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi dapat dijadikan landasan hukum, berbeda pendapat mengenai hukum yang dihasilkannya, sebagian ulama berpendapat menunjukkan wajib, dan sebagian yang lain berpendapat menunjukkan sunnah.
Sedangkan menurut Ibn Rushd, jika perbuatan tersebut merupakan penjelas dari kewajiban yang bersifat mujmal, maka ia bersifat wajib, dan jika perbuatan tersebut merupakan penjelas dari sunnah yang bersifat mujmal, maka ia menunjukkan sunnah. Dan jika bukan merupakan penjelas dari hal yang mujmal, hukumnya sunnah (ibadah), selain itu  hukumnya mubah.
3.    Ketetapan Nabi (iqrar). Iqrar ini menunjukkan hukum boleh. 
4.    Qiyas. ketika terdapat suatu masalah yang tidak dijelaskan dalam shari’at, maka jumhur berkata dapat menggunakan qiyas. 
Adapun Ijma’ menurut Ibn Rushd sebenarnya bersandar pada empat metode di atas, hanya saja jika ijma’ terjadi pada salah satunya yang tidak qat’i, maka ia akan berubah dari z}anni menjadi qat}’i.
Makna-makna yang dipahami dari berbagai metode ini ditetapkan kepada para mukallaf berupa perintah, larangan, atau pilihan terhadap sesuatu. Jika perinntah dikeluarkan secara kuat dan berkaitan dengan hukuman maka dinamakan wajib, jika dipahami dari suatu perintah itu ada pahala tanpa disertai ancaman jika meninggalkannya maka disebut nadb (sunnah).  Demikian pula larangan, jika dikeluarkan secara kuat dan berkaitan dengan hukuman maka ia disebut haram, dan jika dipahami dari larangan tersebut sebuah anjuran untuk ditinggalkan tanpa ada kaitannya dengan hukuman maka disebut makruh. Sehingga hukum-hukum dari berbagai metode di atas ada lima, yaitu wajib, mandu>b (sunnah), mahdhu>r (haram), makruh dan mukhayar atau mubah.
Sedangkan sebab-sebab perbedaan dalam lafaz}:
Ø Adanya berbagai lafaz} antara empat kemungkinan maksudnya di sini adalah adanya kemungkinan lafaz} umum yang dipahami khusus, atau khusus yang dipahami umum, atau umum dipahami umum, atau khusus dipahami khusus, atau antara memiliki dalil khitab dan tidak.
Ø Ishtirak, lafaz} yang memiliki makna ragam yang terjadi pada berbagai lafaz}.
Ø Perbedaan i’ra>b.
Ø Kategori sebuah lafaz} antara hakikat atau majaz
Ø Mutlaqnya suatu lafaz} pada satu kesempatan dan muqayyadnya pada kesempatan lain.
Ø Adanya kontradiksi antara berbagai metode dalam memahami hukum, contohnya kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan, atau dengan iqrar Nabi atau qiyas, atau kontradiksi antara perbuatan Nabi dengan iqrar atau qiyas dan sebagainya. [11]
Pemikiran hukum islam Ibn Rushd dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid yaitu dengan mengemukakan masalah-masalah yang telah disepakati oleh fuqaha>’ beserta alasan-alasannya, selain itu juga dikemukakan masalah-masalah yang hukumnya masih diperdebatkan oleh fuqaha>’ beserta alasan-alasannya. Masalah-masalah yang diperdebatkan itu adakalanya dibiarkan oleh Ibn Rushd tanpa komentar mungkin karena telah dibahas sebelumnya,  dan ada kalanya beliau memberi komentar baik secara ringkas, secara sederhana maupun secara panjang lebar. Komentar-komentar itu biasanya berisi pembahasan mengenai penyebab timbulnya perbedaan pendapat. Kemudian terkadang beliau mengemukakan penilaiannya mengenai masalah yang dibicarakan beserta alasannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kitab ini pun, Ibn Rushd tidak lepas dari menerapkan metode yang digunakan dalam pembahasan filsafat. [12]
Contoh pemikiran Ibn Rushd dalam bidang fiqh (hukum Islam) tertuang dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid. Pemikiran Ibn Rushd dalam bidang fiqh ini diantaranya:
Ketentuan puasa bagi wanita yang hamil atau sedang menyusui dan orang yang yang sudah lanjut usia. Mengenai sanksi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa pada bulan ramadhan. Ada 4 pendapat yaitu: Imam Shafi’i berpendapat wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah/kafarat. Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar wajib membayar kafarat atau fidyah tanpa mengqadha puasa. Sedangkan pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya adalah wajib mengqadha puasa tanpa membayar fidyah/kafarat.  Setelah menyebutkan perbedaan pendapat para ulama’ mengenai hal tersebut, Ibnu Rusyd mengemukakan penyebab perbedaan pendapat ulama’.
Penyebabnya adalah perbedaan mereka dalam menggunakan qiyas. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengiaskan perempuan hamil atau sedang menyusui dengan orang yang tidak sanggup lagi berpuasa, baik karena sudah sangat tua, maupun karena penyakit yang tidak mungkin sembuh. Maka perempuan tersebut wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengqada’ puasanya. Ini berdasarkan surat al-Baqarah ayat 184 yang menyebutkan bahwa ”Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang-orang miskin”.  Sedangkan Imam Abu Hanifah mengiaskannya dengan orang sakit biasa sehingga perempuan tersebut wajib mengqada puasanya bukan membayar fidyah. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa penyerupaannya dengan orang sakit biasa dan dengan orang yang sangat tua sama-sama dapat diterima. Sehingga, perempuan hamil tersebut wajib mengqada puasa dan membayar fidyah. 
Menurut Ibn Rushd, orang yang menentukan wajib qadha saja atau wajib fidyah saja lebih utama daripada mewajibkan qadha dan fidyah. Sedangkan qadha lebih utama daripada fidyah, sebab ayat itu tidak mutawatir. [13]
Ibn Rushd dalam beristinbath lebih banyak menggunakan ra’y  (rasio). Karena Ibn Rushd juga seorang filosof maka cara berfikirnya juga dipengaruhi oleh cara berfikir filsafat. Namun, Ibn Rushd yang dikenal sebagai pengguna rasio ternyata bermadhhab Maliki (yang pemikirannya cenderung menggunakan dalil) bukan bermadhhab Hanafi (yang pemikirannya menggunakan rasio). Hal ini membuat kita bertanya-tanya mengapa Ibn Rushd tidak bermadhhab Hanafi?
Hal ini dikarenakan adanya pengaruh territorial dimana madhhab Maliki menjadi madhhab resmi Cordova. Selain itu, guru-guru Ibn Rushd yang bermadhhab Maliki turut mempengaruhi pemikiran Ibn Rushd sehingga Ibn Rushd pun dalam beristimbath lebih banyak menguatkan pendapat madhhab Maliki. Hal ini seperti tertuang  dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid.  Dalam kitab itu, Ibn Rushd menjelaskan masalah-masalah beserta perbedaan pendapat para madhhab kemudian dari uraian penjelasan tersebut ada yang dikomentari dengan ringkas, sederhana, dan panjang lebar, dan ada pula yang tidak dikomentari. Sehingga disebut komentar ringkas, komentar sederhana  dan komentar panjang lebar.
Sedangkan karakteristik khusus pemikiran Ibn Rushd yaitu penggunaan ra’y  dalam beristimbath.

PENUTUP

Ibnu Rusyd adalah seorang filosof muslim sekaligus seorang faqih. Namun beliau lebih dikenal dalam bidang filsafat daripada di bidang hukum Islam. Meskipun demikian, pemikiran beliau dalam bidang hukum islam patut diacungi jempol karena merupakan karya yang monumental pada zaman tersebut khususnya karya beliau “kitab bidayah al-mujtahid wa nihayah al-muqtasid”. Di dalamnya diulas mengenai masalah-masalah fiqh beserta perbedaan madhhab dan penyebab perbedaan tersebut yang kemudian diakhiri dengan komentar Ibnu Rusyd. Metode istimbath Ibnu Rusyd ada 4 yaitu lafaz}, perbuatan, ketetapan, dan qiyas.


DAFTAR PUSTAKA

al-Aqqad, Abbas Mahmud, Ibn Rushd, Da>rul ma’arif, cet. Ke-VII, 1422 H

al-Jabiri, Muhammad Abid, Ibn Rushd, Si>rah Wa Fikr: Dira>sah Wa Nushu>sh, Beirut, 1998,

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009

--------, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid, Terj. Beni Sarbeni, dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Rusyd, Ibn, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid, Juz 1, Beirut: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1989

‘Uwaidah, Kamil Muhammad, Ibn Rushd al-Andalusi Failasuf al-Arabic wa al-Muslimin,  Terj. Aminullah Elhadi, Jakarta: Riori Cipta, 2001.

Tim Penulis, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999




Postingan terkait: