Sejarah Pemikiran Hukum Abu Hanifah


PENDAHULUAN 
            Abu Hanifah (80 H/699 M – 150/760 M H) lahir di kufah di zaman dinasti umawiyah dan abbasiyah yang pada saat itu terdapat dua arus besar pemikiran (ahli hadith dan ahli ra’yu), namun kufah pada saat itu lebih didominasi ahli ra’yu, termasuk para guru Abu Hanifah, sehingga berpengaruh pada pemikiran Abu Hanifah.
            Kehidupan Abu Hanifah sebagai pedagang yang selalu berinteraksi secara langsung dengan kondisi riil, serta proses pendidikannya sejak dari hadith, ilmu kalam dan ilmu hukum, disamping pengaruh kondisi lingkungan yang cenderung menggunakan ra’yu, merupakan proporsi ideal bagi seorang mujtahid, sehingga produk pemikirannya merupakan hasil komunikasi antara akal (ra’yu), al-Qur’an, hadith dan kondisi empiris. Dengan demikian, kemaslahatan umum merupakan pertimbangan utama dalam penetapan hukum islam yang bercorak Abu Hanifah


PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan yang gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.[1] Dan Islam merupakan agama yang menyeluruh.[2] Nilai-nilai kehidupan termaktub dalam sumber ajarannya, al-Qur’an. Maka Islam bukan hanya hukum dan falsafah, namun Islam adalah agung nan suci yang memiliki berbagai dimensi. Islam merupakan subtansi, prinsip, atau ruh yang menjadi semangat dalam setiap gerak langkah kehidupan. Dengan demikian Islam bersifat atributif, artinya nilai-nilai Islam harus melekat pada segala aspek kehidupan sehingga nuansa keislaman dalam setiap aspek sosial mencerminkan nilai agama Islam.
Kehadiran Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW. diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.[3] Namun masa tashri’ amatlah singkat, Khudlori Bik mencatat sepanjang dua puluh dua tahun lebih dua bulan lebih dua puluh dua hari.[4] Singkatnya masa tashri’ mengakibatkan permasalahan baru di dalam masyarakat Islam. Beberapa masalah yang belum tercontohkan / terselesaikan di masa tashri’ membutuhkan kreatifitas penyelesaian dan penyikapan pasca wafatnya Rasulullah SAW sampai sekarang. Salah satu sahabat yang terkenal inovatif dan kreatif adalah Umar ra. Di antara  ide-ide kreatifnya adalah ide penulisan dan pengumpulan naskah al-Qur’an, membagikan tanah pertanian hasil rampasan perang kepada petani setempat (bukan kepada tentara) untuk ditanami, dll.[5] Walaupun pada mulanya ia ditentang mainstream sahabat, tetapi akhirnya ide itupun diterima masyarakat luas. Dengan demikian perlu adanya penerapan akal (ra’yu) dalam memahami dan menerapkan subtansi keislaman.
Begitupun pada masa setelah Sahabat, Abu Hanifah sebagai ulama’ Islam, turut berkiprah dalam merumuskan ide-ide dan jawaban baru atas permasalahan sosial masyarakat. Kehadirannya memberikan nafas baru dalam sejarah pemikiran Islam. Melalui konsepnya yang mampu mengkomunikasikan antara akal (ra’yu), al-Qur’an, hadith dan kondisi empiris, maka Islam melalui konsep-konsepnya menjadi sangat humanis dan applicable hingga saat ini.
Salah satu pendekatan dalam memahami islam adalah pendekatan kesejarahan. Pendekatan yang memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[6] Sehingga kesenjangan atau keselarasan yang terdapat dalam alam idealis dengan alam empiris dan historis akan terlihat jelas. Pendekatan inilah yang dijadikan pijakan dalam pembahasan ini. Dengan demikian, pembahasan makalah ini bertujuan untuk mengkaji sejarah hidup dan pemikiran Abu Hanifah.
Makalah ini telah didiskusikan dalam Perkuliahan di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan dosen pembimbing Dr. Iskandar Ritonga, M. Ag. Dari hasil diskusi direkomendasikan agar makalah disempurnakan dengan menambahkan pembahasan tentang:
1.    Kitab-kitab yang dikarang oleh Abu Hanifah dan muridnya
2.    Ketersebaran maz}hab hanafiyyah di Negara Islam
3.    Hubungan Abu Hanifah dengan pemerintahan
4.    Beberapa pemikiran hukum Abu Hanifah.


B.       Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.        Mengiskhtisarkan sejarah hidup Imam Abu Hanifah.
2.        Mendeskripsikan Pokok Pemikiran Imam Abu Hanifah
Makalah ini hanya sebatas pengantar yang pastinya terdapat kekurangan karena keterbatasan pemakalah.


PEMBAHASAN

A.      Kelahiran dan Keluarga Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan di Kufah,[7] pada tahun 80 H/699 M, bertepatan dengan masa kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dinasti Umawi / Umayyah. Nama lengkapnya adalah Nu’man. [8]
Ia dilahirkan di lingkungan Islam taat. Indikasi ketaatan dilingkungan keluarganya ialah ketika Tsabit, ayah Abu Hanifah, bertemu dengan sahabat Ali Bin Abi Thalib, ia memanfaatkan pertemuan itu dengan meminta sahabat Ali untuk mendo’akan agar keturunannya diberi kebaikan dan keberkahan.[9] Di kesempatan lain, Ayah Abu Hanifah sering bershadaqah, terlebih kepada Sahabat Ali bin Abi T{alib pada saat hari pesta rakyat (‘id nayruz).[10]
Berbagai versi tentang siapa Thabit, ayah Abu Hanifah. Pendapat yang dihimpun sl-Shirbashi mengatakan bahwa satu versi ia keturunan Anbar, satu versi keturunan Turmudhi, satu versi ia keturunan Nasa’.[11] Muhammad Abu Zahrah menambahi, bahwa Imam al-Khotib dalam Buku Tarikh Baghdad menyatakan bahwa ia keturunan Babil (Babilonia), bahkan ada yang mengatakan keturunan Arab,[12] Sekalipun Abu Zahrah dan Al-Shirbashi mengutarakan berbagai macam versi, mereka akhirnya mentarjih sebuah pendapat mayoritas ulama’ disertai dengan alasan yang kuat, yakni Thabit adalah keturunan persi (fa>ris) sebab ayah dari Thabit (kakek Abu hanifah) berdasarkan penjelasan Umar Ibn Hammad Ibn Abi Hanifah (cucu Abu Hanifah), adalah anak dari Nu’man bin al-Marazban. Kalimat al-Marazban berasal dari bahasa Persi yang berarti pimpinan pemuda Persi yang merdeka. Kompromi (jam’u) perbedaan dilakukan oleh Abu Zahrah dengan mengungkapkan bahwa Ayah Abu Hanifah bukan keturunan Anbar, Bukan Keturunan  Babil, dan lainnya, tetapi Thabit adalah orang yang pernah bertempat di turmudh, kemudian di Nasa’, lalu di Anbar.[13]
Dalam versi lain yang diutarakan Al-Shirbashi dan Khudlori Bik, ayah Abu hanifah adalah Tsabit bin Zauthi bin Ma>hin, seseorang yang berketurunan non arab. Zauthi adalah kata-kata non arab.[14] Pengungkapan sedikit mendetail ini untuk menjawab pendapat yang fanatik bahwa Abu Hanifah adalah keturunan Arab. Dan Abu Hanifah wafat di Baghdad pada tahun 150 H, genap usianya 70 tahun.[15]

B.       Kesibukan Abu Hanifah Dalam Berdagang
Abu Hanifah lahir di lingkungan pedagang kaya yang taat. Oleh sebab itulah ia ahli berdagang, bahkan di masa muda ia lebih cenderung untuk berdagang. Ia dikenal sebagai pedagang kain sutera dan wol (bazza>z). Bahkan ia memiliki toko yang terkenal di kufah. Ketaatannya terhadap agama menjadikannya sebagai pedagang yang jujur, tidak pernah berbohong kepada pembeli, bahkan ia pasti menceritakan cacatnya barang yang dijual jika terdapat cacat di dalamnya. Diceritakan bahwa Abu Hanifah memiliki rekanan bisnis (shari>k) yang bernama Hafs} Ibnu Abdul Rahman. Suatu saat ia menjadikan Hafs} sebagai wakil dalam menjaga tokonya dengan catatan ia harus mengutarakan cacat yang terdapat pada dagangannya. Tetapi sang wakil lupa setalah terdapat sesorang membeli barang dagangan. Akhirnya Abu Hanifah mencari pembeli tersebut namun tidak dapat ditemukan. Maka ia pun menyedekahkan seluruh hasil penjualannya di hari itu.[16]
Terjunnya Abu Hanifah di dunia bisnis adalah kewajaran akibat pengaruh dari kehidupan orang tuanya, yang saat itu telah menjadi tradisi bahwa sang anak akan meneruskan kiprah orang tuanya. Selain itu, pemenuhan kebutuhan hidup merupakan keniscayaan.
Konsekuensi logis atas kehidupannya sebagai ulama’ yang berlatar belakang pedagang adalah bahwa ia lebih banyak berfatwa hukum mengenai dunia perdagangan dan interaksi sosial.

C.      Dunia Pendidikan Abu Hanifah
Kondisi lingkungan memang lebih mendorong terciptanya sifat, sikap dan prilaku serta karakter seseorang. Begitupun Abu Hanifah yang hidup di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya berbudaya menghafal dan membaca al-Qur’an, sehingga pada usia enam tahun ia telah hatam dalam menghafal al-Qur’an dengan bermaz}hab pada Imam As}im, salah satu ulama’ dalam qira’ah sab’ah.[17] Hafalannya itu dilakukan di sela-sela ia berjualan di pasar untuk membantu orang tuanya.
Selanjutnya ia belajar ilmu gramatika arab yang disebut dengan ilmu nahwu dan shorof, di dalamnya membahas pokok-pokok kalimat dalam bentuk kaidah yang tersusun dan lebih bersifat sima’i. Pastinya peran akal dan ra’yu setidaknya dikesampingkan sementara. Keadaan ini tidak sesuai dengan karakter Abu Hanifah yang sejak kecil sudah cerdas dan selalu mendayagunakan akal. Oleh sebab itu ia berpindah untuk mendalami dua ilmu secara bersamaan, yakni ilmu fiqh dan ilmu kalam.[18] Kedua ilmu ini dianggap mampu menjadi pelampisan fungsi akalnya. Walaupun didalami secara bersamaan, konsentrasi pendalaman lebih tertuju pada ilmu kalam, sehingga penguasaan terhadap ilmu fiqh tidak sebegitu mendalam. Namun akhirnya ia menemukan alasan yang kuat untuk berpindah mendalami ilmu fiqh.
Cerita seputar perpindahan Abu Hanifah dari mendalami ilmu Kalam menuju ilmu Fiqh sebagaimana dikisahkan Al-Khatib dalam kitabnya Tarikh Baghdad, ia menukil ungkapan Zufar bin Huzail yang mendengar Abu Hanifah berkata:
“Aku mempelajari (munadlarah) ilmu kalam (di sebuah tempat) sampai aku mampu menyampaikannya dalam sebuah musyawarah, dan aku duduk di dekat halaqah Imam Hammad bin Abi Sulaiman. Lalu suatu hari seorang wanita menghampiriku dan bertanya padaku, “Aku memiliki suami yang memiliki istri lain, dan ia ingin menthalaknya dalam thalaq yang sunnah. Berapakah ia harus menthalaqnya?”. Maka aku tak tahu apa maksud dari pertnyaannya, dan aku sarankan ia bertanya pada Syeh  Hammad, kemudian ia kembali adaku dan memberikan penjelasan padaku bahwa syeh Hammad berkata: Suamiku tadi harus menthalaq dalam keadaan istri suci dari haid dan tidak di jima’ dengan satu talaq kemudian suami harus mneninggalkannya sampai wanita itu mengalami dua haid, jika wanita itu sudah mandi maka ia haklal bagi para suami (untuk menikahinya). Lalu wanita tadi kembali. Lalu aku berpendapat: Aku tidak butuh ilmu kalam, dan aku mengambil sandalku lalu aku duduk bersama syeh Hammad, lalu aku mendengarkan permasalahan (fiqh) yang disampaikannya, lalu aku hafalkan, kemudian aku kembali di hari esok untuk menghafal lagi….”.[19]

Keinginan Abu Hanifah untuk mendalami ilmu, yang sebelumnya hanya sebatas pengetahuan, berawal dari pertemuannya dengan Imam Shu’abi. Imam Shu’abi melihat potensi yang ada dalam diri Abu Hanifah, namun sayangnya ia harus tersibukkan dengan urusan dagang. Akhirnya Imam Shu’abi memberikan saran agar ia menggeluti dunia keilmuan Islam tanpa harus meninggalkan urusan dagang.[20] Ternyata saran tersebut benar-benar didengar oleh Abu Hanifah, akhirnya ia mencoba untuk mendalami berbagai ilmu pada beberapa guru, diantaranya Hammad ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari, Zaid ibnu Ali Ibnu Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir Zainal Abidin, Ja’far al-Shadiq, Abdullah ibnu al-Hasan Ibnu al-Hasan, Jabir Ibnu Yazid al-Ju’fi, Ibrahim al-Nakha’i, Imam Al-Shu’abi, dll. Sekalipun ia banyak belajar pada ulama’, namun yang paling berpengaruh dalam pemikirannya adalah Hammad ibnu Abi Sulaiman al-Ash’ari seorang ahli fiqh daerah Kufah, karena lamanya ia belajar padanya sekitar 40 tahun, sejak usianya 22 tahun. Ia belajar fiqh dan hadith pada imam Hammad, sekalipun di waktu bersamaan ia juga belajar fiqh pada Ibrahim al-Nakha’i dan Imam Al-Shu’abi.[21]

D.      Karya Abu Hanifah
Imam Abu> H{ani>fah sebagai ulama terkemuka aliran fiqh Iraq, maka ketokohannya dilukiskan oleh Imam Sya>fii> dengan mengatakan: Siapa menghendaki ilmu fiqh maka rujuklah kepada Abu> H{anifah.[22] Fatwa-fatwa Imam Abu> H{ani>fah dalam bidang fiqh sangat banyak, maka kitab-kitab fiqh madhhab H{anafi> mengilhami lahirnya us}u>l al-fiqh bermadhhab H{anafi>. Imam Abu> H{ani>fah belum sempat mengarang kitab, hanya sekadar pemikiran dan risalah-risalah kecil, seperti al-Risa>lah al-fiqh al-Akbar, Risa>lah al-A<lim wa al-Mutalim, Risa>lah kepada Uthma>n, Risa>lah al-Radd ala> al-Qadriyyah.[23]
        Meskipun Imam Abu> H{ani>fah belum merumuskan pemikirannya tentang fiqh yang dibukukan dalam bentuk sebuah kitab, namun gaya pemikirannya yang tertulis dalam risalah-risalah kecil ternyata berhasil menggerakkan perubahan sehingga berjaya menyumbangkan penyelesaian persoalan-persoalan hukum yang berkembang pada masa itu. Selanjutnya, dikembangkan oleh murid-muridnya yang terkenal seperti Abu> Yu>suf Yaqu>b b. Ibra>hi>m b. H{abi>b al-Ans}a>ri> dinisbahkan kepada anaknya (182 H), Muh}ammad b. H{asan al-Syaiba>ni> (189 H), Zafir b. al-Hud}ayl (158 H). al-H{asan Ibn Ziyad al-Lu’lu’i>. Dasar pemikiran dan kaedah yang dibangun dinisbatkan terhadap Imam Abu> H{ani>fah.[24]
Terdapat juga sejumlah hadis dalam kitab Musnad karya Imam Abu Hanifah yang diriwayatkan dari Ja’far Shadiq dan Muhammad al-Ba>qir. Hal ini karena mereka sempat bertemu dan sering berdiskusi.[25] Dalam Musnad karya Abu Hanifah, terdapat beberapa hadis yang diriwayatkannya dari Ja’far Shadiq dan Muhammad al-Ba>qir. Berikut hanyalah dua di antaranya:
1.    Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah, yang meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al-Baqir) berkenaan dengan Nabi saw, “Beliau mengerjakan shalat sejak akhir waktu shalat malam hingga [menjelang] shalat subuh. Sepanjang waktu itu, beliau menunaikan delapan rakaat (putaran shalat) dan tiga rakaat shalat witr. Kemudian beliau melaksanakan dua rakaat shalat subuh.[26]
2.    Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah, yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq) yang mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Seseorang datang dan berkata, ‘Saya telah melaksanakan semua rukun kecuali thawaf dan kemudian saya kembali ke keluarga saya….”[27]
Masih banyak lagi contoh-contoh hadis semacam itu dalam kitab Musnad karya Abu Hanifah, al-Atsar karya Imam Muhammad, dan al-Atsar karya Abu Yusuf. Selain kedekatannya dengan kedua tokoh tersebut, Abu Hanifah berjuang melawan penguasa di zamannya bersama kalangan shi’ah, sehingga sebagian orang menuduh Abu Hanifah adalah periwayat hadith shi’ah, seperti al-Shahrastani.[28]

E.       Murid Abu Hanifah
Beberapa murid Abu Hanifah yang menjadi penyebar maz}hab Abu Hanifah:
  1. Abu Yusuf Ya’qub ibnu Ibrahim al-Anshari (112-183 H). Semasa muda ia sering meriwayatkan hadith dari Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq al-Syaibani, Atho’ ibnu Saib, dan ulama’ hadith semasanya. Kemudian ia berpindah untuk mendalami ilmu fiqh dengan belajar pertama kali pada Ibnu Abi Laila, lalu ia berpindah tempat belajar pada Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai orang yang pertama kali menyusun kitab maz}hab Abu Hanifah dan menyebarkannya.[29] Diantara kitab karangan beliau adalah Kita>b al-Atha>r, Ikhtila>f Abi> H{ani>fah wa Abi> Layl, al-Radd ‘Ala> Si>rah al-Awza‘i>, dan Kita>b Al-Khara>j.
  2. Zufar ibnu Hudzail Ibnu Qays al-Kufi (110 – 158 H). Ia dikenal sebagai murid Abu Hanifah yang paling sering menggunakan qiyas.[30]
  3. Muhammad ibnu Hasan ibnu Farqad Al-Syaibani (132-189 H). Ia lahir di Iraq, namun besar di kufah, kemudian ia memilih tempat tinggal di Baghdad. Semasa kecil ia belajar hadith, dan ia belajar pada Abu Hanifah hanya sebentar, lalu ia belajar pada Muhammad ibnu Hasan, sehingga corak pemikirannya kental dengan pemikiran Abu hanifah. Imam Syafi’I mempelajari kitab susunannya sebagai bahan perbandingan.[31] Diantara kitab karangan beliau adalah Al-Mabsu>t}, Al-Jami>‘ Al-Kabi>r, Al-Jami>‘ Al-Shagi>r, dan Al-Ziya>dah.
  4. Al-Hasan Ibnu Ziyad al-Lu’luay al-Kufi. Ia belajar pada pada Abu Hanifah. Dan setelah mangkatnya Abu Hanifah, ia belajar pada Abu Yusuf dan Muhammad. Ia wafat pada tahun 204 H.[32]
Mereka adalah murid-murid Abu Hanifah yang menyebarkan maz}hab Hanafiyyah, walaupun terkadang mereka memiliki pendapat yang berbeda dengan Abu Hanifah, oleh sebab itu beberapa peneliti meyatakan bahwa mereka bukan orang yang taqli>d buta pada Abu Hanifah, tetapi mereka adalah Mujtahid yang mengikuti alur pemikiran dan metode Abu hanifah.[33]

Bagan Jaringan Intelektual Maz}hab Abu Hanifah


F.       Kondisi Perpolitikan dan Pemikiran di Masa Abu Hanifah
Abu Hanifah lahir di Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah pada masa khalifah Abd al-Malik Ibn al-Marwan, dan ia juga menyaksikan perpindahan pemerintahan dari dinasti umayyah menuju kebangkitan dinasti Bani Abbasiyah, Abu ja’far al-Manshur sebagai khalifahnya. Kufah saat itu menjadi pusat pergerakan Islam.[34] Jika Abu hanifah lahir pada tahun 80 H/699 M dan wafat pada tahun 150 H. maka usia  Abu Hanifah genap 70 Tahun, dan selama 52 tahun ia hidup di zaman dinasti umawiyah dan 18 tahun ia hidup di zaman dinasti abbasiyyah.
Sejarah mencatat bahwa dinasti umayyah berdiri pada tahun 41 H / 660 M dengan khalifah pertama Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib. Mu’awiyah adalah pemimpin kelompok yang tidak sependapat dengan Ali karena sebagai khalifah dinilai tidak mau memberikan putusan dan hukuman terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Akhirnya perang shifin terjadi pada tahun 37 H antara tentara Ali dan tentara mu’awiyah. Melalui proses tahkim, perang disudahi. Namun ternyata sebagian pendukung Ali kecewa atas hasil tahkim, sehingga mereka memisahkan diri yang dikenal dengan kelompok khawarij. [35] Dan saat itulah awal mula terjadinya pergolakan pemikiran dalam Islam sebagai justifikasi kelompok masing-masing, dengan munculnya 3 kelompok Islam, yakni Syi’ah, Khawarij dan kelompok Mu’awiyah.
Khilafah Amawiyah yang pada saat itu terpusat di Iraq telah menimbulkan fanatisme kelompok, berbagai gerakan dan pemberontakan akibat otoriterisme pemerintahan. Bahkan pada saat khalifah Abd al-Malik Ibn al-Marwan, kondisi panasnya suhu politik belum dapat diredam. Akibat sikap yang apatis terhadap perkembangan pemikiran Islam, maka kelompok orang-orang alim dan cendekiawan mengambil posisi di luar pemerintahan.[36] Golongan mawali termasuk di dalamnya, dan Abu Hanifah masuk dalam golongan mawali. Dan melalui jalur non formal, pemikiran Abu Hanifah memasyarakat sangat kuat. Hal ini menjadi embrio penggunaan madhhab Hanafiyyah sebagai madhhab resmi Negara pada periode Abbasiyyah.[37] Hal ini kemudian berpengaruh pada madhhab Syafi’i yang sulit diterima masyarakat luas kala itu di daerah Iraq sehingga ia dinilai lari dari keadaan itu menuju Mesir.
Dan ketika dinasti umawiyah jatuh, berganti dengan dinasti abasiyah, arus pemikiran meluas hingga taraf pemikiran filsafat yunani. Disamping pengaruh pemikiran filsafat, dan budaya diluar Arab, juga merupakan akibat logis dari letak geografis daratan Iraq (Baghdad, Kufah, Bahsrah) yang jauh dari pusat ilmu Islam (mekah dan Madinah), lahirlah dua metode pemikiran:
a.    Metode naql atau disebut ahli hadith yang menitikberatkan pada teks al-qur’an dan hadith.
b.    Metode ‘aql, atau disebut ahli ra’yu yang menitikberatkan penggunaan aqal dalam menentukan hukum dengan berpedoman pada nash.
Namun mayoritas ulama’ di daratan Iraq menjatuhkan pilihannya terhadap metode ‘aql / ra’yu sebagai sarana penyelesaian hukum Islam yang mampu menjawab perkembangan zaman. Logis jika kondisi inilah menjadi salah satu pembentuk pola pemikiran Abu Hanifah  yang mengedepankan ra’yu.[38]
Abu Hanifah merupakan orang yang menjauh dari pemerintahan di zamannya. Bahkan pernah pada suatu saat khalifah marwan memintanya untuk menjadi seorang qadli/hakim, namun ia menolaknya, sehingga berakibat ia dihukum.[39]

G.      Ketersebaran Madhhab Abu Hanifah
Ketika Abu Hanifah mulai mengeluarkan pemikirannya, pemerintahan saat itu (Bani Umayyah) tidak terlalu menghiraukan keilmuan sehingga gerakan non non formal madhhab Abu Hanifah dapat diterima golongan mawali sebagai penduduk pribumi di Irak dan sekitarnya. Namun ketika pemerintahan beralih ke Dinasti Abbasiyyah (revolusi abbasiyyah), madhhab Abu Hanifah telah memasyarakat di samping Negara memebri kebebasan madhhab ini, sehingga pada masa Khalifah Harun al-Rashi>d, Abu> Yu>suf murid Abu Hanifah dijadikan Ketua Qa>d}i> (Qa>d}i> Qud}a>h). tidak saja menjadi penasihat khalifah, tetapi juga biasa berbincang dengannya dalam usaha menentukan pengangkatan Qa>d}i> di seluruh peringkat di kerajaan dan daerah.[40] Seluruh jawatan penting di mahkamah dikuasai orang-orang yang bermadhhab H{anafi>. Dengan demikian madhhab Hanafiyyah ditetapkan menjadi madhhab resmi negara dalam memutus perkara di pengadilan.
Selanjutnya pada masa Turki Uthmani terlaksana kodifikasi undang-undang dengan meruju’ fiqh madhhab Hanafiyyah yang menghasilkan kitab Majallah al-ah}ka>m al-Adliyyah.[41]  Ada beberapa tahap yang dilakukan oleh negara-negara Islam untuk mengkodifikasi hukum Islam sebagai undang-undang rasmi negara:
1.      Menetapkan sebagai madhhab resmi Negara.
Pada awal abad ke-14 Hijrah Sultan Salim (Sultan Uthmani kesembilan) memandang perlu untuk menetapkan madhhab yang rasmi maka dikeluarkan ketetapan sultan (Qararan Sultaniyyah atau Firman) yang mengumumkan, bahwa madhhab H{anafi> sebagai madhhab rasmi negara yang harus diikuti dalam hal peradilan dan fatwa.[42] Cara ini telah diikuti di negara Mesir, selepas Mesir dikuasai oleh Turki. Di Mesir dihapuskan sistem empat qa>d}i>, yang setelah pemerintahan Muh}ammad Ali> Pasha, pemerintahan Uthmani mengeluarkan Firman (ketetapan Sultan) bahwa fatwa dan pengadilan harus didasarkan pada fatwa H{anafi>.
2.      Penyusunan undang-undang satu madhhab
Setelah mempersatukan madhhab untuk seluruh wilayah kekuasaan Turki Uthmani, maka jalan berikutnya adalah penyusunan suatu madhhab yang dilakukan di Turki Uthmani, yaitu dengan menyusun Undang-undang Perdata Uthmani (al-Qanu>n al-Mada>ni al-Uthma>ni>) yang terkenal dengan majallah al-ah}ka>m al-Adaliyyah,[43] dan lain-lain undang-undang Uthmani yang diambil dan memerintahkan kepada semua rakyat untuk mentaatinya, dengan dicantumkan pada ayat yang terakhir dari Perkara 1801, bahawa hakim harus mengikuti perintah Sultan dan tidak boleh mengikuti mujtahid yang lainnya.
3.      Mengkompilasikan Dari Madhhab Yang Berbeza-beza.
Selain berdasar madhhab H{anafi> sebagai madhhab yang rasmi, dalam penyusunan undang-undang yang akan berlaku bagi seluruh wilayah Uthmani, juga diambil dari madhhab yang lain apabila madhhab yang lain itu lebih sesuai untuk kemaslahatan. Cara ini juga diikuti di Mesir, Syiria, Iraq dan Tunisia dan lain-lain. Seperti dalam perundang-undangan al-Ah}wa>l asy-Syakhsyiyyah, tentang wakaf, waris dan wasiat, yang disesuaikan dengan keperluan masa kini dan perubahan kondisi dan situasi (al-Ah}wa>l wa al-Z}uru>f).[44]
4.      Mengambil Perundang-undangan Modern
Tahap keempat dari penyusunan perundang-undangan di negara Arab Uthmani, ialah beberapa hukum yang sesuai dengan syari’ah Islamiyyah daripada perundang-undangan modern seperti Hukum Sivil  (Madani), Hukum Perdagangan (Tijari) dan Hukum Jinayah (Jina’i).
Dengan demikian, madhhab hanafiyyah tergolong madhhab yang perkembangannya sangat mudah mengingat didampingi oleh pemerintahan. Namun demikian, kedekatan dengan pemerintah seakan terdapat indikasi hukum pesanan pemerintah dalam perkembangan pemikiran madhhab ulama’ hanafiyyah.
Dari kebijakan pemerintahan tersebut, bekas wilayah Turki Uthmani dan wilayah yang berdekatan masih menggunakan madhhab hanafiyyah. Begitu juga negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini madhhab Hanafi merupakan madhhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan madhhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat.[45]

H.      Pokok Pemikiran Abu Hanifah
Melihat sejarah hidup Abu Hanifah, ketertarikannya terhadap ilmu merupakan kunci kesuksesannya dalam memberi pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran ilmu keislaman, terutama mengenai ilmu hukum Islam. Sekalipun ia terkenal sebagai ahli hukum Islam (faqih: Mujtahid), ia juga mendalam di bidang aqidah (ilmu kalam) dan ilmu Tasawuf.
1.    Pokok Pemikiran Abu Hanifah di bidang Ilmu Kalam
Ilmu yang pertama kali dikuasai oleh Abu hanifah adalah ilmu kalam, akibat dari kehidupannya yang diliputi masyarakat ahli ilmu kalam. Seiring dengan penggunaan akal dalam wilayah ilmu kalam, keahlian ra’yu yang dimiliki Abu Hanifah menjadi identik pada dirinya sampai dalam taraf ilmu fiqh pun. Beberapa pandangan Abu Hanifah dalam wilayah ilmu kalam:
a.    Tentang Iman
Mengenai pengertian iman menurut Ab Hanifah adalah Al-Iqrar wa al-Tashdiq. Sedangkan pengertian Islam menurut Abu Hanifah adalah pasrah dan mengikuti perintah-perintah Allah. Kesimpulan akhir dari dua penegrtian tersebut adalah beda secara bahasa, namun memiliki keterkaitan erat, sebab iman bukan hanya pembenaran dalam hati, tetapi iman juga pengakuan secara lisan. Ibarat punggung dan perut yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu Abu hanifah berpendapat tidak ada iman tanpa Islam, dan tidak ada islam tanpa iman. Artinya Iman bukan hanya pembenaran hati saja (مجرد التصديق القلبي), tetapi Iman juga tunduk (إذعان), pasrah (تسليم) sebagai pembeda dengan , dan ridlo (رضا). sebagai pembeda antara mu’min sejati dengan munafiq dan iblis. Dengan demikian amal bukan termauk aplikasi iman atau bagian dari iman. Berbeda dengan Mu’tazilah dan khawarij yang menyatakan bahwa amal adalah bagian dari iman, dan mayoritas ahli fiqh dan ahli hadith yang menyatakan amal adalah susnan dari system iman yang mempengaruhi bertambah dan berkurangnya iman. Seputar iman ini, Abu Hanifah pernah beradu argument dengan Jahm bin Shofwan.[46]

b.   Tentang Pelaku Dosa
Statemen Abu Hanifah dalam menyikapi pelaku dosa besar termaktub dalam Kitab Fiqh al-Akbar, bahwa seorang muslim tidak akan menjadi kufur karena melakukan dosa, sekalipun dosa besar, selama ia tidak menghalalkan hal tersebut. Dan tidak akan menghilangkan iman seseorang. Perbedaan Pendapat Abu Hanifah dengan Murji’ah adalah, jika Abu Hanifah menyatakan bahwa amal baik tidak yang tidak memiliki cacat amal merupakan amal yang tidak akan dihapus dengan kekufuran dan kemurtadan selama ia mati dalam keadaan mu’min karena Allah tidak akan menyia-nyiakan amal manusia dan pasti akan dibalas kebaikannya. Sedangkan masalah ia akan di siksa atau diberi pahala adalah urusan Allah. Adapun Murji’ah mengatakan bahwa Seorang mukmin tidak akan dibahayakan oleh dosa, ia tidak akan masuk neraka walaupun ia hidupnya fasiq sampai mati dalam keadaan iman, dosanya pasti di ampuni dan amalnya pasti diterima.[47]

c.    Tentang Qadar dan Perbuatan manusia
Menurut Abu Hanifah, qadla’ berbeda dengan qodar. Qadla’ adalah ketetapan Allah yang datang sebagai wahyu ilahi (ما حكم الله به مما جاء به الوحي الالهي). Sedangkan qadar adalah sesuatu ketetapan yang kekuasaaannya berjalan karenanya (ما تجري به قدرته). Denan demikian Allah berkuasa untuk menciptakan perintah di zaman azal dan mentaklifnya dengan tuntutan wahyu. Dan amal manusia berjalan sesuai dengan ketetapan di zaman azali. Jadi perintah yang ditetapkan di zaman azali terbagi dua:
·      Perintah pembentukan dan pewujudan (تكوين و ايجاد) yang menjalur pada amal-amal di dunia sesuai dengan ketetapannya
·      Perintah pentaklifan dan pewajiban (تكليف و ايجاب) yang menjalur pada pembalasan di akhirat sesuai dengan dasar (wahyu) nya.
Dengan pendapat ini, maka qadla’ Allah meliputi perintah dan kekuasaan. Dan segala sesuatu pasti berjalan berdasarkan kekuasaan. Sedangkan perkara dosa merupakan ketetapan kekuasaan Allah tapi bukan perintah taklif Allah.[48]

d.   Tentang Khalq al-Qur’an
Permasalahan seputar penetapan al-Qur’an sebagai makhluq atau bukan makhluq merupakan persoalan yang menjadi perhatian Abu Hanifah, sebab persoalan ini telah mengorbankan beberapa nyawa. Pada prinsipnya Abu Hanifah dan para murudnya menyatakan bahwa al-qur’an bukanlah makhluk walaupun pemerintahan pada zaman itu menyatakan berbeda. Oleh sebab itu Abu Hanifah tidak pernah mengeluarkan pendapat walaupun ditanya dalam sebuah majelis.[49]

2.    Pokok Pemikiran Abu Hanifah di bidang Ilmu Hukum Islam (Fiqh dan Ushul Fiqh)
Ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang membahas cara beristimbath hukum memiliki beberapa teori dan objek kajian yang didalamnya terdapat beberapa pembahasan mengenai masalah sumber hukum Islam. Beberapa pandangan Abu Hanifah mengenai hal yang berhubungan dengan ilmu Ushul Fiqh:
a.    Mengenai sumber hukum Islam
Terdapat sebuah pengakuan dari Abu Hanifah:
آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم وأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي ومسروق والحسن وعطاء وابن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا[50]

Terdapat naskah lain tentang pandangan Abu hanifah mengenai sumber hukum:
روي عنه قوله رحمه الله: "إذا جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم فعلى الرأس والعين، وإذا جاء عن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم نختار من قولهم، وإذا جاء عن التابعين زاحمناهم [51]

Dalam Naskah lain:
كلام أبي حنيفة أخذ بالثقة , وفرار من القبح , والنظر في المعاملات بين الناس وما استقاموا عليه وصلحت به أمورهم , فيمضي الأمور على القياس , فإذا قبح القياس , يمضيها على الاستحسان ما دام يمضي له , فإذا لم يمضي له رجع إلى ما يتعامل به المسلمون[52]

Dari ungkapan tersebut, terangkum bebarapa pemikiran Abu Hanifah mengenai ilmu ushul fiqh:
1)      Sumber hukum Islam yang dijadikan pedoman istimbath Abu Hanifah adalah al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat, Qaul Sahabat, Qaul Tabi’in dan Ulama’ serta penggunaan akal/ra’yu dalam bentuk ijtihad melalui pertimbangan qiyas, istihsan dan ‘urf.
2)      Sehubungan dengan qaul sahabat dan tabi’in serta ulama’, dalam menjadikannya sebagai dasar penetapan hukum akan diuji secara empiris serta melakukan perbandingan diantara beberapa pendapat, sehingga tarjih pendapat dapat dilakukan oleh Abu Hanifah.

b.    Mengenai kedudukan al-Hadith/al-Sunnah sebagai sumber hukum
Ulama’ sepakat bahwa al-Sunnah merupakan sumber hukum yang harus disertakan dalam melakukan ijtihad. Hanya saja mereka berselisih mengenai kualitas hadith yang dapat digunakan. Dalam hal ini, Abu hanifah secara jelas dalam pendapatnya di atas menunjukkan kecenderungannya untuk memilih hadith Hadith yang mutawatir, masyhur dan ahad secara berurutan, dan jika dalam hadith terdapat celah menurut Abu Hanifah mengenai rawi, maka secara otomatis akan dikesampingkan. [53] Bahkan Shobah Qasim al-Imami dari Denmark menyatakan bahwa manhaj istimbath Abu Hanifah juga mendahulukan hadith Quli dari pada hadith fi’li karena terkhawatirkan masuk dalam khushushiyyah Nabi.[54] Metode Abu Hanifah dalam menentukan hadith sebagai dasar hukum, mengambil hadith yang dianggap paling shahih dan kuat, mencari sanad yang paling kuat, lalu menafsirkan hadith walaupun terkadang penafsiran hadith tersebut tidak sama dengan penafsiran para ulama’. Oleh sebab itu, Abu yusuf menilai, “Tidak ada seseorang yang lebih alim menafsirkan hadith selain Abu hanifah.[55]

c.    Mengenai kedudukan Hadith Ahad dengan Qiyas
Pada prinsipnya, Abu hanifah, selama tidak ada yang melemahkan hadith, maka ia akan tetap berpedoman pada hadith, sekalipun itu hadith ahad. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Seandainya tidak terdapat riwayat (hadith) maka aku akan berpendapat degan qiyas (لولا الرواية لقلت بالقياس).[56] Namun para pemerhati Abu hanifah dibingungkan dengan keadaan di mana Abu Hanifah pernah memberikan hukum dengan qiyas walaupun terdapat riwayat mengenai hukum tersebut. Namun akhirnya Ibnu Aban dan Fachr al-Islam menyatakan bahwa pertimbangan yang dilakukan Abu Hanifah adalah karena melihat keadaan perowinya. Jika rowinya dianggap tidak tsiqah, adil dan faqih, maka qiyas didahulukan dari pada hadith ahad tersebut.[57]

d.   Mengenai kedudukan Hadith Mursal
Hadith mursal menurut Istilah ahli hadith adalah hadith yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in. Sedangkan menurut ahli fiqh adalah hadith yang sanadnya terputus (munqati’).[58] Menurut Abu hanifah, hadith mursal selama kemursalannya sebatas mursal tabi’ at-Tabi’in, bukan mursal tabi’in, maka dapat dijadikan sebagai dasar hukum.[59]

e.    Mengenai kedudukan Qiyas
Dominasi ra’yu dalam pemikiran Abu Hanifah memiliki konsekuensi atas lahirnya konsep qiyas. Keteguhan memegangi teks al-Qur’an yang universal, hadith/sunnah dan ijma’ yang keduanya hanya menyikapi masalah yang telah terjadi saja, maka kebutuhan untuk menyelesaikan masalah hukum kontemporer yang tidak ada penjelasannya secara jelas di dalam ketiga sumber hukum tersebut, maka Abu Hanifah merasa perlu untuk menggunakan ra’yu dalam menyelesaikannya. Salah satunya melalui konsep qiyas. Selain itu, munculnya konsep qiyas karena hadith yang sampai di Irak pada saat itu lebih sedikit disbanding yang ada di madinah, sehingga ulama’ Iraq pada saat itu lebih cenderung pada penggunaan akal/ra’yu.
Abu Zahrah mengemukakan definisi qiyas versi hanafiyah sebagai berikut:
بيان حكم امر غير منصوص على حكمه بامر معلوم حكمه بالكتاب اوالسنة او الاجماع لاشتراكه في علة الحكم[60]
“Penjelasan Hukum sesuatu yang tidak ditemui dalam nash berdasarkan atas hukum sesuatu yang telah ada dalam Qur’an, sunnah atau ijma’ karena terdapat kesamaan illat hukumnya”
Sekalipun definisi tersebut tidak diungkapkan Abu Hanifah, namun para muridnya telah menerjemahkan qiyas yang dikehendaki Abu Hanifah, begitupun tentang metode (maslak) qiyas.

f.     Mengenai kedudukan Istihsan
Abu Hanifah merupakan ulama’ pencetus konsep istihsan. Pro kontra pun terjadi. Hal ini dinyatakan dalam statemen yang terkenal:
كلام أبي حنيفة أخذ بالثقة , وفرار من القبح , والنظر في المعاملات بين الناس وما استقاموا عليه وصلحت به أمورهم , فيمضي الأمور على القياس , فإذا قبح القياس , يمضيها على الاستحسان ما دام يمضي له , فإذا لم يمضي له رجع إلى ما يتعامل به المسلمون[61]
Dengan demikian istihsan merupakan sumber hukum setelah pengkajian hukum melalui qiyas dinyatakan tidak sesuai. Hal inilah yang menjadi sorotan ulama’ di zamannya karena lebih mendahulukan istihsan dari pada qiyas yang hasilnya buruk, sebab mereka beralasan bahwa segala hasil qiyas tidak akan keluar dari nash atau minimal kandungannya, sedangkan istihsan dinilai tidak berpedoman pada nash sama sekali. Imam Syafi’I sebagai salah seorang yang tidak setuju dengan istihsan mengatakan:
من استحسن فقد شرع
 “Barang siapa yang melakukan Istihsan maka ia termasuk membuat syari’at (baru)”[62]
Bahkan Imam Syafi’I membahasnya dalam fasal tersendiri yang ada di dalam kitab Al-Um dengan judul “Kitab yang menjelaskan tentang Pembatalan Istihsan” (كتاب إبطال الاستحسان). Argumen Syafi’I, fatwa merupakan hal yang wajib didasarkan pada nash, atau minimal didasarkan pada kandungan arti nash, maka ijtihad dengan ra’yu tidak akan berhasil jika tidak menggunakan qiyas sebab ia adalah kandungan arti nash. Sedangkan istihsan sama sekali tidak didasarkan pada nash dan kandungan nash, maka berhukum batil.[63] Selain Imam Syafi’I juga banyak ulama’ yang tidak setuju dengan penggunaan istihsan sebagai sumber hukum walaupun juga banyak ulama’ lintas maz}hab yang mendukungnya. Termasuk Imam Maliki yang setuju dengan penggunaan istihsan dengan mengeluarkan statemen bahwa istihsan Sembilan puluh persen (90%) ilmu.[64]
Melihat pernyataan Imam syafi’I yang begitu ekstrim dalam memandang istihsan, maka sangat tepat jika ulama’ maz}hab Hanafi, khususnya para murid Abu hanifah memberikan alasan yang bersumber dari Abu Hanifah, sekalipun maz}hab hanafi sendiri masih memperselisihkan pengertian istihsan itu sendiri. Menurut mereka, istihsan Abu Hanifah tidak dapat dianggap keluar dari ketentuan nash dan qiyas, bahkan patut dianggap berpedoman pada nash dan qiyas karena istihsan merupakan pencegah (mani’) qiyas dilihat dari illat qiyas yang segi keumumannya dapat meniadakan mashalih al-nas yang diajarkan syari’ atau menyalahi nash dan ijma’, atau terdapat pertentangan dua illat atau lebih dalam satu masalah, yang jika di tarjih maka berakibat pada pertentangan (niza’).[65]
Pengertian istihsan banyak diungkapkan para ulama’, diantaranya menurut Abu Hasan al-karkhi, murid Abu Hanifah:
ان يعدل المجتهد عن ان يحكم في المسألة بمثل ما حكم به في نظائرها لوجه اقوي يقتضي العدول عن الاول[66]
“Penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukanyya penyimpangan itu”
Pengertian ini lebih mencakup kehendak Abu Hanifah dalam merumuskan istihsan sebab dapat mencakup asas dan intinya. Asas yang dimaksud ialah adanya hukum yang menyimpang dari kaedah yang berlaku karena adanya factor lain yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu, yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara’ daripada tetap terpaku pada memegangi kaedah di atas, sehingga berpegang pada istihsan lebih kuat dari qiyas. Dan pengertian di atas member gambaran bahwa istihsan hanya terbatas pada masalah yang juz’iyyah saja agar tidak terjadi penggunaan qiyas secara berlebihan sehingga jauh dari ruh dan makna syara’.[67] Sehingga Ulama’ Hanafiyyah pada akhirnya membagi istihasn atas Istihsan qiyas dan istihsan dalam arti meninggalkan qiyas karena terdapat sesuatu yang berlawanan.antara qiyas dengan dalil syariat yang lain.[68] Dengan demikian pada dasarnya Abu Hanifah adalah ulama’ yang tidak mengalahkan qiyas atas istihsan selama qiyas masih sesuai dengan kaidah dan ruh syariat.

g.    Mengenai kedudukan ‘Urf
Ungkapan Abu hanifah yang menyatakan bahwa, jika dalam menetapkan sebuah hukum tidak ditemukan dalilnya dalam al-qur’an, al-sunnah, ijma’ dan qoul shahabi, maka ia akan menggunakan qiyas dan istihsan. Dan jika dalam penggunaan qiyas dan istihsan masih belum dapat ditemukan kesimpulan dan kandungan hukum, maka ia menggunakan ukuran kebiasaan sosial yang disebut dengan ‘urf yang berlaku di masyarakat sebagai dasar hukum.[69] Alasan pembenar pendapat Abu Hanifah adalah hadith Rasulullah SAW:
“Sesuatu yang menurut pandangan muslimin itu baik (hasan) maka penilaian Allah pun juga baik (hasan)” HR. Ahmad.
Argumentasi penguatnya, bahwa sesuatu telah biasa dilakukan masyarakat luas adalah ‘urf. Sedangkan berbeda dengan khalayak luas (‘urf) merupakan sesuatu yang sulit (dlayq wa haraj), padahal Allah menjadikan perkara agama sebagai perkara yang tidak sulit/berat, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Melalui dasar inilah, para ulama’ pendukung pemikiran Abu hanifah, semisal al-Sarkhosi, mengembangkan pemikirannya. Sampai pada akhirnya mereka menentukan sebuah kaidah, Al-Tsabitu bi al-‘Urfi ka al-Tsabit bi al-Nash (sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama halnya dengan yang ditetapkan nash). Dan pada akhirnya mereka memebrikan criteria ‘urf yang dapat dijadikan pedoman hukum, yakni ‘urf yang tidak menyalahi nash, tidak menuruti hawa nafsu, dan bersifat menganulir syari’at yang memberikan pertimbangan penghilangan mafasid. [70]
Penggunaan ‘urf oleh Abu Hanifah merupakan akibat praktis dari profesinya sebagai pedagang yang pastinya mengetahui seluk beluk kehidupan dan interaksi yang bersifat pragmatis yang di dalamnya terjadi sebuah kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam bertindak. Sedangkan ‘urf merupakan bentuk kesepakatan umum tersebut.

3.    Produk Pemikiran Fiqh Abu Hanifah
Produk pemikiran berupa fiqh Abu Hanifah ini merupakan konsekwensi logis dari metode istinbat} yang dirumuskannya. Diantaranya:
a.    Membaca al-Qur’an dalam s}alat dengan bahasa persi (selain bahasa arab) dinilai sah. Al-Sharkhasi dalam kitabnya menjelaskan:
“Menurut Imam Sya>fi’i> tidak boleh membaca al-Qur'a>n dengan bahasa Parsi dalam berbagai keadaan, tetapi jika dia ummi (buta huruf), maka salat dengan cara diam.[71] Sedangkan menurut Imam Abu>> H{ani>fah, sesungguhnya qira’ah dengan bahasa Parsi itu seperti qira’ah dengan bahasa Arab, bahkan dapat memenuhi fardunya salat’’, sebab  kemu’jizatan al-Qur'a>n itu dari sudut makna. Selain itu peristiwa Salman al-Farisi, yang menulis surah al-Fatihah dengan bahasa Parsi kepada Bangsa Parsi, kemudian mereka membacanya dengan bahasa Parsi dalam s}alat, Salman al-Farisi mengatakannya hingga engkau mampu berbahasa Arab. Adapun menurut Abu> H{asan al-Syaibani> dan Muh}ammad Abu> Yu>suf, bahasa Parsi tidak mewakili bahasa al-Qur'a>n secara mutlak, kerana itu tidak dapat menggugurkan kewajiban bacaan al-Qur'a>n untuk orang yang mengetahui bahasa Arab. Namun bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab maka bahasa Parsi dapat menggugurkan fardunya bacaan salat”. Sedangkan menurut Imam Sya>fi’i> menolak pendapat keduanya, kerana  bahasa Parsi itu bukan bahasa al-Qur'a>n, maka yang wajib itu bacaan al-Qur'a>n berbahasa Arab. Oleh itu bacaan bahasa Parsi tidak dapat menggugurkan kewajiban bacaan al-Qur'a>n, al-Qur’a>n itu mu’jizat, sedangkan mu’jizat itu dari sisi al-niz}a>m wa al-makna (teks dan makna).”[72]

b.    Perhitungan masa iddah perempuan untuk boleh menikah lagi adalah dengan tiga kali haid, bukan tiga kali suci, bertujuan untuk mengetahui kekosongan rahim. Hal ini merupakan hasil pemikirannya mengenai identifikasi lafaz} mushtarak dalam surat al-Baqarah ayat 228. Al-qur’u dalam ayat adalah lafaz} mushtarak yang memiliki banyak makna. Makna yang terpilih adalah makna yang yang didukung dengan dalil lain. Adapun Abu Hanifah menunjukan dalil naqli pendukung berupa hadith:
قا ل رسول الله صلي الله عليه وسلم لفاطمة بنت أبي حبيش : دعي الصلاة أيام أقرائك
“Rasulullah S.A.W. berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaish: Tinggalah kamu melakukan salat pada hari-hari haidmu” [73]

c.    Nikah tanpa wali berhukum sah menurut Abu Hanifah selama kedua mempelai sekufu’. Hal ini didasarkan pada ayat yang berbunyi, “fala> juna>ha ‘alaikum fi>ma> fa’alna> fi> anfusihinna bi al-ma’ru>f”. Adapun hadith La> nika>ha ila> bi waliyyin was ha>hiday ‘adl merupakan hadith d}aif.[74]

KESIMPULAN
1.        Abu Hanifah (80 H/699 M – 150/760 M H) lahir di kufah di zaman dinasti umawiyah dan abbasiyah yang pada saat itu terdapat dua arus besar pemikiran (ahli hadith dan ahli ra’yu), namun kufah pada saat itu lebih didominasi ahli ra’yu, termasuk para guru Abu Hanifah, sehingga berpengaruh pada pemikiran Abu Hanifah.
2.        Kehidupan Abu Hanifah sebagai pedagang yang selalu berinteraksi secara langsung dengan kondisi riil, serta proses pendidikannya sejak dari hadith, ilmu kalam dan ilmu hukum, disamping pengaruh kondisi lingkungan yang cenderung menggunakan ra’yu, merupakan proporsi ideal bagi seorang mujtahid, sehingga produk pemikirannya merupakan hasil komunikasi antara akal (ra’yu), al-Qur’an, hadith dan kondisi empiris. Dengan demikian, kemaslahatan umum merupakan pertimbangan utama dalam penetapan hukum islam yang bercorak Abu Hanifah.
3.        Dalam menetapkan hukum Islam, Abu Hanifah selalu berpegang teguh pada nash al-qur’an, hadith, dan Ijma’ (qoul sahabat). Namun jika tidak ditemukan di dalam ketiga sumber hukum tersebut, Abu Hanifah menggunakan ra’yu, yakni pengkomunikasian antara subtansi kandungan nash, mashalahat umum dengan fakta empiris masyarakat, sehingga qiyas, istihsan dan ‘urf merupakan dasar hukum yang juga dipegangi oleh Abu Hanifah.



Bibliografi
Abd al-Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nahl, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Abdullah, Taufiq. Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Abdul Wahab Khallaf, Mengenal Sejarah Perundangan Islam, penterjemah Yusoff Zaky Yacob, (Bharu: Dian Darunaim,1985.
‘Abu> al-Fida>’ al-H{afiz} Ibn Kathi>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Tah}qi>q Ah}mad ‘Abd al-Waha>b, Kairo: Da>r al-H{adi>th, 1998.
Abu Zahrah, Muh. Ushul al-Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
_______. Abu Hanifah, Hayatuhu wa ‘ashruhu, Aro’uhu wa Fiqhuhu, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1998.
_______. Ta>rikh al-Madha>hib Isla>miyyah wa Madha>hib Fiqhiyyah. Damsyi>q: Da>r al-Fikr.
al-Imami, Shobah Qasim. Min Sairah al-Imam Abu Hanifah, Beirut: Maktabah Shameelah.
Al-Khatib al-Baghdadi, Ahmad ibnu Ali Abu Bakar. Tarikh Baghdad, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 1990.
Ahmad Pakatchi, Muqale-ye Abu Hanifah, Tehran: Da’irah al-Ma’arif-e Buzurg-e islami, 1372.
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI.
Al-Shirbashi, Ahmad. Al-A’immah al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-Hilal.
Al-Suyuthi, Jalaluddin bin Abi Bakar. Tbayidl al-Shahifah bi manaqib Abi Hanifah, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1990.
Al-Syafi’I, Abu Idris Muhammad Ibnu Muhammad. Al-Um, Beirut: Maktabah Shameelah.
al-Thahhan, Mahmud. Taisir Mushtalah al-Hadith, Surabaya: Al-Hidayah.
Bik, Khudlori. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, Surabaya: Al-Hidayah.
Fikri, Ali. Ahsan Al-Qshshash, Yogyakarta: Mtra Pustaka, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, M. Pengantar Hukum Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1997.
Ibnu Rushd, Bida>yat al-Mujtahid, Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Ibrahim Hasan, Hasan. Sejarah dan kebudayaan Islam Jilid I, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Joseph Schahct, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1977.
Liebesny H.J., The Law of The Near and Middle East: Reading, Cases, materials, New York: State University of New York Prees Albany, 1975.
Madjid, Nurcholish (ed.). Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Ta>rikh al-Tasyri>’ al-Isla>mi>, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ al-Bayan, Beirut: Daar al-Fikr, 1995.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, 2004.
Subh{i> Muh{ammad Mah{mas}a>ni, Falsafah al-Tasyri>’ fi> al-Isla>m, Damsyiq: Da>r al-Kasysyaf, tt.
Wahab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1987.


Postingan terkait: