Pendahuluan
Manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang palng sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk
ciptaan-Nya yang lain. Manusa memiliki potensi yang tidak dmiliki oleh makhluk
lainnya. Potensi inilah yang kemudian mengantarkan manusia kepada hakikatnya
sebagai manusia. Lalu seperti apakah hakikat manusia sebenarnya?, ini kemudan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan.
Ilmu-lmu mengenai
kemanusaan dan filsafat manusia kini mencoba untuk menjawab pertanyaan mengenai
hakikat manusia, sehingga muncullah berbagai definsi mengenai manusia. Manusia
disebut sebagai homosapiens, manusia arif yang memiliki akal budi yang
menjadikannya lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia juga disebut
sebagai homo faber karena manusia dapat menciptakan alat-alat yang
kemudian digunakan untuk bertahan hidup.[1] Sebutan
lainnya adalah homo economicus, dan homo religious.
Menurut
Drijarkara, manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri.
Manusia dapat bersatu dengan dirinya sendiri dan dapat juga mengambil jarak
dengannya. Manusia juga merupakan makhluk yang berada dan menghadapi alam
kodrat. Manusia merupakan bagian dari alam, akan tetap ia dapat pula
memandangnya, merubah dan mengelolahnya. Manusia selalu berubah-ubah dalam
berbagai situasi, yang dengan ini manusia dapat menyejarah.[2]
Dalam al-Qur’an
juga terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai manusia. Manusia memiliki
kapasitas yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Kapasitas tinggi yang dimiliki manusia ini membuat manusia cenderung untuk
dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya akan kehadiran Tuhan. Manusia juga
diberikan kebebasan serta kemerdekaan untuk memilih jalannya masing-masing.
Tidak hanya itu manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan akal, yang dengan akalnya
manusia mampu membedakan dan memilih mana yang baik dan buruk, dan oleh karena
adanya akal pula manusia diberi kewajiban untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Manusia menjadi
sosok sentral di dunia karena manusia dapat mengurus dirinya dan juga alam.
Manusia membuat peraturan untuk dirinya sendiri dan juga untuk mengatur alam. Manusia dapat mengatur hewan, tumbuhan,
daratan, lautan dan gunung dan lain sebaganya. Maka kerusakan dan kelestarian
alam tergantung pada manusia yang menjadi sentral dari alam semesta. Hal ini
sesuai dengan firman Allah (QS 2: 30)
yang menyatakan bahwa ia akan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Karena
peran penting manusia sebagai sentral dari alam maka sudah sewajarnya manusia
perlu mengetahui serta mengenal hakikat manusia yang sebenarnya.
Hakikat Manusia
Dalam lmu-ilmu
mengenai kemanusian termasuk juga ilmu filsafat telah melahrkan berbaga macam
definisi mengenai manusia. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah “animal
rasional”, “hayawan nathiq” atau hewan yang berfkr karena manusia memiliki akal
budi yang dapat digunakan untuk berpikir. Jika ditinjau dari segi sosial, maka
manusia adalah makhluk sosial atau homo socius, karena manusia memiliki
kodrat untuk bermasyarakat dan melakukan hubungan sosial dengan sesamanya. Jika
ditinjau dari segi ekonomi, manusia selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan
hidup guna mencapai kehidupan yang lebih baik, oleh karena itu manusia disebut
sebagai homo economicus. Jika dilihat dari keistimewaan manusia dalam
menggunaan simbol-simbol maka manusia dapat disebut sebagai animali
symbolicum. Manusia juga disebut sebagai homo faber karena manusia
dapat menciptakan alat-alat yang kemudian digunakan untuk bertahan hidup.[3] Manusia
juga disebut sebagai homo religiosus, yakni tipe manusia yang hidup di
dalam alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan menikmat
sakraltas yang ada pada alam semesta. Penghayatan serta pengalaman akan Yang
Suci ni kemudian membentuk corak serta gaya hidup manusia itu sendiri.[4]
Dalam beberapa
aliran dalam filsafat juga terdapat berbagai macam definisi mengenai hakikat
manusia. Dalam filsafat meterialisme , esensi kenyataan adalah bersifat
material atau fisik. Ciri utama kenyataan ini adalah menempati ruang dan waktu
dan memiliki keluasaan sehingga ia dapat diukur, dikuantifikas dan diobservasi.
Manusia dalam pandangan kelompok materalisme adalah bagian dari alam yang
terdiri dari kumpulan sel dan sistem syaraf. Manusia adalah daging tanpa jiwa
yang menempati ruang dan waktu dan mengalam perkembangan dan penyusutan. Dalam
berperilaku, manusia selalu dipengaruhi oleh sebab yang mendahului atau
stimulus yang menuntut adanya respon dan reaksi.[5]
Materialisme
meyakini bahwa manusia berasal dari materi dan berakhir menjadi materi.
Pandangan meterialisme mengenai materi ini kemudian memberikan dampak pada gaya
hidup yang materialistik. Kebahagiaan manusia diukur dari seberapa banyak
materi yang telah dikumpulkan.
Berbeda dengan
materialisme yang menyatakan bahwa kenyataan sejati bersifat materi, dalam
aliran idealisme kenyataan sejati bersifat spiritual. Aliran idealisme meyakni
bahwa dalam setiap hal yang tampak, terdapat kekuatan atau kenyataan spiritual.
Meskipun demikian aliran idealisme tidak menolak adanya kekuatan atau kenyataan
yang bersifat fisik, kekuatan atau kenyataan fisik tetap ada, akan tetapi
keberadaannya adalah manifestasi dari kenyataan sejati yang lebih Absolut.
Aliran idealisme ini memiliki pandangan determenistik mengenai manusia. mereka menyatakan
bahwa hakekat manusia adalah roh atau jiwa. Sedangkan tubuh atau badan adalah
sarana bagi jiwa untuk mengekspresikan dirinya. Ruh manusia dalam aliran
idealisme ini memiliki nilai lebih tinggi daripada materi. Kelompok aliran
idealisme ini memiliki gaya hidup yang penuh dengan dimensi rohani, pembersihan
jiwa dari unsur materi, hidup sederhana, mereka tinggal dengan menyisihkan diri
dari masyarakat untuk memperbanyak ibadah.[6]
Jika materialisme
dan idealisme berbeda pendapat mengenai kenyataan sejati, maka aliran dualisme
mencoba untuk menyatukan kedua ide dari aliran tersebut. Dalam dualisme
kenyataan sejati pada dasarnya bersifat fisik dan spiritual. Tidak benar jika
dikatakan bahwa esensi kenyataan bersifat materi, karena terdapat banyak kejadian
di dunia ini yang terkadang tdak dapat dijelaskan dengan pancaindra. Akan
tetapi, tidak benar pula jika dikatakan bahwa esensi kenyataan adalah roh atau
jiwa, karena siapapun tidak dapat menyangkal adanya kekuatan nyata dari materi.
Sehingga yang benar adalah kenyataan sejati merupakan perpaduan antara materi
dan roh.[7]
Sedangkan dalam
aliran eksistensialisme, manusia diteliti dari sudut pandang bagaimana manusia
itu berada dalam dunianya. Dalam eksistensialisme tidak dibahas mengena esensi
atau subtansi dibalik keberadaan manusia, tetapi mengungkap eksistensi manusia
sebagaimana yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Eksistensialisme menyebut
manusia sebaga proses “menjadi”, gerak aktif dan dinamis, karena manusia
memiliki kemampuan untuk melampaui keterbatasan biologis dan kekurangan
fisiknya. Manusia dalam eksistensialisme dianggap sebagai makhluk yang memiliki
kebebasan sebagai modal dasar untuk hidup sebagai individu yang otentik dan
bertanggung jawab.[8]
Menurut Murtadlo Muthahari, manusia merupakan makhluk dengan
berbagai dimensi. Hal ini dilihat dari enam dimensi, yang pertama adalah
dimensi biologis, dimana manusia memiliki kesamaan dengan hewan yang
membutuhkan minum, makan, tumbuh dan berembang. Dimensi kedua, manusia memiliki
emosi yang bersifat etis, ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.
Ketiga, manusia memiliki perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia
memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Kelima, manusia mempunyai kekuatan dan
kemampuan yang lebih daripada makhluk lainnya, karena manusia dikaruniai dengan
akal, kehendak bebas dan pikiran sehingga manusia dapat keseimbangan dalam
hidup dan menahan hawa nafsu. Dan dimensi yang terakhir adalah kemampuan
manusia untuk mengenal dirinya.[9]
Munculnya berbagai definisi mengenai manusia ini menjelaskan bahwa
manusia adalah makhluk multidimensional, manusia juga memiliki banyak wajah.
Manusia dalam Pandangan Islam
Di dalam al-Qur’an
juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang manusia. ketika
menjelaskan mengenai manusia al-Qur’an menggunaka berbagai istilah diantaranya
adalah al-insan, an-naas, basyar, dan Bani Adam.[10] Kata al-insan
digunakan untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai
makhluk yang memiliki kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan manusia ini
antara lain adalah, pertama, kemampuan berpikir, karena manusia telah
dikaruniai oleh Allah akal. Kedua, makhluk pembawa amanat dan ketiga, manusia
sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah ia lakukan.
Hal ini berkaitan dengan firman Allah (QS 103: 1-3) : “Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Menurut Musa
Asy’arie kata al-insan berasal dari kata al-uns, anisa, nasya dan
anasa. Dari sini dapat dikatakan bahwa kata al-insan menunjuk
kepada pengertian adanya kaitan antara sikap yang lahir dari kesadaran
penalaran.[11]
Kata al-insan juga digunakan untuk menjelaskan kepada manusia akan
totalitasnya jiwa dan raga. Antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya berbeda, perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan fisik, mental, dan
kecerdasan.[12]
Namun kata al-insan
jika dikaitkan dengan kata nasiya maka artinya lupa. Bahwa seharusnya
manusia melupakan kesalahan-kesalah sesamanya sehingga ia menjadi orang yang
pemaaf. Akan tetapi banyak pula manusia yang lupa akan kewajiban-kewajibannya
yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Maka dar tu manusia haruslah selalu
berdzikir untuk mengingat Allah SWT dalam setiap keadaan.[13]
Penggunaan kata al-basyar
untuk manusia lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat naluri dan
jasmani. Manusia dapat diindra, dilhat, disentuh, memerlukan minum, makan,
berkembang dan lain sebagainya. Jasmani manusia menjadi sarana bagi jiwa untuk
berekspresi. Kata al-basyar ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 35
kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna. Sebagai basyar
manusia sangat bergantung kepada alam untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya. Hal
ini berbeda dengan penggunaan kata al-nsan yang dalam perkembangannya
dalam kualitas pemikiran, sehingga dalam perkembangannya ia lebih bergantung
kepada kebudayaan, pendidikan, kesadaran dalam hidupnya. Allah SWT berfirman
(QS 18: 110) “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya".”[14]
Dalam memenuhi
kebutuhan jasmaninya manusia dituntut untuk menggunakan cara yang telah
ditentukan oleh Allah SWT. Apabila manusia menghalalkan segala cara untuk
memenuhi kebutuhan jasmaninya, maka ia sama halnya dengan binatang. Allah SWT
berfirman (QS 7: 179) Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Sedangkan kata al-naas
yang disebutkan dalam al-Qur’an memilki makna yang cenderung menggambarkan
manusia sebagai makhluk sosial. Kata al-naas disebutkan sebanyak 240
kali dalam al-Qur’an. Muhammad Tholchah Hasan mencoba menjelaskan mengenai
konsep penggunaan kata al-naas dalam bukunya Dinamika Kehidupan
Religius, bahwa kata al-naas dalam al-Qur’an ditunjukkan dalam dua hal
yaitu, kelompok-kelompok sosial dengan karakteristik mereka yang berbeda-beda,
kata al-naas yang menunjukkan arti seperti ini umumnya menggunakan kata wa
mina al-naas. Yang kedua, menunjukkan makna pengelompokkan manusa
berdasarkan mayoritasnya, umumnya diungkapkan dengan kata-kata aktsara
al-naas.[15]
Sejalan dengan
Tholchah Hasan, Dr. Qurash Shihab juga menyatakan bahwa manusia dan
keberadaannya di dunia ni dapat ditunjukkan melalui gerakan kebaikan dan
perbaikan. Sebagai makhluk yang bergerak, manusia diharuskan untuk saling
mengenal dan memahami sesamanya yang terdiri dari berbagai jens kelamin, suku,
bangsa, ras dan bahasa. Hal in dapat dilihat dari tafsiran Dr. Quraish Shihab
mengenai ayat yang menjelaskan penciptaan manusia (QS 96: 2) “Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah”. Dr. Quraish Shihab tidak hanya
memahami ayat tersebut sebagai mencitakan manusia dari segumpal darah, tetap
juga dipahami sebagai “yang diciptakan berdempet-dempet di dinding rahim” yang
maksudnya manusia dalam segala keadaannya selalu bergantung kepada pihak lain.[16]
Akan tetapi meskipun manusia tercipta dengan berbagai macam jenis
kelamin, suku, bangsa, ras dan bahasa, manusia diharuskan untuk mengerti bahwa
kemuliaan tidaklah terlektak pada salah satu bangsa atau suku. Kemuliaan
terletak pada manusia yang memili tingkat ketakwaan yang lebih tinggi daripada
pada yang lain. Allah SWT berfirman (QS 49: 13) “Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”[17]
Di dalam al-Qur’an
terdapat banyak ayat-ayat yang memuji manusia, bahkan manusia disebutkan dua
kali dalam rangkaian Wahyu pertama (QS 96: 1-5). Manusia dalam al-Qur’an juga
dijelaskan dalam ayat-ayatnya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kapasitas
yang paling tinggi (QS 11:3), makhuk yang memilk kecenderungan untuk dekat
dengan Tuhannya (QS 30: 43), makhluk yang memilik kemerdekaan dan kebebasan
untuk memilih jalannya masing-masing (QS 33:72, 76:2-3), manusia dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk sesuai
dengan nuraninya dan bimbingan wahyu (QS 91: 7-8), manusia adalah makhluk yang
sangat dimuliakan oleh Allah, ia diciptakan lebih sempurna daripada makhluk
lainnya (QS 17: 70) dan dengan sebaik-baiknya bentuk (QS 95:4)
Meskipun demikian
terdapat pula beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan mengenai adzab
Allah jika manusia berbuat aniaya dan mengingkar nikmat-Nya (QS 14:34), atau
membantah semua perintah-perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya (QS 22:67),
ketika manusia berbuat kikir (QS 70:19) dan lain-lain.[18]
Al-Qur’an
menjelaskan bahwa manusia memiliki dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan lainnya. Dalam al-Quran surah Shad, ayat 71-72 dijelaskan
bahwa manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya
dihembuskan kepadanya Ruh Ilahi. Dari sini dapat diketahui bahwa manusia
terdiri dari dua unsur yaitu tanah dan ruh, jasmani dan ruhani yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena jika dipisahkan maka ia
bukan manusia lagi. Hal ini sama halnya dengan air yang terdiri dari oksigen
dan hidrogen, yang apabila kadar hidrogen dan oksigennya dipisahkan, maka ia
bukan lagi air.[19]
Manusia dan Tauhid Rububiyah
Kalimah tauhid
mempunyai arti mengesakan, kalmah tauhid juga
memiliki pengertian berikrar dengan hati, menyatakan dengan lisan dan
membuktikannya dengan perbuatan. Tauhid ada tiga yaitu, Tauhid rububiyah,
tauhid uluhiyah, tauhid asma wa shifa. Tauhid rububiyah adalah mengesakan
dan mentauhidkan Allah dengan segala apa yang dikerjakan-Nya sepert mencipta,
menghidupkan, mematikan, memberikan rizki, mengikrarkannya dengan hati,
menyatakan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.[20]
Ketika kita
mencoba untuk memahami dan mentadabburi alam semesta dan isinya ini, maka kita
akan menemukan banyak tanda-tanda keesaan Allah. Contohnya, ketika kita melihat
sebuah kursi, maka kita pasti akan berpikir bahwa ada seseorang yang
menyusunnya dari susunan kayu-kayu sehingga terbentuk menjadi sebuah kursi.
Jadi segala sesuatu pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya. Sedangkan kita
dapat melihat berbagai macam ciptaan-Nya memiliki keunikan yang bermacam-macam,
semua ini menunjukkan kehebatan ilmu Allah.
Mengakui Rububiyah
Allah adalah hal yang dapat diterima oleh akal yang sehat, tidak hanya bagi
seorang Muslim, tetapi juga orang-orang kafir pun dapat menerima dengan akal
sehat mereka. Hal ini karena mengakui Rububiyah Allah merupakan fitrah yang
diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah berfirman (QS 27: 14) “Dan mereka
mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka
meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang
berbuat kebinasaan.”
Segala sesuatu
yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah, manusia juga diciptakan oleh Allah.
Oleh karena itu segala yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Ibnu ‘Arabi
menyatakan bahwa realitas alam merupakan tajalli ilahi dan cermanan
untuk melihat kesempurnaan Allah. Semua yang ada di dunia ini bersumber pada
Allah dan penampakan dari-Nya.[21]
Meskipun demikian hanya milik Allah lah segala kesempurnaan. Dengan
sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna seluruh makhluk di dunia masih bergantung
kepada Allah SWT.
Karena semua yang
ada di dunia ini adalah milik Allah, maka jika manusia memilki kekuasaan di
dunia ini dan diberikan kebebasan serta kemerdekaan untuk mengatur apa yang ada
di dunia ini, maka sesungguhnya hal ini hanya bersifat sementara. Manusia
adalah makhluk-Nya, segala yang dimiliki manusia, kekuasaan, tindak-tanduk,
udara yang dihirup, segalanya datang dari Allah SWT.
Hubungan manusia
dengan wujud Allah dapat dikaitkan melalui nama-nama Allah yang
jumlahnya sembilan puluh sembilan. Tuhan mencoba mengenalkan diri-Nya kepada
manusia melalui nama-namanya yang disebut asmaul husna. Setiap nama yang
ada ini menunjukkan dan membertahukan tentang wujud, meskpun puncak dari
realitas itu tidak dapat diketahui.[22]
Ibnu Arabi
memberikan konsep mengenai manusia yang disebut dengan al-Insan al-Kamil.
Manusia yang mampu mengaktualsasikan potensi yang dimilikinya secara maksimal
adalah manusia yang sempurna (al-insan al-kamil). Manusia sempurna mampu
menjadi teladan bagi kebijaksanaan, mewujudkan sikap yang terpuji, mengasihi
sesamanya dan segala kebaikan baik moral maupun spiritual. Tujuan utama Allah
mencptakan alam adalah untuk mewujudkan manusia yang sempurna. Karena manusia
memiliki kemungkinan untuk mengaktualisasikan sifat-sifat-Nya secara total dan
memilk kesiapan yang dibutuhkan dalam rangka menampilkan sifat-sifat-Nya. Oleh
karena itulah Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.[23]
Jadi manusia
diciptakan oleh Allah adalah untuk menjadi khalifah Allah di bumi. Dengan
menjadi Khalifah Allah manusia diberikan kebebasan untuk mengatur apa yang ada
di alam semesta ini. Akan tetapi, kebebasan yang diberikan kepada manusia juga
dibarengi dengan tanggung jawab akan apa saja yang ia lakukan di dunia. Untuk
dapat menjadi khalifah yang sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah, maka
manusia harus dapat mengaktualisasikan sifat-sifat Allah dalam dirinya.
Manusia Sempurna Menurut al-Qur’an
Ada banyak konsep
manusia yang berkualitas atau semupurna. Beberapa tokoh Muslim dan juga ahli
psikologi memiliki konsep-konsep mengenai manusia berkualitas atau sempurna
ini. Tokoh-tokoh Muslim yang memiliki konsep mengenai manusia sempurna
diantaranya adalah, Ibnu Arabi, al-Jilli, dan al-Ghazali.
Al-Ghazali dalam
bukunya Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan, kedudukan tertinggi yang dapat dicapa oleh
manusia adalah ma’rifat. Sedangkan jalan menuju ma’rifat membutuhkan perpaduan
antara ilmu dan amal yang kemudian diakutalsasikan dengan menjalankan perintah,
aturan dan syariat Islam secara kaffah. Ilmu dan amal ini kemudian dapat
dilihat melalui amalan-amalan lahiriah dan menjadikan segala gerak dan tingkah
laku di dunia ini adalah ibadah.
Selain itu dibutuhkan pula penyucian jiwa dengan al-mujahadat, atau
menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dan al-riyadhat,
mendekatkan diri kepada Allah. Penyucian jiwa ini dilakukan berangsur-angsur
dan melalui beberapa tahapan ata maqam, yaitu: taubat, sabar, kefakiran,
zuhud, tawakkal, mahabbah dan ridho.[24]
Sedangkan menurut Ibnu Arabi, manusia sempurna adalah manusia yang
dapat mengaktualisasikan sifat-sifat Allah yang sembilan puluh sembilan dalam
dirinya. Manusia yang mampu mengaktualsasikan potensi yang dimilikinya secara
maksimal adalah manusia yang sempurna (al-insan al-kamil). Manusia
sempurna mampu menjadi teladan bagi kebijaksanaan, mewujudkan sikap yang
terpuji, mengasihi sesamanya dan segala kebaikan baik moral maupun spiritual.[25]
Senada dengan Ibnu ‘Arabi, al-Jilli juga memilik konsep mengenai
manusia sempurna, yang juga disebut dengan al-insan al-kamil. Menurut
al-Jilli Tuhan menampakkan dirinya melalui tiga tahapan yaitu: Ahadiyah,
hiwiyah, aniyah. Pada tahap ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya
baru keluar dari al-‘ama, kegelapan, tanpa nama dan sifat. Kemudan pada tahap Huwiyah,
nama dan sifat Tuhan muncul, akan tetap hanya dalam bentuk potensi, baru pada
tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama-Nya dan
sifat-sifatn-Nya.
Manusia merupakkan penampakkan yang paling sempurna dari Tuhan dari
semua makhluknya. Meskipun demikian hanya dalam al-insan al-kamil lah
yang menjadi penampakkan Tuhan yang sempurna. Manusia dapat menjadi al-nsan
al-kamil ketika ia telah melalui tahapan-tahapan, hingga mencapai tahapan
tertinggi, yaitu ma’rifat.[26]
Sedangkan dalam al-Qur’an konsep mengenai manusia sempurna dan
berkualitas adalah manusia yang menampilkan ciri sebagai hamba Allah yang
beriman, sehingga hanya bermunajah kepada Allah serta seraya memberikan manfaat
kepada sesamanya. Manusia yang berkualitas harus ditopang dengan terjalinnya
empat hal yakni, iman, ilmu, amal, dan kualitas sosial.
Tanggung Jawab Manusia
Dalam al-Qur’an
surat al-Mukminun ayat 115 dijelaskan tentang manusia sebagai makhluk yang
bertanggung jawab dan fungsional, “Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada kami?.”. Tanggung jawab manusia ini meliputi tanggung jawab
manusia kepada Allah SWT, diri pribadi, masyarakat, dan juga alam semesta.
a)
Tanggung
jawab manusia kepada Allah SWT.
Tujuan utama diciptakannya manusia
adalah untuk beribadah. Allah SWT berfirman (QS 51:56) “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Dan
(QS 2:21) “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”.
Dari dua ayat al-Qur’an di atas,
dapat kita ketahui bahwa kewajban pertama manusia adalah beribadah. Secara umum
ibadah berarti melaksanakan segala ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh
Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan dalam artian yang lebih
khusus ibadah berarti berbagai macam pengabdan kepada Allah dalam bentuk dan
cara yang sesuai dengan Syara’.
b)
Tanggung
jawab manusia terhadap dirinya sendiri
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa manusia terdiri dari dua unsur,
yakni jasman dan rohani. Maka tanggung jawab manusia terhadap dirnya sendiri
adalah memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baik jasmani maupun rohani.
Kebutuhan jasmani manusia, berupa sandang dan pangan seperti makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan lain-lainnya.
Salah satu unsur rohani dalam diri
manusia adalah akal dan rasa. Akal digunakan untuk berpkir berbagai macam ilmu
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Sedangkan rasa selalu
merindukan adanya keindahan, kebenaran, keadilan, rindu akan kebaikan dan
nilai-nilai moral. Perasaan kerinduan ini kemudian diisi dengan nilai-nilai
seni dan budaya, perasaan rindu akan kemuliaan diisi dengan takwa. Ketika perasaan
merasakan rindu kepada kesucian maka hendaknya diisi dengan meninggalkan
perbuatan tercela. Inilah contoh-contoh kebutuhan rohani yang harus dipenuhi
manusia.[27]
Salah satu penyakit rohani manusia
yang harus dihindari adalah malas. Penyakit malas akan mematikan unsur kehendak
yang menjadi unsur terpentng dalam rohani manusia. ketika manusia sudah tidak
memiliki unsur kehendak lagi, maka manusia tersebut sudah tidak memiliki makna
dalam hidupnya. Salah satu faktor penyebab malas adalah suka menunda-nunda
pekerjaan yang sebenarnya dapat diselesaikan segera.
c)
Tanggung
jawab manusia terhadap masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial, yang selalu membutuhkan sesamanya
dalam kehidupan sehari-hari. Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai
macam suku, budaya, adat-istiadat, bahasa untuk saling bernteraksi, mengenal
dan tolong-menolong. Meskipun diciptakan oleh Allah dengan bermacam-macam suku,
budaya, adat-istiadat dan bahasa, tetapi yang membedakan manusia di mata Allah
hanyalah ketakwaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan
sesamanya, senantiasa juga memperhatikan kebutuhan serta kepentingan sesamanya.
Manusia juga dianjurkan untuk selalu berbuat baik dan tolong-menolong dalam
kebaikan. Allah berfirman (QS 5:2) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”.
d)
Tanggung
jawab manusia terhadap alam
Allah menciptakan alam semesta ini
untuk diambil manfaatnya bagi manusia. Manusia dijadikan oleh Allah sebaga
khalidah-Nya di bumi, dan memerikan kepada manusia wewenang untuk mengatur dan
mengeksplorasi alam semesta dan seisinya. Akan tetapi Allah juga memberkan
tanggung jawab kepada manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian alam. Dengan
mengelolah alam dan isinya berarti manusia telah menggunakan potensinya dengan
baik, (QS 45:13) “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa
yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir”.
Manusia harus dapat mengelola alam
semesta dan isinya dengan baik dan tidak berlebihan. Jika manusia memanfaatkan
alam secara berlebihan, tamak dan rakus akan mengakibatkan kerusakan pada alam
semesta yang nantinya juga berdampak buruk pada manusia, (QS 30
:41) “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
:41) “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Potensi alam adalah bersifat terbatas, maka
dalam mengelolah dan memanfaatkannya harus meilhat dan memerhatikan kelestarian
alam, khususnya bagi generasi masa depan.
Kesimpulan
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakkan dengan sebaik-baik
bentuk dan sebaik-baik rupa. Manusia juga dikaruniai akal, sehingga manusia
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. manusia terdiri dari dua
unsur yaitu tanah dan ruh, jasmani dan ruhani yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya, karena jika dipisahkan maka ia bukan manusia
lagi.
manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk menjadi khalifah Allah
di bumi. Dengan menjadi Khalifah Allah manusia diberikan kebebasan untuk
mengatur apa yang ada di alam semesta ini. Akan tetapi, kebebasan yang diberikan
kepada manusia juga dibarengi dengan tanggung jawab akan apa saja yang ia
lakukan di dunia. Untuk dapat menjadi khalifah yang sesuai dengan yang
diinginkan oleh Allah, maka manusia harus dapat mengaktualisasikan sifat-sifat
Allah dalam dirinya
DAFTAR PUSTAKA
‘Arabi, Muhyiddin Ibnu. Al-Anwar.
Mesir. Al-Jamalyah Bihara al-Rum. 1914.
____________________. Futhuhat
al-Makkiyah. jilid II. Beirut. Daru Shadir. 1911.
Abdullah, Burlinan. Ragam Perilaku Manusia Menurut Al-Qur’an.
Palembang. PT Kuala Musi Raharja. 2000.
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memaham Manusia Melalui
Filsafat. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. 2005.
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin. Beirut. Dar al-Fikr. 1980.
Al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Aqidatul Mukminin.
Jakarta. Pustaka Mantiq. 1994.
Al-Jilli, Abdul
Karim Ibn brahim. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali.
juz 2. Dar al-Fikr. Tt.
Assegaf, Abd. Rachman. Stud Islam Kontekstual. Yogyakarta.
Gama Media. 2005.
Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.
Lembaga Studi Filsafat Islam. 1992.
Basyir, Ahmad Azhar. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta.
Perpustakaan Pusat UII. 1984.
Bertens, K.. Panorama Filsafat Modern. Jakarta. Teraju.
2005..
Chttick, William. The Suf Path of Knowledge: Ibn Arabi’s
Methaphysics of Imagination. Albany. SUNY Press. 1989.
Hasan, Muhammad Tholchah. Dinamika
Kehidupan Religus. Jakarta. Listafariska. 2004.
N, Drijarkara. Filsafat Manusia. Jogjakarta. Penerbit
Jajasan Kanisius. 1969.
Sastrapratedja, M. Manusa Multi Dimensional: Sebuah Renungan
Filsafat. Jakarta. PT Gramedia. 1982.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung. Mizan. 1996.