Pendidikan Islam di Indonesia

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA  

PENDAHULUAN
Pendidikan dalam suatu negara tentu tidak terlepas dari sejarah sosial bangsa tersebut. Seperti halnya Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim dengan keaneka ragaman ras suku dan budayanya, amat kaya akan pertumbuhan dan perkembangan Pendidkan Islam, mulai dari yang bertarap tradisional seperti Surau di Sumatra Barat, Rangkang di Aceh, Langgar di Jawa Timur, hingga yang bertarap modern lengkap dengan manajemen dan sarana-prasarananya yang lengkap dan canggih, seperti Pondok Modern Gontor, al-Zaitun, bahkan Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan lain sebagainya.
                        Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, Negara sudah berupaya memperbaiiki sistem pendidikan Nasional termasuk di dalmnya adalah Pendidikan Islam, namun sampai saat ini, keberhasilan itu belum nampak,  justru data yang dirilis oleh Pearson Education (2014) cukup mencengangakan. “Indonesia adalah yang paling rendah (nomor 40) dari ranking 40 negara di dunia”. Yang menarik adalah hasil ranking berdasarkan  Eduaction Index ini terdapat  empat negara di Asia yang menempati posisi nomor satu sampai empat menggeser  Finlandia ke posisi nomor urut lima  yang pada tahun 2012 berada di posisi nomor urut satu. Keempat negara Asia dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2014 adalah: (1) Korea Selatan, (2) Jepang, (3) Singapura, dan (4) Hongkong. Ranking berikut adalah Finlandia (ranking 5), Inggris (6), Kanada (7), Belanda (8), Jerman (12), USA (14), Australia( 15), Belgia (18), Prancis (23), Thailand (35), Brazil (38), Meksiko (39), dan Indonesia (40)
            Kajian berikut akan mengupas bagaimana pendidikan Islam di Indoensia dalam perspektif Pendidikan Nasional. Mengingat keneka ragaman rupa wajah pendidikan di indoensia sehingga penulis hanya membatasi pada kajian singkat sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Institusi Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Islam dan Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam.

PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Studi tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari kajian sejarah masuknya Islam di Indonesia. Ini karena awal munculnya pendidika Islam di Indonesia terwujud dengan adanya praktek penyebaran agam Islam itu sendiri. Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia disebabakan dua faktor yang cukup Dominan. Pertama, letak geografis Indonesia yang berada di persimpangan jalan Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok. Kedua, Kesuburan tanah yang menghasilkan bahan-bahan keperlua hidup yang dibutuhkan oleh bangsa lain, misalnya rempah-rempah[1] yang akhirnya Indonesia ditinggali oleh para pedagang dari manca negara.
Merujuk pada periodeisasi  sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang dibuat oleh Zuhairini, ada 7 fase datangnya Islam ke Indonesia; fase pengembangan dengan melalui proses adaptasi; fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (proses politik); fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan);  fase penjajahan Jepang; Fase Penjajahan Jepang; Fase Indonesia Merdeka; Fase Pembangunan[2].
Pendikakan Islam pada fase pertama diawali dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad 7 M/1 H yang disebarkan oleh pedagang dan muballigh dari Arab di pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya di daerah Baros.[3]. Interaksi penyebaran Islam kepada penduduk lokal melalui kontak jual beli, perkawinan, dan dakwah baik secara individu maupun kolektif[4] dari situlah semacam Pendidikan Islam berjalan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana, tanpa terikat oleh formalitas waktu dan tempat tertentu. Materi pelajarannya yang pertama adalah kalimat Syahadat. Sebab barang siapa yang telah bersyahadat berarti sudah masuk Islam kemudian secara lambat laun dikembangkan pada materi rukun iman, rukun Islam terus belanjut pada cara melaksnakan sholat lima waktu, membaca al-Qur’an dan seterusnya
Pada fase kedua, yakni masa pengembangan dengan proses adaptasi, pendidikan Islam tersus berkembang. Mahmud Yunus menggambarkan pendidikan Islam pada fase ini ditandai dengan terbentuknya sistem langgar atau surau sebagai pusat studi keIslaman. Dengan dipandu oleh juru dakwah yang biasanya dikenal dengan sebutan modin atau lebai, pengajian al-Qur’an dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau pemula dengan materi pembelajaran pengenalan huruf dan bacaan al-Qur’an pada malam dan pagi hari sesudah shalat subuh. Kedua, tingkat atas, yaitu dengan penambahan beberapa pembelajaran seperti pelajaran lagu, qasidah, barzanji, dan tajwid. Metode yang digunakan ialah dengan cara sorogan dan halaqah[5]
Pada fase ketiga (munculnya kerajaan Islam) potret pendidikan di Indonesia mulai mengalami kemajuan karena pada fase ini pendidikan Islam mendapat dukungan yang penuh dari kerajaan, kerajaan Islam yang pertama adalah fase atau kerajaan Samudera di Aceh yang beridiri pada abad 10 M dengan rajanya yang pertama Al Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Al Malik Al Shaleh dan yang terakhir Al Malik Sabar Syah. Sistem pendidikan Islam pada masa ini, sebagaimana keterangan Ibnu Batutah, sebagai berikut:
1.  Materi pendidikan  dan pengajaran agama bidang Syariat ialah Fiqh Madzhab Syafi’i.
2.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis taklim dan halaqah.
3.      Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
4.      Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara[6]
Kerajaan Islam yang kedua di Indonesia dan yang juga mewariskan pendidikan Islam adalah Perlak di Aceh. Raja yang pertama adalah Sultan Alaudin abad 12M, Raja yang keenam yang bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin adalah seorang Ulama yang mendirikan perguruan tinggi Islam. Suatu majlis taklim tingkat tinggi yang dipruntukkan khusus para murid yang sudah alim. Kitab-Kitab yang dikaji cukup berbobot seperti Al-Um karya Imam Syafi’i dan beberapa kitab lainnya[7].
Pendidikan Islam pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M (1399 M) di bawa oleh  Maulana Malik Ibrahim bersama keponakannya yang bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik. Perkembangan Pendidikan Islam semakin kokoh dengan adanya pimpnan yang diebut Wali Songo. Sistem pendidikan yang dilakukan oleh para Wali adalah sistem pesanten. Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali yang lain adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang akhirnya tersebar sampai ke Maluku, Kalimantan yang di bawa oleh para santri Wali songo[8]
Pada fase kedatangan orang barat (zaman penjajahan belanda) kondisi pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak kendala sehingga mengalami kemunduran yang luar biasa. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanada ke Indonesia sudah bermotif Ekonomi, Politik, dan Agama. Pondok Pesantren, Masjid, Mushalla dianggap tidak membantu Belanda. Pesantren dianggap tidak berguna dan rendah sehingga disebut sekolah desa. Pada tahun 1882 M, Pemerintah Belanda membentuk satu badan khusus yang di beri nama Priesterraden. Badan ini bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam pribumi. Atas nasehat badan inilah maka pada tahaun 1905 pemerintah belanada mengeluarkan peraturan yang isinya orang yang memberikan pengajian harus mintak izin lebih dahulu. Pada tahun 1925, belanda mengeluarka peraturan yang lebih keta lagi bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932 muncul lagi peraturan yang akan memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak punya izin atau memeberikan pelajaran yang tidak disukai ole pemerintah 
Wajah pendidikan Islam pada fase penjajahan Jepang mengalami sedikit kebaikan dibading pada zaman belanda walaupun secara umum terbengkalai karena murid-murid sekolah hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekrja bakti, bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah mdrsah-mdrsah yang berada di pondok pesantren yuang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang. Dalam rangka mencari simpati dan dukungan rakyat Indonsia, jepang memberi beberapa kebaikan terhadap pendidikan Islam, antara lain sebagai berikut:
1.   Pondok pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan  bantuan dari pembesar-pembesar Jepang
2.      Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya Identik dengan ajaran Agama
3.      Memberikan izin pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahjar Muzakir, dan Bung Hatta[9]
Awal fase Indonesia merdeka ditandai dengan Proklamasi pada tanggal 17 Agustsus 1945. Pada awal masa ini kondisi Indonesia masih belum stabil, akan tetapi perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam cukup besar. Pendidikan agama saat itu secara formil institusiomal dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Agama Islam secara umum mulai diatur pada bulan Desember  1946 melalalui suarat keputusan bersama dua Menteri, yaitu menteri Agama dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV sampai Kelas VI SR (Sekolah Rakyat)[10]
Pada fase pembangunan atau zaman Orde Baru, kehidupan sosial, agama, dan politik diIndonsia mengalami kemajuan yang cukup baik. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam yang semakin mantap. Pemerintah Orde Baru betekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangaun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangaun bidang jasamani dan rohani. Pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan masyarakat. Dalam sidang-sidang  MPR yang menyususn GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di semua jenjang pendidikan[11].
B.     Institusi Pendidikan Islam di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang majemuk, kaya dengan keaneka ragaman suku, budaya, bahasa, dan adat istiadatnya memiliki berbagai bentuk Institusi Pendidikan. Sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instutusi Pendidikan dikelompokkan menjadi tiga Kelomok, yaitu Pendidikan Islam Formal, Pendidikan Islam Non-Formal, dan Pendidikan Islam In-Formal.      
1.      Pendidika  Formal
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dengan jelas bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[12]  Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato memberi pengertian tentang lembaga penddikan sekolah, yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan ditempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjnagan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi,  dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi.[13] 
Haidar Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjlanakn tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[14]
Di Indonesia yang termasuk kategori lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a.       Raudhatul Athfal (RA) atau Bustanul Athfal, atau nama lain sesuai dengan pendiriannya
b.      Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI)
c.       Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), atau nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
d.      Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama lain yang setingkat dengan lembaga ini
e.       Perguruan Tinggi Islam antara lain adalah sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik Yayasan atau organisasi keIslaman
2.      Pendidikan Non Formal
Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang[15]. Ramayulis mengartikan pendidikan  Non-Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.[16] Denagn kata lain dapat dipahami bahwa penidikan Islam non-formal adalah pendidikan yang diselengggrakan oleh masyarakat dengan tanpa mengikuti peraturan yang baku dari pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di dalam  PP No. 55 tahun 2007 menyebut  majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam.
Beberapa diantara pendidikan Islam yang tidak formal diselenggrakan oleh masyarakat dan masih tetap eksis hingga sekarang adalah sebagai berikut :
a.       Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Rangkang
b.      Madrasah Diniyah
c.       Majlis Ta’lim, TPQ, Taman Pendidikan Seni al-Qur’an, Jama’ah wirid
d.      Kursus-kursus KeIslaman
e.       Badan-badan Pembinaan Rohani
f.        Badan-Badan Konsultasi keagamaan
3.      Pendidikan  Informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.[17]. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di lingkungannya[18]. Pengertian ini berarti menegakkan bahwa yang masuk adalam ketagori pendidi Islam in formal adalah pendidika Islam yang diberikan oleh orang tua kepada keluarganya dan juga pendidikan Islam dilingkunangan masyarakat seperti majlis ta’lim yang ada di masjid-masjid atau mushola.
Praktek pendidikan Islam informal tidak terikat dengan penjenjangan, waktu, atau muatan kuirkulumnya. Pendidikan berjalan secara alami dan materi pendidikannya bersiafat kondisonal dan sesuai dengan kebutuhan tanpa ada program waktu dan evaluasi.
C.    Lembaga Pendidikan Islam
Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukann suatu usaha.[19] Istilah lembaga pendidikan Islam, secara terminologi ada banyak pendapat yang menjelaskan pengertiannya. Ada yang memaknai lembaga pendidikan Islam secara fisik dan ada yang mengartikannya secara abstrak. Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr Ramayulis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lembaga pendidikan adalah suatau sistem peratuaran yang bersifat mujarrad suatu konsepsi yang terdiri dari Kode-kode, Norma-norma, Ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.[20] Pendapat Hasan Langgulung inilah pendapat yang mencakup keduanya (Fisik dan Non-fisik) dan cukup menggambarakan tentang realitas lembaga pendidikan Islam di Indonesia
Ada berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain adalah pondok pesantren dengan berbagai variannya, sekolah Islam atau Madrasah dengan berbagai jenjang dan modelnya, dan perguruan tinggi dengan berbagai program studinya.
1.      Pondok Pesantren
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Berdasarkan Pendataan DEPAG pada tahun 1984-1985, pondok pesantren tertua di Indonesia adalah pondok pesantren Jan Tampes II berdiri pada tahun 1062 di Pamekasan Madura[21]. Sekalipun kebenarannya masih diragukan tapi pesantren merupakn lembaga pendidikan Islam Tertua di Indonesia.
 Istilah pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata Pondok mungkin  berasal dari bahasa arab “Funduq” yang berarti Hotel Atau Asrama[22]. Sedangakan Pesantren menurut Mastuhu adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan najaran Islam dengan menekankan oentingnay moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari[23] 
Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Keberadaan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam dan telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren menunjukkan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menjalankan fungsinya sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) sehingga dari pesantren lahir kader ulama, guru agama, mubaligh, tokoh politik dan lain-lain yang dibutuhkan masyarakat.
Pada sejarah berdirinya pesantren, awalnya pesantren didirikan dengan misi khusus, yaitu: pertama, sebagai wahana kaderisasi ulama’ yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat; kedua, membentuk jiwa santri yang memiliki kualifikasi moral dan religius; ketiga, menanamkan kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada tuhan, bukan hanya untuk meraih prestasi kehidupan dunia.[24] Kemampuan pesantren untuk tetap survive hingga kini tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi umat Islam, terutama kalangan pesantren. Hal ini sangat beralasan, sebab  ditengah derasnya arus modern dan globalisasi, dunia pesantren masih konsis dengan kitab kuning[25] dan konsep pendidikan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tradisional. Begitu pula dengan pelajaran kitab-kitab kuning (klasik) merupakan salah satu elemen dasar dari tradisi pesantren.  Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat religius-teosentris yang merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus informasi global, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami perubahan dalam rangka penyesuaian, khususnya menyangkut kurikulum dan metode serta teknik pembelajarannya. Aktifitas belajar bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan, karena itu proses belajar mengajar di pesantren sering tidak mengalami dinamika dan tidak mempertimbangkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman[26]. Padahal, seiring dengan pergeseran  zaman santri membutuhkan formalitas, sebut saja Ijazah serta penguasaan bidang keahlian lain yang dapat mengantarnya agar mampu menjalani kehidupan. Di era modern, santri tidak cukup hanya berbekal nilai dan norma moral saja, tapi perlu pula dilengkapi dengan keahlian yang relevan dengan dunia kerja modern.
Hal demikian inilah yang kemudian mengharuskan pendidikan di Pondok Pesantren mengalami perubahan dan pengembangan khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yakni:
a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memilki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA. Dan PT. Agama Islam) maupun yang juga memilki sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum).
b. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
c.    Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrsah diniyah.
d.    Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.[27]
Pesantren jenis yang ketiga dan keempat ini masih mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum atau metode pembelajarannya, sehingga disebut Pondok Pesantren Salafiyah. Berbeda dengan Pondok pesantren jenis pertama, Pesantren ini tidak menggunakan  kurikulum pemerintah dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik atau yang disebut kitab Kuning.  Metode pembelajarannya pun menggunakan metode khas pesantren tradisional yaitu sorogan, bandongan dan halaqoh.[28] Kebanyakan santrinya belum mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dasar, sehingga keluaran/lulusan Pesantren Salafiyah tersebut tidak mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah sebagaimana lulusan pendidikan formal yang dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
Berdasarkan Pendataan pada tahun 2011/2012 Jumlah pondok pesantren di Indoensia mencapai  27.230 pondok pesantren yang tersebar di sekuruh Indonesia Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi[29]   
2.      Sekolah Islam
Sekolah Islam merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam. Awal munculnya Sekolah Islam berawal dari adanya sekelompok masyarakat yang berlatar belakang agama yang mempuntai gagasan membuka sekolah dengan sistem “sekolah belanda” dengan tambahan pelajaran Agama. Pemrakarsa Utama dalam modernisasi Pendidikan Islam adalah organisasi mordernis Islam seperti Jami’at Khair, Al-Irsyad, dan Muhammadiyah.[30]
Dalam perkembangannya, pendirian pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi pergerakan Islam seperti Nahdlotul Ulama’ (NU) dengan Pendidikan Maarif tahun 1926 di Jawa timur, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, Matalaul Anwar, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masing-masing. Sekolah yang mereka dirikan merupakan sekolah umum dengan memasukkan pengajarah Agama dan menambahkan nama Islam di belakangnya sehingga menjadi SD Islam, SMP Islam, dan SMA Islam. Selain itu, ada yang menggunakan nama organisasi penyelenggara seperti SD Muhammadiyah, SMP Maarif NU, SMA Al-Irsyad. Ada pula yang menggunakan perlambang berbahasa Arab, misalnya SD Al-Falah, SMP Futuhiyah. Dan belakngan ini muncul nama SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu).[31] Belakangan ini muncul sekolah Islam dengan model fullday atau Boarding Scholl.
Perkembangan Sekolah Islam saat ini mendapat Animo dari masyarakat yang cukup besar. Hal ini terjadi sebagai imbas dari kekurangan yang ada pada Madrasah atau Sekolah. Banyak masyarakat menilai bahwa pendidikan di madrasah kurang profesioanl dalam biadang materi umum sehingga tertinggal dengan sekolah, sementara sekolah umum kurang dalam memberikan layanan pendidikan Agama. Sekolah Islam muncul sebagai alterntif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Agama yang baik dan pendidikan umum yang profesional.         
3.      Perguruan Tinggi Islam
Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. Bagi Indonesia, kebutuhan Pendidikan tinggi Islam sudah sanagat mendesak untuk mendidik tenaga ahli dalam bidang Ilmu agama Islam dan sebagai pusat pengembanagan intelektualisme agama Islam. Keinginan tersebut berhasil direalisasi di Minangkabau dengan didirikannya sekolah Tinggi oleh persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang yang diresmikan pada tanggal 9 Desember 1940[32]. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan Sekolah Tinggi Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia dan menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Islam yang lain baik negeri maupun swasta.
Undang-Undang No 20 Tahun  2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl pasal 19 ayat 1 menyatakan “Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”. dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perguruan tinggi Islam adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah (SMA/MA) yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang berciri khas Islam.
Saat ini Pendidikan Tiggi Islam (PTI) di Indonesia baik yang negeri maupun yang swasta terus berkembang dengan berbagai program studi dan jurusan. Saat ini Pergurun Tinggi Islam Swasta se-Indonesia berjumlah 272 lembaga sementara Perguruan Tinggi Islam Negeri berjumlah 52.  
D.    Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem adalah suatu gagasan atau prinsip yang bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[33]. Dengan demikian Sistem pendidikan bisa difahami sebagai himpunan gagasan atau prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertauatan yang tergabung menjadi suatu keseluruhan[34].
Dalam mengkaji sistem pendidikan dalam suatu negara tidak terlepas dari falasafah suatu bangsa tersebut. Ketika negar-negara barat mempunya falsafah hidup rasionalis, materialis, dan pragmatis maka sistem pendidiksan yang dibuat oleh barat tentu bercorak rasionalis, pragmatis, dan materialis. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dengan demikian maka sistem pendidikan Nasional Indonesia (Pendidikan Islam) bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[35]
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang SISDIKNAS kemudian dijabarkan ke dalam Peratuaran Pemerintah lalu dioprasionalkan   dalam Peratuaran Meneteri. Pendidikan Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Islam sehingga sistemnye mengikuti Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan keagamaan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No: 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Bab I, Pasal 1, Ayat 2 berbunyi, “pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan / atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”.
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam In-Formal dan Non-formal memang disebut dalam Peratuarn Pemerintah akan tetapi dalam pelaksaannya berjalan secara alami tanpa terikat dengan peraturan yang baku dan diselenggrakan sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan penyelenggaraannya.
Adapun sistem penyelenggaran pendidkan Islam formal di Indonesia sebagai bagian dari pendidikan nasionaltentu tidak terlepas dari Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Pendidikan Islam mengacu pada delapan Standar pendidikan nasional yang sudah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32. tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410)
1.      Tujuan Pendidikan Islam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Tujuan Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional maka tujuan pendidikannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan profil kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan.
Berikut ini adalah Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapka pemerintah melalui Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
SD/MI/SDLB/PAKET A
Dimensi
Kualifikasi kemampuan
Sikap
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Pengetahuan
Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Keterampilan
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.
SMP/MTS/SMPLB/PAKET B
Dimensi
Kualifikasi kemampuan
Sikap
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
Pengetahuan
Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.
Keterampilan
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.
SMA/MA/SMALB/PAKET C
Dimensi
Kualifikasi kemampuan
Sikap
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Pengetahuan
Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.
Keterampilan
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.
2.      Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran[36].
Kurikulum yang diberlakukan untuk tingkat MI - MA mulai tahun ajaran 2013/2014 adalah kurikulum 2013 yang mana kurikulum tersebut telah memenuhi kedua dimensi tersebut. Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut:
a.  mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik;
b.  sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
c.    mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;
d.   memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
e.       kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
f.   kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti;
g.    kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal)[37].

Struktur Kurikulum MI

Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
I
II
III
IV
V
VI
1
Pendidikan Agama Islam



1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
5
5
6
5
5
5
3
Bahasa Indonesia
8
9
10
7
7
7
4
Bahasa Arab
2
2
2
2
2
2
5
Matematika
5
6
6
6
6
6
6
Ilmu Pengetahuan Alam
-
-
-
3
3
3
7
Ilmu Pengetahuan Sosial
-
-
-
3
3
3
Kelompok B



8
Seni Budaya dan Prakarya
4
4
4
5
5
5
9
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
4
4
4
4
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Per-Minggu
34
36
40
43
43
43
























Struktur Kurikulum Mts

Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
VII
VIII
IX
1
Pendidikan Agama Islam

1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
3
3
3
3
Bahasa Indonesia
6
6
6
4
Bahasa Arab
3
3
3
5
Matematika
5
5
5
6
Ilmu Pengetahuan Alam
5
5
5
7
Ilmu Pengetahuan Sosial
4
4
4
8
Bahasa Inggris
4
4
4
Kelompok B

1
Seni Budaya
4
4
4
2
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
4
4
4
3
Prakarya
2
2
2
Jumlah Alokasi Waktu Per-Minggu
46
46
46


























Struktur Kurikulum MA
Peminatan Matematika dan Ilmu Alam

Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
VII
VIII
IX
1
Pendidikan Agama Islam

1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
Bahasa Arab
4
2
2
5
Matematika
4
4
4
6
Sejarah Indonesia
2
2
2
7
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B

1
Seni Budaya
2
2
2
2
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
3
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah Jam Kelompok A dan B Per-Minggu
33
31
31
Kelompok C Peminatan

Matematika
3
4
4
Biologi
3
4
4
Fisika
3
4
4
Kimai
3
4
4
Mata Pelajaran Polihan dan Pendalaman

Pilihan Lintas Minat dan/atau pendalaman minat
6
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
51
51
51















































Struktur Kurikulum MA
Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial


Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
VII
VIII
IX
1
Pendidikan Agama Islam

1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
Bahasa Arab
4
2
2
5
Matematika
4
4
4
6
Sejarah Indonesia
2
2
2
7
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B

1
Seni Budaya
2
2
2
2
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
3
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah Jam Kelompok A dan B Per-Minggu
33
31
31
Kelompok C Peminatan

1
Geografi
3
4
4
2
Sejarah
3
4
4
3
Sosiologi
3
4
4
4
Ekonomi
3
4
4
5
Mata Pelajaran Polihan dan Pendalaman

6
Pilihan Lintas Minat dan/atau pendalaman minat
6
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
51
51
51






































Struktur Kurikulum MA
Peminatan Ilmu Bahasa

Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
VII
VIII
IX
1
Pendidikan Agama Islam

1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
Bahasa Arab
4
2
2
5
Matematika
4
4
4
6
Sejarah Indonesia
2
2
2
7
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B

1
Seni Budaya
2
2
2
2
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
3
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah Jam Kelompok A dan B Per-Minggu
33
31
31
Kelompok C Peminatan

1
Bahasa dan Sastra Indonesia
3
4
4
2
Bahasa dan Sastra Inggris
3
4
4
3
Bahasa dan Sastra Bahasa Asing Lainnya
3
4
4
4
Antropologi
3
4
4
5
Mata Pelajaran Polihan dan Pendalaman

6
Pilihan Lintas Minat dan/atau pendalaman minat
6
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
51
51
51






































Struktur Kurikulum MA
Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan

Mata Pelajaran
Alokasi waktu Belajar Per-minggu
Kelompok A
VII
VIII
IX
1
Pendidikan Agama Islam

1
Al-Qur’an Hadits
2
2
2
2
Aqidah Akhlaq
2
2
2
3
Sejarah kebudayaan Islam
2
2
2
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
Bahasa Arab
4
2
2
5
Matematika
4
4
4
6
Sejarah Indonesia
2
2
2
7
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B

1
Seni Budaya
2
2
2
2
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
3
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah Jam Kelompok A dan B Per-Minggu
33
31
31
Kelompok C Peminatan

1
Tafsir – Ilmu Tafsir
2
3
3
2
Hadits - Ilmu Hadits
2
3
3
3
Fiqih – Ushul Fiqih
2
3
3
4
Ilmu Kalam
2
2
2
5
Akhlaq
2
2
2
6
Bahasa Arab
2
3
3
Mata Pelajaran Pilohan dan Pendalaman

Pilihan Lintas Minat dan/atau pendalaman minat
6
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Pe-Minggu
51
51
51









3.      




























Proses Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar[38] Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan Islam diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan Islam harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
a.    dari pesertadidik diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu;
b.   dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;
c.  dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
d.  dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis       kompetensi;
e.       dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
f.        dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju  pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
g.      dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
h.      peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills);
i.        pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
j.        pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
k.      pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
l.        pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.
m. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
n.  Pengakuan atas perbedaan individualdan latar belakang budaya peserta didik[39]

Sasaran pembelajaran mencakup engembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah(project based learning).[40]
4.      Pembiayaan
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggran 20 % dari APBN untuk pendidikan. Sehingga ada bantuan bagi sekolah  berupa BOS, BSM, Blok Grand, DAK dan laian-lain. Pendanaan Pendidikan Islam formal menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. UU Sisdikna Mengamanatkan “
a.       Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b.  Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan  anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[41].
5.      Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang cukup penting dalam pendidikan Islam. Baik mulai dari tingkat dasar samapai tingkat tinggi. untuk penilaian lembaga pendidikan formal tidak MI/MTs/MA/yang sederajat telah diatur dalam Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah[42].
Ruang lingkup Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses[43].
Mekanisme penilaian mulai jenjang Sekolah Dasar sampai Menengah diatur sebagai berikut:
a.       Penilaian otentik dilakukan oleh guru secara berkelanjutan.
b.      Penilaian diri dilakukan oleh peserta didik untuk tiap kali sebelum ulangan harian.
c.       Penilaian projek dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau tema pelajaran.
d.      Ulangan harian dilakukan oleh pendidik terintegrasi dengan proses pembelajaran dalam bentuk ulangan atau penugasan.
e.       Ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
f.        Ujian tingkat kompetensi dilakukan oleh satuan pendidikan pada akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5), dengan menggunakan kisi-kisi yang disusun oleh Pemerintah. Ujian tingkat kompetensi pada akhir kelas VI (tingkat 3), kelas IX (tingkat 4A), dan kelas XII (tingkat 6) dilakukan melalui UN.
g.      Ujian Mutu Tingkat Kompetensi dilakukan dengan metode survei oleh Pemerintah pada akhir kelas II (tingkat 1), kelas IV (tingkat 2), kelas VIII (tingkat 4), dan kelas XI (tingkat 5).
h.      Ujian sekolah dilakukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
i.        Ujian Nasional dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[44].

KESIMPULAN
Dari urian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.     Sejarah perjalana pendidikan Islam di Indonesia berawla dari pertama kali Islam disebarkan di Indonesia, perkembangan pendidikan Islam terus berjalan mulai dari masa kerajaan hingga masa sekarang
2.    Institusi Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, In-Formal (pendidikan keluarga dan lingkungan)
3.    Pondok Pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Saat ini Pondok Pesantren berkembang menjadi 4 tipe.
a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional
b.  Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional
c.       Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrsah diniyah.
d.      Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian
4.    Madrasah merupakan lemabaga pendidikan Islam yang diakui bagian dari pendidikan Nasional.  Jenjang Madrsah tediri dari RA. MI, MTs, dan MA
5.   Sekolah Islam merupakan bentuk dari modernisasi pendidikan Islam yang di prakarsi oleh tokoh-tokoh atau organisasi modernis Islam Indonesia
6.     Pergurun Tinggi Islam merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan dari tingkatan MA atau SMA
7.   Sistem penyelnggraan pendidikan Islam In Ormal dan Non formal berjelan sesuai dengan kebutuhan dan situasi masyarakat tertentu, tidak terikat dengan waktu dan evaluasi yang ditentukan oleh pemerintah
8.     Sistem penyelnggraan Institusi Pendidikan Islam Formal mengikuti ketentuan yang ditetapak oleh pemerintah akan tetapi ada ciri khas tersendiri yang dibuat oleh lembaga


DAFTAR PUSTAKA

­­­­­­­­­­_________,  Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1996
_________, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. Jakarta: Diva Pustaka, 2004
___________, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992
Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012   pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan, Yogyakarta: Studying, 1982
Chirzin, M.Habib, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan.  Jakarta: LP3ES
Dawam, Ainur Rofiq, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, Listafariska, 2005
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Putaka, 1990
Fathoni, Muhammad Kholid, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional paradigma Baru, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005
Haedari,  Amin dkk,  Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD Press, 2004
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999
Lampiran Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 912 tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 mata Pelajaran PAI dan Bhs. Arab
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Muhibbuddin, “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren”  Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005
Mukhtarom, Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006
Taufiq, Sholla Dkk Madrasah Lebih Baik Madrasah The Best Choive, Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ri, 2014
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : Pustaka Setia, 1998
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia; Jakarta: Balai Pustaka, 1984 Cet. VII
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hida Karya Agung, 1985
Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
  


[1] Zuhairini Mukhtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),  130
[2]  Ibid,,. 7-8
[3] Ibid,,. 133
[4] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985),  14
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 22-23
[6] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 212
[7] Ibid., 136
[8] Ibid., 137-146
[9] Ibid.,  150-152
[10] Ibid.,  154
[11] Ibid.,  155
[12] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 11
[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, . 282
[14] Ibid.,  282
[15] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat Pasal 12
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam  283
[17] Undang-Undang NO 20 tahun 2003 ... Pasal 13
[18] Ramayulis, Ilmu ...,  281
[19] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), cet iii, 572
[20] Ramayulis, Ilmu .....   277
[21] Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),  41
[22] Ibid,  40
[23] Mastuhu, Dinamika Sistem pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),  55
[24] Ainur Rofiq Dawam, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Bebasis Pesantren, (Listafariska, 2005), 6
[25] Amin Haedari dkk,  Masa Depan Pesantren. (Jakarta: IRD Press, 2004),  37
[26] Muhibbuddin, “Modernisasi Manajemen Pendidikan Pesantren”  Mozaik Pesantren, Edisi 02/Th.I/November 2005,  36.
[27] Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Moderen. (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),16.
[28] M.Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren” dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan.  ( Jakarta: LP3ES),  87-88.
[29]  Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012   pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[30] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [paradigma Baru], (Jakarta:      Departemen Agama RI, 2005),  70
[31] Ibid,,,.  71
[32] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumberwidya, 1992),  117
[33] DG Ryan, System  Analisis in Educational Planning dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI, hlm. 3
[34] Imam Barnadib, Filsafa6 Pendidikan Tinjauan Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan (Yogyakarta: Studying, 1982), hlm 19
[35] Ramayulis, Ilmu Pendidikanm Islam, /(jakarta: Kalam Mulia, 2006), cet VI,  37
[36] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.  1
[37] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. 3
[38] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
[39] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah. 1-2
[40] Ibid,,,. 3
[41] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 46
[42]  1. Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), roses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2. Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4. Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5. Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang  merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7. Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8. Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9. Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK
merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan MTK
meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11. Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. ( Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan)
[43] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan
[44] Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013Tentang Standar Penilaian Pendidikan

Postingan terkait: