PENDAHULUAN
Meski
dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak banyak yang
menaruh perhatian bahwa Ibn Rushd juga merupakan ahli Hukum Islam (jurist) atau
faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi pada dunia akademik. Yasin
Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang berjudul The Introduction to Ibn
Rushd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal Islamic Law and Society menyebutkan,
hanya beberapa sarjana yang menulis Ibn Rushd dalam kapasitas sebagai ahli
hukum, seperti, artikel yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki
(1978), Dominique Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya,
menulis Ibn Rushd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat
(Yasin Dutton: 1994).
Adapun
dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rushd dalam kapasitasnya
sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum menemukan sebuah
tulisan tentang Ibn Rushd dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum. Padahal karya
Ibn Rushd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, adalah karya
klasik paling komprehensif dan sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh
Suni.
Ibn
Rushd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena suatu
hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20 tahun kemudian
atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini disebutkan Ibn Rushd pada
bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.
Karya
klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab kuning
dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab
dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari judulnya, Bidayah memang
merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad dan
akhir bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan dasar hukum
Islam. Maka dengan mempelajari Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk
berijtihad atas masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun
masalah fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan
al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Ibn Rushd
Nama
lengkapnya adalah ِAbu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Ahmad Ibn Rushd atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H). Ia tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan keluarga yang memiliki tradisi dan intelektual yang besar serta mempunyai keahlian yang
diakui dan disegani di kalangan praktisi hukum.
Ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang
sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibn Muhammad (487-563 H)
adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova.
Sementara kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh
madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim
agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya Ibnu Rusyd juga bermadhab
Maliki dan pernah menjadi hakim agung di Spanyol. Salah satu keistimewaan
Cordova adalah perhatian yang cukup besar terhadap kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.[1]
Ibn
Rushd hidup pada masa dinasti al-Muwahidun (515 H-667 H/1121M-1269M) yang telah
mengalahkan dinasti al-Murabithun dan mengambil alih daerah kekuasaannya di
Andalusia (Spanyol). Khalifah yang memimpin pada saat itu adalah khalifah Abu
Ya’kub Yusuf. Di antara penguasa al-Muwahidun, Abu Ya’kub Yusuf adalah yang
paling dekat dengan kaum ulama dan cendekiawan.
Pada masa ini hidup orang-orang besar seperti Ibn Rushd (filosof islam
sekaligus faqih), Ibnu Tufail (filosof islam), Ibnu Mulkun (ahli bahasa), Abu
Bakr Ibn Zuhr (ahli kesehatan sekaligus menteri) sehingga Cordova merupakan
pusat peradaban Islam terbesar pada saat itu.[2]
B.
Jaringan Intelektual
Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof islam sekaligus pakar dalam bidang fiqh dan
masalah khilafiyah pada zamannya. Pendidikan awalnya dimulai dari belajar
Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar
dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadith, Ilmu Kalam, bahasa
Arab dan Sastra. Dalam ilmu fiqih, ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik.
Selain
kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Abu Muhammad Ibn
Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada
Abu> al-Qa>sim Bashkuwa>l dibidang hadi>th. Setelah mempelajari
ilmu fiqh secara mendalam dari berbagai guru, beliau menyusun kitabnya yang
monumental yaitu Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid, dalam
kitab ini, dijelaskan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam fiqh serta
alasan masing-masing, dan buku tersebut merupakan buku terbaik dalam bidang
tersebut. Karena itu, beliau menjadi pakar dalam bidang fiqh pada zamannya. Ibn
Abba>r mengungkapkan kehebatan Ibn Rushd dalam ilmu Fiqh dengan mengatakan :
“ilmu dirayah lebih ia kuasai daripada ilmu riwayah”. Hal ini membuktikan bahwa
kemampuan rasionalnya lebih kuat. [3]
Dalam
bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun
al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam
bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr. Hingga ia ditunjuk oleh khalifah Abu Ya’qub
dan putranya Ya’qub al-Mansur untuk menjadi dokter istana.[4]
Selain
itu, Ibn Rushd juga berguru kepada : Abu al-Qasim Bashkuwal, Abu> Marwa>n
Ibn Masarrah, Abu> Bakr Ibn Samhun, Abu> Ja’far Ibn Abdul Aziz, Abu>
Abdillah al-Madzari. [5]
Pada
tahun 548 H/1153 M, Ibn Rushd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas
permintaan Ibn T}ufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian memperkenalkannya
dengan khalifah Abu Ya’kub Yusuf. Dalam pertemuan pertama antara Ibn Rushd
dengan Khalifah terjadi proses Tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul
dan latar belakang Ibn Rushd, selain itu mereka juga membahas tentang berbagai
persoalan filsafat. Kemudian Ibn Rushd diminta untuk memimpin dan menjadi guru
besar di Universitas Cordova dan menjadi guru istana di Maroko. Kemudian pada
tahun 1169, sesuai dengan keahliannya di bidang hukum dan Fiqh Islam, maka
pemerintah mengangkat Ibn Rushd menjadi qodhi di Sevile setelah dua tahun
mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di kordoba, selain itu pada tahun
1182 ia kembali ke istana Muwahidun di Marakhes menjadi dokter istana khalifah
al-Manshur pengganti dokter Ibn T}ufail.
Pada
tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh
putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah
ini menghormati Ibn Rushd sebagaimana perlakuan ayahnya yang kemudian pada
tahun 1186 M Ibn Rushd diangkat sebagai penasehat politik. Namun pada tahun
1195 mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang
para filosof. Pada saat meletusnya fanatisme terpendam dari kaum Barbar, beliau
menjadi korban dari kelompok yang mencemburui kejeniusannya, yakni para fuqaha’
dan ulama’ menuduhnya sebagai seorang zindik dan kafir. Sebagai akibat dari
pertentangan antara kaum agamawan dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan
politik. Akhirnya pada waktu Ibn Rushd berumur 73 tahun ia dihadapkan ke
pengadilan, diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun
1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak
sekitar 50 km di sebelah selatan Cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum,
kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi
yang tidak dibakar. Selain Ibn Rushd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan
sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn
Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan
Nafish Abu al-‘Abbas.
Dapat
dikatakan bahwa ujian yang dialami oleh Ibnu Rusyd itu disebabkan oleh
permasalahan-permasalahan keagamaan dan filsafat, bukan permasalahan politik.
Karena tidak ditemukan gejolak massa yang sama indikasinya dengan kejadian
terhadap Ibn Rushd ini. Sepertinya penyebabnya adalah kekhawatiran sebagian
fuqaha’ konservatif dan klaim mereka mengenai agama dan filsafat, serta
perseteruan antara pemikir liberal dan ulama konservatif. Sebagian ulama
konservatif dan pendukung-pendukungnya mengatakan dasar pemikiran Ibn Rushd itu kafir dan
zindiq. Hal ini dikarenakan keinginan mereka untuk menguasai suasana
intelektual dan menuding ilmu-ilmu kuno Yunani sebagai ilmu terbuang yang tidak
boleh dipelajari. Sehingga mereka mempengaruhi al-Manshur untuk menentang dan
menghukumnya. Sedangkan al-Manshur sendiri sesungguhnya hanya menguji Ibn Rushd
bukan karena dendam dan bukan pula untuk menganiayanya melainkan hanya untuk
mengakhiri serangan para fuqaha>’ yang melontarkan sebutan kafir terhadap
para filosof dan mengutuk mereka. [6]
Setelah
pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah
menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada
pemikiran kreatif Ibn Rushd, sutau sikap yang sebenarnya ia warisi dari
ayahnya. Khalifah al- Manshur merehabilitasi Ibn Rushd dan memanggilnya kembali
ke istana. Ibn Rushd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu,
pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rushd meninggal dunia di kota
Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung
halamannya, Cordova.[7]
C. Karya
Karyanya
Ernast
Renan, seorang peneliti dan sarjana Perancis menemukan buku-buku karya Ibn
Rushd di perpustakaan Escurial Madrid sebanyak 78 buah buku diantaranya:[8]
1. 28 buah dalam ilmu filsafat.
2. 20 buah dalam ilmu kedokteran
3. 8 buah dalam ilmu hukum Islam.
4. 5 buah dalam ilmu kalam (teologi).
5. 2 buah dalam ilmu sastra arab.
6. 11 buah dalam berbagai ilmu
pengetahuan.
Adapun buku karyanya dalam bidang fiqh dan
ushul fiqh adalah:[9]
1. Bida>yah al-mujtahid wa Niha>yah
al-Muqtasid, ilmu fikih yang berisi tentang perbandingan madzhab dan alasannya
masing masing. Pada bagian akhir, Ibn Rushd member sedikit komentar tentang
perbedaan tersebut dengan menggunakan rasionya.
2. Mukhtas}ar al-Mustas}fa> fi>
al-Ushu>l li al-Gaza>li>.
3. al-Tanbih Ila> al-Khatha’a fi>
al-Mutu>n. Terdiri dari tiga juz.
4. al-Da’awa> fi> Majlida>t.
5. Risa>lah fi> al-dhuha>ya>
6. Risa>lah fi> al-Kharaj
7. Muka>sab al-Mulu>k wa al-Ra’sa>i
wa al-Mura>bi>n al-Muharramah
8. Al-Dars al-Ka>mil.
D.
Pemikiran Hukum Islam Ibn Rushd
Pemikiran
hukum islam Ibnu Rusyd terdapat dalam kitab fiqhnya Bida>yah al-Mujtahid wa
Niha>yah al-Muqtasid. Tujuan dari penulisan kitab tersebut adalah memperkuat
hafalan Ibn Rushd terhadap berbagai masalah hukum yang disepakati dan
diperdebatkan dalil-dalilnya, yang sesuai dengan ushul dan qaidah fiqh yang
dapat membantu seorang mujtahid mencari hukum terhadap masalah yang tidak
diungkap dalam shari’at atau terkait dengan nash, dari zaman sahabat sampai
masa tersebarnya taklid buta.
Sebelum
membahas pemikiran Ibnu Rushd, kita harus tahu terlebih dahulu metode yang
digunakan Ibn Rushd dalam mengeluarkan hukum-hukum shari’at dan menjelaskan
sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat para ulama’. Metode yang digunakan
untuk memahami hukum dari Nabi Muhammad Saw pada dasarnya ada empat yaitu: [10]
1. Lafaz}
Adapun
lafaz}-lafaz} yang dapat dipahami untuk menentukan hukum terdiri dari 4 macam,
tiga yang disepakati dan satu yang
diperdebatkan. Tiga lafaz} yang disepakati ulama’ adalah lafaz} umum yang
menunjukkan keumumannya, lafaz} khusus yang menunjukkan kekhususannya, lafaz}
umum yang maksudnya adalah khusus atau lafaz} khusus yang maksudnya adalah
umum.
Contoh
lafaz} umum yakni firman Allah :
ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ̓̓Yσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.
Sesungguhnya
kaum muslim telah sepakat bahwa lafaz} ’khinzir’ mencakup semua jenis babi
selama tidak termasuk binatang yang diungkapkan secara ishtirak al-ism
(kesatuan nama) seperti babi laut.
Contoh
lafaz} umum tapi yang dimaksud adalah khusus adalah firman Allah:
õ‹è{
ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.t“è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Sesungguhnya
kaum muslim sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua jenis harta.
Contoh
lafaz} khusus yang dimaksud adalah umum adalah firman Allah:
Ÿxsù
@à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia[1].
[1] Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak
dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka
dengan lebih kasar daripada itu.
Ayat tersebut mengatakan bahwa
berkata ”ah” kepada orang tua yang digolongkan sebagai perbuatan ringan itu
saja tidak dibolehkan apalagi perbuatan memukul atau mencela orang tua, hal
tersebut juga dilarang.
Lafaz}-lafaz}
yang menunjukkan bahwa sesuatu harus dikerjakan ini terkadang diungkapkan dalam bentuk perintah, atau
berita yang memiliki makna perintah, begitu juga dengan sesuatu yang dilarang
terkadang diungkapkan dalam bentuk larangan atau dalam bentuk berita yang
mengandung makna larangan. Kemudian implikasinya, apakah lafaz}-lafaz} tersebut
dapat menunjukkan bahwa sesuatu yang dituntutnya itu hukumnya wajib atau
sunnah, sesuatu yang dilarang itu menunjukkan hukum haram atau makruh? Ulama’
berbeda pendapat dalam hal ini.
Hal-hal
yang terkait pada hukum terkadang berupa lafaz} yang hanya menunjukkan satu
makna saja (dalam us}ul fiqh disebut
nas} dan wajib mengamalkannya), dan ada lafaz} yang menunjukkan lebih dari satu
makna. Lafaz} yang kedua dibagi menjadi dua:
· Lafaz} yang menunjukkan berbagai makna
secara seimbang (dalam us}ul fiqh disebut mujmal), dan tidak ada perbedaan
pendapat bahwa lafaz} ini tidak menunjukkan satu hukum.
· Lafaz} yang menunjukkan pada sebagian
makna yang lebih banyak dari sebagian yang lainnya. Makna yang lebih banyak ini
disebut dengan z}hahir, sedangkan makna yang lebih sedikit disebut muhtamal.
Jika
makna tersebut diungkapkan secara mutlak terhadap berbagai makna maka akan
sampai pada makna yang z}ahir hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa makna
yang dimaksud adalah makna muhtamal, hal itu menyebabkan adanya perbedaan
pendapat di kalangan ulama fiqh mengenai lafaz}-lafaz} nash. Sehingga timbul
beberapa jenis makna:
· Lafaz} yang mengandung banyak makna (al-ishtirak)
· Ragam makna yang disebabkan oleh alif
lam yang terdapat pada satu lafaz}
· Ragam makna dalam lafaz}-lafaz}
perintah dan larangan.
Sedangkan
yang diperdebatkan adalah mengenai
penetapan terhadap sesuatu merupakan peniadaan untuk kebalikannya begitu juga
sebaliknya peniadaan hukum terhadap sesuatu merupakan penetapan bagi
kebalikannya, atau lebih dikenal dengan dalil khitab. Contohnya adalah hadith
Nabi
في سائمة
الغنم الزكاة
“Dalam
kambing yang digembalakan ada (kewajiban) zakat.”
Sebagian
ulama’ berpendapat tidak ada zakat pada kambing yang tidak digembalakan.
2. Perbuatan
Menurut
jumhur ulama’ perbuatan Nabi termasuk salah satu metode untuk menetapkan
hukum-hukum shari’at, namun sebagian ulama’ yang lain mengatakan bahwa perbuatan
Nabi tidak menunjukkan satu hukum tertentu karena tidak memiliki redaksi
bahasa. Para ulama’ yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi dapat dijadikan
landasan hukum, berbeda pendapat mengenai hukum yang dihasilkannya, sebagian
ulama berpendapat menunjukkan wajib, dan sebagian yang lain berpendapat
menunjukkan sunnah.
Sedangkan
menurut Ibn Rushd, jika perbuatan tersebut merupakan penjelas dari kewajiban
yang bersifat mujmal, maka ia bersifat wajib, dan jika perbuatan tersebut
merupakan penjelas dari sunnah yang bersifat mujmal, maka ia menunjukkan
sunnah. Dan jika bukan merupakan penjelas dari hal yang mujmal, hukumnya sunnah
(ibadah), selain itu hukumnya mubah.
3. Ketetapan Nabi (iqrar). Iqrar ini
menunjukkan hukum boleh.
4. Qiyas. ketika terdapat suatu masalah yang
tidak dijelaskan dalam shari’at, maka jumhur berkata dapat menggunakan
qiyas.
Adapun
Ijma’ menurut Ibn Rushd sebenarnya bersandar pada empat metode di atas, hanya
saja jika ijma’ terjadi pada salah satunya yang tidak qat’i, maka ia akan
berubah dari z}anni menjadi qat}’i.
Makna-makna
yang dipahami dari berbagai metode ini ditetapkan kepada para mukallaf berupa
perintah, larangan, atau pilihan terhadap sesuatu. Jika perinntah dikeluarkan
secara kuat dan berkaitan dengan hukuman maka dinamakan wajib, jika dipahami
dari suatu perintah itu ada pahala tanpa disertai ancaman jika meninggalkannya
maka disebut nadb (sunnah). Demikian
pula larangan, jika dikeluarkan secara kuat dan berkaitan dengan hukuman maka
ia disebut haram, dan jika dipahami dari larangan tersebut sebuah anjuran untuk
ditinggalkan tanpa ada kaitannya dengan hukuman maka disebut makruh. Sehingga
hukum-hukum dari berbagai metode di atas ada lima, yaitu wajib, mandu>b
(sunnah), mahdhu>r (haram), makruh dan mukhayar atau mubah.
Sedangkan
sebab-sebab perbedaan dalam lafaz}:
Ø Adanya
berbagai lafaz} antara empat kemungkinan maksudnya di sini adalah adanya
kemungkinan lafaz} umum yang dipahami khusus, atau khusus yang dipahami umum,
atau umum dipahami umum, atau khusus dipahami khusus, atau antara memiliki
dalil khitab dan tidak.
Ø
Ishtirak, lafaz} yang memiliki makna ragam yang terjadi pada berbagai lafaz}.
Ø
Perbedaan i’ra>b.
Ø
Kategori sebuah lafaz} antara hakikat atau majaz
Ø
Mutlaqnya suatu lafaz} pada satu kesempatan dan muqayyadnya pada kesempatan
lain.
Ø Adanya
kontradiksi antara berbagai metode dalam memahami hukum, contohnya kontradiksi
antara ucapan dengan perbuatan, atau dengan iqrar Nabi atau qiyas, atau
kontradiksi antara perbuatan Nabi dengan iqrar atau qiyas dan sebagainya. [11]
Pemikiran
hukum islam Ibn Rushd dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah
al-Muqtasid yaitu dengan mengemukakan masalah-masalah yang telah disepakati
oleh fuqaha>’ beserta alasan-alasannya, selain itu juga dikemukakan
masalah-masalah yang hukumnya masih diperdebatkan oleh fuqaha>’ beserta
alasan-alasannya. Masalah-masalah yang diperdebatkan itu adakalanya dibiarkan
oleh Ibn Rushd tanpa komentar mungkin karena telah dibahas sebelumnya, dan ada kalanya beliau memberi komentar baik
secara ringkas, secara sederhana maupun secara panjang lebar. Komentar-komentar
itu biasanya berisi pembahasan mengenai penyebab timbulnya perbedaan pendapat.
Kemudian terkadang beliau mengemukakan penilaiannya mengenai masalah yang
dibicarakan beserta alasannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kitab ini
pun, Ibn Rushd tidak lepas dari menerapkan metode yang digunakan dalam
pembahasan filsafat. [12]
Contoh
pemikiran Ibn Rushd dalam bidang fiqh (hukum Islam) tertuang dalam kitab
Bida>yah al-Mujtahid. Pemikiran Ibn Rushd dalam bidang fiqh ini diantaranya:
Ketentuan
puasa bagi wanita yang hamil atau sedang menyusui dan orang yang yang sudah
lanjut usia. Mengenai sanksi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa pada
bulan ramadhan. Ada 4 pendapat yaitu: Imam Shafi’i berpendapat wajib mengqadha
puasa dan membayar fidyah/kafarat. Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar wajib
membayar kafarat atau fidyah tanpa mengqadha puasa. Sedangkan pendapat Abu
Hanifah dan pengikutnya adalah wajib mengqadha puasa tanpa membayar
fidyah/kafarat. Setelah menyebutkan
perbedaan pendapat para ulama’ mengenai hal tersebut, Ibnu Rusyd mengemukakan
penyebab perbedaan pendapat ulama’.
Penyebabnya
adalah perbedaan mereka dalam menggunakan qiyas. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
mengiaskan perempuan hamil atau sedang menyusui dengan orang yang tidak sanggup
lagi berpuasa, baik karena sudah sangat tua, maupun karena penyakit yang tidak
mungkin sembuh. Maka perempuan tersebut wajib membayar fidyah dan tidak wajib
mengqada’ puasanya. Ini berdasarkan surat al-Baqarah ayat 184 yang menyebutkan
bahwa ”Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang-orang miskin”. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengiaskannya
dengan orang sakit biasa sehingga perempuan tersebut wajib mengqada puasanya
bukan membayar fidyah. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa penyerupaannya
dengan orang sakit biasa dan dengan orang yang sangat tua sama-sama dapat
diterima. Sehingga, perempuan hamil tersebut wajib mengqada puasa dan membayar
fidyah.
Menurut
Ibn Rushd, orang yang menentukan wajib qadha saja atau wajib fidyah saja lebih
utama daripada mewajibkan qadha dan fidyah. Sedangkan qadha lebih utama
daripada fidyah, sebab ayat itu tidak mutawatir. [13]
Ibn
Rushd dalam beristinbath lebih banyak menggunakan ra’y (rasio). Karena Ibn Rushd juga seorang
filosof maka cara berfikirnya juga dipengaruhi oleh cara berfikir filsafat.
Namun, Ibn Rushd yang dikenal sebagai pengguna rasio ternyata bermadhhab Maliki
(yang pemikirannya cenderung menggunakan dalil) bukan bermadhhab Hanafi (yang
pemikirannya menggunakan rasio). Hal ini membuat kita bertanya-tanya mengapa
Ibn Rushd tidak bermadhhab Hanafi?
Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh territorial dimana madhhab Maliki menjadi madhhab
resmi Cordova. Selain itu, guru-guru Ibn Rushd yang bermadhhab Maliki turut
mempengaruhi pemikiran Ibn Rushd sehingga Ibn Rushd pun dalam beristimbath
lebih banyak menguatkan pendapat madhhab Maliki. Hal ini seperti tertuang dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid Wa
Niha>yah al-Muqtasid. Dalam kitab
itu, Ibn Rushd menjelaskan masalah-masalah beserta perbedaan pendapat para
madhhab kemudian dari uraian penjelasan tersebut ada yang dikomentari dengan
ringkas, sederhana, dan panjang lebar, dan ada pula yang tidak dikomentari.
Sehingga disebut komentar ringkas, komentar sederhana dan komentar panjang lebar.
Sedangkan
karakteristik khusus pemikiran Ibn Rushd yaitu penggunaan ra’y dalam beristimbath.
PENUTUP
Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof muslim sekaligus seorang faqih. Namun beliau lebih
dikenal dalam bidang filsafat daripada di bidang hukum Islam. Meskipun
demikian, pemikiran beliau dalam bidang hukum islam patut diacungi jempol
karena merupakan karya yang monumental pada zaman tersebut khususnya karya
beliau “kitab bidayah al-mujtahid wa nihayah al-muqtasid”. Di dalamnya diulas
mengenai masalah-masalah fiqh beserta perbedaan madhhab dan penyebab perbedaan
tersebut yang kemudian diakhiri dengan komentar Ibnu Rusyd. Metode istimbath
Ibnu Rusyd ada 4 yaitu lafaz}, perbuatan, ketetapan, dan qiyas.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Aqqad,
Abbas Mahmud, Ibn Rushd, Da>rul ma’arif, cet. Ke-VII, 1422 H
al-Jabiri,
Muhammad Abid, Ibn Rushd, Si>rah Wa Fikr: Dira>sah Wa Nushu>sh,
Beirut, 1998,
Amin,
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
--------,
Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid, Terj. Beni Sarbeni, dkk,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2006
Rusyd,
Ibn, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtasid, Juz 1, Beirut:
Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1989
‘Uwaidah,
Kamil Muhammad, Ibn Rushd al-Andalusi Failasuf al-Arabic wa al-Muslimin, Terj. Aminullah Elhadi, Jakarta: Riori Cipta,
2001.
Tim Penulis,
Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999