PENDAHULUAN
Imam Al Ghazali, sebuah
nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah
filsafat dan tasawuf serta beberapa bidang ilmu lainnya, seperti fiqh dan usul
fiqh. Pengaruh dan pemikirannya telah menyebar ke seantero dunia Islam.
Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum
muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga
setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah
hidup beliau.
Dunia Islam memberikan gelar kehormatan kepadanya dengan
sebutan Hujjah al-Isla>m (pembela Islam) karena kegigihan dan jasa-jasanya dalam
membela Islam dari gencarnya gempuran arus pemikiran yang dikhawatirkan dapat
mengancam eksistensi Islam, baik dari kalangan filosof, mutakallimin,
batiniyah, dan sufi. Demikian juga atas upaya dan usahanya menghidupkan kembali
tradisi keilmuan Islam sebagaimana terlihat pada karya besar monumentalnya Ihya
‘Ulu>mu al-Di>n.
Begitu pula kiprah al-Ghazali dalam
bidang hukum Islam, al-Ghazali telah memberikan sumbangsih tersendiri mengenai
hokum Islam dan metodologinya meski pada dasarnya al-Ghazali menganut paham
Imam Shafi’i terkait dengan metode usulnya, hanya saja terdapat beberapa hal
yang tidak searah denga pandangan Imam Shafi’i, ini menunjukkan bahwa al-Ghaza
telah membuktikan tentang
ke-independesiannya dalam pemikiran hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Biografi al-Ghazali
1. Nama al-Ghazali
Al-Gazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup
pada bagian akhir dari zaman keemasan di bawah khilafah Abbasiyah yang berpusat
di Bagdad. Ia memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Gazali
Al-Thusi. Al-Gazali lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tabaran, salah satu
wilayah di Thus, yakni kota terbesar kedua di Khurasan setelah Naisabur. Kepada
nama kota kelahirannya inilah kemudian nama Al-Gazali dinisbatkan (al-Thusi).
Al-Ghazali sempat berpartisipasi dalam kehidupan politik keagamaan pada
tahun-tahun trakhir pemerintahan Nizam dan kemudian menjadi sosok sentral. Ia
wafat di kota kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M.[1]
Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al
Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al
Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu
Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).[2]
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada
pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya
ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam
Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu
Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya
telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka
mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah
penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat
Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran
para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu
penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas
dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Al-Shafi’iyah
dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan
memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad.[3]
2. Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Al-Gazali hidup dalam lingkungan keluarga sederhana, tetapi
sangat taat beragama dan mencintai ilmu. Ayahnya yang bernama Muhammad dikenal
sebagai seorang saleh. Ia rajin berkeliling untuk menimba ilmu kepada para
fuqaha pada zamannya. Kehidupan keluarganya ditopang dengan berjualan wol hasil
pintalan tangannya sendiri. Pekerjaan ayahnya kemudian dilekatkan pada diri
Imam Al-Gazali. Al-Gazali adalah nisbah dari kata gazzal yang berarti
pemintal wol.
Kecintaan pada ilmu berpengaruh pada anaknya, Al-Gazali
sendiri disebut oleh al-Maraghi sebagai “ensiklopedi” semua cabang ilmu di
masanya, sementara saudara kandungnya yang bernama Abu al-Futuh Majd
al-Din Ahmad bin Muhammad dikenal sebagai sufi besar, faqih dan mubalig
karismatik yang sangat berpengaruh.[4]
Al-Gazali
menguasai berbagai cabang ilmu. Dari sekian banyak karyanya menunjukkan bahwa
ia adalah ulama yang handal di bidang ushul al-din (ilmu kalam), ushul
fiqh, fiqh, jidal, khilaf, mantiq (logika), hikmah, filsafat, dan tasawuf.[5]
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil.
Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi.
Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al
Isma’ili dan menulis buku Al-Ta’li>qa>t.
Kemudian pulang ke Thusi.
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam
Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai
dengan sangat baik fikih mazhab Shafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan,
ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli
ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang
membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Al-Dzahabi, Siya>r A’la>m Nuba>la’
19/323 dan As Subki, Thabaqat Al-Shyafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain
meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena
majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat
kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya
menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke
sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di
Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau
berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
B. Jaringan Intlektual
Al-Gazali memiliki banyak guru, di antaranya ialah Imam
Haramain (Abu al-Ma’ali al-Juwaini). Al-Juwaini adalah ulama kenamaan ahli fiqh
dan usu>l
al-fiqh mazhab Shafi’i, tokoh mutakallimin
mazhab Asy`ari. Lahir di Juwain, salah satu wilayah dari Naisabur pada tahun
419 H dan wafat pada tahun 478 H. Kitab al-Burha>n
dan al- Waraqa>t adalah
kitab usu>l al-fiqh karya Imam Haramain. Ulama inilah yang banyak berjasa
mengantarkan Al-Gazali menjadi ahli fiqh dan usul fiqh. Di bawah
bimbingannya Al-Gazali belajar fiqh Shafi’i di Nisapur selama 5 tahun
(1080-1085)
Guru-guru al-Ghazali selain Imam al-Juwaini adalah: Abu
al-Qasim al-Ismaili, Isma’il bin Mas’adah bin Isma’il (407-477 H); Abu ‘Ali
al-Fadal bin Muhammad bin Ali al-Faramazi (407-477 H); Abu al-Fath Nasr bin
Ibrahim bin Nasr al-Nabilisi al-Muqaddasi, seorang ahli hadis dan fiqh mazhab Shafi’i
(410 H-490 H); Abu al-Fityan al-Ru’asi, Umar bin ‘Abd al-Karim bin Sa’dawaih
al-Dahsatani, seorang ahli hadis (428 H – 503 H).
Namun yang dianggap
paling banyak berjasa membina Al-Gazali menjadi ahli fiqh dan usu>l
fiqh adalah Imam Haramain.
Di akhir hayat sang guru inilah Al-Gazali mulai menampakkan eksistensinya
sebagai ulama besar yang dikagumi oleh banyak kalangan, dan mulai banyak
mengajar dan mengarang.
Kemampuan Al-Ghazali yang luar biasa menarik perhatian
Nizam al-Mulk (Abu Ali Hasan bin Ali bin Ishaq al-Tusi, w. 1029 M) yang
kemudian memanggilnya ke Bagdad untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah (1091). Di
sini Al-Gazali banyak bertemu dengan ulama-ulama besar yang juga menghormati
keluasan ilmunya. Sejak itulah Al-Gazali dinyatakan sebagai Ima>m
al-’Ira>q
(Penghulu ulama Iraq) setelah
sebelumnya dikenal sebagai “Imam al-Khurrasan”.
Sebagaimana disebutkan di atas, al-Gazali dikenal sebagai
filosof, mantiqi, mutakallim, sufi, faqih dan ushu>li. Di bidang ilmu kalam ia merupakan
tokoh mutakallimin Asy’ariyah, sementara di bidang hukum Islam (fiqh dan
ushu>l
fiqh), ia merupakan tokoh Shafi’iyah.
Selaku ushu>li mazhab Shafi`i.
C. Kondisi
Perpolitikan Pada Masa Al-Ghazali
D. Karya-karya
Al-Gazali
Al-Gazali meninggalkan beberapa karya ilmiah khusus di
bidang disiplin ilmu ini, yaitu:
- A1-Mankhu>l
min Ta’li>qa>t al-Us}ul. Ini adalah karya Al-Gazali yang pertama di bidang ushul
fiqh. Kitab ini telah di‑tahqiq (diedit) oleh Muhammad Hasan
Haitu dan diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut.
- Shifa>‘
al-Ghalil fi> Baya>n al-Shabah wa al-Mukhi>l wa Masa>lik
al- Ta’li>l.
Kitab ini di-tahqiq oleh Hammid al-Kabisi untuk meraih gelar doktor
di bidang Ushul fiqh dari Fakultas Syari’ah Al-Azhar.
- Kita>b
Fi> Mas’alati Taswi>b al-Mujtahidi>n. Dalam catatan para ahli
sejarah, kitab ini belum ditemukan.
- Asa>s
al-Qiya>s
. Kitab yang berbicara secara khusus tentang qiyas ini telah di-tahqiq
oleh Fahd bin Muhammad al-Sarhan dan telah diterbitkan oleh Maktabah
al-’Ubaikan di Riyad.
- Haqi>qah
al-Qaulain.
Kitab ini membahas adanya dua pendapat dari Imam Shafi’i tentang suatu
masalah. Manuskripnya tersimpan di museum pusat di Intanbul.
- Tahdhi>b
al-Us}u>l.
Kitab ini disebutkan oleh Al-Gazali dalam al-Mustasfa. Manuskrip
kitab ini juga belum dapat diketahui. Dari ungkapan Al-Gazali dalam al-Mustasfa,
kitab tersebut lebih besar dari al-Mustasfa.
- Al-Mustasfa>
Min ‘Ilm al-Us}u>l.
Ini adalah kitab ushul fiqh yang menempatkan Al-Gazali sebagai
tokoh ushuliyyin mazhab Shafi’i.[13]
Di antara sejumlah karya Al-Gazali dalam bidang Ushul Fiqh,
al-Mustasfa dipandang sebagai salah satu dari buku induk yang menjadi
rujukan kitab-kitab ushul al-fiqh Shafi’iyyah yang dikarang pada masa-
masa berikutnya. Tiga serangkai buku induk ushul fiqh Shafi’iyah
dimaksud ialah: Al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Basri al-Mu`tazili
(463 H), Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya Abu al-Ma’ali Abd Allah
al-Juwayni al-Naisaburi Imam al Haramain (478 H) dan Al-Mustasfa, karya
Al-Gazali (505 H).[14]
Dr. Badran Abu al-`Ainain dan Syekh Muhammad al-Khudari (w.
1345 H) menilai, di antara ketiga kitab di atas yang paling bagus adalah al-Mustasfa,
baik dilihat dari segi keindahan dan kejelasan bahasa, sistematika, maupun
adanya tambahan-tambahan yang belum pernah ditemukan pada kitab-kitab
sebelumnya.[15]
Perhatian para ulama terhadap al-Mustasfa
cukup besar. Hal ini, antara lain, ditandai dengan adanya upaya para ulama
untuk mensyarahkan (memberi komentar) kitab tersebut, di samping ada
pula yang meringkasnya dalam suatu buku dan memberikan catatan-catatan penting.
E. Pemikiran
hukum islam Al-Gazali
Di antara sekian banyak pemikiran Al-Gazali di bidang ushul
fiqh yang menonjol ialah:
- Kajian tentang maqa>sid al-shari’ah. Ahmad Munif Suratmaputera
mengungkapkan hasil penelitian yang dimuat dalam karya Muhammad Sa’d
al-Yubi berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaqatuha bi al-
Adillah al-Syar’iyyah, yang menyatakan bahwa Al-Gazali adalah ulama ushul
fiqh kedua setelah Imam Haramain (gurunya) yang bicara tentang maqasid
asy-syari ‘ah jauh sebelum al-Syatibi (w. 790 H.) yang terkenal itu.[16]
Kajian ushul fiqh dalam
rangka pengembangan hukum Islam sebelum Al-Gazali banyak ditekankan pada aspek
kebahasaan. Setelah itu, muncul nuansa dan trend baru kajian ushul
fiqh tidak lagi terpaku pada aspek kebahasaan, tetapi ditempuh lewat
pendekatan maqasid asy-syari ‘ah.
Salah satu kelebihan pendekatan maqasid
asy-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam dibandingkan dengan pendekatan
kebahasaan ialah menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sementara
dengan pendekatan kebahasaan harfiyah seringkali hukum Islam kehilangan
jiwa fleksibelitasnya; kaku dan kehilangan konteks. Di sini Al-Gazali
dengan teori ushul fiqh-nya sudah mulai mengupayakan bagaimana
agar hukum Islam selalu dapat tampil secara kontekstual.
- Penolakan Al-Gazali terhadap hadis mursal untuk
dijadikan hujjah. Sebagaimana diketahui bahwa jumhur ulama,
termasuk Imam Malik dan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai argumen
hukum, selain Imam Shafi’i. Tampaknya pandangan Al-Gazali dalam hal ini
memperkuat Imam Syafi`i dan al-Baqilani sebagai mazhab yang
dianutnya.[17]
- Kritik Al-Gazali terhadap argumentasi ke-hujjah-an
Ijma’ yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi`i[18].
Di sini nampak sekali meskipun
al-Gazali pengikut mazhab Shafi’i, tetapi ia adalah pengikut yang sangat kritis
dan karenanya, tidak semua pemikirannya dalam fiqh dan ushul fiqh
sejalan dengan Imam Shafi’i. Kapasitasnya sebagai seorang mujtahid dan
pembaharu benar-benar nampak. Menurut Al-Gazali bahwa Ijma baru bisa
menjadi hujjah apabila semua ahli ushul terlibat dalam konsensus
pada masalah yang diijma`kan itu. Sementara sebagian ulama menyatakan bahwa
ijma sudah dapat hujjah bila semua faqih terlibat meskipun para ushuli
tidak terlibat.
- Pandangan Al-Gazali yang menolak ijma sukuti,
artinya Al-Gazali memandang ijma sukuti tidak dapat dijadikan hujjah.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Hanafiah yang membolehkan
hujjah dengan ijma sukuti. Mengenai dasar legitimasi ijma menurut
al-Gazali harus ada memiliki dalil yang menjadi sandaran. Sandaran
utamanya adalah al-Qur’an atau sunnah. Apabila sandaran utamanya tidak ada
ditemukan al-Gazali membenarkan untuk bersandar pada dalil tingkat zanni
seperti qiyas. Di sini tampak juga pembelaan al-Gazali dalam
memperkuat pendirian mazhab Imam Syafi`i yang dianutnya.[19]
- Pandangan Al-Gazali tentang kebolehan ijtihad secara
parsial (kasuistis, tajazzu’ al-ijtihad), tidak secara menyeluruh (jami’
al-ahkam al-syar’iyyah) bagi mujtahid selain mujtahid mustaqill. Pandangan
ini berbeda dengan jumhur ulama.
- Pandangan Al-Gazali tentang teori taswibah
(musawwibah) dan takhti’ah (mukhatti’ah) dalam ijtihad di bidang fiqh (furu).
Menurutnya, setiap mujtahid dalam bidang fiqh itu benar. Jika hukum
Allah belum ditemukan maka wujud hukum Allah dalam hal seperti itu adalah
apa yang dihasilkan oleh mujtahid. Ini berbeda dengan pandangan yang
menyatakan bahwa yang benar dalam ijtihad di bidang fiqh hanyalah satu
sebagaimana pandangan Imam Shafi’i dan Hanafiyah. Pandangan Al-Gazali,
dengan demikian, kontra dengan pandangan imamnya.
- Kajian Al-Gazali tentang maslahah mursalah. Tema inilah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
F. Konsep
Maslahat Al-Gazali dalam Al-Mustashfa
Jika dibanding dengan tokoh-tokoh ushuliyyin mazhab Shafi’i
yang lain, kajian al-Gazali tentang maslahah mursalah dapat dianggap
paling dalam dan luas. Pembahasan Al-Gazali tentang maslahah mursalah ini
dapat ditemukan dalam empat kitab ushul fiqh-nya yaitu al-Mankhul,
Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, dan al-Mustasfa.[20]
Kitab yang disebut terakhir merupakan yang paling komprehensif sehingga
dapat dianggap merepresentasikan pandangan-pandangannya tentang konsep
maslahah.
Pada masa Al-Gazali, kajian ushul fiqh telah
mengalami kemajuan cukup pesat. Seiring dengan telah melembaga dan meluasnya
kajian fiqh dengan berbagai mazhab yang ada. Kajian tentang maslahah
mursalah yang pada masa-masa sebelumnya belum banyak diungkap, pada masa
itu telah ramai didiskusikan.[21]
Al-Gazali dapat dinilai sebagai tokoh ushuliyyin mazhab Shafi’i
yang paling banyak berbicara dan menaruh perhatian terhadap maslahah
mursalah. Sebelumnya ushuliyin Shafi’iyah pada periode sebelum
Al-Gazali tidak banyak membahasnya. Dengan demikian, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa apa yang dibicarakan Al-Gazali tentang maslahah mursalah tersebut
(khususnya yang terdapat pada al-Mustasfa) belum pernah diungkap oleh
para pendahulunya. Al-Gazali memang membicarakan maslahah mursalah dalam
keempat karyanya, yaitu al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Syifa’ al-Galil, dan al-Mustasfa.
Bagaimana pandangan Al-Gazali tentang maslahah mursalah ini, dapat
kita telaah secara kritis melalui kitab pamungkasnya Al-Mustashfa.
Al-Gazali mengawali pembahasannya dalam kitab ini dengan
menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh
dalil syara’. la menyatakan:
المصلحة بالإضافة إلى شهادة الشرع ثلاثة أقسام : قسم شهد الشرع
لاتبارها, وقسم شهد لبطلانها, وقسم لم يشهد الشرع لا لبطلانها ولا لاعتبارها.
أماما شهد الشرع لاعتبارها فهي حجة, ويرجع حاصلها إلى القياس,
وهو اقتباس الحكم من معقول النص والإجماع… ومثاله حكمنا أن كل ما أسكر من مشروب
أومأكول فيحرم, قيسا على الخمر, لأنهاحرمت لحفظ العقل الذي هو مناط التكليف.فتحريم
الشرع الخمر دليل على ملا حظة هذه المصلحة.
القسم الثاني : ما
شهد الشرع لا لبطلانها. مثاله قول بعض العلماء لبعض الملوك لماجامع في نهاررمضان :
إن عليك صوم شهرين متتابعين. فلما أنكر عليه, حيث لم يأمره بإعتاق رقبة مع اتساع
ماله, قال : لو أمرته بذالك لسهل عليه, واستحقر اعتاق رقبة في جنب قضاء شهوته,
فكانت المصلحة إيجاب الصوم لينزجربه.
فهذا قول باطل, ومخالفة لنص الكتاب, بالمصلحة. وفتح هذا الباب
يؤدي إلى تغيير جميع حدود الشرائع ونصوصها, بسبب تغير الأحوال…
“Maslahat
dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syara’ terbagi menjadi
tiga macam: maslahat yang dibenarkan oleh syara’, maslahat yang dibatalkan oleh
syara’, dan maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syara
(tidak ada dalil khusus yang membenarkan atau membatalkannya).
Adapun
maslahat yang dibenarkan oleh syara’ maka ia dapat dijadikan hujjah dan
kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari
jiwa/semangat nash dan ijma. Contohnya kita menghukumi bahwa setiap
minuman dan makanan yang memabukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar,
karena khamar itu diharamkan untuk memelihara akal yang menjadi tempat
bergantungnya (pembebanan) hukum. Hukum haram yang ditetapkan
syara’ terhadap khamar itu sebagai bukti diperhatikannya kemaslahatan ini.
Macam
yang kedua adalah maslahat yang dibatalkan oleh syara’. Contohnya seperti
pendapat sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan
suami istri di siang hari Ramadhan,hendaklah puasa dua bulan berturut-turut.
Ketika pendapat itu disanggah, kenapa ia tidak memerintahkan raja itu untuk
memerdekakan hamba sahaya, padahal ia kaya, ulama itu berkata, `Kalau raja itu
saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia dengan
ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Maka
maslahatnya, wajib ia berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini
adalah pendapat yang batal dan menyalahi Nash al-Kitab (dan hadis—pen.) dengan
maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam
dan Nash-Nash-nya disebabkan perubahan kondisi dan situasi.
Macam
yang ketiga adalah maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan
oleh syara (tidak ditemukan dalil khusus yang membenarkan atau membatalkannya).
Yang ketiga inilah yang perlu didiskusikan (Inilah yang dikenal dengan maslahah
mursalah).”
Dari uraian Al-Gazali di atas dapat disimpulkan bahwa
maslahat itu ada tiga:
- Maslahat yang
dibenarkan/ditunjukan oleh nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
maslahat mu’tabarah. Maslahat semacam ini dapat dibenarkan untuk
menjadi pertimbangan penetapan hukum Islam dan termasuk ke dalam kajian
qiyas. Dalam hal ini para pakar hukum Islam telah konsensus.
- Maslahat yang
dibatalkan/digugurkan oleh nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
maslahat mulgah. Maslahat semacam ini tidak dapat dijadikan
pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini para pakar hukum
Islam juga telah konsensus.
- Maslahat yang tidak ditemukan
adanya dalil khusus/tertentu yang membenarkan atau
menolak/menggugurkannya. Maslahat inilah yang dikenal dengan maslahah
mursalah. Para pakar hukum Islam berbeda pendapat apakah maslahah
mursalah itu dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam
ataukah tidak.
Dengan pembagian semacam itu sekaligus dapat diketahui
tentang salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak adanya
dalil tertentu/khusus yang membatalkan atau membenarkannya.
Lewat pembagian itu pula Al-Gazali ingin membedakan antara maslahah
mursalah dengan qiyas di satu sisi, dan antara maslahah mursalah dengan
maslahah mulgah di sisi lain.
Al-Gazali
kemudian membagi maslahat dipandang dari segi kekuatan substansinya. la
menyatakan:
ان المصلحة باعتبارقوتها في ذاتها تنقسم إلى ما هي في رتبة
الضرورات, وإلى ما هي في رتبة الحاجات, وإلى ما يتعلق بالتحسينات والتزيينات,
وتتقا عد أيضا عن رتبة الحاجات.[23]
“Maslahat
dilihat dari segi kekuatan substansinya ada yang berada pada tingkatan darurat (kebutuhan
primer), ada yang berada pada tingkatan hajat (kebutuhan sekunder), dan ada
pula yang berada pada posisi tahsinat dan tazyinat (pelengkap-penyempurna),
yang tingkatannya berada di bawah hajat.
Al-Gazali kemudian menjelaskan definisi maslahat:
أماالمصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة,
ولسنا نعني به ذالك, فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق, وصلاح الخلق في
تحصيل مقاصدهم. لكنانعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع.
ومقصود الشرع من الخلق خمسة, وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم
وعقلهم ونسلهم ومالهم. فكل مايتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل مايفوت
هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة [24].
Adapun
maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak
mudarat, tetapi bukan itu yang kami maksud; sebab menarik manfaat dan menolak
mudarat adalah tujuan makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu akan terwujud
dengan meraih tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat ialah
memelihara tujuan syara” /hukum Islam, dan tujuan syara’ dari makhluk itu ada
lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan
keturunan dan kehormatan, pen.), dan harts mereka. Setiap yang mengandung upaya
memelihara kelima hal prinsip ini disebut maslahat, dan setup yang
menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan menolaknya disebut
maslahat.”
Dari uraian Al-Gazali di atas dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan maslahat menurut Al-Gazali adalah upaya memelihara
tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
benda. Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan hukum Islam yang
lima tersebut disebut maslahat. Kebalikannya, setiap hal yang merusak
atau menafikan tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut mafsadat, yang
oleh karena itu upaya menolak dan menghindarkannya disebut maslahat.
Lebih lanjut Al-Gazali menyatakan:
وهذه الأصل الخمسة حفظهاواقع في رتبة الضرورات, فهي أقوى
المراتب في المصالح. ومثاله قضاء الشرع بقتل الكافر المضل وعقوبة المبتدع الدعي
إلي بدعته, فإن هذا يفوت على الخلق دينهم. وقضاؤه
بإيجاب القصاص, إذ به حفظ النفوس. وإيجاب حدالشرب إذ به حفظ العقول التي هي ملاك
التكليف, وإيجاب حد الزنا إذ به حفظ النسل والأنساب, وإيجاب زجر الغصاب والسراق, ,
إذ به يحصل حفظ الأموال التي هي معاش الخلق وهم مضطرون اليها.[25]
“Kelima
dasar/prinsip ini memeliharanya berada pada tingkatan darurat. la merupakan
tingkatan maslahat yang paling kuat/tinggi. Contohnya seperti:
- Keputusan syara’ untuk membunuh
orang kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat bid’ah
yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, sebab hal ini (bila
dibiarkan) akan melenyapkan agama umat.
- Keputusan syara’ mewajibkan
qisas (hukuman yang sama dengan kejahatannya), sebab dengan hukuman ini
jiwa manusia akan terpelihara.
- Kewajiban hadd karena minum
minuman keras, karena dengan sanksi ini akal akan terpelihara; di mana
akal merupakan dasar pen-taklif-an.
- Kewajiban hadd karena berzina,
sebab dengan sanksi ini keturunan dan nasab akan terpelihara.”
- Kewajiban memberi hukuman
kepada para penjarah dan pencuri, sebab dengan sanksi ini harta benda yang
menjadi sumber kehidupan manusia itu akan terpelihara. Kelima hal ini
menjadi kebutuhan pokok mereka.
Dalam menjelaskan hajiyat, Al-Gazali menyatakan:
الرتبة الثانية ما يقع في رتبة الحاجات من المصالح والمناسبات
كتسليط الولي على تزويج الصغيرة والصغير, فذلك لاضرورة اليه لكنه محتاج اليه في
افتناء المصالح وتقييد الأكفاء خيفة من الفوات واستغنا ما للصلاح المنتظر فى المال.[26]
“Tingkatan
kedua adalah maslahat yang berada pada posisi hajat, seperti pemberian
kekuasaan kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini tidak
sampai pada batas darurat (sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk memperoleh
kemaslahatan, untuk mencari kesetaraan (kafa’ah) agar dapat dikendalikan,
karena khawatir kalau-kalau kesempatan tersebut terlewatkan, dan untuk
mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada masa datang”
Tentang tahsiniyat dijelaskan Al-Gazali sebagai
berikut:
الرتبة الثالثة مالا يرجع الى ضرورة ولاإلى حاجة, ولكن يقع
موقع التحسين والتزيين والتيسير للمزايا والمزائد ورعاية أحسن المناهج فى العادات
والمعاملات, مثاله سلب العبد أهلية الشهادة مع قبول فتواه وروايته.[27]
“Tingkatan
ketiga ialah maslahat yang tidak kembali kepada darurat dan tidak pula ke
hajat, tetapi maslahat itu menempati posisi tahsin (mempercantik), tazyin
(memperindah), dan taisir (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa
keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik-baik sikap dalam kehidupan
sehari-hari dan muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status ketidaklayakan
hamba sahaya sebagai saksi, padahal fatwa dan periwayatannya bisa diterima.
Apakah semua maslahat dengan ketiga tingkatannya tersebut (daruriyat,
hajiyat dan tahsiniyah) dapat dijadikan pedoman dalam penetapan hukum
Islam? Dalam hal ini Al-Gazali menjelaskan sebagai berikut :
الواقع في الرتبتين الأخرتين لا يجوز الحكم بمجرده إن لم يعتضع
بشهادة أصل,لأنه يجري مجرى وضع الشرع بالرأي…أماالواقع في رتبة الضرورات فلابعدفي
أن يؤدي إليه اجتهاد مجتهد.[28]
“Maslahat
yang berada pada dua tingkatan terakhir (hajiyat dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum
semata-mata dengannya apabila tidak diperkuat dengan dalil tertentu kecuali
hajiyat yang berlaku sebagaimana darurat, maka tidak jauh bila ijtihad mujtahid
sampai kepadanya (hajiyat yang berlaku sebagaimana darurat dapat dijadikan
pertimbangan penetapan hukum Islam oleh mujtahid).”
Dari ungkapan Al-Gazali di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa maslahat hajiyat dan tahsiniyat tidak dapat dijadikan
pertimbangan dalam penetapan hukum Islam, kecuali hajiyat yang menempati
level daruriyat, hajiyat yang seperti itu menurutnya dapat
dijadikan hujjah pertimbangan penetapan hukum Islam.
Al-Gazali kemudian meneruskan penjelasannya :
أما الواقع في الرتبة الضرورات فلا بعد في ان يؤدي اليه اجتهاد
مجتهد وان لم يشهد له اصل معين. ومثاله ان الكفار اذا تترسوا بجماعة من اسارى
المسلمين فلو كففنا عنهم لصدمو نا وغلبوا على دار الإسلام وقتلوا كافة المسلمين.
ولو رمينا الترس لقتلنا مسلما معصوما لم يذنب ذنبا. وهذا لاعهدبه فى الشرع. ولو
كففنا لسلطنا الكفار على جميع المسلمين فيقتلو نهم ثم يقتلون الأسارى أيضا, فيجوز
أن يقول قائل هذا الأسير مقتول بكل حال, فحفظ جميع المسلمين أقرب الى مقصود الشرع.
لأنا نعلم قطعا ان مقصود الشرع تقليل القتل كما يقصد حسم سبيله عنه الإمكان.
فإن لم نقدر على الحسم قدرنا على
التقليل. وكان هذا إلتفاتا إلى مصلحة علم بالضرورة كونها مقصودالشرع, لابدليل واحد
واصل معين, بل بأدلة خارجة عن الحصر, لكن تحصيل هذا المقصود بهذا الطريق وهو قتل
من لم يذنب غريب لم يشهد له اصل معين فهذا مثال مصلحة غير مأخوذة بطريق القياس على
اصل معين.
“Adapun
maslahat yang berada pada tingkatan darurat maka tidak jauh ijtihad mujtahid
untuk melakukannya (dapat dijadikan dalil/pertimbangan penetapan hukum Islam)
sekalipun tidak ada dalil tertentu yang memperkuatnya (Itulah maslahah
mursalah, pen.). Contohnya orang-orang kafir yang menjadikan sekelompok tawanan
muslimin sebagai perisai hidup. Bila kita tidak menyerang mereka (untuk
menghindari jatuhnya korban dari tawanan muslim), mereka akan menyerang
kita, akan masuk ke negeri kita, dan akan membunuh semua kaum muslimin. Kalau
kita memanah tawanan yang menjadi perisai hidup itu (agar bisa menembus musuh),
berarti kita membunuh muslim yang terpelihara darahnya yang tidak berdosa. Hal
ini tidak diketahui dalilnya dalam syara’. Bila kita tidak menyerang, kita dan
semua kaum muslimin akan dikuasai orang kafir, kemudian mereka bunuh semua
termasuk para tawanan muslim tersebut. Maka mujtahid boleh berpendapat,
tawanan muslim itu, dalam keadaan apapun, pasti terbunuh. Dengan demikian,
memelihara semua umat Islam itu lebih mendekati kepada tujuan syara’. Karena
secara pasti kita mengetahui bahwa tujuan syara’ adalah memperkecil angka
pembunuhan, sebagaimana halnya jalan yang mengarah itu sedapat mungkin harus
dibendung. Bila kita tidak mampu mengusahakan agar jalan itu bisa ditutup, kita
harus mampu memperkecil angka kematian itu. Hal ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan maslahat yang diketahui secara pasti bahwa maslahat itu menjadi
tujuan syara’, bukan berdasarkan suatu dalil atau dalil tertentu, tetapi
berdasarkan beberapa dalil yang tidak terhitung. Namun untuk mencapai maksud
tersebut dengan cara seperti itu, yaitu membunuh orang yang tidak berdosa,
merupakan sesuatu yang asing yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu. Inilah
contoh maslahat yang tidak diambil lewat metode qiyas terhadap dalil tertentu.
Maslahat ini dapat dibenarkan dengan mempertimbangkan tiga sifat, yakni
maslahat itu statusnya darurat (bersifat primer), qat’iyat (bersifat pasti),
dan kulliyat (bersifat umum).”
Dari uraian dan contoh yang diberikan Al-Gazali di atas
dapat diketahui bahwa syarat maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah
dalam penetapan hukum Islam, menurut Al-Gazali, maslahat itu harus
menduduki tingkatan darurat, dan dalam kasus tertentu seperti yang
dicontohkan dan yang sejenis, maslahat itu selain harus daruriyat, juga
harus kulliyat dan qat’iyat.
Itulah syarat pertama yang dapat difahami dari penjelasan alGazali
dalam al-Mustasfa berkaitan dengan ke-hujjah-an maslahah mursalah, yaitu
maslahat itu harus menempati level darurat atau hajat yang
menempati kedudukan darurat.
Syarat lain yang harus dipenuhi selain di atas ialah
kemaslahatan itu harus mula’imah (sejalan dengan tindakan syara’/ hukum
Islam), dalam al-Mustasfa, Al-Gazali menyebutkan :
فكل مصلحة لاترجع الى حفظ مقصود فهم من الكتاب والسنة والإجماع
وكانت من المصالح الغربية التي لاتلائم تصرفات الشرع فهي باطلة مطرحة ومن صار
إليها فقد شرع, كما أن من استحسن فقد شرع.[30]
“Setiap
maslahat yang tidak kembali untuk memelihara maksud hukum Islam yang dapat
difahami dari al-Kitab, sunnah, dan ijma’ dan merupakan maslahat garibah (yang
asing) yang tidak sejalan dengan tindakan syara’ maka maslahat itu batal dan
harus dibuang. Barang siapa berpedoman padanya, ia telah menetapkan hukum Islam
berdasarkan hawa nafsunya, sebagaimana orang yang menetapkan hukum Islam
berdasarkan istihsan, ia telah menetapkan hukum Islam berdasarkan nafsunya.”
Apakah kriteria kulliyah (bersifat umum) merupakan
salah satu persyaratan agar maslahah mursalah dapat diterima? Al-Gazali
dalam al-Mustasfa tidak menyampaikan secara jelas bahwa kulliyah itu
merupakan salah satu kriteria yang harus dipenuhi bagi diterimanya maslahah
mursalah. la mensyaratkan kriteria kulliyah ini pada kasus tertentu,
yaitu masalah orang-orang kafir yang menjadikan tawanan muslim sebagai perisai
hidup. Maslahat dalam kasus ini tidak bisa dipandang sebagai mula’imah (sejalan
dengan tindakan syara’) kecuali apabila memenuhi tiga syarat, yaitu qat’iyah,
daruriyah, dan kulliyah. Kenapa demikian? Sebab memenangkan yang
banyak mengalahkan yang sedikit tidak terdapat dalilnya bahwa itu dikehendaki syara’.
Ulama telah sepakat apabila ada dua orang dipaksa untuk membunuh seseorang
maka tidak halal baginya untuk membunuhnya. Demikian juga, ulama telah sepakat
tidak halal bagi sekelompok umat untuk memakan daging seorang muslim lantaran
kelaparan.
Mengenai
kriteria qat’iyah dalam kasus ini juga dimaksudkan agar maslahah dalam
kasus membunuh tawanan yang dijadikan perisai hidup itu berstatus mula’imah.
Sebab kehati-hatian syara’ dalam masalah darah jauh lebih besar dari
yang lain. Tidak ditemukan dalam syara’ adanya dalil yang membenarkan
membunuh orang hanya berdasarkan zann (dugaan yang kuat) .
Mengenai
perlunya maslahat dalam kasus membunuh tawanan yang dijadikan perisai
tadi harus daruriyah adalah karena maslahat yang akan dilenyapkan
(nyawa para tawanan muslim yang menjadi perisai) itu statusnya juga daruriyah.
Dengan demikian, agar sebanding maka maslahat yang dimaksudkan untuk
dipelihara haruslah daruriyah. Sebab tidak ditemukan dalam syara’ adanya
kebolehan mendahulukan maslahat yang statusnya hajiyah atau tahsiniyah
atas daruriyah.
Tegasnya, maslahat yang mendorong untuk membunuh tawanan
muslim yang menjadi perisai itu harus sejalan dengan tindakan syara’.
Oleh karena membunuh tawanan muslim yang menjadi perisai musuh itu berarti
melenyapkan nyawa muslim yang seharusnya dipelihara (ma`sum) tanpa salah
dan dosa, maka maslahat yang mendorong untuk menyia-nyiakan maslahat
daruriyah tadi haruslah maslahat daruriyah pula. Apabila maslahat
itu harus daruriyah maka maslahat itu harus kulliyah (bersifat
umum), tidak cukup sekedar galibah (mayoritas). Sebab ijma’ menyatakan
bahwa memenangkan yang banyak mengalahkan yang sedikit tidaklah dikehendaki
oleh syara’.
Kemudian, membunuh tawanan muslim yang menjadi perisai hidup
musuh berarti menghilangkan maslahat secara pasti (qat’i). Oleh
karena itu, maslahat yang mendorong melakukan itu haruslah bersifat
pasti pula, atau setidak-tidaknya dugaan yang mendekati kepastian (zann
qarib min al-qat’i). Sebab mengalirkan darah hanya berdasarkan zann (dugaan)
tidak dapat dibenarkan oleh Islam.
Menurut hemat penulis, dari semua uraian Al-Gazali tentang maslahah
mursalah, dapat disimpulkan bahwa menurut al-Gazali maslahah mursalah dapat
dijadikan hujjah dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut.
- Maslahat itu sejalan dengan jenis
tindakan-tindakan syara’/ penetapan hukum Islam (yang dimaksudkan
untuk memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan/kehormatan).
Inilah persyaratan inti bagi diterimanya maslahah mursalah. Maslahat
mulgah (yang bertentangan dengan nash atau ijma’ harus
ditolak. Demikian juga maslahat garibah (yang sama sekali tidak ada
dalilnya, baik yang membenarkan maupun yang membatalkan). Bahkan Al-Gazali
menyatakan maslahat semacam itu hakikatnya tidak ada.
- Maslahat itu harus berupa maslahat
daruriyah atau hajiyah yang menempati kedudukan daruriyah.
Maslahat tahsiniyah tidak dapat dijadikan hujjah/pertimbangan
penetapan hukum Islam, kecuali ada dalil khusus yang menunjukkannya, yang
berarti penetapan hukumnya itu lewat qiyas, bukan atas nama maslahah
mursalah.
Kriteria kulliyah (maslahat itu bersifat umum dan
menyeluruh) dan qat’iyyah (maslahat itu bersifat pasti) di samping daruriyah
hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu seperti telah disebutkan di atas,
tidak berlaku generalisasi.
G. Pandangan
Al-Gazali dalam Analisis
Dari apa yang telah diuraikan pada bagian terdahulu nampak
bahwa al-Gazali memandang istislah bukanlah dalil yang berdiri sendiri.
Ia menyatakan:
“Nampak
jelas bahwa istishlah bukanlah dalil kelima yang berdiri sendiri. Bahkan
barang siapa menjadikan istislah sebagai dalil (yang berdiri sendiri), berarti
ia telah membuat-buat hukum Islam berdasarkan nafsunya.
Sebagian ahli ushul fiqh karena pernyataan al-Gazali di atas
menganggap bahwa al-Gazali menolak maslahah mursalah sebagai metode istinbath.
Sebagian yang lain menganggap bahwa al-Gazali menerima metode istinbath apabila
daruriyah, qat’iyah dan kulliyah.[32]
Terhadap kontroversi yang demikian perlu dikembalikan pada
alur pemikiran yang dijelaskan oleh al-Gazali sendiri. Menurut penulis
pernyataan al-Gazali pada cacatan kaki 25 tidak boleh difahami bahwa
Al-Gazali tidak menerima istislah. Sebab kalau difahami demikian, akan kontra
dengan pernyataan Al-Gazali yang lain. Misalnya, ia menyatakan:
“Setiap
maslahat yang berdampak untuk memelihara tujuan syara yang dapat diketahui dari
al-Qur’an, sunnah/hadis, atau ijma’, maslahat itu tidak keluar dari dalil-dalil
tersebut. Itulah namanya maslahah mursalah. Dan apabila maslahat itu diartikan
dengan hal-hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’, wajib diikuti
dan secara pasti dapat dijadikan hujjah.
Pernyataan ini, menurut hemat penulis, secara tegas
menyatakan bahwa Al-Gazali dapat menerima istislah sebagai metode istinbat
hukum selama maslahatnya berdampak bagi upaya memelihara tujuan syara’. Inilah
menurut hemat penulis yang dalam bagian lain sering disebut dengan muldimah (sejalan
dengan tindakan syara’).
Dalam pandangan al-Gazali tidak ada maslahat kontra
dengan nash dan kemudian harus dimenangkan. Setiap maslahat yang
kontra dengan nash, menurut pandangannya, gugur dengan sendirinya dan
harus dibuang jauh-jauh.
Berdasarkan pertimbangan itu semua, dapat dipahami bahwa
Al-Gazali dapat menerima istislah sebagai metode istinbat hukum
Islam dengan ketentuan:
- Maslahatnya sejalan dengan
tindakan syara (muldimah)
- 2. Maslahatnya menempati level daruriyah
atau hajiyah yang menduduki tempat daruriyah.
- Maslahatnya bersifat qat
`iyah atau zann yang mendekatinya.
- Maslahatnya tidak berlawanan
dengan al-Qur’an, sunnah/hadis atau ijma’.
Mengenai syarat qat’iyah, daruriyah, dan kulliyah hanya
berlaku pada kasus tawanan perang muslim yang dijadikan perisai musuh dan kasus
lain yang sejenis.
E.
Prinsip Maslahat dan Aplikasinya dalam Percontohan
Untuk lebih memperjelas bagaimana Al-Gazali mengaplikasikan
metode istilah pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan, penulis memandang
perlu untuk mengungkapkan kembali beberapa contoh tersebut sebagai berikut:
Pertama,
pasukan muslim boleh menembaki tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup
musuh. Sebab kalau tidak dilakukan, pasukan Islam tidak dapat menyerang musuh
dan musuh dengan leluasa akan masuk ke daerah muslim untuk memukul dan
menghabisinya. Menembaki tawanan muslim yang tidak berdosa untuk menjaga
keselamatan seluruh umat Islam adalah maslahat/kemaslahatan yang sejalan dengan
tindakan syara’, tetapi tidak ada dalil khusus yang mendukung atau membatalkannya.
Inilah maslahah mursalah. Maslahat ini bersifat qat’iyah, karena
sudah dipastikan kalau tawanan itu tidak ditembaki, musuh akan masuk dan
menyerbu habis umat Islam. Ia juga berstatus daruriyah, karena
menyangkut jiwa dan nyawa umat Islam yang harus diselamatkan. Kemaslahatan itu
juga kulliyah, karena menyangkut kepentingan dan keselamatan seluruh
umat Islam. Kemaslahatan itu juga tidak berlawanan dengan al-Qur’an, sunnah/
hadis atau ijma’, karena tidak ada dalil tertentu yang menolaknya. Untuk
menemukan kemaslahatan yang seperti itu kriterianya dalam kasus ini ditempuh
melalui metode istislah. Berdasarkan metode inilah kemudian ditetapkan
bolehnya pasukan muslim menembaki tawanan muslim yang menjadi perisai musuh
dalam rangka menjaga keselamatan jiwa seluruh umat Islam.
Kedua,
seandainya harta benda penduduk suatu negeri telah bercampur baur dengan harta
haram disebabkan telah begitu banyak transaksi yang tidak halal dan
bercampurnya harta hasil jarahan dengan yang lain, sehingga sulit menemukan
harta yang benar-benar halal maka lewat metode istislah dibenarkan bagi
penduduk negeri yang kaya dan miskin mengambil harta sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Mereka tidak boleh mengambil lebih dari kecukupannya, karena hal
itu haram dan tidak pula hanya dibatasi sekadar menutup nyawa (agar tidak
melayang), karena hal itu akan menghalangi masyarakat untuk dapat melakukan
aktifitas baik yang berhubungan dengan masalah duniawi maupun masalah
keagamaan. Tindakan semacam itu adalah suatu bentuk kemaslahatan yang sejalan
dengan tindakan syara’. Tetapi tidak ada dalil khusus yang
menunjukkannya. Keputusan itu, dengan demikian, tidak ditetapkan berdasarkan
al-Quran, sunnah atau ijma’. Keputusan itu ditetapkan berdasarkan metode
istislah.
Ketiga,
seorang kepala negara yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kepala negara,
tetapi ia dapat tampil ke tampuk pimpinan karena mempunyai power dan rakyatnya
juga loyal dianggap sah apabila hal ini terjadi dalam kondisi dan situasi sulit
menemukan kepala negara yang dapat memenuhi kualifikasi sebagai kepala negara.
Sebab, kalau hal ini tidak dibenarkan akan terjadi kekacauan yang hebat. Hal
ini harus dicegah. Ketetapan bahwa kepala negara dengan tipologi seperti itu
adalah sah, sekalipun tidak memenuhi persyaratan, karena kondisi dan situasinya
tidak memungkinkan adalah bentuk kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil
tertentu. Akan tetapi, kemaslahatan itu sejalan dengan tindakan syara’. Sebab
dengan demikian kehidupan masyarakat akan aman yang berarti a-daruriyat al-khams
(agama, akal, jiwa, harta, kehormatan/keturunan) akan terlindungi.
Keputusan itu ditempuh lewat istislah.
Keempat,
setelah pencandu minum-minuman keras bertambah merajalela dan menjadi-jadi dan
mereka tidak merasa takut dengan sanksi yang ada, Umar bin Khattab mengambil
kebijakan memberi sanksi peminum minuman keras sebanyak delapan puluh kali dera
sama dengan sanksi orang yang menuduh zina (qazf kepada orang lain dan
tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang masing-masing melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Keputusan ini diambil berdasarkan istislah agar
para pencandu minuman keras merasa takut. Sebagaimana diketahui tentang sanksi
orang yang meminum minuman keras tidak ada ketentuannya yang pasti. Di zaman
Nabi mereka diberi sanksi dengan dilempari sandal, dilecut dengan ujung kain,
dan dilempari dengan debu. Di zaman Abu Bakar (w. 13 H) diberi sanksi sebanyak
empat puluh kali dera, suatu perkiraan yang dipandang menyamai dengan apa yang
dilakukan oleh Nabi. Demikian di awal-awal pemerintahan Umar bin Khattab.
Setelah wilayah Islam bertambah meluas, timbul problem baru di mana pada
wilayah-wilayah penaklukan itu banyak ditemukan orang-orang yang suka
mabuk-mabukan. Mereka tidak merasa takut dengan sanksi yang hanya didera empat
puluh kali itu. Banyak para gubernur yang berkirim surat kepada Umar bin
Khattab selaku khalifah untuk mengatasi penyakit masyarakat ini. Setelah Umar
bin Khattab (w. 23 H) bermusyawarah dengan para sahabat senior, di antaranya
Ali bin Abi Talib (w. 40 H), diambillah suatu kebijakan untuk mengatasi
masalah tersebut dengan memberi sanksi delapan puluh kali dera. Al-Gazali
menyatakan bahwa ijtihad ini dilakukan melalui metode istislah.
Kelima, masalah
penetapan pajak harta atau kekayaan. Dalam kondisi para prajurit perang telah
cukup gajinya tanpa pemerintah harus menambah kas negara dari pembayaran pajak
bagi mereka yang kaya, tidak dibenarkan berdasarkan istislah pemerintah
menetapkan wajib pajak kepada mereka yang kaya itu. Akan tetapi, dalam kondisi
gaji prajurit tidak mencukupi; sehingga dikhawatirkan mereka akan mencari
tambahan di luar kedinasannya yang bisa membawa akibat negatif, misalnya hal
itu akan dijadikan kesempatan oleh musuh untuk menyerbu kaum muslimin,
pemerintah melalui metode istislah dibenarkan menetapkan wajib pajak
kepada orang-orang kaya. Bahkan pemerintah dibenarkan juga menetapkan pajak
khusus untuk daerahdaerah tertentu yang dipandang subur dan produktif.
Ketetapan pajak semacam itu dipandang sebagai maslahat yang sejalan dengan
tindakan syara’, tetapi tidak ada dalil khusus yang menunjukkannya.
KESIMPULAN
Sebagai penutup dari tulisan ini, perlu penulis sampaikan
kembali beberapa catatan penting sebagai berikut:
- Al-Gazali adalah tokoh ushuli
mazhab Shafi’i yang kredibilitasnya diakui oleh dunia Islam. Pemikirannya
di bidang maslahah mursalah tetap merefleksikan prinsip-prinsip
mazhab Shafi’i yang diikutinya. Untuk itulah, sekalipun menerima maslahah
mursalah, ia membuat persyaratan-persyaratan yang ketat. Bahkan ia
tetap menyatakan:
Barang siapa mempergunakan istislah
sebagai dalil yang berdiri sendiri, berarti ia telah membuat-buat hukum Islam
berdasarkan nafsunya, sebagaimana halnya orang yang menjadikan istihsan
sebagai dalil, berarti ia telah membuat-buat hukum Islam berdasarkan nafsunya.”
- Kriteria yang mesti dipenuhi maslahah
mursalah untuk menjadi hujjah Al-Gazali menyatakan maslahah
mursalah itu harus:
- Sejalan
dengan tindakan/jenis tindakan syara’.
- Tidak
berlawanan dengan al-Qur’an, sunnah, atau ijma’.
- Maslahat
itu berstatus qath’i atau zann yang mendekatinya.
- Maslahat
itu menempati level daruriyat atau hajiyat yang kedu-
dukannya sama dengan daruriyat.
- Dalam kasus tertentu harus qath’iyah, daruriyah dan kulliyah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gazali,
al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar,
Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H.
Al-Subki, Thabaqat Asy Shafi’iyah,
Bairut.
Asywadie
Syukur, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Ahmad
Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Mashlahah Mursalah
& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002.
Antony
Black dalam Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi Hingga Masa Kini , penerjemah
Abdullah Ali dan Mariana Arietyawati, Jakarta : Serambi, 2006.
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, Bairut.
Duski
Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra
al-Ma’nawy Al-Shatibi,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Nawer
Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih: Konsep Mashlahah
Imam al-Haramain al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam, Bandung: Cita Pustaka
Media, 2007.
R.
Paret, “Istihsan dan Istihlah“ The Encyclopedia of Islam, New
Edition, eds, E. Van Donzel, B. Lewis and Ch. Pellat, Leiden: E. J. Brill, 1978.
Saeful
Saleh Anwar, Filsafat Ilmu Al-Gazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Gema Insani Persada,
2004.