PENDAHULUAN
Istilah filsafat dan agama mengandung
pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama
bertolak dari wahyu. Filsafat banyak kaitan dengan berfikir sementara agama
banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka
melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau tidak logis. Agama
tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang
tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang
yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal
filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk
filsafat dan agama secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan agama dan filsafat itu.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat dan Agama
1.
Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa
penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan.
Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan berdasarkan
persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan
penemuan yang telah diverifikasi itulah orang merumuskan definisi tentang
sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan
diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala
sesuatu secara mendalam.[1]
Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan
definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang
filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan
"lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika
orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.[2]
Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang
yang belajar filsafat definisi itu juga diperlukan, terutama untuk memahami
pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai
istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan
definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat
pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada
masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang
ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras
mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata
filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya mengatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein
dan sophia. Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut
setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam
bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan
kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya
dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan
demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.[4]
Dalam al-Quran kata filsafat
tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang
memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya
maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan
mencintai kebijaksa-naan,[5]
sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[6]
Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan pengambilan keputusan berdasarkan suatu
pertimbangan tertentu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah
ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau
suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.[7]
Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan
dari love of wisdom.[8]
Dari pengertian kebahasaan
itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi
pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum
dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh
melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu
menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab
itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan
filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh
keahlian tentang kebijaksanaan itu.[9]
Plato mengatakan filsafat adalah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan
penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah
ilmu tentang kebenaran.[10]
Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya.[11]
Thomas Hobes (1588-1679 M)
salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena
itu terjadi perubahan.[12]
R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami
oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.[13]
Alfred Ayer mengatakan
filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah
semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa
yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan
bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan apa-apa yang
dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi
dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.[14]
Immanuel Kant (1724-1804
M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang
menjadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan :
yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya
diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama.
Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[15]
Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan
yang mungkin dapat dipikirkan manusia.[16]
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal
pokok, terjawab suatu persoalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[17]
Ir. Poedjawijatna
mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.[18]
Titus memberikan definisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka,
toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka.[19]
Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah
suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan
bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk
memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi
kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba
melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya
dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode
berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukanlah metode filsafat
yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat
berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah
kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat
men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah
benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah
keindahan itu, apakah perbedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan
kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti
teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang
telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ;
seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi
pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti
idealisme, realisme, pragmatisme dan sebagainya.[20]
Kattsoff mengemukakan
filsafat, ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari
sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu.
Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada
sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[21]
Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan
berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman
hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan
pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita
lebih berhasil menanganinya.[22]
Selain itu Liang Gie
mengemukakan metode yang berbeda dalam pembahasan ini. Ia meninjau
filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu
terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat,
yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun
filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah
hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga
tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat,
pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku
atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat,
yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar
sarjana atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat,
yaitu sarjana yang memberikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu
cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu
seorang pemikir dalam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut
filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan
filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari
persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan
maupun tulisan.[23]
Itulah di antara definisi
yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan definisi tentang filsafat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik, ekonomi dan
sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena
perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang
sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah
filsafat khusus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan
sebagainya.
Dengan demikian diketahui
betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai
pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat
tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan
bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas.
2.
Pengertian Agama
Pengertian agama yang
paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta
berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama “kacau”. Jadi, kata
agama diartikan tidak kacau, tidak semraut, hidup menjadi lurus dan benar.[24]
Dick Hartoko menyebut
agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia
dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.[25]
Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti
mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.[26]Seorang
yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi
mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi
terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma
mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang
suci tetapi juga sekalian tabu.[27]
Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat
jahat.
Religi juga merupakan
kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semeseta, nilai
yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi
mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang
dikenal. Karena itulah religi tidak
berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa.
Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada
hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan
yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisme dalam
bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa.
Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan
dengan Yang Kudus.[28]
Manusia mengakui adanya
ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati
sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang
Mutlak itu manusia secara bersama-sama menjalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah
hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri
atas berbagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula
berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam
al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian
agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan
dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din
ada menunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain
diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut
terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang
pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang
kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan
yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi
manusia. Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan
manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia
merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena pada waktu
itu dijanjikan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman
merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada
hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak
pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai
yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.[29]
Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya
dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali
terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban
melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah
di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan,
patuh, utang, balasan, kebiasaan[30]
dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama
itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah
manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas
menunjuk kepada pengertian agama secara etimologi. Namun banyak pula di
antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama
juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam.
Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang
sangat umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan
tentang cara hidup di dunia ini. [31]
Sidi Gazalba memberikan
definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri
berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk
sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[32]
Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang
diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi
agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk
peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[33]
Muhammad Abdul Qadir Ahmad
mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem
hidup yang diterima dan diridoi Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah
sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup
itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal
perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.[34]
Selanjutnya dijelaskan
bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang menekankan
kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang
cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi
agama yang lebih memadai, yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai
dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[35]
Bila dilihat dengan
seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan.
Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal
dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
B.
Hubungan Antara Filsafat dan Agama
Terdapat beberapa asumsi berkaitan dengan hubungan
filsafat dengan agama. Asumsi tersebut didasarkan pada anggapan manusia sebagai
makhluk budaya. Asumsi pertama, manusia sebagai makhluk budaya mampu
berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannya, bahkan
sampai sadar dan jujur mengakui kenyataan Tuhan dan ajaran agama.
Asumsi kedua kita ini diciptakan oleh Tuhan
sebagai suatu yang potensial dapat diperbaiki, diperindah, dan diperkaya,
sehingga hidup dan penghidupan ini lebih dapat meningkat harganya untuk
dihidupi dan dinikmati. Hubungan agama dengan filsafat dapat dinyatakan sebagai
berikut:
1. Agama adalah unsur mutlak dan sumber
kebudayaan, sedangkan filsafat adalah salah satu unsur kebudayaan
2. Agama adalah ciptanya Tuhan, sedangkan
filsafat hasil spekulasi manusia
3. Agama adalah sumber-sumber asumsi dari
filsafat dan ilmu pengetahuan (science)
filsafat menguji asumsi-asumsi science
4. Agama mempercayai akan adanya kebenaran
dan kenyataan dogma-dogma agama, sedangkat filsafat tidak mengakui dogma-dogma
sebagai kenyataan tentang kebenaran.[36]
Adapun tabel hubungan Agama dan Filsafat sebagai
berikut:
Agama
|
Filsafat
|
a. Agama adalah unsur dan sumber kebudayaan
b. Agama adalah ciptaan Tuhan
c. Agama adalah sumber-sumber asumsi dari
filsafat dan ilmu pengetahuan (science)
d. Agama mendahulukan kepercayaan dari
pemikiran
e. Agama mempercayai akan adanya kebenaran dan
khayalan dogma-dogma agama
|
a. Filsafat salah satu unsur kebudayaan
b. Filsafat adalah hasil spekulasi manusia
c. Filsafat menguji asumsi asumsi science,
dan science mulai dari asumsi tersebut
d. Filsafat mempercayakan sepenuhnya
kekuatan daya pemikiran
e. Filsafat tidak mengakui dogma-dogma
agama sebagai kenyataan tentang kebenaran.
|
Dengan memperhatikan spesifikasi dan
sifat-sifat di atas, terlihat jelas bahwa peran agama terhadap filsafat ialah
meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran mutlak yang ada pada
agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama ialah membantu keyakinan manusia
terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini
didukung pernyataan yang menyatakan bahwa filsafat yang sejati itu adalah
terkandung dalam agama[37]
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan antara filsafat dan agama,
filsafat bersumber dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumber
dari Tuhan. Filsafat menemukan kebenaran atau kebijakan dengan cara penggunaan
akal budi atau rasio yang dilakukan secara mendalam, menyeluruh, dan universal.
Kebenaran yang diperoleh atau ditemukan oleh filsafat adalah murni hasil
pemikiran (logika) manusia, dengan cara perenungan (berpikir) yang mendalam
(radikal) tentang hakikat segala sesuatu (metafisika). Sedangkan agama mengajarkan kebenaran atau memberi jawaban
tentang berbagai masalah asasi melalui wahyu atau kitab suci yang berupa firman
tuhan.
Kebenaran filsafat adalah kebenaran
spekulkatif, berupa dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset,
dan eksperimen dan kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif). Sedangkan
kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran agama adalah wahyu
yang diturunkan oleh yang maha benar, yang maha mutlak.
Filsafat sama halnya dengan agama,
sama-sama mengkaji tentang kebijakan, tentang tuhan, baik dan buruk, dan
lain-lain. Itulah sebabnya maka filsafat mempunyai hubungan yang dekat dengan
agama, keduanya sama-sama mencari kebenaran.
Filsafat dengan caranya tersendiri
berusaha menemukan hakikat sesuatu baik tentang alam, manusia, maupun tentang
tuhan. Sementara agama, dengan karakteristiknya tersendiri memberikan jawaban
atas segala persoalan asasi perihal alam, manusia, dan tuhan.
Filsafat dan agama mempunyai hubungan
yang erat dan saling terkait antara satu dan lainnya. Dimana keduanya memiliki
kekuatan daya gerak dan refleksi yang berasal dari manusia. Dalam diri manusia
terdapat daya menggerakkan filsafat dan agama yaitu melalui akal pikir, rasa
dan keyakinan.
Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat disaksikan
bahwa hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal pikiran (filsafat) akan terjawab
melalui wahyu atau agama. Dengan demikian antara filsafat dan agama dapat
saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah
kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Jakarta: Bumi Aksara,2001
Ahmad Muhammad
Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq
al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985
Beekman Gerard, Filsafat
para Foloosf Berfilsafat, diterjemahkan oleh R. A. Rifai dari
Filosofie, Filosofen, dan Filosoferen, Jakarta : Erlangga, 1984
Dardiri H.A., Humaniora,
Filsafat dan Logika Jakarta : Rajawali Press, 1986
Gazalba
Sidi, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta :
Bulan Bintang, 1978
H.M
Rasjidi, Persoalan-Persoalan filsafat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Hadiwijono
Harun, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Louis O Kattsoff, Pengantar
Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Nasution
Harun, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983
Nasution
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1979
S Suriasumantri
Jujun, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan,
1995
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis,
Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Tafsir Ahmad, Filsafat
Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994
Ya`qub
Hamzah, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991