Pembuktian Adanya Tuhan (Al-Kindi & Ibnu Sina)



PENDAHULUAN
Sebagai agama baru, rasionalitas merupakan ciri dari agama Islam ketika mendialogkan ajarannya. Islam dituntut untuk dapat membuktikan kebenarannya di hadapan agama-agama lain. Justifikasi terhadap kebenaran ajaran Islam ditempuh melalui jalur yang sangat rasional. Rasionalitas bahkan terlihat di setiap seruan Tuhan terhadap hambaNya untuk selalu melakukan penalaran di setiap ciptaanNya. Anjuran untuk memikirkan alam semesta demi tercapainya sebuah kebenaran tunggal juga turut menghiasi setiap untaian ayat-ayat Al-Qur’an[1]
Kehadiran rasio tampak nyata pada diri Al-Kindi sebagai salah satu filosof abad ke 9, yaitu ketika masa pemerintahan al-Makmun dan al-Muktasim. Tepatnya disaat pemikiran muktazilah dijadikan ideologi resmi Negara.
Keberadaannya sebagai seorang filosof dalam Negara muktazilah menuntut dirinya agar mampu memperjuangkan misi-misi Negara yang tidak bisa dilaksanakan oleh Muktazilah. Al-Kindi telah memberikan sumbangan yang cukup  besar bagi perkembangan filsafat dan sains Islam pada masanya. Menurut Ibn al-Nadim (w. 995), seorang pustakawan yang terpercaya , menyebutkan adanya 242 buah karya al-Kindi dalam bidang logika, metafisika, aritmetika, falak, musik, astrologi, geometri, kedokteran, politik dsb. Salah satu karya fenomenal al-Kindi berjudul al Falsafah al Ula. Pada bagian utama risalah ini al-Kindi mendevinisikan al Falsafah al Ula  sebagai pengetahuan tentang Sang Mahatama dan Maha Esa yang memberi jalan bagi terbentangnya kebenaran[2]
Berbeda dengan al-Kindi, Ibnu Sina yang dikenal di Eropa sebagai Avicenna adalah pemikir Muslim terbesar dan yang terakhir dari para filosof Muslim di Timur[3]. Hidupnya diantara para raja membuatnya menjadi sorotan dan menjadikan sumber-sumber kehidupannya lebih banyak dan lebih terpercaya ketimbang sumber-sumber kehidupan pemikir lain manapun. Ia berhasil mempelajari al-Qur’an dan ilmu kesusastreraan ketika masih berumur sepuluh tahun. Selanjutnya Ibnu Sina juga banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, logika, matematika Yunani dan India dll.
Menurut Ibnu Sina, filsafat adalah latihan intelektual yang memungkinkan manusia untuk mengetahui Wujud sebagaimana adanya dalam dirinya. Adalah tugas manusia untuk melakukan hal ini sebagai latihan intelektual sehingga ia memuliakan jiwanya dan menyempurnakannya, juga bisa menjadi seorang ilmuan dan memperoleh kapasitas abadi di akhirat[4]
Pembahasan tentang filsafat tidak berhenti disana. Ibnu Sina juga mengemukakan pendapatnya tentang keberadaan Tuhan yang sedikit berbeda dengan cara al-Kindi dalam pembuktian keberadaanNya. Hal inilah yang kiranya cukup menarik bagi penulis untuk dikaji dan di kupas lebih mendalam, sehingga pembaca dapat memahami dengan lebih jelas dan mudah tentang perbedaan pendapat diantara mereka mengenai pembuktian keberadaan Tuhan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana al-Kindi membuktikan adanya Tuhan?
2.      Apakah bukti keberadaan Tuhan menurut Ibnu Sina?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui pembuktikan adanya Tuhan menurut al-Kindi
2.      Mengetahui bukti keberadaan Tuhan menurut Ibnu Sina

 PEMBAHASAN

A.    PEMBUKTIAN ADANYA TUHAN MENURUT AL-KINDI
Al Falsafah al Ula adalah salah satu judul buku filsafat yang ditulis dan dipersembahkan al-Kindi untuk khalifah al-Muktasim (833-842 M) dari Dinasti Abbasiyah (750-1258 M); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafisikanya yang didasarkan atas konsep-konsep filsafat Aristoteles (384-322SM)[5]
Menurut George N. Atiyeh, pemikiran metafisika al-Kindi terinspirasi oleh gagasan Aristoteles tentang kebenaran pertama dan tidak didasarkan oleh ide-ide Plotinus sebagaimana kebanyakan filsuf muslim sesudahnya[6]. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran, sebagaimana dikatakan Aristoteles. Terinspirasi oleh argument ini, al-Kindi kemudian menggambarkan metafisika sebagai pengetahuan yang paling mulia. Al-Kindi mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiyah, namun hanya terbatas pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatifNya dan hubunganNya dengan alam ciptaan[7]. Hal ini jelas berbeda dengan konsep Aristoteles yang memahami metafisika sebagai penggerak yang tidak bergerak yang cakupannya meliputi segala wujud. Perbedaan inilah yang menjadikan orisinalitas pemikiran al-Kindi.
Orisinalitas pemikiran al-Kindi juga tampak pada penjelasannya tentang masalah sebab akibat (‘illah), dalam menimbulkan kejadian atau materi. Al-Kindi menganggap bahwa materi pada awalnya dipengaruhi secara langsung oleh penyebab pertama (Tuhan). Kemudian materi itu berkembang menjadi penyebab timbulnya materi lainnya. Dan begitulah seterusnya hingga pada materi paling akhir. Dalam runtutan kausalitas semacam ini, timbulnya materi paling akhir ditimbulkan oleh penyebab pertama secara kiasan saja. Sedang pada hakikatnya diakibatkan oleh penyebab paling dekat dengan dirinya. Begitu pula penyebab kedua akan menjadi penyebab keberadaan sebab ketiga, sebab ketiga akan menjadi penyebab keberadaan sebab keempat, dan begitu seterusnya[8].
Hal ini menunjukkan bahwa al-Kindi sebenarnya tetap memposisikan Tuhan sebagai penyebab utama dalam setiap kejadian. Namun hal tersebut tidak menandakan pengabaiannya terhadap hukum kausalitas. Penyebab dekat yang terdapat dalam alam nyata dianggap sebagai penyebab akan timbulnya materi. Sedangkan secara kiasan saja Tuhan sebagai penyebab timbulnya materi tersebut. Dan hal ini dianggap sebagai inovasi baru yang berlawanan dengan mainstream umum dalam teologi[9]. 
Al-Kindi adalah seorang penganut yang teguh dalam hal hukum Kausalitas. Ia juga menulis risalah-risalah khusus untuk membuktikan hal tersebut. Meski kita tidak dapat mengetahui dengan jelas argument-argumennya dengan pasti, namun dapat kita pahami pendapatnya bahwa Tuhan, alam (karyaNya) adalah sebuah sistem yang unsur-unsurnya saling berhubungan secara harmonis dan terkait antara satu dengan yang lain. Eksistensi yang lebih tinggi mempengaruhi eksistensi yang lebih rendah dan eksistensi yang lebih rendah tidak dapat mempengaruhi eksistensi yang lebih tinggi, karena yang lebih tinggi berdiri diatasnya dalam tatanan Wujud. Jadi, yang lebih tinggi menjadi sebab dan yang lebih rendah menjadi akibat[10]. Segala eksistensinya dibatasi oleh kausalitas.
Hukum kausalitas mengatur segala peristiwa di dunia. Sehingga jika kita mengetahui sebab maka kita dapat meramalkan akibat. Karena itulah, dunia dengan sistemnya yang dibangun atas dasar kausalitas ini, menjadikan kita tahu bahwa sebuah benda yang ada (yakni dalam segala inter koneksi dan inter relasinya) dapat kita kiaskan sebagai sebuah cermin yang di dalamnya bisa kita lihat keseluruhan benda-benda[11]    
Dalam pembuktian adanya Tuhan secara filosofis dan juga teologis, menurut al-Kindi, Tuhan tidaklah memiliki hakekat dalam arti ‘aniah dan mahiah. Allah tidak ‘aniah karena Allah bukan benda yang memiliki sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk. Allah tidak mahiah karena Allah tidak berupa jenus atau spesies. Bagi al-Kindi, Allah adalah unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah yang benar pertama dan yang benar tunggal. Selain dariNya semua mengandung arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Tuhan, al-Kindi mengajukan beberapa argumen tentang keberadaan Tuhan. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini ada dan tercipta dari ketiadaan (hudus al-alam).[12] Setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, siapakah yang layak menciptakan? Dari pertanyaan tersebut ada beberapa kemungkinan, diantaranya:
1.      Pencipta alam dari tiada  menjadi ada adalah dirinya sendiri. Jadi alam sendirilah yang menciptakan dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi, berarti alam akan menjadi qadim atas dirinya pada suatu waktu dan di waktu yang lain ia hadis bagi dirinya. Dengan kata lain, alam adalah sebab dan ia juga menjadi akibat atas keberadaannya. Dan hal ini jelas muhal[13].
2.      Alam saling menjadikan / menciptakan antara satu dengan yang lainnya secara bergantian[14]. Hal tersebut jelas mustahil, karena tidaklah mungkin sesuatu menjadi pencipta dan menjadi yang diciptakan pada waktu yang sama.
3.      Yang terakhir yaitu bahwa alam ada setelah ketiadaan, namun ia ada dengan sendirinya tanpa adanya pencipta. Hal ini tidaklah masuk akal, karena tidak mungkin ada sesuatu yang tercipta dengan sendirinya atau menurut hukum kausalitas tidak mungkin ada akibat tanpa adanya sebab. Tidak mungkin ada maf’ul tanpa adanya fa’il.
Dari tiga kemungkinan di atas, semuanya tidaklah benar karena mustahil dan tidak dapat diterima akal secara rasional. Satu-satunya kemungkinan yang dapat diterima akal adalah jika pencipta alam dari tiada menjadi ada adalah Sang pencipta yang berasal dari luar dirinya (semesta) dan bukan dari dirinya. Dzat yang qadim dan bukan hadis, yang tidak lain adalah Allah SWT[15]
Kedua, berdasarkan dalil keanekaragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi adanya keanekaragaman dan keseragaman tidaklah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadi rangkaian (tasalsul) yang tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak ada habisnya tidak mungkin terjadi di alam ini. Oleh karena itulah, penyebabnya haruslah berasal dari luar alam itu sendiri, yakni Zat yang Maha dahulu, Dialah Allah SWT.
Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia). Menurut argument ini, persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya Sang pengatur yang cerdas dan tidak terlihat, yaitu jiwa. Demikian juga dengan alam. Perjalanan alam yang teratur, tertib, dan selaras menunjukkan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak terlihat, yaitu Tuhan. Karena itu, ketika ditanyakan kepada al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Tuhan, ia menjawab bahwasannya hal itu sama persis seperti kita memahami adanya jiwa dengan memperhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh, maka begitu pula dengan Tuhan. Keberadaannya dapat diketahui dari efek-efek pengaturanNya yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam semesta[16].  
Meski demikian, Atiyeh mengingatkan bahwa penggunaan analogi Stoik oleh al-Kindi tersebut bukan berarti ia sepakat dengan pandangan Panteisme kaum Stoik, “satu ruh Ilahi dan imanensi Tuhan atas alam”. Al-Kindi adalah seorang pendukung yang gigih atas paham transendensi dan kemahabesaran Tuhan. Penerimaannya atas analogi Stoik lebih bersifat dan terbatas pada aspek metodologi, bukan metafisis[17].
Keempat, didasarkan atas argumen teologis, yaitu kerapian alam. Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi pasti karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Zat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua sebab”[18].Zat yang tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
Argumen terakhir ini oleh sebagian filsuf dianggap sebagai dalil paling efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M)[19], sedang dalam tradisi filsafat Barat dipakai oleh Immanuel Kant (1724-1804 M).

B.     BUKTI KEBERADAAN TUHAN MENURUT IBNU SINA
Nama Ibnu Sina pada masanya selalu dikaitkan dengan Neoplatonisme Islam, meskipun pendiri yang sebenarnya adalah al-Farabi. Hal itu terjadi karena Ibnu Sina berhasil mengembangkan tema-tema dasar yang telah dibayangkan oleh pendahulunya. Diksi Ibnu Sina jauh mengungguli al-Farabi dalam hal keindahan ataupun ketandasan.
Ibnu Sina berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu di usianya yang terbilang masih cukup muda. Pada usianya yang ke 16, Ibnu Sina telah menempati posisi istimewa dalam ilmu kedokteran. Satu-satunya cabang ilmu pengetahuan yang menurutnya rumit yaitu metafisika. Dia mengaku telah membaca metaphysic karya Aristoteles hingga 40 kali dan juga mengahafalnya dari kata per kata, namun belum juga dapat memahami maksud penulisnya. Sampai akhirnya ia menemukan risalah al-Farabi yang berjudul On the Intentions of the Metaphysic dan berhasil menemukan kejelasan mengenai apa itu metafisika.
Meski demikian, Ibnu Sina memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan  al-Farabi. Kemampuannya dalam menyajikan pemikiran dengan retorika yang mudah dan sederhana menjadikan pemikirannya tersebar begitu cepat dalam percaturan pemikiran filsafat. Ia juga dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Dengan ketinggian otodidak dan kejeniusannya, Ibnu Sina terkenal sebagai sosok yang banyak menyalurkan pemikiran orisinalitasnya, bukan hanya di dunia Islam, bahkan hingga Eropa.
Terlepas dari kelebihan Ibnu Sina atas al-Farabi, argument kemungkinan (dalil al-jawaz) atau kontingensi menjadikan Ibnu Sina beranggapan sama dengan al-Farabi. Perspektif Ibnu Sina dapat dikatakan sama dengan al-Farabi yang pada dasarnya berpaham Neoplatonik. Latar belakang Neoplatonik yang berpaham pada emanasionis terpapar dalam karya-karya semiteologis mereka[20]. Akan tetapi, sebagaimana dituliskan pada bagian pembuka asy-Syifa[21], Ibnu Sina merasa tidak puas dengan Neoplatonisme konvensional dan Peripatetisme masa itu.  
Ibnu Sina mengawali tulisan asy-Syifa dengan devinisi konvensional metafisika sebagai studi tentang entitas-entitas yang bersifat imateril. Menurutnya, metafisika juga disebut ilmu ketuhanan yang menelaah prinsip-prinsip pokok segenap entitas fisik dan matematis, memperkenalkan sebab dari segala sebab, serta prinsip utama dari segala prinsip. Oleh karena itulah, metafisika kerap pula disebut filsafat pertama atau kebijaksanaan mutlak baginya.
Devinisi yang jelas-jelas Aristotelian ini kemudian ditolak sendiri olehnya dengan alasan bahwa jika sebab Pertama atau Tuhan yang disangka manusia adalah subjek (maudu’) metafisika, sebenarnya justru objek (mathlub) yang hendak dibuktikan dalam metafisika. Karenanya, subjek atau pokok bahasan metafisika yang sesungguhnya adalah wujud yang secara intuitif diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, inti metafisika adalah ontologi[22], karena ia menggunakan pendekatan filsafat wujud.
 Selain itu, Ibnu Sina juga membagi metafisika ke dalam tiga bagian pokok. Yaitu (1) bagian yang membahas tentang segenap entitas secara umum dan Tuhan secara khusus, (2) bagian yang membahas sifat-sifat entitas, (3) bagian yang membahas prisip-prinsip pokok pengetahuan yang berlaku bagi semua bidang ilmu. Meskipun begitu, bagian terbesar metafisika Ibnu Sina sebenarnya membahas entitas dalam kaitannya dengan kategori-kategori Aristotelian dan konsep-konsep universal yang menyertainya.
Hal pertama yang melandasi pendekatan ontologis dalam metafisika Ibnu Sina adalah wujud dan eksistensi (keberadaan), yang kedua yaitu sifat-sifat dasar (esensi) suatu entitas yang dengan jelas dapat dibedakan dengan eksistensinya[23].  Dan yang ketiga adalah sesuatu yang tidak eksis, namun sebenarnya eksis dalam satu atau lain makna eksistensi[24].
Ihwal esensi dan eksistensi inilah yang mendorong Ibnu Sina untuk membagi wujud ke dalam tiga kategori, yaitu yang niscaya ada (wajib al wujud), yang mungkin ada dan mungki tidak ada (mumkin al wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Menurutnya, semua eksistensi ketika dilihat dalam esensinya adalah wajib sekaligus mungkin, kecuali Tuhan. Yang bersifat mungkin tidak ada dengan sendirinya dan karenanya wujudnya berasal dari sesuatu di luarnya. Rangkaian ini akan berlangsung untuk waktu yang tidak terbatas jika kita tidak berhenti di suatu tempat dan meyakini sebuah wajib al wujud.
Wajib al wujud menurut Ibnu Sina yaitu esensi yang tidak mesti memiliki wujud, namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari wujud. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada dan kemudian terwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya[25]. Wajib al-wujud menjadi sebab bagi eksistensi yang mungkin (mumkin al wujud). Ibnu Sina juga membagi wajib al-wujud menjadi wajib al-wujud bi dzatihi[26] dan wajib al-wujud bi ghoirihi[27]. Dalam hal ini Allah termasuk kategori yang pertama.
Ibnu Sina berusaha menolak keabadian alam semesta dan menegaskan bahwa alam semesta telah disebabkan dan diciptakan (hadis). Dunia diemanasikan dari Tuhan dan emanasi didefinisikannya sebagai keterkaitan eksistensi dengan calon objek secara langsung dan tanpa perantara dalam bentuk zat atau instrument atau waktu. Tuhan adalah satu-satunya kebenaran serta sebab pertama. Melalui emanasi, dia menciptakan Akal Pertama dan melalui akal pertama itu Dia menciptakan akal lain dan langit pertama. Proses ini berlanjut sampai semua langit tercipta, dan akal terakhir yang diciptakan tidak menciptakan langit. Dari akal inilah bermula akal manusia dan dzat unsur-unsur dunia (yaitu dzat utama)[28].  
            Mumkin al-wujud adalah esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidak mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada. Jika dilihat dari segi esensinya, wujud mungkin tidak mesti ada dan karena itulah ia disebut mumkin al-wujud bi dzatihi. Namun, ia juga dapat dilihat dari lain sisi sehingga disebut mumkin al-wujud bi dzatihi dan mumkin al-wujud bi ghoirihi. Wujud mungkin ini meliputi semua yang ada selain Allah SWT.
            Selain teori tentang wajib wujud dan mungkin wujud yang ia kembangkan, Ibnu Sina juga mengenalkan adanya mumtani’ al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, karena keberadaannya yang tidak dapat terbayangkan oleh akal. Seperti adanya sekarang ini dan juga kosmos lain di samping yang ada.
Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Ibnu Sina menggunakan dalil tersebut, yakni bahwa sesuatu yang wajib al wujud telah jelas dan terbukti ada, namun sesuatu yang mumkin al wujud  tidak mungkin ada tanpa adanya wajib al wujud. Hal ini disebabkan oleh kemustahilan adanya rangkaian wujud mungkin (mumkin al wujud) secara terus-menerus tanpa asumsi bahwa semua itu berujung pada Zat yang wajib al wujud sebagai penyebab eksistensi rangkaian tersebut. Ibnu Sina tidak lagi mencari dalil lain dari salah satu makhlukNya dalam membuktikan keberadaanNya, ia cukup menggunakan dalil wajib al wujud, karena menurutnya dunia ini adalah mumkin al wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang dapat mengeluarkannya menjadi wujud dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan keberadaan Tuhan, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujudNya dengan salah satu makhlukNya, meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujudNya. Pembuktian dengan dalil tersebut kiranya lebih kuat, lengkap dan sempurna menurut Ibnu Sina. Pembuktian tersebut juga telah digambarkan pada QS al Fushilat ayat 53
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Al-Fushilat 53)
  Ibnu Sina secara eksplisit juga membicarakan tentang kemungkinan lain, yaitu kemungkinan tiap-tiap anggota dalam rangkaian entitas wujud mungkin jika tidak mewujud secara serentak tetapi secara beruntut (in succession). Meskipun telah dipertimbangkan kemungkinan rangkaian itu mewujud secara siklis (dauran), artinya suatu anggota menjadi sebab (kemaujudan) anggota lainnya. Seperti halnya alternatif sebelumnya, alternatif ini juga dimustahilkan olehnya. Bagi Ibnu Sina apapun status temporal seluruh anggotanya, rangkaian entitas wujud mungkin dianggap mempunyai suatu sebab yang niscaya bersifat wajib al wujud.
Ibnu Sina juga menjelaskan tentang keesaan mutlak Tuhan dan menafikkan segala bentuk kejamakan, ketersusunan dan keterbagian, baik secara esensi ataupun eksistensi. Karena, segala yang memiliki esensi dan eksistensi layaknya entitas selalu memerlukan sebab bagi keberadaannya. Dan ini bertentangan dengan fakta bahwa Dia adalah sebab pertama dari semua keberadaan dan kejadian. Sebaliknya, jika esensi diduga manunggal dengan eksistensiNya, itu artinya Dia tidak berjenus ataupun berspesis dan tidak mungkin didefinisikan. Karena itulah tidak ada yang menyamaiNya dan menyekutuiNya dengan hal apapun.  Konotasi yang terlihat bersifat negatif ini menjadikan Ibnu Sina menambahkan sifat-sifat positif kepadaNya[29], yaitu kebaikan murni, kebenaran murni, dan akal murni[30]. Menurutnya Allah sebagai prinsip utama dan telah mengetahui bahwa dirinya sebagai sebab ada dari segala sesuatu[31]

KESIMPULAN
            Pemikiran al-Kindi tentang pembuktian Tuhan tetaplah ada pada batas-batas ajaran Islam, meski sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat Yunani. Menurut al-Kindi, keberadaan Tuhan dapat diketahui dari beberapa hal yang terjadi di alam semesta ini, sebagaimana dalil hudus al-alam. Argumen ini memahamkan kita bahwa adanya alam dari tiada menjadi ada pastilah membutuhkan zat lain yang ada di luar dirinya dan bukan dari dirinya sendiri, yaitu Tuhan. Keragaman alam dalam wujud, keteraturan serta ketertiban nudzum al-alam jelas membuktikan adanya suatu pencipta yang Maha Segalanya yang berbeda dengan ciptaanNya. Belum lagi berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang semuanya benar-benar jelas membuktikan tentang adanya Tuhan Sang Pencipta alam yang menciptakan dan mengatur segalanya dengan sedemikian rupa, yang berasal dari luar alam dan bukan dari alam itu sendiri. Tuhan adalah sebagai pencipta, bukan sebagai penggerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles.
            Berbeda dengan al-Kindi dalam pembuktian keberadaan Tuhan yang dimulainya dari keberadaan alam semesta (makhluk) sehingga jelas bahwa alam ini membutuhkan adanya pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Ibnu Sina justru berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dari Sang Pencipta itu sendiri. Konotasi pencipta yang selalu dikaitkan dengan ciptaan, dengan kata lain bahwa jika ada pencipta, pastilah ada yang Dia ciptakan. Jadi tanpa berfikir kritispun kita akan mengetahui bahwa alam hasil ciptaanNya ini ada karena adanya Dia, Sang pencipta.
Ibnu Sina juga menganut paham emanasi dalam ihwal penciptaan alam, yang mana hal ini jelas berbeda dengan al-Kindi. Hal inilah yang kemudian mendorong Ibnu Sina untuk  lebih condong menggunakan filsafat ontologi dan membagi wujud ke dalam 3 bagian, yaitu wujud wajib, wujud mungkin dan wujud mustahil. Wujud mungkin meliputi segala yang ada di dunia ini selain Allah SWT, keberadaan wujud mungkin selalu bergantung pada adanya wujud wajib, karena tanpa adanya wujud wajib, maka akan terjadi daur dan tasalsul, dan hal ini jelas salah dan mustahil adanya. Teori inilah yang digunakan Ibnu Sina dalam pembuktian keberadaan Tuhan.
            Jadi perpedaan paham antara al-Kindi dan Ibnu Sina dalam ihwal pembuktian keberadaan Tuhan tampak jelas disini. Al-Kindi memulai pembuktianNya dari keberadaan makhluk sedangkan Ibnu Sina memulainya dari keberadaan (kholiq) Tuhan itu sendiri. Masing-masing dari teori pembuktian keberadaan Tuhan antara keduanya ini, menurut penulis memiliki kelebihan masing-masing, meski tampak bahwa pemaparan Ibnu Sina lebih lengkap dan lebih detail dari apa yang dipaparkan oleh al-Kindi, hal ini sebenarnya bukanlah sebuah kekurangan, karena Ibnu Sina terlahir setelah al-Kindi, jadi sudah sewajarnya hal tersebut terjadi. Argumentasi dari keduanya merupakan argumentasi-argumentasi yang cukup hebat dan dapat menjadi pintu baru dalam perkembangan filsafat di dunia Islam di masanya hingga saat ini. Karena dari pemikiran-pemikiran merekalah pintu filsafat dalam dunia Islam mulai terbuka dan menjadi sumbangan yang cukup besar dan sangat berharga bagi perkembangan filsafat di dunia Islam hingga saat ini. 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Abdullah al Thiyar, al Falsafah al Islamiyah, ‘Ardhun wa Naqdun, Diktat Azhar. (Kairo. 2013)
Al-Kindi, Al falsafah al Ula, Dalam Abdul Hadi Abu Riddah (ed). Rasail al Kindi al Falsafiyah, (al I’timad; Mesir 1850)
_______, Fi Wahdaniyah Allah wa Tanahi Jirm al-Alam, Dalam Abu Riddah (ed) Rasail al Kindi al Falsafiyah, (al I’timad; Mesir 1850)
Anshori, Subkhan. Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan, (Pustaka Azhar; Kediri. 2011)
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam (Sebuah Peta Kronologis), (Mizan; Bandung. 2001)
George N. Atiyeh, al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung; Pustaka 1983)
Husein Marwah, al Naz’at al Maddiyah fi al-Falsafah al Arobiyah al Islamiyah (al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina), (Dar el Farabi; Beirut. 2002)
Ibnu Sina, Al-Syifa (Ilahiyat), Jild 1&2, Edt. Ibrahim Madkur, (Wazaroh al Tsaqofah al Qaumi; Kairo. 1960)
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius. Menyelami Hakekat Tuhan, Alam dan Manusia (Erlangga; Jakarta, 2007)
Khan, Ali Mahdi. Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar ke Gerbang Pemikiran), (Nuansa; Bandung. 2014)
Saleh, Khudori. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, (Ar-Ruzz Mrdia; Jogjakarta 2014)
T. J. De Boer, History of Philosophy in Islam. Tarj. Muhammad Abdul Hadi Abu Riddah, Tarikh Falsafah Fi al Islam, (Al-Markaz al Qoumi li al-Tarjamah; Kairo. 2010)
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Cet 1, (PT Grafindo Persada; Jakarta. 2004)



[1] Abdul Mukti Bayumi, Madkhol ila al-Dirasah al-Islamiyah, Diktat Azhar, 1998. 87
[2] Al-Kindi, Abu Yusuf, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, jild 1, Kairo 1950. 92
[3] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, (Bandung; Nuansa, 2004). 71
[4] Ibid., 77
[5] Buku ini bersama 23 makalah al-Kindi lainnya telah diterbitkan dan diedit oleh M abdul al Hadi Abu Riddah, dengan judul Rasa’il al Kindi al Falsafiyah. 2 jilid (Mesir: al I’timad. 1950).
[6] Dr. HA. Khudori Saleh M.Ag, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Ar-Ruzz Media; Yogyakarta 2014). 87
[7] George N. Atiyeh, al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung; Pustaka 1983). 43
[8] Husein Marwah, al Naz’at al Maddiyah fi al-Falsafah al Arobiyah al Islamiyah (al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina), (Beirut; Dar el Farabi. 2002). 83
[9] M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan, (Pustaka Azhar; Kediri 2011). 35
[10] T. J. De Boer, History of Philosophy in Islam. Tarj. Muhammad Abdul Hadi Abu Riddah, Tarikh Falsafah Fi al Islam, (Al-Markaz al Qoumi li al-Tarjamah; Kairo. 2010), 197
[11] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam….., 49
[12] Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius. Menyelami Hakekat Tuhan, Alam dan Manusia (Jakarta; Erlangga, 2007), 128
[13] Yaitu sesuatu yang tidak mungkin terjadi (mustahil)
[14] Misal, matahari menciptakan bulan dan bulan menciptakan matahari
[15] Ahmad Abdullah al Thiyar, al Falsafah al Islamiyah, ‘Ardhun wa Naqdun, Diktat Azhar. (Kairo; 2013). 71
[16] Al-Kindi, Fi Hudud al Asya’ wa Rusumuha, dalam Abu Riddah, Rasail. 174
[17] Atiyeh, Al-Kindi…., 88
[18] Khudori, Filsafat Islam…., 103
[19] A. Khudori Saleh, Titik Temu Agama dan Filsafat, (UN Press; Malang 2011)
[20] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam (Sebuah Peta Kronologis), (Mizan Media Utama; Bandung 2001). 56  
[21] Kitab karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang berisikan tentang uraian filsafat dengan segala aspeknya. As-Syifa terdiri dari 10 jilid yang membahas tentang fisika, metafisika, matematika dan logika.
[22] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam….., 57. Lihat juga asy-Syifa (Ilahiyah), I. 60 dst
[23] Jika dikatakan bahwa esensi (mahiyah) sesuatu itu eksis, baik secara nyata ataupun di alam pikiran, niscaya perkataan kita ini bermakna. Dan sebaliknya, jika kita katakana bahwa esensi sesuatu itu adalah istilah esensi itu sendiri, niscaya perkataan kita ini sama sekali tidak bermakna. Dengan kata lain wujud atau eksistensi adalah akar kuadrat yang membatasi esensi sesuatu.
[24] Ketidakeksisan sesuatu mau tak mau sebenarnya merujuk pada fakta tertentu, yang paling tidak eksis di alam pikiran manusia. Sebab, sesuatu yang mutlak tidak eksis mustahil dapat dinyatakan sebagai ungkapan. Bahkan, disaat kita menyangkal ketidakeksisan sesuatu, sangkalan itu tetaplah mempunyai makna eksistensial dalam pikiran kita.
[25]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Cet 1, (PT Grafindo Persada; Jakarta. 2004), 96.
[26] Yaitu wajib al wujud yang wujudnya ada dengan zat Nya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada.
[27] Wujudnya itu terkait dengan adanya sesuatu yang lain di luar zat nya.
[28] Ali Mahdi, Dasar-Dasar Filsafat Islam…, 84
[29] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam…., 59
[30] Kebaikan murni berarti bahwa Dia adalah dambaan tertinggi dan sumber kesempurnaan bagi segenap entitas (makhluk) yang meng-ada melalui emanasi dan karuniaNya. Kebenaran murni berarti bahwa Dia wujud yang Maha benar, Maha kekal, Maha layak adanya. Dan akal murni berarti bahwa Dia terbebas dari semua kenistaan materil.
[31] An najat. 283

Postingan terkait: