Panenteisme Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Imanensi dan Transendensi Tuhan


Pendahuluan
Upaya untuk mengenal Tuhan pada akhirnya bermuara pada pemahaman posisi Tuhan sebagai sesuatu yang transenden atau yang imanen atau keduanya. Pengertian transenden pada pokoknya adalah menyatakan hubungan antara Tuhan di satu pihak yang dihayati dan manusia di pihak lain sebagai penghayat Tuhan. Di sini antara keduanya terdapat jarak Transenden dalam artian ini dilepaskan atau   dibebaskan (dengan bahsa kaum Mu’tazilah “ditanzihkan” disucikan) dari sifat-sifat duniawi yang terbatas. Tuhan sebagai Yang Transenden dan dinyatakan berada jauh di luar alam adalah Dzat Yang Maha Suci dan sering mengambil bentuk dalam pemikiran manusia sebagai sesuatu yang impersonal.[1]
Adapun pengertian Tuhan sebagai Yang Imanen adalah bahwa Tuhan berada dalam alam, berkebalikan dari yang pertama tadi. Dalam artian ini maka antara Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaan-Nya berada dalam satu kesatuan. Antara Tuhan dengan alam tidak terpisah. Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhan dan kesatuan yang tidak pernah berubah. Ajaran ini dekat pada aliran panteisme.[2]
Sementara Tuhan sebagai yang transenden sekaligus imanen merupakan dua konsep yang saling menyempurnakan. Istilah ini sering disebut sebagai panenteisme.[3] Tuhan sebagai Yang Transenden berada jauh di luar jangkauan manusia sehingga dirasakan tidak lagi berhubungan dengan ciptaan-Nya, tidak lagi mengasihi hamba-Nya. Ini membuat posisi Tuhan seperti yang digambarkan pengikut Deisme, Tuhan tidak campur tangan dan tidak peduli dengan alam ini. Sementara itu Tuhan sebagai yang Imanen memang menempatkan Tuhan dekat dengan ciptaan-Nya, bahkan bisa dipahami sebagai semua Tuhan, sebagaimana yang dilkuti kaum panteisme.
Yang ingin diraih dan cara melihat Tuhan baik sebagai Yang Transenden maupun yang Imanen adalah kedekatan manusia dengan penciptanya sehingga Tuhan bukan lagi sesuatu yang asing dan jauh dari hamba-Nya, tetapi juga diharapkan tidak sampai pada personifikasi dan materialisasi wujud Tuhan. Untuk itu digunakanlah alam sebagai sarana-Nya.
Konsepi yang terakhir itulah yang bakal diuraikan dalam makalah ini, sebagai upaya menyuguhkan konsepi Ketuhanan yang komprehensif sebagai renungan dan jalan tindakan yang lebih bermakna.
Geneologi dan Makna Panenteisme
Karl Friedrich Christian Krause merupakan filsuf yang pertama kali memperkenalkan istilah panenteisme. Secara bahasa, Panenteisme berasal dari kata Yunani “pan” berarti semua, “en” berarti di dalam dan “theos” yang berarti Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di dalam Tuhan (all-in-God).[4]
Panenteisme merujuk pada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta berada dalam Tuhan. Panenteisme memposisikan Tuhan sebagai suatu kekuatan yang tetap ada di dalam semua ciptaan, dan teramat kuasa atas semesta. Bagi Krause, sebagai seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali sebagai sistem pemikiran filosofis dan religius pada tahun 1828.[5]
Penganut panenteisme menganggap bahwa realitas Tuhan sebagai sesuatu yang transenden sekaligus imanen, Tuhan ada melampaui semua makhluk, namun semua tetap di dalam Tuhan. Gagasan ini telah lama ada berabad-abad sebelumnya di kalangan agama-agama dari berbagai tradisi mistik. Gagasan ini diawali dari Hindu Kuno, yaitu Upanishads 2800 tahun yang lalu, khususnya Brihadaranyaka dan Chandogya Upanishads.[6]
 Di Barat, gagasan ini dipelopori oleh panenteis Hellenis seperti Plotinus (205-70 M.) dan pengikutnya Neo-Platonisme. John Scottus Eriugena (800-877), kepala Palatine Akademi, merupakan panenteis Kristen sekitar abad IX. Para sufi awal di kalangan Muslim seperti Abu Yazid Albustomi dan al-Hallaj, Ibn ’Arabi dan Jalal al-Din Rumi termasuk para tokoh yang masuk dalam katagori ini. Begitu pula di kalangan Yahudi muncul di tangan Maimonides dan mistikus Kabbalah seperti Musa dan Cordovero Ishak Luria adalah panenteis.
Sementara itu, pandangan panenteisme di abad XX dan XXI dipengaruhi oleh gagasan teologi proses, yang cenderung menolak transendensi Tuhan, kemahakuasaan, dan kemahatahuan. Para ilmuwan, kosmolog, filosof, dan Teolog di Barat sangat tertarik dengan panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan bahwa Tuhan tidak lain alam itu sendiri, setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. Tapi hanya tersedia bagi pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa dalam cahaya terbuka "empat sisi" logika dari tradisi spiritual Timur, bahwa Tuhan adalah alam sekaligus melampaui alam, sebagaimana Brockelman menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah alam ataupun tidak melampaui alam. [7]
Panenteisme memahami Tuhan dan dunia saling terkait satu sama lain. Tuhan punya relasi timbal balik dengan dunia, dunia berada di dalam Tuhan, dan Tuhan hadir berada di dalam dunia. Gagasan ini menawarkan alternatif baru pemikiran yang semakin populer melalui sisntesis pemikiran teisme tradisional dan panteisme. Panenteisme berusaha untuk menghindari gagasan mengisolasi Tuhan dari dunia sebagamana dipahami teisme tradisional dan gagasan yang meleburkan Tuhan dan dengan dunia sebagaimana panteisme.
Konsep Para Filsuf tentang Panenteisme
            Dalam perbincangan dunia akademiki, dunia setidaknya dibagi menjadi dua, yakni Barat dan Timur. Pembagian ini sebenarnya merujuk pada peradaban keduanya, sebagai sebuah bangsa yang besar dari proses yang panjang. Salah satu hal penting yang memberikan peran besar bagi perkembangan dunia Barat dan Timur adalah agama mereka. Barat merupakan representasi dari agama Kristen, sedangkan dunia Timur adalah representasi dari agama Islam. Pada konteks ini, saya akan menguraikan pandangan para filsuf di Barat dan Timur tentang Panteisme, sebuah paham ketuhanan yang menjadi jembatan bagi transendensi dan imanensi Tuhan.
1.    Alfred North Whitehead dari Filsuf Barat
            Alfred North Whitehead sebagai tokoh terkemuka dalam aliran “Filsafat Proses” atau seperti yang disebutnya sendiri sebagai “Filsafat Organisme”.[8] Buah pemikirannya banyak berpengaruh di dunia, terutama di Amerika Serikat dan di beberapa negara di Eropa. Whitehead banyak menulis buku  dalam bidang filsafat dan teologi. Salah satu pemikirannya yang sangat terkenal adalah konsepsi Panenteismenya sebagai jalan tengah mengurai perdebatan panjang antara pemikir transendensi dan imanensi Tuhan.
Dalam pandangan Whitehead, Tuhan adalah wujud asli dan prinsip dasar dari kreativitas, sekaligus merupakan prinsip dasar konkresi atau proses munculnya satu kesatuan aktual dari banyak satuan aktual lain yang menjadi data warisan masa lalu. Tuhan menjadi muasal dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Dalam hal ini, Tuhan merupakan perwujudan perdana dari kreativitas dan sekaligus sebagai pembatas dan pemberi arah berlangsungnya kreativitas tersebut.
Whitehead menjelaskan bahwa sebagai “pembatas asali” dari satuan-satuan aktual, eksistensi Tuhan adalah irrasional kekal. Pokok soal dalam hal ini adalah Tuhan tidak ditentukan secara metafisis meskipun ditentukan secara kategoris. Dengan demikian, Tuhan bukanlah merupakan “kategori eksistensi” yang konkret, tetapi Dia menjadi dasar dari semua yang konkret. Tuhan tidak bisa dipahami dengan pikiran, sebab secara hakiki, Tuhan adalah dasar dari rasionalitas.[9]
Dalam menguraikan pandangan Panteismenya, Whitehead membagi dua pola dalam memandang kenyataan Tuhan. Kedua pola tersebut adalah pola aktual dan pola potensial. Pola aktual adalah alam semesta yang secara kodrati berubah secara total, dan pola potensial adalah dunia abadi (eternal) yang tidak mengalami perubahan sebagaimana gagasan ide dalam filsafat Plato. Dengan demikian, Whitehead berpenadapat bahwa terdapat dua aspek dalam “kategori eksistensi” Tuhan, yaitu aspek primordial dan aspek konsekuen.[10]
Dalam aspek primordialnya, Tuhan adalah “kategori eksistensi” yang pada mulanya memikirkan segala kemungkinan yang dapat diwujudkan dalam seluruh alam semesta. Dalam hal ini, Tuhan merupakan realitas konseptual yang tidak terbatas dari kemungkinan-kemungkinan absolut. Keberadaannya bukan sebagai ciptaan, tetapi ia berada bersama semua ciptaan. Tuhan memberi wujud konseptual kepada semua “objek abadi” dengan memberi segala macam bentuk kemungkinan yang bisa berwujud untuk semua satuan aktual. Oleh karena itu, Tuhan dalam aspeknya yang primordial ini menjadi sumber segala cita-cita atau tujuan akhir dari semua proses konkresi untuk perwujudan diri satu-satuan aktual.[11]
Sedangkan aspek Tuhan yang konsekuen menurut Whitehead, adalah suatau kesadaran yang merupakan realisasi dunia aktual dalam hakekat kesatuan dan melalui transformasi kebijaksanannya. Jika aspek primordial adalah konseptual, maka aspek konsekuen ini adalah susunan perasaan fisik Tuhan pada aspek primordialnya itu.  Susunan itu terdiri dari berbagai unsur dan realisasi diri secara individu. Dalam hal ini, kebersamaan dipandang sama dengan kesatuan: seperti “satu-banyak” (much one) fakta perantara yang berkembang tanpa melebihi dirinya.[12]
Relasi Tuhan dengan dunia Menurut Whitehead bahwa Tuhan dan dunia, secara aktual tidak dapat dipisahkan. Dunia adalah hakekat kemuliaan Tuhan yang terjadi dari banyak fakta dasariah dan turunan pengalaman atau peristiwa aktual. Dengan kata lain, dunia adalah urutan atomistik dari kejadian-kejadian. Ia berada dalam semua proses mengalirnya benda-benda dan merupakan generalisasi awal yang tidak jelas, tidak disistematisasikan, hampir tidak dapat dianalisa, dan dihasilkan oleh intuisi manusia. Sebab itu, perubahan terus-menerus dari
benda-benda adalah suatu generalisasi dasariah yang harus disusun di dalam sistem filsafat kita.
Dalam kepaduan dunia dengan Tuhan, menurut Whitehead, mereka berada dalam posisi yang melengkapi. Dalam hal ini, Tuhan merupakan dasar yang tidak terbatas dari semua yang bersifat mental dan kesatuan dari visi mencari keragaman fisis. Sedangkan dunia adalah berbagai batasan-batasan dan aktualitas- aktualitas yang mencari kesempurnaan suatu kesatuan. Baik dunia maupun Tuhan, berada dalam lingkup metafisika dasariah dan pengembangan ciptaan ke arah pembaruan. Kedua hal ini merupakan instrumen kebaruan bagi yang lain. Tuhan digambarkan Whitehead sebagai suatu daya dinamis yang secara imanen berfungsi dalam pergulatan hidup manusia di dunia, bukannya sebagai individu yang serba transenden, sempurna, tinggi, jauh dan mencukupi dirinya sendiri. Tuhan juga disebutnya sebagai penyair dunia, yang dengan kesabarannya memimpin dunia dengan visi kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
2.    Muhammad Iqbal dari Filsuf Timur
Muhammad Iqbal adalah nama yang melegenda di lingkungan penyair dan pemikiran di dunia Islam.[13] Muhammad Iqbal adalah seorang filsuf dan penyair yang pikiran-pikirannya menginspirasi gerakan pembaruan Islam. Ia merupakan penyair yang peka dan sarjana yang memilki wawasan budaya filosofis yang luas. Ia mengambil pandangan filosofis Barat dan menyesuaikannya dengan Islam.[14]
Pandangan Iqbal yang cemerlang terutama tentang metafisika. Dalam pemikiran ontologinya, Iqbal menyebut eksistensi Realitas Absolut, sebagai realitas yang sebenarnya dalam hubungannya dengan manusia dan alam. Untuk sampai mengetahui dan memahami Wujud Mutlak, Iqbal bertitik tolak dari intuisi tentang wujud ego manusia yang bergerak pada Realitas Wujud Ego Mutlak. Hanya intuisi, kata Iqbal, yang dapat mengungkap Realitas Mutlak atau Wujud Super Ego yang sebenarnya. Hal ini karena kodrat Realitas yang sesungguhnya adalah spiritual.
Realitas Mutlak sebagai Ego oleh al-Qur’an disebut dengan nama Allah menurut Iqbal. Tuhan menurut Iqbal adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Tuhan merupakan segalanya dalam kehidupan manusia. Tuhan adalah muasal dari segenap alama semsta yang kita saksiakan maupun yang tidak dapat kita jangkau secara fisik. Maka, Tuhan bukanlah ego, melainkan Ego Mutlak. Tuhan bersifat mutlak, karena meliputi segalanya dan tidak ada sesuatupun di luar Dia.
Pada ujung perjalanan hidupnya, Iqbal semakin menampakkan pemikirannya yang orisinal mengenai Tuhan sebagai hakikat keseluruhan dari segala kreativitas, karena Tuhan sendiri selalu kreatif memberikan ilham tentang filsafat perubahan, tindakan, aksi yang lebih dikenal dengan istilah Islam adalah amal.[15]
Iqbal memandang secara seimbang bahwa pengalaman panteistik manusia dengan Tuhan tidak membuat lebur ego manusia, justru ego manusia semakin otentik. Filsafat ketuhanan Iqbal justru lebih memperkuat eksistensi ego manusia sehingga pemikirannya lebih bersifat panenteisme. Panenteisme merupakan konsep ketuhanan yang menitik beratkan pada semua di dalam Tuhan, bukan semua adalah Tuhan sebagaimana panteisme.[16]
Bagi Iqbal, alam semesta bukan sebagai suatu produk yang sudah selesai dan lengkap, tetapi sedang berada dalam tahaptahap penyempurnaan. Penciptaan alam bukanlah penciptaan yang final. Menurut Iqbal, penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sedang manusia berada di dalam turut ambil bagian dalam proses tersebut sehingga akan selalu berproses dengan menciptakan situasi-situasi dan produk-produk baru. Alam semesta sebagai kumpulan ego-ego menurut Iqbal merupakan wadah keinginan-keinginan untuk untuk selalu melakukan perubahan-perubahan yang baru dalam kehidupan ini.[17]
Alam semesta sesungguhnya selalu berada dalam becoming (menjadi). Ini disebabkan adanya aktivitas ego-ego yang berkelanjutan dalam alam sehingga kehidupan dalam alam selalu merupakan suatu perjalanan tanpa akhir. Alam seperti yang kita lihat, menurut Iqbal, bukan benda materi murni yang menempati ruang hampa. Alam semesta merupakan struktur-struktur peristiwa, model perilaku yang sistematis dan bersifat organis.[18] Alam merupakan perilaku Diri Tuhan (Ego Absolut) seperti halnya karakter untuk ego manusia.
Iqbal membandingkan watak ego manusia dengan watak alam. Keteraturan alam ini merupakan perilaku Allah dengan merujuk pada al-Qur’an bahwa: pertama, alam semesta diciptakan bersifat teleologis atau bukan suatu ciptaan yang main-main; kedua, Alam semesta bukan bersifat tertutup atau penciptaan yang sudah selesai dan alam semesta merupakan ciptaan yang tetap, tetapi masih bisa berubah. Ketiga, Alam semesta tercipta dengan teratur, tertib dengan perjalanan waktu yang teratur dan tepat yang dicontohkan oleh al-Qur’an melalui pergantian siang dan malam sebagai salah satu tanda (ayat) kebesaran Tuhan. Keempat, Alam semesta dengan ruang dan waktu yang terhampar luas ini diciptakan untuk kepentingan manusia dalam rangka beribadah dan merenungkan anda-tanda kebesaranNya.[19]
Dalam pandangan Iqbal, hal ini merupakan bukti bahwa alam semesta merupakan fakta yang aktual. Tuhan menurut Iqbal mencipta secara tak terbatas dan kreatif terus menerus di mana posisi manusia bukanlah boneka pasif bagi kehendak Tuhan melainkan co creator yang aktif berpartisipasi dalam penciptaan kreatif Tuhan. Proses penciptaan oleh Tuhan menurut Iqbal bukan seperti proses penciptaan sepatu yang kreativitasnya berada pada level paling rendah. Proses penciptaan oleh Tuhan dapat diasosiasikan dengan creative genius seorang komposer atau penyair. Manusia sebagai co creator pilihan Tuhan berbagi creative genius Tuhan untuk direalisasikan dalam dunia atau sederhananya: manusia diberkahi Tuhan kebebasan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam proses kreatif penciptaan-Nya. Setiap proses berkarya yang dilakukan manusia pada dasarnya merupakan bentuk partisipasi manusia dalam karya-Nya.[20]
Berangkat dari tersebut, maka Iqbal merupakan pengikut dari panenteisme, yakni paham ketuhanan yang menjembatani imanensi dan transendensi Tuhan, yang seringkali menjadi perdebatan para teolog dan filsuf, mengingkat Tuhan adalah segalanya di dalam kehidupan manusia. Panenteisme menjadi jalan tengah bagi kebuntuan perdebatan para teolog dan filsuf, karena sesungguhnya Tuhan adalah pencita yang tetap mengambil bagian dari sejarah perjalanan penciptannya, karena seperti bahasa Iqbal dunia ini adalah proses yang tak final, manusia diberikan kuasa memainkan peran, sedangkan keputusan akhirnya berada di tangan Tuhan.
           
Penutup
            Transendensi dan imanensi Tuhan merupakan perdebatan panjang yang tak pernah selesai. Ia menjadi ruang bagi penganut agama untuk terus bertafakur memahami Tuhan dan semesta kehidupan. Hanya, kehadiran paham ketuhanan panenteisme yang menjadi jalan tengah bagi transendensi dan imanensi menarik menjadin perhatian kita bersama. Karena dalam paham ini, Tuhan itu imanen sekaligus transenden. Tuhan pada bagian tertentu mengambil jarak dari dunia yang diciptakan, namun pada saat yang lain mengambil bagian di dalamnya. Karena dunia yang tak pernah selesai ini, tak mungkin dibiarkan oleh Tuhan. Ia tetap mengambil peran, meski juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk memainkan perah yang diberikan oleh diri Nya.
            Dalam perdebatan panjang para filsuf, terutama di dunia Islam. Paham panenteisme saya kira lebih pas menggambarkan konsepsi teologi dalam Islam. Karena dalam banyak teks nash, Tuhan pada satu sisi mengambil peran, namun di sisi yang lain memberikan kebebasan pada alam dan manusia, seperti ketentuan hukum alam serta kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya. Karena itulah, ada tanggungjawab yang dibeban oleh Tuhan kepada manusia, yang ujungnya harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapanNya pada hari kiamat.

Daftar Pustaka
Cooper, John W. Panenteisme: The Other God of the Philosophers. Baker Academic: 2006.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy terj. Mulyadhi Kartanegera, Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Hartshorne, Charles dan William Reese. Philosophers Speak of God. Chicago-London: The University of Chicago Press, 1976.
Iqbal, Muhammad. The Recontruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
______________. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam terj. Ali Audah, Taufiq Ismail, & Mohammad Goenawan. Jakarta: Tintamos, 1966.
Istiqlalart.  “Aliran-Aliran Filsafat”. www.istiqlalart.wordpress.com, diakses pada tanggal 8 Juni 2016.
Magniz-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
R. Totten. “Panenteisme”. www.geocities.com, diakses pada tanggal 6 Juni 2016.
Ray Driffin, Dafid. Tuhan & Agama Dalam Dunia Post Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Sayyidan, K. G. Iqbal’s Educational Philosophy. Lahore: Shaikh Muhammad Asraf, 1954.
Smith, Linda & William Raeper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sudarminta, J. & S.P. Lili Thahjadi. Dunia, Manusia, dan Tuhan: Ontologi Pencerahan Filsafat dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisisu, 2008.
Whitehead, Alfred North. “Process and Reality”, dalam Philosophers Speak of God, ed. Charles Hartshorne dan William L. Reese. Chicago: Midway Reprint-University of Chicago, 1976.
___________________. Science & The Modern World. Middlesex: Penguin Books Limited, 1938.

Postingan terkait: