Ta'arud Hadith


PENDAHULUAN
Sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an adalah hadis. Hal ini disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Hadis untuk tampil dalam bentuknya yang sempurna terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadith benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Dikatakan demikian, karena dalam sejarah umat Islam (dari dulu sampai sekarang) terdapat kalangan yang hanya berpegang teguh kepada Al Qur’an dalam menjalankan agamanya (yang disebut inkār al-Sunnah).[1]
Hadis diterima sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan keniscayaan dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan al-Qur’an serta keterbatasan manusia dalam memahami petunjuk al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu yang Qadīm dan menjangkau seluruh masa kehidupan manusia, maka al-Qur’an hanya berbicara dalam hal tertentu yang dijelaskan secara rinci. Terhadap ayat al-Qur’an yang masih global, Nabi Muhammad mendapat tugas untuk menjelaskan dan merinci tujuannya.
Masalah umat dan tantangan yang dihadapi oleh Nabi yang tidak diketemukan jawabannya dalam al-Qur’an, maka Nabi mendapat legitimasi untuk menyelesaikan dan menjawab pertanyaan tersebut dan umat berkewajiban mengikutinya. Kewajiban tersebut merupakan amanat yang terdapat dalam al-Qur’an sebagaimana yang tersirat dalam ayat :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[2]
 PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ta’arud Hadits
Kata al-ta’arud (التَّعَارُضْ) secara etimologi terbentuk dari kata dasar arada yang berarti menghalangi, mencegah atau membandingi. Asal arti kata ini bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang- orang yang melintasi sebuah jalan, sehingga dalam hal ini kata al-i’tirad (الْإِعْتِرَاض) diartikan mencegah atau menghalangi. Sedangkan kata al-ta’arud (التَّعَارُضْ) mempunyai arti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi. Dari paparan tersebut, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa kata al-ta’arud memberikan pengertian pertentangan satu dengan yang lainnya.
Secara terminologis, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi Ta’arud al-Adillah, di antaranya :
a.         Menurut Imam al-Shaukani”
التَّعَارُضُ هُوَ التَّدْفَعَيْنِ الدَّلِيْلَيْنِ لَا يُمْكِنُ إِجْتَمَعَهُمَا
“pertentangan dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.”[3]

b.        Menurut Kamal Ibnu al-Humam dan al-Taftazani, ta’arud al- Adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
c.         Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-Adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil yang lainnya dan kedua hukum tersebut berada dalam satu derajat.
d.        Menurut al- Asnawi:
تَقاَبِلُ الْعَمْرَيْنِ صاَحِبَهُ مُقْتَضَى مِنْهُمَا كُلُّ يَمْنَعُ
“Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing- masing pernyataannya saling bertentangan.”

Jadi ta’arud al-Adillah mempunyai arti perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain secara dzahir pada derajat yang sama, sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara hadis dengan hadis yang lain, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir yang lain, hadis ahad dengan dengan hadis ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan itu tidak akan terjadi bila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, karena pada hakikatnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan. 
Dari beberapa pendapat diatas, maka penulis sepakat dengan pendapat para ulama tentang pengertian ta’arud hadits yang dapat diartikan dua hadits atau lebih yang secara lahiriah tampak bertentangan karena saling mencegah dalam pernyataannya.

B.       Contoh- contoh Hadits Ta’arud dan Pemecahannya
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara' dan metode istimbat hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti yang memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dianggap saling bertentangan atau ta’arud (misalnya, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara atau ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil- dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara' (al-Qur'an dan Hadits) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan di antaranya.
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili, mengemukakan bahwa adanya kontradiksi dalam dalil itu hanya dalam pandangan mujtahid, mungkin karena pandangan yang berbeda, atau karena faktor kekuatan logikanya, dan bukan suatu kontradiksi yang aktual karena tidak mungkin Allah SWT menurunkan aturan yang kontradiksi satu sama lain. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah (QS. Al- Najm: 3- 4).
 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”

Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafa disebutkan bahwa ta'arud (dalil- dalil yang dapat bertentangan) dapat terjadi pada:
1.      Pertentangan antara dua dalil qat'i
Yang dimaksud dengan dalil qat'i di sini adalah dalil-dalil syara' yang bersifat pasti, seperti al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir (antara ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an, antara ayat al-Qur'an dengan hadits mutawatir dan antara hadits-hadits mutawatir). Contoh hadits yang berbunyi:

حَدَّثْنَا ابْنُ بَشَار حَدَّثْنَا يَحْيَى حَدَّثْنَا جَعْفَرْ عَنْ ابِي عُثْمَانْ عَنْ ابِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ أُنَادِيَ أَنَّهُ (لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِقِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ) فَمَا زَادَ.[4]
“Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al- Fatihah.” HR. Abu Dawud

Dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tabrani dari Abi Said al- Khudri.[5]

حَدَّثْنَا عَلِي بِنْ مُحَمَّدَحَدَّثْنَا عُبَيْدِ الله بِنْ مُوْسَي عَنِ الْحَسَنْ بِنْ صَالِح عَنْ جَابِر عَنْ أبِى الزُّبَيْر عَنْ جَابِر قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامُ فَقِرَاءَةُ الْلإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ.[6]
“Siapapun yang shalat jama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”
Maksud hadis pertama yakni meniadakan keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya shalat. Sedangkan hadis yang kedua menetapkan sah tidaknya shalat.
2.      Pertentangan antara dua dalil dzanni yaitu pertentangan antara hadits-hadits ahad:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى حِيْنَ انْكَشَفَتِ الشَّمْسُ مِثْلُ صَلاَتَنَا يَرْكَعُ وَ يَسْجُدُ
“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku’ dan sujud sebagaimana shalat kita pada saat terjadi gerhana matahari.”
Dengan hadis:
اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَهَرَ فىِ صَلاَةِ الْكُسُوْفِ بِقِرَاءَتِهِ وَ صَلَّى رَكَعَاتٍ فىِ رَكْعَتَيْنِ أَرْبَعُ سَجَدَاتٍ
“Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud.”
Hadits yang pertama menunjukkan bahwa cara melakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku’ dan satu kali berdiri (i’tidal) seperti halnya sahalat fardhu. Sedangkan hadis yang kedua menunjukkan cara melakukan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (i’tidal) dalam setiap raka’at.
Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadis yang kedua dengan alasan bahwa hadis tersebuat didukung banyak sanad, termasuk riwayar Bukhari Muslim dalam kitab sahihnya. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadis ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali- kali, maka boleh dilaksanakan dengan salah satu cara seperti halnya isi hadis di atas.
Pertentangan hadits yang terjadi memberikan pernyataan Muhammad Abu Zahrah, yang berpendapat bahwa terjadinya pertentangan dalil itu terlepas dari 3 kemungkinan, seperti:
1.    Karena memang secara tekstual terlihat adanya kontradiksi dalil.
2.    Karena adanya kesulitan mengkompromikan dua dalil yang tampak kontradiksi.
3.    Karena adanya kesalahan anggapan mujtahid terhadap satu dalil yang sebetulnya bukan dalil.
Pertentangan itu kadang kala juga disebabkan karena salah anggapan, bahwa dua nas menunjukan dua hukum yang bertentangan. Padahal pada hakekatnya tidak terjadi pertentangan hukum dalam dua nas itu, akan tetapi masing-masing nas mempunyai arah yang berbeda. Dengan demikian pertentangan itu terletak pada akal (kemampuan pemahaman) seorang mujtahid, tidak terletak pada nas maupun hukum yang terkandung di dalamya.
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para ulama ushul fiqh bertolak pada satu prinsip yang dirumuskan dalam kaidah: “mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu di antaranya”.
Mengutip dari Amir Syarifudin bahwa ada tiga tahap penyelesaian yang tergambar dalam kaidah itu:
1.    Sedapat mungkin kedua dalil itu dapat digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan.
2.    Satu diantaranya diamalkan sedangkan yang satu lagi ditinggalkan.
3.    Sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.[7]
Ahli usul mengemukakan pendapat tentang cara menyelesaikan ta’arud al-adillah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Menuurut Hanafiyah-Hanabilah
Apabila tampak pertentangan antara dua buah nas, hendaklah membatalkan yang terdahulu dari pada kemudian, jika dapat diketahui makna yang pertama, jika tidak dapat diketahui hendaklah ditarjih, salah satunya. Jika tidak mungkin ditarjih salah satunya, hendaklah dikumpulkan dan dikompromikan (al-jam’u wa al- taufiq) antara keduanya, jika inipun tidak dapat dilakukan maka hendaklah tasaqut.
2.    Menurut Malikiyah-Syafi’iyah-Zahiriyah
Apabila bertentangan dua buah nas, maka cara pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan (al-jam’u) dan kemudian dikompromikan (al-taufiq). Apabila pengkompromian tidak bisa dilakukan maka hendaklah tarjih salah satunya, berdasarkan dalil yang mendukungnya, apabila metode ini tidak dapat diamalkan, maka dengan menasakh, dalil yang datang dahulu (tentu dengan mengetahui sejarahnya), jika masih gagal, maka mujtahid harus tasaqt dari kedua dalil itu, kemudian berijtihad dengan dalil yang kwalitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut. [8]
3.     Abdul Wahab Khalaf
Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah untuk mengumpulkan (al-jam’u) dan mengkompromikan (al-taufiq) antara keduanya. Jika tidak dapat dikompromikan, hendaklah berijtihad untuk mentarjihkan salah satunya, jika tidak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui makna yang datang dahulu dan makna kemudian, maka hendaklah yang kedua dipandang nasakh yang pertama dan kedua mansukh, jika tidak dapat diketahui juga hendaklah tawaquf.
Tampak jelas, ahli usul berusaha keras untuk mencari jalan keluar terhadap adanya dalil yang terlihat kontradiksi, walaupun yang perioritas awal, ahli usul masih berbeda. Dalam menghilangkan ta'arud al-Hadits, para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut ini.
1.        Tarjih
Secara bahasa, kata at-tarjih (الترجيح) adalah bentuk masdar dari kata dasar (رجح) artinya mengunggulkan sesuatu dengan yang lebih condong padanya dan memenangkannya. Jika dikatakan (رجحت الشيىء) artinya adalah saya mengutamakan atau menguatkan sesuatu. Juga bisa berarti al-mizaan yarjuhu --bisa juga dibaca yarjahu (lebih berat hingga miring ke salah satu sisinya). [9]
Secara istilah, tarjih bermakna (تقديم المجتهد احد الدليلين المتعارضين على الاخر), yakni pengutamaan (mendahulukan) seorang mujtahid terhadap salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang dapat mengunggulkannya agar dapat dalil tersebut diamalkan.[10]
Tarjih hanya ada pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, dan tidak boleh terjadi pada dalil-dalil yang bersifat qath’i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara dalil-dalil yang qath’i.
Adapun Al-Amidi mendefinisikan tarjih sebagaimana berikut:

اقْتِرَانُ أَحَدَ الصَّالِحَيْنِ لِلدَّلَالَةِ عَلَى الْمَطْلُوْبِ مَعَ تَعَارُضُهُمَا ِبمَا يُوْجِبُ الْعَمَلِ بِهِ وَإِهْمَالِ الْأَخِرِ
“Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (lemah), karena dalil yang lemah tidak boleh diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut bersifat qat'i maupun dzanni. Wajib mengutamakan dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni yang saling bertentangan jika ada unsur yang mengutamakannya. Sebagaimana mereka lebih mengunggulkan hadith yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Tentang wajibnya mandi jinabah, sekalipun bukan karena telah melakukan coitus, yaitu hadith:

أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْجَبَّار بِنْ الْعلاء عَنْ سُفْيَان عَنْ عَبْدُ الرَّحْمن ابْن سَاعِد عَنْ ابي أَيُّوْب عَنْ النَّبِي صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.[11]
"Kewajiban mandi (besar) itu karena keluarnya air (sperma)".[12]

Alasan ditarjihnya hadis ini adalah karena istri-istri Nabi SAW. Lebih tahu terhadap perbuatan beliau daripada orang lain. Para ulama juga lebih mengutamakan hadith yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. Berikut ini:

Bahwasanya Nabi SAW. Pernah mandi jinabah pada pagi hari saat beliau berpuasa"

Daripada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“Bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: "Barangsiapa pada saat terbit fajar (pagi hari) dalam keadaan jinabah maka puasanya tidak sah".[13]
Adapun pentarjih-an hadis, para ahli al-Usul memberikan beberapa pertimbangan di dalamnya, meliputi:
a.    Tarjih berdasarkan keadaan perawi
o   Tarjih berdasarkan jumlah rawi
o   Tarjih berdasarkan keluhuran rawi
o   Tarjih berdasarkan kefaqihan rawi
o   Tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dalam bahasa Arab
o   Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam ilmu Fiqh dan Bahasa Arab
o   Tarjih berdasarkan kesempurnaan akidah rawi
o   Tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa
o   Tarjih berdasarkan seniortitas rawi
o   Tarjih berdasarkan ked}abit}an rawi
o   Tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqqah rawi
o   Tarjih berdasarkan nama rawi
o   Tarjih berdasarkan keadaan saat menerima hadith
o   Tarjih berdasarkan adanya hubungan langsung antara rawi dengan riwayatnya
o   Tarjih berdasarkan masa keislaman rawi
o   Tarjih berdasarkan keadaan riwayat
o   Tarjih berdasarkan cara penerimaan hadithTarjih berdasarkan kepribadian rawi
o   Tarjih berdasarkan cara (dasar) periwayatan
o   Tarjih berdasarkan pergaulan
b.    Tarjih berdasarkan usia periwayatan rawi
c.    Tarjih berdasarkan tata cara periwayatan
d.   Tarjih berdasarkan waktu periwayatan
e.    Tarjih berdasarkan redaksi hadith
f.     Tarjih berdasarkan kandungan hukum hadis
g.    Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal
e.    Jam'u (mengkompromikan)
a.    Definisinya adalah:
التَّوَقَّفُ بَيْنَ الدَّلِيْلَيْنِ الْمُتَعَارِضَيْنِ عَلى وَجْهِ يزيل تَعَارُضُهُمَا
“Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau dapat diamalkan secara bersama-sama)”.[14]
b.    Macam-macam jama’:
1.    Mentakhsis 'Am-nya
Dalam kitab "al-Minhaj" dan syarahnya, menurut madzab Syafi'iyah, apabila terjadi pertentangan antara lafad 'am dan khas, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khas  (khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-'amannya dan kekhasannya hanya terletak pada satu sisi saja.
Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khas}lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khas} berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khas.
Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh, hadis nabi:
Siapapun yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat.”
Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (makruh). Apabila ditinjau hadis pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya, hadis ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja, yaitu shalat qad}a' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadis kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadith kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadis pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.
2.    Mentaqyid mutlaq-nya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad mut}laq dapat dipahami secara muqayyad. Artinya, lafad mut}laq yang terdapat pada salah satu hadith yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadith satunya. Sebagaimana contoh hadith yang berarti:
“Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya rasulullah SAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu s}a' kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.”[15]

Bukhari juga meriwayatkan hadith lain tanpa menyebutkan lafad: “setiap muslim”. Turmudhi berkata,
Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap muslim.
Dalam kedua hadis tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadis pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadith kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadith kedua harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadith pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam.
f.Nasakh (Menggugurkan salah satunya)
Dengan menggunakan pertimbangan:
a.         Salah satu nas yang datang terakhir diketahui secara konkret sehingga dalil (hadis) yang terakhir bisa menasakh dalil (hadis) yang awal.
b.         Bila tidak dapat diketahui mana yang awal dan mana yang akhir maka dicarikan dalil pendukung bagi keduanya sehingga dapat diketahui kekuatan hukum diantara keduanya dan yang paling kuat dipilh.
c.          Memilih salah satunya dengan jalan mentarjihnya.

C.      Syarat-Syarat al-Ta'arud
Dr. Muhammad Wafa memberikan batasan-batasan tentang terjadinya al-Ta'arud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.        Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saloing berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
2.        Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
3.        Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
4.        Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
5.        Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur'an dengan hadith ahad, karena dari segi asal (thubut)-nya al-Qur'an adalah qat'i sedang hadith ahad zanni. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadith mutawatir harus harus lebih diutamakan, karena dari segi dalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nas dan zahir, karena nas penunjukannya bersifat qat'i  dan dhahir bersifat zanni. Karenanya nas harus lebih diutamakan daripada zahir.

KESIMPULAN 
Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ta'arudul hadits yang dapat dijadikan pelajaran bahwa ta'arud al- Hadits adalah dua hadits atau lebih yang secara lahiriah terlihat bertentangan dalam pernyataannya.
Pertentangan dalam dalil-dalil syara' tersebut pada hakekatnya tidak terjadi karena dalil-dalil tersebut datang dari Allah. Dalam Istimbath al-Hukm, seorang mujtahid membutuhkan penguasaan Ilm Mukhtalif al-Hadi wa Mushkiluh (Ilmu yang mempelajari ta'arud al-Hadits). Dalam menghilangkan ta'arud al-Hadits terdapat metode tarjih dan jam'u (mengkompromikan).
Metode jam'u dan tarjih, membutuhkan beberapa persyaratan dan pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Dalam ta’arud juga harus ada ketentuan dan syarat- syaratnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2000. Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis. Jakarta: Paramadina.
Al-Asqalani, Ibn Hajar.____. Fath al-Bari Sharh S}ahih Muslim Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Beirut: Dar al-Ma'rifah.
Al-Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Bukhari, 'Alauddin ibn Abd al-Aziz. 1974. Kashfu al-Asrar al- Usul al-Bazdawi juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi.
Al-Khatib, Muhammad 'Ajaj. 2001. Usul al-Hadits, terj. Dr. H.M Qadirun Nur Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Shan'ani, Muhammad ibn Ismail. 1960. Subul al-Salam juz 1. Mesir: Mustafa al-Halabi.
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad._____. Nail al-Autar juz 8, Kairo:____
Team Pustaka. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Wafa, Muhammad. 2001. Ta'arud al-Adillati al-Shar'iyyati min al- Kita>bi wa al-Sunnati wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S. Bangil: Al-Izzah.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha. 1306 H. Taj al-'Arusi min Jawahiri al-Qamusi. Kairo: Matba'ah al-Khairiyah bi Jamaliyah.


Postingan terkait: