Pemikiran Ikhwan Al-Safa tentang Pendidikan

PENDAHULUAN

Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim
tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[1]
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.[2]
Dalam kesempatan ini, akan dijelaskan biografi  Ikhwan al-Shafa, pemikiran beliau tentang pendidikan, filsafat dan agama  yang memberikan kontribusi penting di dunia pendidikan Islam.

PEMBAHASAN

A.    Biografi Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan) adalah organisasi  dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah buku yang sangat mereka hormati “Kalilah wa Dimnah”. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.[3]
Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan pada persaudaraan islamiyyah (ukhuwwah Islamiyyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang Muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisasi ia memiliki semangat dakwah dan tabligh yang amat militan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.
Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan pendidikan. Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya.
Dalam karyanya itu, Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah. [4]
Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentuk pribadi, jiwa dan akidah.[5]

B.     Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan attitudesnya, artinya dengan potensi yang harus diaktualisasikan. Dengan akal dan emosi anak akan mampu berkembang mulai dari stage intellect in habitu, kemudian ke intellect in actu, dan terakhir sampai pada acquired intellect. Dengan demikian posisi anak berangkat dari siterdidik akan meningkat menjadi pendidik bagi dirinya sendiri dimana bentuknya sangat bervariasi mulai dari dirinya mampu belajar secara otodidak atau dirinya mampu mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa ini kemudian berkembang dalam dunia pendidikan secara luas bahwa emosi dan intelligent siterdidik harus dikembangkan secara optimal. Hal ini untuk memacu siterdidik mampu mandiri baik dari aspek kehidupan sehari-hari sampai pada menjaga tauhid dalam dirinya.[6]
1.      Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
a.       Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
b.      Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
c.       Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[7] Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.[8]
Abudin Nata mempersingkat konsep pencapaian ilmu Al-Safa. Ia memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, dengan cara mempergunakan pancaindera terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Kedua cara ini hanya dapat dicapai oleh manusia, dan tidak dapat dicapai oleh binatang.[9]
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[10] Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.[11]
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.[12]
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong).[13] Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[14]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.[15]
2.      Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
a.       Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
b.      Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
c.       Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
d.      Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.[16]
Pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang bahwa anak didik cenderung meniru pendidiknya seakan bertentangan dengan pemikirannya bahwa pendidikan mengarahkan pada kemandirian tingkah laku dan tauhid. Jika dikaji lebih jauh Ikhwan al-Shafa sebenarnya menghendaki bagaimana guru-guru dan orang tua menuntut dirinya untuh menjadi contoh yang baik, baik dalam perilaku maupun dalam kepribadiaannya.

C.     Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.[17]
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia (Allah) menurunkan hujan dari langit (al-Hajj 22: 63), juga harus dipahami secara simbolik: air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi “barang antik”. Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a.       Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b.      Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c.       Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu  konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d.      Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e.       Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f.       Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g.      Kecondongan pada keyakinan Syi’ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h.      Seruan terhadap pluralisme agama  serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.

Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam yang tidak bisa berpikir mandiri. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.

D.    Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu: mengetahui Tuhan,ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan; ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam; ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak); ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.[18]
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.[19]
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.[20]

KESIMPULAN

Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan meyakini bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan attitudesnya,  Dengan akal dan emosi anak akan mampu berkembang mulai dari stage intellect in habitu, kemudian ke intellect in actu, dan terakhir sampai pada acquired intellect.
Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu: mengetahui Tuhan,ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan; ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam; ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak); ilmu keakhiratan,

DAFTAR PUSTAKA

Arbaiyah Ys. Laporan penelitian, dimensi filsafat dalam pemikiran pendidikan ikhwan al-shafa  1999.
C.A. Qadir. Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan 2003.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. oleh Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002.
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif editor, Aliran-Aliran Filsafat Islam. Bandung:Nuansa Cendekia, 2004.
Fuad al-Ahwani, Ahmad. Tarbiyah fi al-Islam. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1994.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985.
Ma’arif,  Syafi’I.  Peta Intelektual Muslim Indonesia.  Bandung: Mizan, 1994
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif editor, Aliran-Aliran Filsafat Islam. Bandung: Nuansa Cendekia, 2004.
Qadir, C.A,. Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Ramayulis dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Kalam Mulia, 2010.
Saefudin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: Grasindo, 2003.




Postingan terkait: