A. Kebijakan Politik Pendidikan di Indonesia
Kata kebijakan merupakan bentuk turunan dari
kata bijak yang memiliki awalan ke dan akhiran an. Di dalam KBBI (Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia), kata bijak memiliki arti selalu menggunakan akal budinya, mahir, pandai dan
pandai bercakap-cakap.[1] Dalam bahasa Inggris, kebijakan diartikan sebagai
policyyang berarti plan of action (rencana kegiatan) atau statemen of aims (pernyataan
yang diarahkan).[2]
Adapun yang dimaksud kebijakan adalah pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau
maksud sebagai garis pedoman untuk mencapai sasaran, garis haluan.[3] Politik adalah segenap
pengetahuan yang berkaitan dengan ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan
dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu
negara atau terhadap negara lain.[4]
Di dalam buku Ramayulis dan Samsul Nizar di jelaskan
bahwa Pendidikan berasal dari bahasa
Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang di peruntukkan
untuk anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau
bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah
yang berarti pendidikan.[5]
Pengertian kebijakan pendidikan sebagaimana dikutip oleh
Ali Imran dari Carter V. Good bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu
pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap
faktor-faktor yang bersifat situasional. Pertimbangan tersebut dijadikan
sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga serta
merupakanperencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil
keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat tercapai.[6]
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan kebijakan politik pendidikan islam adalah rencana
kegiatan atau garis haluan yang dirumuskan oleh pihak yang berkuasa yang
berkaitan dengan pendidikan.
B.
Sejarah dan Bentuk Kebijakan
Pendidikan Islam di Indonesia Berdasar Kementrian Agama.
Pendidikan
Islam sudah ada sejak lalu bahkan sebelum bangsa Eropa termasuk Belanda menginjakkan kaki di negara
tercinta ini. Pendidikan Islam sudah berkembang di Indonesia seiring dengan
perkembangan agama islam
di negara kita. Hanya saja pada awalnya, yang terjadi dengan pendidikan islam
di negara kita adalah belum adanya lembaga formal yang menampung murid-murid
dalam pelaksanaan pendidikan islam. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang
diperuntukkan untuk pendidikan Islam yang mana bersifat dinamis. Kebijakan-kebijakan
yang terkait dengan Pendidikan Islam sejak zaman Kolonial Belanda hingga
dikeluarkan SISDIKNAS adalah sebagai berikut :
1.
Kebijakan Pendidikan
Islam Pada Zaman Belanda
Sikap
pemerintah Kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam menurut Rasi’in dalam
Abduddin Nata setidaknya dapat dikategorikan ke dalam empat hal,[7] yaitu:
a. Pendidikan
diselenggarakan dengan tujuan kemajuan dan kemampuan yang berkualitas bagi
orang-orang Belanda.
b. Pendidikan
diselenggarakan dengan mkasud untuk menghasilkan tenaga-tenaga atau pekerja
yang murah untuk membantu kepentingan Belanda.
c. Pendidikan
diselenggarakan dengan tujuan menanamkan misi Kristen dan mengkristenkan
orang-orang pribumi.
d. Pendidikan
diselenggarakan dengan maksud untuk memelihara dan mempertahankan perbedaan
sosial.
Dari kategori di atas dapat kita ketahui bahwasannya Kebijakan
pemerintah Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri. Belanda membawa dan menyebarkan misi Kristen
sekaligus menguasai bumi nusantara oleh sebab itulah kebijakan- kebijakan yang
di keluarkan tidak mendukung keberlangsungan
pendidikan Islam, diantarannya :
a.
Tahun 1882
pemerintah Kolonial Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Berdasarkan nasihat nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama “Ordonansi Guru”.
b.
Tahun 1925
pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Guru” kedua yang isinya mewajibkan
bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara berkala.
Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah Kolonial
untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di Negara
ini.
c.
Tahun 1932
pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Sekolah Liar” (Wilde School
Ordonantie). Ordonansi ini berisi kewenangan untuk memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh Belanda.[8]
2.
Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Awal Kemerdekaan.
Urusan
agama yang ada sebelum kemerdekaan ditangani oleh kantor agama yang pada masa
penjajahan Belanda bernama resmi Kantoor voor Inlandshe Zaken kemudian
pada penjajahan Jepang bernama Shumuka setelah Indonesia mengganti nama Kementrian
Agama dan diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946. Kementrian Agama juga
mengurusi bidang pendidikan yang berhubungan dengan agama. BP KNIP menyampaikan
usulan dan rencana pengembangan kelembagaan agama Islam, baik di lingkungan
pesantren maupun madrasah kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP&K). Di antara usulan itu adalah perbaikan kualitas pesantren
dan madrasah, modernisasi pengajarannya dan diberikan bantuan. Setelah
Kementerian Agama dibentuk dengan K.H. Wahid Ha-syim sebagai Menteri Agama,
perhatian terhadap pesantren semakin bertambah. Siswa, kyai, dan pesantren
semakin bertambah banyak dan pada akhir periode Orde Baru jumlah pesantren
tercatat 8.376 buah.[9]
Dalam
Undang-Undang No. 12 tahun 1950 terdapat pasal yang mengupas tentang pendidikan
dan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Pasal ini terdapat pada Bab XII
pasal 20 yang berbunyi:
1.
Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua
murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2.
Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Mentri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan bersama-sama dengan Mentri Agama.
Kemudian
tahun berikutnya ditandatangani kembali Peraturan Bersama Menteri PP&K dan
Menteri Agama Nomor: 1432/kat. Tanggal 20 Januari 1951 (Menteri Pendidikan),
Nomor: K/1/652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur peraturan Pendidikan
Agama di sekolah-sekolah, yaitu:
Pasal 1:
Di
tiap-tiap sekolah rendah dan dan sekolah lanjutan (Umum dan Kejuruan) diberi
pendidikan agama.
Pasal 2:
1.
Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama
dimulai pada kelas 4, banyaknya dua jam dalam satu minggu.
2.
Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama
dapat dimulai pada kelas 1 dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi
tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum
bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan
sekolah-sekolah rendah di lain lingkungan.
Pasal 3:
Di
sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas, baik sekolah-sekolah
umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap
minggu.
Pasal 4:
1.
Pendidikan agama diberikan menurut agama murid
masing-masing.
2.
Pendidikan agama baru diberikan pada suatu
kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut satu macam
agama.
3.
Murid dalam satu kelas yang menganut agama lain
dari agama yang sedang diajarkan pada satu waktu, boleh meninggalkan kelasnya
selama pelajaran berlangsung.
3.
Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Masa Orde Baru
Pada
tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah
madrasah dalam semua tingkatan dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Sejumlah
madrasah menjadi negeri dengan rincian, 358 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN),
182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri
(MAAIN). Dengan memberikan status negeri, tanggung jawab pengelolaan menjadi
beban pemerintah, tetapi pengaturan dan control atas madrasah-madrasah itu
menjadi lebih efektif.
Pada 18 April 1972 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34
tahun 1972 tentang “Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan”. Isi
keputusan ini menyangkut tiga hal, yaitu:
a. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan bertigas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan
kejuruan.
b. Menteri Tenaga Kerja
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan
tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c. Ketua Lembaga
Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan
khusus pegawai negeri.
Dan pada dua tahun
berikutnya Kepres ini dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974
yang mengatur realisasinya. Kedua kebijakan ini
menimbulkan reaksi umat Islam. Diantaranya adalah Musyawarah Kerja Majelis
Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga ini meyakinkan
bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup
berarti dalam pembangunan nasional. Menyinggung tentang madrasah itu, MP3A
menegaskan bahwa “yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialah
Departemen Agama, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu tentang seluk beluk
pendidikan agama bukan Menteri P&K atau menteri-menteri lain.
Dengan memperhatikan
aspirasi tersebut, pemerintah Orde Baru melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah secara
terus-menerus. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
mengenai “Peningkatan mutu pendidikan madrasah”. Dan dilanjutkan dengan
Presiden mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres
No. 15 tahun 1974 yang isinya:
a. Pembinaan pendidikan
umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang tanggung
jawab pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
b. Untuk pelaksanaan
Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya
perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Agama
SKB 3
Menteri menempatkan pendidikan islam pada perguruan agama menjadi sejajar dengan
sekolah umum. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan
madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum mulai dari
jenjang SD sampai PT. Di samping itu, status dan kedudukan madrasah sama dengan
sekolah. Konsekuensi SKB 3 Menteri ini adalah bahwa seluruh madrasah harus
melakukan perubahan kurikulum, yakni 70% merupakan ilmu pengetahu-an umum dan
30% ilmu pengetahuan agama dengan ini pula diharapkan LPI dapat meningkatkan
kualitasnya sehingga mampu berkompetisi dengan sekolah umum.[10]
Bedanya, madrasah berada di bawah Kementerian Agama, sementara sekolah di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional, di samping perbedaan proporsi materi pelajaran
agama Islam.
Posisi
madrasah ini dipertegas kembali dalam UUSPN No. 2 tahun 1989, bab IV pasal 11, ayat
6 tentang pendidikan keagamaan,[11] yang
kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah ataupun keputusan menteri, bahwa
MI, MTs, dan MA masing-masing termasuk SD, SLTP, SMU yang berciri khas agama
Islam dan diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Tanggung jawab atas
pengelolaan madrasah dilimpahkan oleh Menteri Pendidikan kepada Menteri Agama, dan
siswa berhak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Apabila dalam satu kelas di suatu sekolah terdapat sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang siswa yang memeluk agama tertentu, pendidikan agama siswa yang
bersangkutan wajib diberikan di kelas tersebut, sementara bagi siswa yang tidak
memeluk agama yang sedang diajarkan pada saat berlangsungnya pelajaran agama di
kelas itu, diberi kebebasan. Kurikulum dan bahan kajian yang diberikan di
madrasah minimal sama dengan sekolah, di samping bahan kajian lain yang
dinerikan pada madrasah tersebut. Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan
tersebut, ketegangan antara pendidikan agama dan pendidikan nasional memang
dapat diatasi. Petunjuk pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup
mendasar dengan Kepres dan Inpres tersebut. Disitu ditegaskan bahwa hak dan
tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama.
4.
Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Masa
Reformasi
Pada tahun 1994,
kebijakan kurikulum pendidikan agama ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan,
menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang
pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP
struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan
umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam
kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA
(Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan
Seni.
Dari sudut pendidikan
agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang
tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan
siswa, sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya. Saat rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di
Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994.
Tumbangnya rezim Soeharto menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu
agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana
yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak
pihak.
Selanjutnya pada tahun
2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya
disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12
ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru
agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan
sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus
”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990,
tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya
Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama
Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan
sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang
menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah
yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan
dan muatan lokal. Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, “pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia”. Pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang
berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar,
kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Perjalanan kebijakan
pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya
menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap
sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari
sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi
tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika
pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan
disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kementerian
Agama RI di tahun 2010-2014 menetapkan 5 kebijakan yaitu :
a.
peningkatan kualitas
kehidupan beragama
b.
peningkatan
kualitas kerukunan umat beragama;
c.
peningkatan
kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama,
dan pendidikan keagamaan;
d.
peningkatan
kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan;
e.
perwujudan tata
kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.[12]
C.
PESANTREN DI TENGAH PUSARAN PENDIDIKAN NASIONAL
Kata
pesantren yang berasal dari kata santri dengan mendapatkan awalan pe- dan
akhiran –an. Kata tersebut mengandung arti asrama tempat tinggal santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Istilah santri berasal dari
bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Sumber yang lain menyebutkan bahwa kata itu berasal
dari bahasa Inda Chasti dari akar kata Shastra yang berarti buku-buku suci,
buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Kata
pesantren sering digunakan dalam bahasa sehari-hari dengan tambahan kata “
pondok” menjadi “pondok pesantren”.
Ditinjau dari segi bahasa, kata
pondok dengan kata pesantren tidak ada
perbedaan yang mendasar diantara keduanya karena kata pondok adalah berasal
dari bahsa Arab funduq yang
artinya hotel dan pesantren. Dalam pemahaman masyarakat Indonesia dapat
diartikan sebagai tempat berlangsungnya suatu pendidikan agama Islam yang telah
melembaga sejak zaman dahulu. Jadi pada hakikatnya pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan agama Islam.
Dalam
buku yang berjudul Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren yang dikeluarkan oleh Departemen Agama
halaman 9 mendifinisikan pondok pesantren sebagai :
“Lembaga
pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan
pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal dimana seorang kyai mengajar
santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama-ulama besar sejak abad pertengahan
sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok dalam pesantren tersebut.”
Sementara
itu Muki Ali dalam makalahnya yang berjudul dinamisasi dan hakikat pondok pesantren disampaikan
pada musyawarah lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren
mengidentifikasi bahwa pondok pesantren mempunyai ciri-ciri adanya kyai yang mengajar dan
mendidik. Santri yang belajar dari kyai,
masjid tempat untuk menyelenggarakan pendidikan,shalat berjamaah dan sebagainya, pondok tempat tinggal para
santri.[13]
Dalam
undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional ditetapkan,
pedidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu,cakap,
kreatif, mandiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Ketentuan diatas menempatkan
pendidikan agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional yang diharapkan. Pondok pesantren merupakan bagian
pendidikan keagamaan yang secara historis telah mampu membuktikan secara
kongkrit dalam membentuk manusia indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
secara filosofis maupun historis dan secara yuridis, pondok pesantren
pun dengan tegas tercakup dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional. Hal itu dapat dilihat dalam
rincian berikut:
1.
Dari segi
jalur pendidikan, pondok pesantren dan madrasah diniyah dapat dimasukkan
kedalam jalur formal dan non formal, karena pondok pesantren dan madrasah
diniyah ada yang diselenggarakan secara berjejang dan berkelanjutan ada yang
tidak. Pondok pesantren dan madrasah diniyah yang diselenggarakansecara
berjenjang dan berkelanjutan termasuk
dalam jalur pendidikan formal, sedang yang tidak berjenjang dan tidak
berkelanjutan termasuk dalam jalur pendidikan non formal.
2.
Dari segi
pendidikan, pondok pesantren dan madrasah diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan, yaitu berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nialai ajaran agamanya dan
menjadi ahli ilmu agama.
3.
Dari segi
jenjang pendidikan, dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda, pondok pesantren
yang berjenjang dapat dikelompokkan dalam pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi.
Posisi strategis pondok pesantren dan madrasah diniyah dalam sistim pendidikan
nasional itu juga memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan sistim
pendidikan nasional, yaitu :
1.
Peranan
Instrumental. Upaya pendidikan secara nasional, tak pelak lagi memerlukan
sarana-sarana sebagai media untuk mengejawantahkan tujuan-tujuannya.
Sarana-sarana itu, selain dibentuk secara formal seperti halnya gedung sekolah,
juga dibentuk secara informal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia pada umumnya merupkan kreasi
murni para kyai-ulama dalam usaha menciptakan sarana pendidikan. Dalam tataran
inilah, peranan pondok pesantren sebagai alat atau instrumen pendidikan nasional.
2.
Peranan
Keagamaan. Pendidikan pondok pesantren pada hakikatnya tumbuh dan berkembang
sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Lembaga ini dikembangkan untuk
mengefektifkan usaha penyiaran dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Dalam
pelaksanaanya, pendidikan pondok pesantren melakukan proses pembinaan
pengetahuan, sikap dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuan intinya
adalah mengusahakan terbentuknya manusia berbudi luhur (al-akhlaqul kariamah)
dengan pengalaman keagamaan yang konsisten (istiqomah). Pendidikan Nasional sendiri bertujuan, untuk menciptakan manusia
yang beriman, bertaqwa dan berakhlaq mulia. Untuk kepentingan ini pendidikan
agama dikembangkan secara terpadu, baik melalui sekolah umum maupun madrasah.
3.
Peranan
Memobilisasi Masyarakat. Dalam kenyataannya, usaha-usaha pendidikan nasional
secara formal belum mampu menampung seluruh aktifitas pendidikan masyarakat
Indonesia, di samping karena ada sebagian masyarakat yang kurang kesadarannya
akan pentingnya pendidikan (sekolah), juga karena memang sarananya masih sangat
terbatas, terutama di pedesaan. Bagi sebagian masyarakat masih terdapat
kecenderungan yang memberikan kepercayaan pendidikan putra-putrinya hanya
kepada pondok pesantren.
4.
Peranan
Pembinaan Mental dan Ketrampilan. Dalam sistim pendidikan Nasional, tujuannya
adalah menciptakan manusia Indonesia yang memiliki kepribadian yang sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Pendidikan di pondok pesantren diselenggarakan tidak
hanya pada pendidikan keagamaan semata, melainkan juga dikembangkan pembinaan
mental dan sikap para santri untuk hidup mandiri, meningkatkan keterampilan dan
berjiwa entrepreneurship. Karena di pondok pesantren dikembangkan juga unit
usaha atau pembinaan yang diselenggarakan dalam memenuhi tuntutan zaman dimana
mereka, para santri, setelah lulus dan keluar pondok pesantren memiliki sesuatu
keterampilan tertentu yang dapat dikembangkan secara mandiri sebagai bekal
hidupnya. [14]
Pada dasarnya fungsi pesantren adalah
lembaga yang bertujuan mencetak muslim agar menguasai
ilmu-ilmu agama secara mendalam serta menghayati dan mengamalkannya dengan
ikhlas semata-mata ditujukan untuk mengharap keridhaan Alloh.
Peranan pendidikan pesantren dalam pelaksanaan pendidikan nasional dapat lihat dalam
kaitannya sebagai sub-sistem pendidikan nasional. Pesantren merupakan lembaga
yang berfungsi melaksanakan pendidikan berdasarkan arah dan tujuan yang telah ditentukan. Dengan
fungsi khusus yang dibawakan oleh sistim pendidikan ini, pendidikan nasional
akan menunjukkan dinamikanya secara mantap untuk kepentingan ini.[15]
Walaupun peranan penting yang diberikan
pondok pesantren terhadap pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi
perhatian negara terhadap pondok
pesantren masih kurang baik, apalagi pondok pesantren yang tidak menyesuaikan
diri dengan jenjang dan sistim pendidikan formal. Rendahnya perhatian negara
terhadap pondok pesantren tampak dalam ketidak jelasan kedudukan dan pengakuan
terhadap lulusan pondok pesantren. Santri yang telah tamat pendidikan di pondok
pesantren tidak memiliki civil efect sebagaimana tamantan pendidikan formal,
padahal dari segi kualitas penguasaan materi yang dipelajari lulusan pesantren
pun tidak kalah dengan siswa yang mengikuti pendidikan formal. Bahkan mungkin
dalam aspek-aspek tertentu lulusan pesantren memiliki keunggulan-keunggulan
yang tidak dimiliki oleh lulusan pendidikan formal, misalnya, kuatnya sikap
mandiri, ketaatannya dalam beribadah, serta akhlaq yang lebih terjamin.
Pondok pesantren masuk kedalam sistim
pendidikan nasional berarti seluruh yang dilakukan oleh pondok pesantren yang
jelas-jelas melaksanaka pendidikan secara komprehensif dan
holistik untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa namun belum masuk hitungan
dalam substansi pelayanan /pembinaan yang tergambar dalam rendahnya alokasi
anggaran dan bantuan kependidikan lainnya bagi pondok pesantren, seperti
pembiayaan penyiapan saran dan prasarana pembelajaran, pembiayaan proses
pembelajaran, tenaga kependidikan dan pengelolaan.[16]
Daftar
Pustaka
Abd. Rachman Assagaf, Internationalisasi Pendidikan, Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat.Yogyakarta: Gama Media, 2003..
Abuddin
Nata, Kapita
Selekta Pendidikan Islam . Bandung: Angkasa, 2003.
Ali
Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa
Depannya, Ed. I, Cet. II ,Jakarta: Bumi
Aksara, 2002.
Budiono,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia(Surabaya: Karya Agung, 2005.
Departemen
Agama R I, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan
Perkembangannya Jakarta: DIrektorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam,2003.
Engku. Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hasbullah,
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi, Cet. VI ,Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah
pertumbuhan dan Perkembangan ,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1999.
Iskandar
Engku,Siti Zubaidah, Sejarah
Pendidikan Islam .Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Lihat Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Edisi
II, Cet V(Oxford: Oxford University Press,1995.
Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia .Jakarta:
Pusat Bahasa Dep. Diknas,2008.
M.
Irsyad Djuwaeni, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam.Jakarta: Karsa Utama Mandiri, 1998.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ramayulis
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya Jakarta: Kalam Mulia, 2009.