Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah Dan Ismailiyah


PENDAHULUAN

Perbedaan pendapat dan tujuan adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Kedua-duanya adalah sebab utama berkembangnya berbagai macam kelompok. Tragedi Qabil dan Habil adalah bentuk awal dari perbedaan pendapat yang ada dalam dinamika kehidupan manusia.
Bahkan dalam satu kelompok yang notabene mempunyai ideologi yang sama, tak lepas dari perbedaan pendapat dari idividu-individu yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan Islam, Meski sama-sama berpegang teguh pada Alquran dan Hadits,dengan mudah kita temui perbedaan yang meligkupi tubuh umat muslim. Ada golongan Ahl al-Sunnah waal-Jama’ah, Syiah, dan lain sebagainya.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan salah satu golongan dalam Islam yang mempunyai pengikut terbesar setelah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, yakni Syiah.
Meski berangkat dari ideologi yang sama, yakni mendukung dan mengikuti Ali bin Abi Tholib, sekaligus mendahulukan dan lebih mengutamakan dia daripada para sahabat yang lain, Syiah dalam perkembangannya terbagi menjadi beberapa kelompok. Diantaranya Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah atau Imamiyah, Zaidiyah, Batiniah dan Syi’ah Ismailiyah. Perpecahan kelompok dalam tubuh Syiah tak lepas dari perbedaan pendapat yang melingkupi para penganutnya.
Disini, penulis akan menjelaskan menjelaskan tentang golongan Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah dan Ismailiyah beserta sejarah perkembangannya, sekaligus beberapa ajaran-ajarannya.


 PEMBAHASAN

Syiah menurut bahasa ialah kelompok, golongan, sekte dan pengikut.[1] Sedangkan menurut istilah, seperti pendapat Abu Hasan Al-Asyari bahwa Syiah adalah kelompok atau golongan yang mendukung dan mengikuti Ali bin Abi Tholib, sekaligus mendahulukan dan lebih mengutamakan dia daripada para sahabat yang lain, seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman.[2] Berbeda dengan golongan Ahlu Sunnah yang tetap mendukung dan mengikuti Ali sebagai Kholifah yang ke-empat setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman,  ahlu sunnah tidak mengutamakan Ali daripada sahabat yang lain.[3]

A.    Syiah Imamiyah
1.      Sejarah Syiah Imamiyah
Perlu diketahui bahwa kebanyakan kelompok Syi’ah Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’) tersiar di segala tempat, dan kelompok Imamiyah adalah salah satu daripadanya. Kelompok Imamiyah telah pecah menjadi 39 kelompok, yaitu: Hasaniyah, Nafsiyah, Hakamiyah, Salimiyah, Syaitaniyah, Zarariyah, Budaiyah, Mufawidhah, Yunusiyah, Baqiriyah, Hadhiriyah, Nuwusiyah, Ammariyah, Barikyah, Bathiniyah, Qaramitah, Syamithiyah, Maimuniyah, Khalfiyah, Burqu’iyah, Janabiyah, Sab’iyah, Mahdawiyah, Afthakhiyah, Mufaddhaliyah, Mamturiyah, Musawiyah, Raj’iyah, Ishakiyah, Ahmadiyah, dan Itsna ‘Asyariyyah.[4]
Al-Itsna ‘Asyariyyah adalah kelompok yang berpendapat bahwa Musa al-Kazhim memang telah meninggal.Kelompok ini juga disebut al-Qath’iyyah.Menurut mereka, imamah berpindah (dari Musa al-Kazhim) kepada putranya, ‘Ali Ridha, yang terbunuh di Thus.Kemudian ‘Ali Ridha digantikan oleh Muhammad at-Taqi al-Jawad, yang meninggal dan dikuburkan di pemakaman di Baghdad. Sesudah itu al-Jawad digantikan oleh ‘Ali ibn Muhammad an-Naqi yang terbunuh di Qum. An-Naqi selanjutnya digantikan oleh Hasan al-Askari az-Zaki sebagai imam dan ketika dia meninggal digantikan oleh Muhammad al-Qaim al-Muntadhar. Menurut mereka, setiap orang yang pernah melihat al-Muntadhar dia akan memperoleh kegembiraan: Muhammad al-Qaim al-Muntadhar menjadi imam kedua belas, karena itulah kelompok ini dinamakan Imam dua belas.[5]
Sekte Itsna ‘Asyariyyah merupakan sekte terbesar Syi’ah dewasa ini. Sekte ini menyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dua belas imam sebagai penerus risalahnya. Diantara nama imam-imam menurut golongan al-Imamiyah adalah: 1) Al-Murtadha (‘Ali), 2)Al-Mujtaba (al-Hasan), 3)Asy-Syahid (al-Husain), 4)Al-Sajjad (Zain al-‘Abidin), 5) Al-Baqir, 6) Ash-Shadiq, 7) Al-Kazhim, 8) Ar-Ridha, 9) At-Taqi, 10) An-Naqi, 11) Az-Zaki dan 12) Al-Hujjah al-Qaim al-Muntadhar.[6]
Sebagai kelompok Syi’ah terbesar, Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyriyyah memiliki nama-nama atau julukan-julukan populer yang beragam. Nama-nama yang populer antara lain adalah: Syi’ah Imamiyah, Itsna ‘Asyriyyah, al-Qath’iyah, ar-Rafidhah, al-Ja’fariyah, dan al-Khashshah.

2.      Konsep Imamah Syiah Imamiyah
Kelompok Syi’ah percaya bahwa Imamah adalah satu dari prinsip-prinsip agama. Imamah adalah rukun iman yang pokok; imam seseorang tidak sah kecuali ia percaya bahwa Imamah adalah suatu jabatan ilahiyah seperti kenabian. Maka Imamah bagi mereka adalah seperti akidah tauhid (La ilaha illallah) dan akidah risalah (Muhammad Rasulullah), begitu juga aqidatul qiyamah, yaitu seperti iman kepada Tuhan yang satu dan tunggal, dan iman bahwa Muhammad Rasulullah serta iman kepada hari akhir.[7]
Mereka berpendapat bahwa para imam diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukan orangnya secara langsung.‘Ali menjadi imam melalui penunjukan Nabi Muhammad, kemudian dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad, dan mereka dinamakan al-Awshiya’ (para penerima wasiat). Para penganut aliran Imamiyah telah sepakat bahwa keimaman ‘Ali telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi Muhammad dengan menunjuk langsung dirinya, bukan dengan penyebutan sifat orangnya.[8]
Menurut Syi’ah dua belas, jabatan imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntadhar. Sesudah itu, tidak ada imam-imam lagi sampai hari kiamat. Imam Mahdi diyakini sedang ghaib.Selama keghaiban imam Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan kemasyarakatan, dilimpahkan kepada fuqaha’ (ahli hukum Islam) atau mujtahid (ahli agama Islam yang telah mencapai tingkat tingkat ijtihad mutlak). Fuqaha’ atau Mujtahid ini harus memenuhi tiga criteria. Pertama, faqahah, yaitu ahli dalam bidang agama Islam. Kedua, adil, takwa, dan konsisten dalam menjalankan aturan-aturan agama. Ketiga, kafa’ah, yaitu memiliki kemampuan memimpin dengan baik.Mereka yang menggantikan jabatan imam Mahdi itu disebut na’ib al-imam atau wakil imam.[9]

3.      Ajaran Syiah Imamah
a.       Rukun Iman
Rukun iman adalah teori Syi’ah dan dalil-dalil yang mereka pakai untuk membuktikan Imamah. Dalam kitab Usul al-Kafi disebutkan dalam suatu riwayat, sebagai berikut: “Mengetahui imam-imam serta percaya kepada mereka adalah syarat iman”. Dalam riwayat lain, mereka menghilangkan puasa dan haji. Kulaini meriwayatkan dari Ja’far: “Rukun Islam tiga: shalat, zakat, dan wilayat, semuanya harus dibarengkan”. Kemudian mereka menghilangkan empat sehingga tinggal satu rukun saja yaitu wilayat.Abu Abdullah berkata, “Wilayat adalah wilayatullah yang tidak mengutus Nabi kecuali dengan wilayat itu”. Mereka malah menambahkan: “Semua Nabi Allah telah mengakui wilayat ‘Ali, dan barangsiapa mengingkarinya, Tuhan akan menyiksanya, dan menfitnahnya dengan penyakit dan musibah”.
Sebagai sekte Syi’ah terbesar, kelompok Syi’ah Dua Belas sebenarnya bukan golongan Imamiyah atau golongan yang hanya memusatkan perhatian pada persoalan imamah semata, tetapi juga merupakan golongan yang terlibat aktif dalam pemikiran-pemikiran keislaman lainnya, seperti teologi, fiqih, dan filsafat.
Dalam teologi, sekte ini dekat dengan golongan Muktazilah, akan tetapi dalam persoalan pokok-pokok agama mereka berbeda.Sementara dalam bidang fikih, mereka tidak terikat pada satu madzhab manapun.[10]

b.      Imam Ghaib (Imam Keduabelas) serta Kepercayaan Syi’ah tentang Imam Mahdi
Menurut akidah Syi’ah, Imam Mahdi dilahirkan pada tahun 255-256 H. Menurut keyakinan mereka, ia masih hidup dalam suatu gua di suatu tempat. Ada yang mengatakan, ia bersembunyi di ruang bawah tanah yang berada di rumah ayahnya di Samarra dan tidak kembali setelah itu. Mereka berbeda pendapat tentang usia Muhammad al-Mahdi ketika bersembunyi. Ada yang mengatakan usianya empat tahun, dan ada yang mengatakan delapan tahun. Perbedaan pendapat juga terjadi tentang kemampuannya memerintah dalam usia itu. Ada yang menyakini bahwa pada usia ini dia sudah mengetahui segala sesuatu yang perlu diketahui oleh seorang imam, sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang memerintah adalah wakilnya dari kalangan ulama madzhabnya. Pendapat terakhir inilah yang dianut oleh penganut Imamiyyah Itsna ‘Asyriyyah dewasa ini.
Menurut riwayat Syi’ah, anak Hasan al-Askari yang berumur lima tahun, membawa benda-benda tersebut dan bersembunyi di suatu gua di Surra Man Raa, Irak. Maka menurut mereka, anaknya tersebut menjadi imam akhir zaman dan dengan begitu selesailah rentetan para imam. Oleh karena di dunia harus ada imam, dan kalau tidak ada imam dunia akan hancur, Maka imam akhir zaman harus tetap hidup sampai hari kiamat. Ia akan tetap ghaib dan bersembunyi, dan jika sudah datang waktunya untuk muncul ia akan keluar dari gua untuk memerintah seluruh dunia.

B.       Syiah Zaidiyah
1.      Sejarah Syiah Zaidiyah
Syiah Zaidiyah muncul sepeninggal Ali Zain al Abidin, imam ke empat dalam Syiah Imamiyah. Nama kelompok ini diambil dari nama pemimpinnya, yaitu Zaid bin Ali Zain al Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syiah Zaidiyah muncul pada tahun 94 H ketika Ali Zain al Abidin wafat. Saat itu kelompok Syiah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pengikut Zaid bin Ali dan kelompok pengikut Muhammad al Baqir bin Ali, saudara Zaid bin Ali sendiri.
Kelompok ini berbeda dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhamad Al-Baqir, putra Zainal yang lain, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syiah Zaidiyah merupakan Syiah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.[11]
Pada abad kedua, perselisihan Muhammad al-Baqir dengan saudaranya Zaid bin Ali yaitu mempersoalkan permasalahan pengakuan terhadap Imamah dan/atau kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khatab.[12]
Muhammad al-Baqir mengklaim diri sebagai imam berdasar nass dan wasiat dari imam sebelumnya. Menurutnya seorang imam tidak cukup hanya sebuah klaim semata, namun harus berani memproklamirkan diri secara terbuka dan berjuang merebut tahta kekhalifahan dari Bani Umayyah dengan kekuatan pasukan setelah peristiwa tragis Karbala. Kemudian Zaid bin Ali mengangkat dirinya sebagai imam di Kuffah. Setelah mengadakan persiapan beberapa waktu lamanya lalu ia bergerak melakukan perlawanan secara terbuka.[13]
Pada fase berikutnya, akibat kelemahan aliran Zaidiyah dan serangan dari aliran-aliran Syiah lainya, dasar-dasar pemikiran aliran ini menjadi goyah atau kalah dan mati. Karena itu orang-orang yang membawa nama aliran Zaidiyah tidak membenarkan pengangkatan Imam yang mafdhul (bukan orang terbaik), sehingga mereka dianggap termasuk aliran yang ekstrim. Mereka adalah yang menolak dan menentang kekhalifahan atau keimanan Abu Bakar dan Umar, dan dengan begitu hilanglah ciri khas dari aliran Zaidiyah generasi pertama.

2.      Konsep Imamah Syiah Zaidiyah
Menurut Syiah Zaidiyah, seorang Imam harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Ia merupakan keturunan ahl bait., baik melalui garis Hasan maupun Husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas kepemimpinan. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad .[14]
b.      Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte Syiah lainnya, baik yang ghaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.[15]
c.       Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan mengembangkan doktrin imamat al mafdul, artinya seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang afdal.[16]
Walaupun Syiah Zaidiyah mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling utama (afdal) yang menyatakan paling berhak menjadi imam, namun mereka mengakui Imamah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Inilah yang mereka sebut dengan imam al mafdul.[17]

3.      Ajaran Syiah Zaidiyah
1.      Bidang Fiqih
Secara umum hampir tidak ada perbedaan antara Syiah Zaidiyah dengan Ahlussnnah wal Jama'ah, Hanya ada perbedaan sedikit dalam masalah ibadah furu'. Syiah Zaidiyah cenderung menunjuk simbol dan amalan Syiah pada umumnya. Misalnya dalam hal adzan mereka memberi selingan ungkapan Hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-khuffaini), menolak imam shalat yang tidak shaleh, tidak sedakap dalam shalat, shalat hari raya tidak mesti berjamaah, shalat tarawih berjamaah dikategorikan bid'ah, rukun wudhu ada sepuluh dan menolak binatang yang disembelih oleh orang non-muslim.[18] Mereka juga menolak adanya nikah mut’ah yang merupakan cirri khas Syiah.[19]
2.              Bidang Teologi
Syiah Zaidiyah dalam bidang teologi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aliran Muktazilah. Hal ini tidak mengherankan karena Zaid bin Ali sendiri adalah murid dari Wasil bin Atha’, seorang pendiri aliran Muktazilah.[20]
Teologi Muktazilah menyebutkan di antara ciri orang yang beriman ialah harus amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebenaran dan menjauhi kepada kemunkaran). Maka dari itu seorang imam haruslah memproklamirkan diri kepada masyarakat dengan cara memberantas kebathilan dan mengajak/menunjukkan kepada sesuatu kebenaran. Penganut Syiah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.

C.    Syi’ah Ismailiyah
  1. Sejarah Syiah Ismailiyah
Kata ismailiyah (bahasa Arab:الإسماعيليونal-Ismā'īliyyūn) adalah mazhab dengan jumlah penganut kedua terbesar dalam Islam Syi'ah, setelah mazhab Dua Belas Imam (Ithna 'Asyariah). Sebutan Ismailiyah diperoleh pengikut mazhab ini karena penerimaan mereka ke atas keimamanIsma'il bin Ja'far sebagai pewaris dari Ja'far ash-Shadiq. Ismailiyah menerima keenam Imam Syi'ah terdahulu.[21]
Terbentuknya kelompok Syiah Ismailiyah lebih dikarenakan perbedaan penetapan penerus Imam Ja’far Shadiq as. Pada tahun 148 H/765 M,[22] di kota Kufah sebagian orang Syiah memisahkan dirinya. Pemisahan ini terkait erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide dibalik perjuangan tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far (anak laki tertua Imam Ja’far Shadiq AS.).
Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang berhasil didirikan bernama Fathimiyyun. Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam Ismailiyah, Ubaidillah Al-Mahdi. Pemerintahan Ismailiyah di bangun di Afrika Utara.Pada tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Syiah Ismailiyah.[23]
Dan Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Syiah Ismailiyah.Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam Ismailiyah.Krisis ini menyebabkan terbaginya Syiah Ismailiyah menjadi dua bagian; Musta’lawiyah dan Nizariyah.Perselisihan yang terjadi menyebabkan melemahnya Syiah Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.
Musta’lawiyah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di Afrika Utara.Namun Musta’lawiyah perlahan-lahan juga terbagi-bagi.Pada akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan sendirinya tidak lagi memiliki kekuasaan.Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah kelompok Ismailiyah Thibi, yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman.Perlahan-lahan ajaran mereka menyebar ke India.Di India dikenal sebagai Buhrah.
Sementara itu, Nizariyah salah satu kelompok dari Ismailiyah memiliki pengikut terbesar.Pada abad pertengahan mereka banyak bertempat tinggal di Iran. Pertama mereka menempati daerah Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya mereka tersebar di daerah Rei dan Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Ahmad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah Kurasan. Berkat usaha penyeru mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran, pemikiran Neo Platonisme dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah.Usaha mereka menghasilkan aliran filsafat Ismailiyah Neo Platonisme.Pemikir-pemikir yang memiliki saham terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lain-lain.Pergolakan pemikiran yang terjadi ini pada akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan Ismailiyah Nizariyah.
Negara Nizariyah hanya dapat bertahan selama 166 tahun.Masa 166 tahun ini dikenal dengan masa Alamut.Setelah Hassan Sabah, ada tujuh orang yang berkuasa di Alamut.Di masa-masa mereka ini kekuasaan mereka cukup kuat.Kekuatan mereka pada akhirnya runtuh akibat serangan bangsa Mongol.Runtuhnya kerajaan Nizariyah terjadi pada tahun 654 H/1256 M. Setelah runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang-orang Ismailiyah kemudian melakukan eksodus ke beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan lain-lain. Penyebaran mereka di beberapa negara dilakukan dengan bentuk kehidupan seorang sufi. Imam Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat berkumpul di daerah Anjedan kota Qom dan akhirnya menuju India. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah.Khojah adalah kelompok Syiah Ismailiyah yang terbesar.Saat ini, pengikut Syiah Ismailiyah hidup bertebaran di Kerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lain-lain.[24]

  1. Konsep Imamah Syi’ah Ismailiyah
            Para pengikut Syiah Ismailiyah bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar. Tujuh pilar tersebut adalah iman, taharah, sholat, zakat, puasa, haji dan jihad. Berkaitan dengan pilar atau rukun yang pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’aman memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada imam, percaya, mengetahui dan membenarkan imam zaman.[25]
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syiah Ismailiyah sebagai berikut:
a.       Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian dikenal dengan Ahlu Bait.
b.      Imam harus berdasarkan penunjukan atau nas. Berdasarkan hadith yang diriwayatkan bukhori dan muslim bahwa antara rasul dan Ali ialah seperti Musa dan Harun.
c.       Keimaman jatuh pada anak tertua. Syiah Ismailiyah menggariskan bahwa seorang imam memperoleh keimanan dengan jalan wirathah, jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.[26]
d.      Imam harus maksum (terjaga dari kesalahan dan dosa). Sebagaimana sekte syiah lainnya, syiaah ismailiyah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari salah dan dosa. Bahkan lebih dari itu, mereka berpendapat bahwa sungguhpun imam berbuat salah, maka perbuatannya itu tidak salah.
e.       Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik. Berbeda dengan zaidiyah, syiah ismailiyah dan syiah imamiyah tidak membolehkan adanya imam mafdlul.
Disamping syarat-syarat diatas, syiah ismailiyah berpendapat bahwa seorang imam harus mempunyai pengetahuan ilmu. Pengetahuan disini adalah ilmu lahir (eksotrik) dan ilmu batin (esoterik). Dengan ilmu tersebut, seorang imam mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui orang biasa. Apa yang salah dalam pandangan manusia, belum tentu salah dalam pandangan imam.[27]

  1. Ajaran Syiah Ismailiyah
            Ajaran Syiah Ismailiyah pada dasarnya sama dengan kelompok syiah lainnya. Perbedaaannya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntadzar.Ada satu sekte dalam Ismailiyah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh karena itu, imam harus disembah.
Menurut Ismailiyah, al-qur’an memiliki makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari syariat itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya terbatas dan tidak mempunyai kesempurnaan rohani. Sedangkan yang memiliki makna batin dan dapat menakwili adalah para imam.
            Dengan prinsip takwil, Ismailiyah menakwilkan menurut hawa nafsu mereka sendiri, misalnya ayat al-qur’an tentang puasa, mereka takwili dengan menahan diri dari menyiarkan rahasia-rahasia imam. Dan ayat al-qur’an tentang haji ditakwilkan dengan mengunjungi imam. Bahkan diantara mereka ada yang menggugurkan ibadah. Mereka itu adalah yang telah mengenal imam dan telah mengetahui takwil melalui imam.[28]
            Mengenai sifat Allah, sebagaimana halnya mu’tazilah, Ismailiyah meniadakan sifat dari dzat Allah. Menurut mereka penetapan sifat merupakan penyerupaan dengan makhluk.[29]


KESIMPULAN

Secara umum golongan syiah dapat dipetakan menjadi dua bagian.Pertama ialah golongan syiah yang moderat atau biasa disebut dengan syiah mu’tadil seperti golongan syiah imamiyah dan golongan syiah zaidiyah, dalam hal ini ajaran-ajaran mereka hampir sama dengan ajaran-ajaran ahlu sunnah wal jama’ah. Kedua ialah golongan syiah yang berlebih-lebihan atau ekstrim atau biasa disebut dengan syiah gholwu seperti syiah ismailiyah yang mana diantara ajaran-ajarannya ialah membedakan antara yang dhohir dan yang batin.Yang dohir itu dimiliki oleh orang-orang awam, sedangkan yang batin hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, dalam hal ini adalah para imam mereka. Sehingga ujung-ujungnya, para imam mereka dapat menafsiri suatu hukum dengan semau mereka sendiri, meskipun toh sesungguhnya apa yang mereka tafsiri itu bertentangan dengan syariat islam.
            Sebenarnya para ulama’ sunni dan syiah sudah sering kali mengadakan berbagai macam pertemuan atau mu’tamar agar tidak ditemukannya perbedaan diantara ahlu sunnah dan syiah, juga untuk  menyatukan umat islam diseluruh dunia. Tetapi hal ini sangatlah sulit, karena ada beberapa ideologi ahlu sunnah yang tidak sesuai dengan ideologi syiah, seperti konsep imamah yang diusung oleh golongan syiah.


DAFTAR PUSTAKA

Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.
Al-Asyari, Maqalat al-islamiyin,. Maktabah Syamilah
Muhammad Anwar Hamid, Syiah Baina al-I’tidal Wa al-Gholwu.
Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Imam Muhammad Abu Zahra,1993, Aliran Politik dan Akidah, Jakatra: Gema Insani Press, 1993.
Ahmad Qusyairi Ismail, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah. Yogyakarta: LkiS, 1993.
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, 2006, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Dhiauddin,  Teori Politik Islam, Jakarta :Gema Insani Press,2001
H.R. Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill S, 2001.
Nourouzzaman Shiddiqi, Syiah dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Muahmmad Bin Abdul Karim al-Syahrastani, 2 Al Milal Wa Al,Nihal,Alih Bahasa: Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006.
Montgomery Watt,1992,IslamicPhilosophi and Theologi, Edinburg : University Press, 1992.
Muhammad Abu Zahroh, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Daral-Fikral-Arabi
Muhammad Said Jamaluddin, Mausuah al-Firoq wa al-Madzahib fial-Islam. Departemen Agama Republik Arab Mesir, 2007
Abdul Rozak,  Ilmu Kalam. Surabaya: PT Bina Ilmu,2001
Hasan ibrahim,  Tarikh al-Islam, al-Nahdloh al-Misriyah, 1976.
AhmadSyalabi,  Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Rajaw


Postingan terkait: